ULUMUL
HADIS
(ASPEK
ONTOLOGIS, EPISTIMOLOGIS, AKSIOLOGIS)
Disampaikan
pada seminar kelas mata kuliah
ULUMUL
HADIS
Oleh:
AHIRUDDIN
NIM.
80100209010
Dosen
Pemandu:
Prof.
Dr. Hj. Andi Rasdiyanah
Prof.
Dr. H. Ambo Asse, M. Ag
PROGRAM
PASCASARJANA MAGISTER (S2)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
B A B I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Rasullah
SAW. Wafat, kaum muslimin yang usianya masih seumur jagung itu, merasa perlu
menjaga kesinambungan wahyu dan kesuciannya. Suatu fakta yang menunjukkan
kearah itu adalah proses transmisi dan periwayatan naskah Al-quran
hingga tahap pengkodifikasiannya yang telah diperiksa dan disatukan oleh Nabi
sendiri. Hafsah kemudian menyebarkannya ke Abu Bakar dan seterusnya. Kenyataan
tersebut menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa naskah Al-quran telah
dikumpulkan dengan ekstra hati-hati sehingga keabsahan penggunaannya sebagai
dasar hukum dan pedoman hidup bagi umat Islam tidak diragukan lagi.
Wacana yang sama juga terlihat dalam metodologi pengumpulan dan
penulisan Hadis. Sejarah penulisan, pengumpulan dan pembukuan Hadis dan ilmu
Hadis telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang.
Dimulai semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai
puncaknya pada kurun abad ke tiga Hijriah. Perjuangan ulama Hadis yang telah
berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian serta penyeleksian hadis
betul-betul dilakukan degan sungguh-sungguh. Mereka memilah dan memilih mana
hadis yang shahih, dan mana hadis yang da’if. Dari usaha-usaha mereka itu
kemudian melahirkan metode-metode yang
cukup “kaya”, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad,
sunan, jami’ dan lain-lain) hingga kepada kaidah-kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah tersebut, kemudian berkembang
menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri
yang disebut dengan Ilmu Hadis.
Karena pembukuan
hadis baru dapat dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir satu
abad) setelah wafatnya Nabi SAW, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa
banyak hadis-hadis yang dipalsukan, maka keabsahan hadis-hadis yang beredar
dikalangan kaum muslimin menjadi debatable. meskipun mereka telah meneliti dengan
seksama. Kondisi tersebut, sering dijadikan senjata oleh pihak lawan untuk
mendiskreditkan hadis-hadis Nabi, dan merongrong keyakinan umat islam. Lebih-lebih
lagi diketahui bahwa lingkngan Nabi SAW. sangat Miskin dari budaya baca tulis.
Meskipun mereka dikenal sebagai
komunitas yang mempunyai hapalan yang kuat, namun hal itu sifatnya sangat subjektif.
Oleh karena itu, mempelajari ilmu hadis
sebagai sebuah metodologi sangatlah penting bagi kaum muslimin guna menangkis
segala tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang memusuhi agama Islam dan umatnya.
B. Rumusan Masalah.
Sebagaimana
dalam uraian yang telah dikemukakan oleh penulis diatas, diperoleh permasalahan
yang menjadi sentral dalam pembahasan makalah ini, yakni;
1. Ilmu hadis dalam perspektif ontologis;
memuat tentang pengertian dan perbedaan pandagan ulama tentang ilmu hadis.
2. Ilmu hadis dalam perspekif
epistimologis; memuat tentang cabang-cabang ilmu hadis dan sejarah
perkembangannya.
3. Ilmu hadis dalam perspektif aksiologis;
memuat tentang mamfaat dari cabang-cabang ilmu hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Ulumul Hadis dalam perspekti Ontologis.
A. Pengertian Ulumul Hadis.
Ulumul Hadis
adalah istilah ilmu hadis didalam tradisi ulama hadis. Ulumul hadis terdiri
dari dua suku kata, yaitu Ulum dan Al-hadis. Kata Ulum dalam
bahasa Arab adalah bentuk jamak dari Ilm yang berarti ilmu.[1] Sedangkan Al-hadis menurut ulama hadis ialah;
أقوال وأفعال وأحوال النبي صلى الله عليه وسلم
“Segala perkataan, perbuatan, dan hal ihwal Nabi”.[2]
Yang dimaksud
dengan hal ihwal, ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang
berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaannya. Pengertian hadis ini mempunyai cakupan yang sangat
luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi saja, melainkan juga
apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.[3] Sebagian Ulama juga berpendapat bahwa
hadis itu meliputi sabda Nabi,
perbuatan, dan takrir (ketetapan) darinya. Sebagian yang lainnya berpendapat
bahwa hadis itu juga meliputi perkataan, pebuatan dan takrir sahabat atau
bahkan tabi’in.[4]
Dengan demikian
apabila kedua kata tersebut dirangkaikan menjadi satu, diperoleh suatu
pengetian bahwa Ulumul Hadis adalah suatu ilmu yang membahas tentang
segala Sesuatu yang berkenaan dengan sabda Nabi, perbuatan, dan takrirnya
(ketetapan). Bahkan juga perbuatan dan takrir sahabat atau bahkan tabi’in.
B. Perbedaan
Pandangan Ulama Tentang Ulumul Hadis.
Kalau ditelusuri
secara mendalam, tidak dijumpai pertentangan pendapat secara signifikan
diantara para Ulama seputar masalah Ulumul Hadis. Baik itu Ulama
Mutakaddimin, begitu juga Ulama Mutaakhirin. Ulama Mutakaddimin
misalnya mengemukakan bahwa yang menjadi tema pokok dalam pembahasan Ilmu Hadis
adalah kaidah-kaidah dalam mengetahui hal ihwal sanad, dan matan hadis. Sementara
Ulama Mutaakhirin tidak menjadikan definisi tersebut sebagaimana Ulama Mutakaddimin, akan
tetapi hanya menjadikan sebagai bagian pengertian salah satu cabang dari ilmu Hadis itu
sendiri. Yakni Ilmu Dirayah Hadis (Ilmu Hadis Dirayah).
Seperti
dikatakan oleh As-Sayuthi bahwa para
Ulama Mutaakhirin memakai definisi tersebut untuk definisi Ilmu Dirayah
Hadis sebagai salah satu bagian dari Ilmu Hadis.[5] Bagian yang lain dari ilmu ini adalah Ilmu
Riwayah Hadis (Ilmu Hadis Riwayah). Kedua pembagian Ilmu Hadis tersebut
sebagaimana yang dikemukakan oleh para Ulama Mutaakhirin, selanjutnya
menjadi inti pembahasan makalah ini sebagai cabang dari Ilmu Hadis.
Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan, bahwa baik Ulama Mutakaddimin maupun Ulama
Mutaakhirin sepakat berpendapat bahwa pokok bahasan dalam Ulumul Hadis,
adalah seputar permasalahan tentang matan dan sanad hadis. Adapun perbedaannya
tidak lain disebabkan karena dikalangan Ulama Mutaakhirin kemudian
memunculkan suatu Ilmu baru yang berdiri sendiri dan mengkonsentrasikan
pembahasannya terhadap suatu masalah tertentu yakni bagaimana cara menerima,
menyampaikan, memindahkan (mendewankan) suatu hadis kepada orang lain. Ilmu
Hadis ini kemudian dikenal dengan nama Ilmu Hadis Riwayah (Ilmu Riwayah
Hadis).
II. Ulumul Hadis Dalam
Perspektif Epistimologi.
Ulumul Hadis
ditinjau dari perspektif Epistimologi nya, maka pembahasannya secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu cabang-cabang Ilmu Hadis dan
sejarah perkembangan Ilmu Hadis.
A. Cabang-cabang Ilmu Hadis.
Sebagaimana
telah dikemukakan diatas, pembagian Ilmu Hadis menurut Ulama Mutaakhriin secara
garis besarnya terdiri atas dua bagian yaitu Ilmu Riwayah Hadis (ilmu
Hadis Riwayah) dan Ilmu Dirayah Hadis (ilmu Hadis Dirayah).
1. Ilmu Riwayah Hadis.
Kata
Riwayah secara bahasa diartikan sebagai periwayatan atau cerita. Secara
terminologinya, yang dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah adalah “Ilmu yang
menukilkan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW. Baik beupa perkataan,
perbuatan, takrir, maupun sifatnya. Begitu juga yang menukilkan segala yang
disandarkan kepada sahabat dan tabi’in”.[6]
Defenisi
tersebut mengacu kepada rumusan hadis secara luas. Sedangkan yang mengacu
kepada rumusan hadis secara sempit, maka Ilmu Hadis Riwayah diartikan sebagai
segala yang disandarkan kepada Nabi SAW. Semata.
Dari
definisi tersebut, dapat difahami bahwa yang menjadi objek pembahasan dari Ilmu
Hadis Riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan,dan memindahkan
(mendewankan) suatau hadis kepada orang lain. Ilmu ini tidak membicarakan
tentang syadz (kejanggalan) serta
illat (kecacatan) matan hadis.[7] Demikian
pula ilmu ini tidak membicarakan tentang kualitas para perawi baik dari segi
keadilannya, kedabitan ataupun kepasikannya.[8]
2. Ilmu Hadis Dirayah
Sebagian
Ulama mendifinisikan Ilmu Dirayah Hadis sebagai;
“Ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam,
dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi. Baik
syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan
dengannya”.[9]
Dari definisi
ini dapat diketahui bahwa objek pembahasan Ilmu Hadis Dirayah adalah
keadaan para perawi dan marwi’nya. Keadaan para perawi meliputi
baik yang menyangkut pribadinya, keadaan hapalannya, maupun yang menyangkut
persambungan dan terputusnya sanad. Sedang keadaan marwi yang dimaksud adalah
sudut keshahihan, kedaifan serta sudut-sudut lain yang berkaitan dengan keadaan
matan. Dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ini, pada perkembangan
berikutnya muncullah cabang-cabang ilmu hadis lain seperti ; Ilmu Rijalil
Hadis, Ilmu Jarhi Wat Takdil, Ilmu Illail Hadis, Ilmu Nasil Wal Mansuh, Ilmu
Asbabil Wurudil Hadis, Ilmu Talfikil Hadis, dan lain-lain.
a. Ilmu Rijalil Hadis
Ilmu
Rijlil Hadis adalah;
علم يبحث فيه عن رواة الحديث من الصحابة والتابعين ومن
بعدهم
Artinya; Ilmu yang membahas tentang
para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.[10]
Dengan
mempelajari ilmu ini, kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima
hadis dari Rasullah, serta keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat
dan seterusnya.[11]
Dalam ilmu ini diterangkan sejarah ringkas dari riwayat hidup para perawi,
mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam
menerima hadis.
Kitab yang
disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat
ringkas para sahabat, menerangkan riwayat umum para perawi-perawi, menerangkan
para perawi yang dipercayai saja, menerangkan riwayat para perawi yang dianggap
lemah atau mudallis atau para pemuat hadis maudu’ dan lain-lain.
Diantara para Ulama yang telah menyusun
riwayat ringkas para sahabat adalah Al-Bukhari (256 H), Ibnu Abdil Barr
(463 H) dengan kitabnya Al-Istiab.
Pada permulaan
abad ke Tujuh Hijriah, Izuddin Ibn Atsir (630 H) mengumpulkan kitab yang telah
disusun sebelum masanya dan dinamai Usdul Gabah. Pada abad ke Sembilan
Hijriah, Al-Hafid Ibn Hajar menyusun sebuah kitab yang diberi nama Al-Ishabah.
Kitab ini merupakan kumpulan dari kitab Al-Istiab dan Usdul Gabah dan
ditambah dengan apa yang tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut.
b. Ilmu Jarhi Wat
Takdil.
Ilmu
Jarhil Wat Takdil pada hakikatnya
merupakan suatu bagian dari Ilmu Rijalil Hadis. Akan tetapi, karena
bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai
ilmu yang berdiri sendiri. Dari penamaannya saja maka kita dapat mengetahui
bahwa pembahasan dalam ilmu ini adalah meliputi catatan yang dihadapkan pada perawi dan
tentang penakdilannya serta kata-kata yang dipakainya begitu juga martabat dari
kata-kata tersebut. Mempelajari ilmu ini sangatlah baik agar seseorang dapat
terhindar dari riwayat-riwayat yang dianggap datangnya dari Nabi atau para
sahabatnya padahal hanyalah merupakan riwayat-riwayat palsu yang sengaja dibuat
oleh orang-orang yang tidak senang terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya.
Diantara para
sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis adalah Ibn Abbas (68 H),
Ubadah Ibn Shamit (34 H), Anas Ibn Malik (93 H), dan lain-lain. Dari kalangan berakhir
masa tabi’in yaitu sekitar tahun 150 H, para ahli mulai menyebutkan
keadaan-keadaan para perawi, menardil dan menajrihkan mereka.
Diantara Ulama yang besar yang memberikan perhatian dalam bidang ini adalah
Yahya Ibn Said Al-Khattan (189 H), Abdurrahman Ibn Mahdi (198 H), serta
ulama-ulama berikutnya.
Kitab yang
disusun mengenai jarah dan taqdil , ada beberapa macam. Ada yang
menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, menerangkan orang yang lemah atau
menaldiskan dan ada pula yang melengkapi keduanya. Diantara kitab yang
melengkapi semua itu adalah kitab Thabaqat yang disusun oleh Muhammad
Ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H).
c. Ilmu Illail Hadis.
علم يبحث فيه عن أسباب غامضة خفية قادحة فى صحة الحديث
“Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembuyi, tidak
nyata yang dapat mencacatkan hadis”.[12]
Yang dimaksudkan
dalam ilmu ini adalah menyambung yang mungqati, merafa’kan yang mauquf,
memasukkan suatu hadis kedalam hadis yang lain, dan yang serupa dengan itu
semua. Bila diketahui , maka dapat merusakkan keshahihan hadis.
Diantara
Ulama yang menulis ilmu ini ialah Ibn Mandini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H),
kitab beliau dinamai Kitab Illail Hadis. Selain itu Ulama yang menulis
kitab ini adalah Al-Imam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H), dan Muhammad Ibn
Abdillah Al-Hakim.
d. Ilmun Nasil wal
Mansuh.
علم يبحث فيه عن الناسخ والمنسوخ من الأحاديث
“Ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan
yang menasihkannya”.[13]
Apabila didapati
suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan pelawanan maka hadis
tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya,
tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis tersebut dinamai Mukhatakiful
Hadis.
Jika tak mungkin
dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian dinamai Nasih
dan yang terdahulu dinamai Mansuh.[14]
Banyak ahli yang
menyusun kitab Nasih dan Mansuh diantaranya adalah; Ahmad Ibn Ishak
Ad-Dinary (318 H), Muhammad Ibn Bahar Al-Asbahani (322 H), Ahmad ibn Muhammad
An-Nahhas (338 H), Muhammad ibn Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitab yang
dinamai Al-Iktibar, yang kemudian diringkaskan oleh Ibn Abdil Haq (744
H).
e. Ilmu Asbabi Wurudil
Hadis.
Ilmu
ini sangat pening diketahui karena dapat menolong kita dalam memahami hadis,
sebagaimana ilmu Asbabu Nuzul dapat membantu kita dalam memahami
Al-quran.
Ulama
yang mula-mula menyusun kitab ini dan
kitabnya ada dalam masyarakat adalah Abu Hafas Ibn Umar Muhammad ibn Raja
Al-Ukhbari. Kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibn Muhammad, yang terkenal
dengan nama Ibnu Hamzah Al-Huzaini (1120 H), dalam kitabnya Al-Bayan
Wat-Tarif dan dicetak pada tahun 1329 H.[15]
f. Ilmu Talfikil Hadis.
Ilmu
Talfikil Hadis ialah suatu ilmu yang membahas
tentang cara mengumpulkan suatu hadis yang isinya berlawanan. Ilmu ini dinamai
juga Ilmu Mukhaliful Hadis. Diantara Ulama besar yang berusaha menyusun
ilmu ini ialah; Al-Imam Syafi’I (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321
H), dan lain-lain. Kitabnya bernama At-Tahqiq yang kemudian disyarahkan
oleh Al-Ustadz Ahmad Muhammad Syakir.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis.
Pada
dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis
didalam Islam, terutama setelah Rasulullah SAW. Wafat. Hal ini disebabkan
karena Umat Islam merasa adanya kekwatiran akan hilang dan lenyapnya
hadis-hadis Nabi. Para sahabat kemudian mulai
giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah mulai
mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadis,
namun mereka belumlah mulai menuliskan kaidah-kaidah tersebut.[16]
Pada
masa Tabi’in Ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah
Ibnu Shihab Az-Zuhri (51-124 H). Sehubungan dengan keahliannya dalam bidang
hadis, dan kedudukan dirinya sebagai pengumpul hadis atas perintah resmi dari
Khalifah Umar ibn Abdul Azis. Pada saat tersebut, ilmu hadis sudah mulai nampak
meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang simple dan sederhana. Pada
perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan oleh para Ulama
yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriah, baik yang mengkhususkan diri
dalam mempelajari bidang hadis maupun dalam bidang-bidang lainnya. Dalam hal
ini, dapat dilihat misalnya para Ulama dari Imam Mazhab Fiqh juga turut
membicarakan dan menyusun ilmu ini (ilmu Hadis). Terlebih lagi mengalami
perkembangan setelah munculnya para Ulama Mudawwin Hadis, seperti Imam
Malik ibn Anas, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’I, dan Ibn
Majah.[17]
Dalam
catatan sejarah perkembangan Ulumul Hadis diketahui, bahwa ulama yang
pertama kali menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap
adalah seorang Ulama Sunni bernama Al-Qodhi
Abu Muhammad Al-Hasan ibn Abdurrahman ibn Khalad ar-Ramahurmuzi (w.
tahun 360 H). Kitabnya diberi nama Al-Muhaddis Al-fasil Bainal Al-Rawi
Al-Wa’i. Kitab ini belum mencakup seluruh ilmu hadis, namun meskipun
demikian kitab ini pada masanya merupakan kitab terlengkap yang kemudian
dikembangkan oleh para Ulama berikutnya.[18]
Pada
perkembangan berikutnya disusun sebuah kitab ilmu Hadis yang bernama
“Al-Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah” oleh Al-Khatib Al-Bagdadi Abu Bakar ibn
Ahmad bin Ali (w. tahun 463 H). Kitab ini membahas tentang pedoman-pedoman
dalam periwayatan hadis dengan menjelaskan prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah
dalam periwayatan hadis serta mazhab para Ulama dalam masalah yang mereka
perselisihkan. Perkembangan berikutnya muncul Kitab Al-Ilm Fi Ulum
Ar-Riwayah Wa As-Sima’ karya Qadi Iyad ibn Musa Al-Yahsubi (w. tahun 544
H).
Pada
permulaan abad ke-14 H, Umat Islam terbangkitkan oleh sejumlah kekwatiran yang
setiap saat bisa muncul akibat persentuhan antara dunia Islam dengan dunia
Timur dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi, serta kolonialisme
pemikiran yang lebih jahat dan lebih bahaya. Kondisi ini, menuntut
disusunya kitab-kitab yang membahas seputar informasi tersebut, guna menyanggah
kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Maka tersusunlah kitab Ulumul
Hadis seperti;
1. Qawaid At-Tahdis
karya Syeh Jamaluddin Al-Qasimi.
2. Miftah As-Sunnah atau Tarikh Fanun
Al-Hadis Karya Abdul Azis Al-Khuli.
3. As-Sunnah Wa Makanatuha Fi At-Tasyri’
Al-Islami karya Dr. Mustafa As-Siba’i.
4. Al-Hadis Wa Al- Muhaddisun
karya Dr. Muhammad Abu Zahw.
Dari
penjelasan tersebut dapat difahami bahwa sejarah Ulumul Hadis sudah
dimulai sejak zaman para sahabat, setelah Rasulullah SAW. meninggal dunia,
walaupun pada masa tersebut ilmu hadis belumlah disusun dalam bentuk buku.
Selanjutnya mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman, sebagai
bentuk penyempurnaan sekaligus jawaban atau sanggahan dari fitnah yang
dilontarkan oleh orang-orang yang memusuhi Islam dan ajarannya.
III. Ulumul Hadis Dalam
Perspektif Aksiologis.
Membahas
Ilmu Hadis dari pespektif aksiologisnya, tentunya kita tidak bisa lepas
dan bahkan sangat erat kaitannya dengan pembahasan Ilmu Hadis Dirayah dan
Ilmu Hadis Riwayah. Hal ini disebabkan karena kita ingin melihat mamfaat
atau faedah dari mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Sesuai dengan pembahasan
sebelumnya, dapat kita lihat bahwa diantara faedah atau mamfaat mempelajari
Ilmu-ilmu Hadis adalah;
1. Kita dapat mengetahui pertumbuan dan
perkembangan Hadis dan Ilmu Hadis dari
masa kemasa, sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang.
2. Kita dapat mengetahui tokoh-tokoh
beserta usaha-usahanya yang telah mereka
lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan sebuah hadis.
3. Kita dapat mengetahui kaidah-kaidah yang
dipergunakan oleh para Ulama dalam mengklasifikasikan sebuah hadis.
4. Kita dapat mengetahui istilah-istilah,
nilai-nlai, dan kriteria-kriteria hadis yang akan dijadikan sebagai pedoman
dalam beristinbat.
5. Kita dapat mengetahui nama-nama hadis
yang maqbul (dapat diterima).
6. Kita dapat mengetahui nama hadis yang
seharusnya ditolak (mardud).
7. Kita dapat mengetahui nama-nama hadis
yang belum dapat diterima dan belum bisa menolaknya (hadis yang seharusnya
ditawakufkan) sehingga mendapat kejelasan.
8. Kita dapat terhindar dari kebongan
riwayat-riwayat yang bukan datangnya dari Nabi ataupun para sahabat. Dan masih
terlalu banyak mamfaat dan faedah yang dapat kita ambil dalam mempelajari
Ilmu-Ilmu Hadis.
Dari
beberapa mamfaat dan faedah yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa
mamfaat mempelajari Ilmu Hadis
Dirayah adalah untuk dapat mengetahui kualitas sebuah hadis, apakah ia Maqbul
ataukah Mardud baik dilihat dari sudut sanad ataupun matannya.
Sedangkan
tujuan dan faedah mempelajari Ilmu Hadis Riwayah adalah sebagai bentuk
pemeliharaan terhadap hadis Nabi SAW agar tidak lenyap atau hilang, serta
terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatan, penulisan
ataupun pembukuannya. Dengan demikian , hadis-hadis Nabi SAW dapat terpelihara
kemurniannya dan dapat diamalkan hukum-hukum serta tuntunan yang terkandung
didalamnya. Hal ini senada dengan perintah Allah SWT agar menjadikan Nabi
Muhammad SAW sebagai ikutan dan suri teladan dalam kehidupan ini, sebagaimana
Firman Allah dalam Q.S. al-Ahzab; 21
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا
Artinya; Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri telada yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.[20]
B AB III
P
E N U T U P
I. Kesimpulan
Dari
beberapa pokok permasalahan yang telah diuraikan diatas, penulis menarik
kesimpulan sebagai berikut;
a. Bahwa ulumul Hadis ditinjau dari
aspek ontologisnya adalah merupakan kumpulan dari beberapa ilmu-ilmu hadis yang
pernah berdiri sendiri pada masa Ulama Mutakadimin, lalu kemudian
dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang disebut Ulumul Hadis.
b. Bahwa Ulama Mutaakhirin secara
umum membagi Ulumul Hadis kepada dua bagian yaitu Ilmu Dirayah Hadis
(Ilmu Hadis Dirayah) dan Ilmu Riwayah Hadis (Ilmu Hadis Riwayah).
c. Manfaat mempelajari ilmu-ilmu Hadis
sangatlah banyak, diantaranya adalah menghindari adanya penukilan Hadis yang
salah dari sumber pertamanya yaitu Nabi SAW. Serta bagaimana mempertahankan
hadis-hadis Nabi SAW sebagai sumber hukum kedua bagi Umat Islam, dari serangan
orang-orang yang tidak senang terhadap Nabi SAW. beserta ajaran-ajarannya.
II. Saran-saran
Dengan
penuh kesadaran penulis meyakini masih telalu banyak kesalahan dan kekhilafan
dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu penulis memohon sara dan kritikan
yang sifatnya membangun guna kesempurnaan penyusunan makalah dihari-hari
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwikarta,
Endang Soetari, Al-Takhrij: Sebuah Metode Sebuah Hadis,. 30 April 2005
Ahmad,
Muhammad., dkk, Ulumul Hadis, Cet. III; CV. Pustaka Setia: Bandung,
2004.
As-Shalih,
Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Cet. V; Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002.
Azami,
M. M., Memahami Ilmu Hadis-Telaah Metodologi dan Literatur Hadis, (Cet.
III; Jakarta: Lentera Basritama, 2003.
Khaeruman,
Badri, Otentitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet.
I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004
Ranuwijaya,
Utang, Ilmu Hadis, Cet. IV; Gaya Media Pratama: Jakarta, 2001.
Salim,
Amr Abdul Mun’im, Taysir Ulum Al-Hadis Lil Mubtadi’in; Mudzakkirat
Ushul Al-Hadis Lil Mubtai’in, Maktabah
Ibn Taymiah: Kairo, 1997.
Suparta,
Mundzier, Ilmu Hadis, Edisi 1-4., PT. Raja Grfindo Persada: Jakarta,
2006.
Yuslem,
Nawir, Ulumul Hadis, PT. Mutiara Sumber Widya: Jakarta, 2001.
[3] Muhammad
Ahmad dan Mudzakkir, Ulumul Hadist, ( Cet. III, CV. Pustaka Setia;
Bandung, 2004), h. 12
[4]Amr
Abdul Mun’im Salim, Taysir Ulum Al-Hadist Lil Mubtadi’in, Mudzakkirat, Ushul
Al_Hadist Lil Mubtadi’in, (Maktabah Ibnu Taimiyah: Kairo, 1997), h. 6
[8] M.
M. Azami, Memahami Ilmu Hadist- Telaah Metodologi dan Literatur Hadist,
(Cet.III; Jakarta: Lentera Basritama, 2003), h. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar