Revisi
Makalah
TEKHNIK
PERIWAYATAN HADIS
Makalah Disampaikan dalam Seminar
Mata
Kuliah Ulumul Hadis Semester I PPs
UIN Alauddin Makassar
Oleh
AGUSSALIM
NIM: 80100209009
Dosen Pemandu;
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdianah.
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA S2
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2009/2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alqur’an
merupakan sumber ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT, sedangkang hadis adalah
merupakan sumber kedua sekaligus sebagai penjelasan (Bayan) dari Alqur’an yang berasal dari nabi Muhammad SWT baik
melalui perkataan (Qauliyyah) ialah
yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum ( syari’at), akhlaq, akidah, pendidikan
dan sebagainya.[1] Perbuatan (Fi’liyah)
yang merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan- peraturan syariat yang
belum jelas cara pelaksanaannya,[2]
dan takrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan
atau menyetujui apa yang dilakukan atau
apa yang diperkatakan sahabat dihadapan beliau.[3]
Untuk
Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang
mutlak kebenarannya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipastikan periwayatannya
apakah berasal Nabi atau tidak[4]
apakah periwatannya dapat dipercaya atau tidak.
Adapun
dalam kondisi faktualnya terkadang manusia terbentuk dengan adanya hadis-hadis
yang dalam periwatannya tidak memenuhi kriteria tertentu atau yang lebih
dikenal hadis lemah atau tertolak baik dari segi sanad maupun matannya padahal
kedua aspek tersebut sangat menentukan apakah hadis itu dapat diterima atau
tidak. Sehingga dalam periwatan hadis ada yang dikenal dengan Ilmu hadis Riwayah ialah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara
penukiran, pemeliharaan dan pendewaan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi
Mihammadsaw. Baikberupa perkataan,perbuatan,ikrar maupun lain sebagainya.dan
ada juga yang dikenal dengan Imu Hadis
Dirayah yang merupakan undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal
ihwal, sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Al-Hadis,sifat-sifat
rawi dan sebagainya.[5]
Dari
uraian diatas maka perlu diketahui Tekhnik Periwayatan Hadis dari Nabi terhadap
sahabat dan cara sahabat meriwayatkan Hadis, sehingga dapat membedakan Hadis
yang shahih dan daif.
B. Rumusan masalah
Bertitik
tolak dari latar belakang pemikiran di atas maka dirumuskan masalah pokok ;
‘Bagaimana Tekhnik Periwayatan Hadis’ yang meliputi tiga aspek yaitu;
1. Bagaimana bentuk-bentuk
periwatan hadis dari Nabi ?
2. Bagaimana periwatan dan lafal
dan ma’na ? dan
3. Bagaimana Tahammul wa Ada’al-Hadis ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk-Bentuk Periwayatan Hadis
Dalam bahasa Indonesia, kata riwayat
yang berasal dari bahasa arab tersebut mempunyai arti, antara lain: cerita,
sejarah, Periwayatan adalah kata yang memperoleh awalan “me” dan akhiran “an”
yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun.[6] jadi
ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadis.yakni:1.kegiatan
menerima hadis dari periwatyatan hadis: 2. kegiatan menyampaikan hadis itu
epada orang lain:3. ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian
periwayatnya disebutkan.
Orang yang melakukan periwayatan hadis
dinamai al-rawiy (periwayat) apa yang diriwayatkan dinamai al-marwiy, susunan
rangkaian para periwayatnya dinamai sanad atau bisa juga disebut isnad dan
kalimat disebutkan sesudah sanad dinamai matan..
Menurut istilah ilmu hadis, yang
dimaksud al riwayah ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta
menyandarkan hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu.kata al-riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti
al-nagl (penukilan),al-zikr (penyebutan). Apabila kedudukan Nabi dihubungkan
dengan bentuk-bentuk hadis yang terdiri sabda, perbuatan, takrir dan hal
ihwalnya, maka dapat dikatakan bahwa hadis Nabi telah disampaikan oleh Nabi
sendiri dengan berbagai cara.[7]
Sebagaimana yang terdapat dalam suatu
riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk / cara-cara
sebagai berikut :
1. Cara lisan dimuka orang
banyak yang terdiri kaum laki-laki.
2. Pengajian rutin dikalangan
kaum laki-laki.
3. Pengajian diadakan juga
dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.[8]
Selain itu masih ada riwayat lain yang
menyatakan cara-cara Nabi menyampaikan hadisnya melalui yaitu :
1. Dengan lisan dan perbuatan
dihadapan orang banyak, dimesjid pada waktu malam dan subuh.
2. Hadis Nabi disampaikan
sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadis
dari masyarakat.
3. Hadis Nabi disampaikan dengan
cara lisan, tidak dihadapan orang yang banyak, berisi jawaban yang
diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban
Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4. Cara Nabi juga menyampaikan
hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap
sahabat,berupa takrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontohkan
langsung oleh Nabi.
5. Riwayat lain juga mengatakan cara
nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6. Dalam Bentuk lain juga Nabi
menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.[9]
Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan
hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, perbuatan,takrir
dan ihwal lainnya.
Berikut ini dikemukakan cara-cara Nabi
menyampaikan hadis sebagai berikut contoh-contohnya.[10]
1. Hadis-hadis dalam bentuk perkataan atau sabda.
a. Nabi
menyampaikan hadis dengan lisan dengan cara-cara sebagai berikut:
Pertama, dilakukan didepan orang banyak yang terdiri dari
kaum laki-laki; kedua, melalui pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki; ketiga, melalui pengajian rutin
dikalangan kaum perempuan, setelahkaum wanita memintanya; keempat
dilakukan dihadapan seorang petugas kemudian kepada orang banyak; kelima,tidak dilakukan dihadapan orang
banyak, merupakan jawaban atas pertanyaan sahabat, berupa tuntunan teknik suatu
kegiatan yang berkaitan dengan agama.
b. Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk
tertulis. Cara seperti ini dilakukan nabi misalnya ajakan memeluk islam kepada
berbagai kepala negara dan pembesar daerah yang non islam lewat surat,
perjanjian-perjanjian yang dilakukan Nabi dengan orang orang musyrik di Mekah
dan penduduk Madinah. Seperti perjanjian Hudaibiyyah dan piagam madinah.
2. Hadis berupa perbuatan dengan cara lisan dan
perbuatan. Cara ini dilakukan didepan orang banyak di mesjid pada waktu malam
dan subuh.
3. Hadis dalam bentuk takrir ini dengan cara
meminta penjelasan dari sahabat, dan berupa takrir atas amalan ibadah sahabat
yang belum pernah dicontohkan langsung oleh nabi.
4. Hadis dalam bentuk hal ihwal ini dengan cara
berupa keadaan nabi sesungguhnya bukan merupakan aktifitas nabi, karena
menyampaikan hadis nabi bersikaf pasif saja pihak aktif adakah para sahabat
nabi, dalam arti sebagai perekam terhadap keadaan nabi tersebut.
B. Periwayatan dengan Lafal dan Makna
Sebagaimana
para muhaddisin bersepakat bahwa periwayatan hadis harus sesuai dengan lafal
aslinya tanpa ada perubahan. Adapun tokoh yang dikenal dalam menjaga keaslian hadis
diantaranya: al-qasym bin muhammad, ibnu sirin dan Al-qadi Iyad. Menurut qadi
Iyat, seyogyanya periwayatan dengan makna ditutup rapat untuk menghindari
domibnasi orang-orang mengklaim dirinya cakap dalam periwayatan sebagaimana
yang terjadi pada banyak periwayat dulu dan sekarang.
Dalam
masalah ini, sebagian ulama ahli hadis, ahli fighih,dan ahli ushul besikap
ketat. Mereka mewajibkan periwatyatan hadis dengan lafadz, dan tidak
memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.[11]
Mayoritas
ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan
makna, tidak dengan lafadz, dengan syarat:
a. Bila ia
memahami bahasa arab dengan segala seluk beluknya;
b. Mengerti
makna-makna dan kandungan hadis; serta
c. Memahami kata yang bisa merubah makna dn kata
yang tidak merubahnya.[12] adakala para sahabat meriwayatkan hadis dengan
lafal aslinya dan adakala dengan maknanya saja, dan disini penulis akan lebih
memeperjelas cara-cara periwayatan hadis dengan lafal dan maknanya.
Demikian tadi periwayatan hadis dengan
lafal. Dan adapun periwayatan hadis dengan makna sebagaimana yang terdapat
dalam bukunya Hasbi Ash Siddieqy yang berjudul Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, sebagai berikut;
Adapun
bentuk-bentuk atau cara para sahabat meriwayatkan hadis sebagai berikut:
a. Adakala dengan
lafal asli, ya’ni menurut lafal yang mereka terima dari nabi yang mereka hafal
benar lafal dari nabi itu.
b. Adakala dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka
tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari nabi saw.[13]
Namun demikian Jumhur Ulama
berpendapat bahwa, boleh bagi perawi
hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila ia seorang yang
mengetahu bahasa arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun
kalmiat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui
pula hal-hal yang biasa merobahkan makna yang tidak merubahkannya, jika ia
bersifat demikian, bolehlah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia
dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perubahan makna
tersebut.[14]
Bukti
yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan ummat memperbolehkan
seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain
bahasa arab.
Bukti
lain adalah periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat
dan Ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna
dalam suatu masalah dengan beberapa
redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna
hadis bukan kepada lafalnya.[15]
Intinya
bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis
dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang megetahui hal-hal
yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan
makna. Semua Ulama sependapat menetapkan, bahawa orang yang demikian itu wajib
menyampaikan dengan hadis persis
sebagaimana yang ia dengarkanya.
AL-Imam
Asy Syafi’I telah menerangkan tentang siat-sifat perawi.
“Hendaklah orang yang menyampaikan
hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam
pembicaraanya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna dari lafal dan hendaknya dia dari orang yang menyapmpaikan
hadis persis bagaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena
apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahuinya
hal-hal yang memalingkan makna, niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada
yang haram.
Tetapi apabia menyampaikan hadis yang
secara didengarnya, tidaklah lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis
kepada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis
yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar
memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya.[16]
Seluruh
ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang
merisaukan makna hadis yang diriwayatkan
dengan makna, tidak boleh meriwayatkan
hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan
makna dan yang tidak merusakkan, maka Jumhur Ulama membolehkan dia
meriwayatkannya hadis dengan makna
dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu.
Dengan demikian sebagaimana pendapat.para
ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghindari kesalahan dalam meriwayatkan
hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari dengan makna.
C. Tahammul wa Ada’ al-Hadis
Tahammul
adalah kegiatan menerima atau mengambil hadis dari seorang guru, sedangkan Ada’
adalah meriwayatkan atau menyampaikan hadis kepada murid[17]
1.Syarat-Syarat Tahammul Al-hadis
Syarat-syarat yang dimaksud dalam penerimaan
hadis adalah kelayakan si penerima hadis, apakah disyaratkan islam dan balig
atau tidak
a. Tahammul
Anak kecil
Mayoritas
ulama membolehkan penerimaam hadis oleh anak kecil, sebahagian tidak
memperbolehkannya. ulama yang memperbolehkan Tahammul anak kecil beralasan
bahwa banyak dari dari kalangan sahabat, ta’biin dan ali limu menerima riwayat
sahabat yang masih berusia anak-anak, seperi hasan, Husain, Ibnu subair, Ibnu
abbas, Anas ibnu malik dan lain-lain. [18]
Bagi yang membolehkan
penerimaan anak-anak berbeda pandangan pada batas usia dibolehkannya. Ada yang
berpendapat usia minimal lima tahun, ada 15 tahun,[19]
dan ada yang tidak membatasi usia minimal yang penting anak tersebut sudah
tamyiz, maka dinilai sah penerimaan hadisnya.
b. Tahammul
Orang Kafir dan Orang Fasik
Jumhur Muhadisin berpendapat bahwa
seorang yang menerima hadis sewaktu masih dalam keadaan kafir atau fasik dapat
diterima periwayatannya,setelah memeluk islam dan bertobat.[20]
2. Ada’
al-Hadis
Berbeda dengan tahammul al-hadis,
mayoritas ulama sependapat bahwa orang yang meriwayatkan hadis dan riwayatnya
bisa dijadikan hujah harus memiliki persyaratan. Syarat-syarat dimaksud adalah
Islam, baligh, adil, dan dhabit.[21]
3. Tata cara Tahammul dan Ada’ al-hadis
Tata cara teknik periwayatan hadis
oleh ulama pada umumnya dibagi kepada delapan macam:
1. AL-Sama min Lafzh al-Syaikh.
Al-Sama di dasarkan kepada penerimaan
riwayat melalui proses penyimakan/mendengar langsung lafal hadis dari guru
hadis yang didiktekan atau disampaikan dalam pengajian berdasarkan hafalan atau
catatannya. Mayoritas ulama hadis menwempatkan tekhnik al-sama sebagai cara
tertinggi kualitasnya. Walaupun demikian tekhnik ini masih perlu dipersoalkan sebab
layak atau tidak dipercaya hasil pendengaran seseorang ditentukan oleh beebrapa
faktor, kepegangan alat pendengar, kejelasan suara, kesungguhan pendengar dan
kemampuan intelektual pendengar dalam memahami apa yang didengarnya.[22] Jadi
meskipun cara yang ditempuh dalam menerima riwayat adalah dengan cara al-sama,
tidak dengan sendirinya langsung . menduduki kualitas yang tertinggi.
2. AL-Qiraah al-Syaikh
Dikenal
juga dengan istilah al-aradh. Riwayat membacakan atau dibacakan sebuah riwayat
dihadapan seorang guru hadis. Riwayat hadis yang disampaikan bisa saja berasal
dari catatannya atau hafalannya. Kemudian guru hadis tadi menyimak melalui
hafalan atau catatannya sendiri.
Kata yang dipakai dalam periwayatan
cara al-qira’ah adalah: qara’atu ala fulan, ana asmau fa akarrabih.
3. Al-Ijazah
Al-Ijazah adalah pemberian izin seorang guru hadis kepada seseorang
untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya tanpa harus membacakan hadis satu
persatu,[23] dengan lisan atau
tertulis. Periwayatan dengan cara al-ijazah ada dua: ijazah bersama
al-munawalah dan ijazah mujarradah.
Ijazah bersama al-munaalah ada dua macam bentuk:
a. Seorang guru hadis menyodorkan hadis kepada
murid kemudian mengatakan: Anda saya beri ijazah unuk meriwayatkan hadis yang
telah saya peroleh ini.
b. Murid yang
menyodorkan hadis kepada guru hadis, lalu memeriksanya kemudian mengatakan
“Hadis ini telah saya peroleh dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah
untuk meriwayatkannya dari saya.[24]
Oleh karena itu tekhnik ini sama engan
secara al-sama dan ada juga yang menilainya sama dengan al-qiraah.[25]
Periwayatan dengan ijazah mujarradah
adalah orang tertentu untuk hadis tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya
atau hadis tertentu untuk orang yang tidak tertentu. Kata-kata yang dipakai
untuk cara al-ijazah adalah Haddatsanah ijazah, HaddatsanahIsna atau ijazaliy.[26]
4. Al-munawalah
Tekhik ini dilakukan dengan cara
seorang guru hadis memberikan sebuah atau beberapa hadis ataukah sebuah kitab
hadis kepada seorang murid seraya mengatakan “inilah hadis yang telah saya
riwayatkan.[27]
Al-munawalah ada dua bentuk:
a. Al-munawalah al-mujarradah an-al-ijazah
(munawwalah yang tidak disertai dengan ijazah ) dimana guru memberikan kitab
hadis kepada muridnya tanpa disertai pernyataan tentang kebolehan
meriwayatkannya
b. Al-munawwalah
al-magrunah bi al-ijazah (munawwalah yang disertai dengan ijazah). Ulama pada
umumnya tidak membolehkan periwayatan dengan munawwalah tanpa ijazah. Lafal
yang dipergunakan dalam cara ini adalah: Nawalna atau nawalni.
5. Al-mukatabah
Al-mukatabah dimana seorang guru
menuliskan sendiri atau meminta kepada orang lain menulis darinya sebagian
hadis yang diriwayatkannya untuk muridnya atau orang tertentu yang mungkn saja
tidak berada dihadapannya tetapi berada ditempat lain.[28]
Periwayatan al-mukatabah ada dua macam
:a) Al-mukatabah yang disertai dengan ijazah. b) Al-mujatabah yang tidak
disertai dengan ijazah. perbedaan al-munaalah dengan al-mukatabah adalah bahwa
dalam almuktabah ketika hadis dicatat sudah ada maksud untuk memberikan kepada orang
tertentu sedangkan al-munawalah yang tertulis.
6. Al-I’lam
Seorang
guru memberitahukan kepada muridnya hadis atau kitab hadis yang telah
diterimanya dari seorang periwayat tanpa diikuti pernyataan agar muridnya
meriwayatkan darinya.[29]Ulama
berbeda pendapat mengenai kebolehan periwayatan dengan al-I’lam. Yang
membolehkan alasannya bila dengan cara al-sama’ dan al-qiraah dinyatakan sah
meski tanpa iazah maka cara i’lam juga harus diakui.sedangkan yang melarang
menganggap bahwa hadis yang diriwayatkan mempunyai cacat sehingga gurunya tidak
memberikan izin untuk meriwayatkannya.
7. Al-Washilah
Seorang
guru mewasiatkan sebuah kitab hadis kepada muridnya untuk meriwayatkannya.
Waktu dia memberikan wasiat mungkin sebelum ia meninggal atau bepergian
ketempat lain. Kata yang dipakai adalah Ausa Hayya atau yang semakna dengannya.
8. Al-Wijadah
Al-wijadah
adalah seseorang yang mendapati sebuah hadis yang telah ditulis oleh
periwayatnya yang bisa saja semasa ataupun tidak semasa, pernah bertemu atau
tidak dan pernah atau tidak pernah meriwayatkan hadis dari penulisnya. Pernyataan
yang bisa dipakai dengan cara Al-wijadah adalah wajadtu bi khatt fulan
haddatsana fulan atau wajadtu fi ktabi fulan bi kghattihi.
Periwayat
hadis yang sighad: memiliki tingkatan akurasi yang tinggi karena dapat
dipercaya riwayatnya. Bagi periwayatan yang tidak sighad perlu penelitian ulang
apaakah dari kualitas pribadinya atau intelektualnya. Dalam hubungan sanat
kualitas periwatyat sangat menentukan. Selain itu ada periwayat tan dinilai
sighad, oleh ulama ahli kritis hadis. Namun dengan syarat dia menggunakan lambang
periwayatan haddasani atau sami’tu sanadnya bersambung.[30]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang “Tekhnik
Periwayatan Hadis” Dan kaitan dengan bentuk-bentuk Periwayatan hadis dari Nabi,
Periwayatan dengan lafal dan makna, dan Tahammul
wa Ada’Hadis. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Periwayatan hadis dari Nabi dan para sahabat,
sebagaimana kita ketahui bahwa Muhammad sbagai Nabi dan Rasul terkadang menurut
suatu riwayat bahwa beliau terkadang menyampaikan Hadis dengan cara pengajian
secara rutin dihadapan orang banyak dan secara lisan. Sedangkan para sahabat
dalam menyampaikan riwayat hadis adakala dengan lafal asli dan adakalanya
dengan makna saja.
2. Menurut para Ulama Periwaayatan hadis dengan
lafal lebih kuat kebenarannya dari pada makna.
3. Adapun
tingkatan-tingkatan Tahammul ialah dengan
Sima,’ Munawalah (menyerahkan) Ijazah
tanpa munawalah, yakni seorang guru membolehkan murid untuk meriwayatkan hadis
dari gurunya, Munawalah tampa ijazah
yakni seorang guru menyerahkan kitab kepada muridnya seraya berkata,”ini hadis
yang saya dengar.”I’lam yakni seorang guru berkata muridnya,”Kitab ini yang
saya dengar,”tanpa memberi izin meriwayatkan, Wasiat yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang
meninggalnya berwasiat dengan sebuah kitab kepada salah seorang muridnya, Wijadah, yakni AL-Muhaddis menemukan
hadis atau kitab yang ditulis Ulama yang dikenal adil dan dhabit.Kemudian seorang
muhaddits berkata,”Saya temukan
tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,”tanpa
mengatakan, “Saya mendengar atau ia mengijazikan kepadaku.
Demikian
pembahsan ini semoga dapat memberikan gambaran secara global tentang teknik
periwayatan hadis dan saya hanya bisa berharap muda-mudahan saya telah diberi
taufiq oleh Allah SWT. Dalam penulisan makalah ini dengan mengerahkan seluruh
kemampuan yang saya miliki.
“Tidak ada taufiq bagiku kecuali dngan pertolongan
Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-nyalah aku kembali.”
DAPTAR
PUSTAKA
Ash Shiddiqieqi Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Jakarta: Penyebaran Buku-buku,1995.
. .........................,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jilid. 11.Cet,1; Jakarta: Bulan
Bintang,1958.
Athhan Mahmud,
Taisyir Musthalahul Hadis, tt: Dar-Fikr, t.th.
Azami Muhammad Mustafa, Dirasat Fi al-Hadits al-Nabawi, dierjemahkan oleh H.Ali Mustafa
Yakub, M.A. dengan judul Hadis Nabawi dan
sejarah kondifikasinya Cet,1;Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994.
Chumaidy A Zarkasyi, Metologi penetapan Keshahihan Hadis Cet.1;Bandung: CV.Pustaka,Setia1998.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia Cet. 11;
Jakarta: Bali Pustaka,1990.
Mukammil, Makalah Ulumul hadis, Makassar: Perogram Pascasarjana UIN Alauddin Makassar,
2005.
Nuruddin ‘Itr, Manhaj
An-Naqd Fi ‘Ulum Hadis, Diterjemahkan oleh Drs. H. Endang Soetari Ad, Ulum AL-Hadis 1 Cet. 1; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Muhammad Sakri Ahmad, Ihtisar Ulum AL-Hadis, Berut:Dar Kutub Ilmiah, t.th.
Rahman Fathur, Ikhtisar
Mustahalul Hadis Cet. 1; Bandung:
PT. Alma’arif,1974.
Khatib Al-Ajaj, usul al-hadis pokok-pokok ilmu
hadis,ter. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafig (Cet.111;jakarta:Gaya media
pratama 2003).
[2] Ibid., h. 22.
[3] Ibid., h. 24.
[4] Mukammil, Makalah Ulumul
hadis, (Makassar: Perogram Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2005), h. 1
[5] Op. cit., h. 73-74.
[6]Suhudi ismail, kaedah-kaedah
kesahihan sanad hadis ialah kritis dan pendekatan dengan ilmu sejarah
(cet.111;jakarta: Bulan Bintang. 2005) h.23
[7] Lihat suhudi ismail, op cit h.24
[8] W. Montgmery Watt, Muhammad prophet and statemen, diteremahkan oleh
suhudi ismail; kaedah-kaedah kesahihan sanad hadis telaah kritis dan pendekatan
dengan ilmu sejarah(Cet,11; jakarta:Bulang Bintang, 1995) h. 29
[9] Ibid., h. 31-34.
10 Ibid h 60-69 .
[11] .suhudi ismail, op. cit.,. h.30-35
[12] Ajaj Al-Khatib, usul hadis pokok-pook hadis, ter qadirun nur
(Cet,111;Jakarta:Gaya media Pratama. 2003). H. 216
13. Gasbi Ash- Shiddigiegi, sejarah dan pengantar ilmu hadis
(Jakarta: penyebaran buku-buku, 1995). H. 63
14. Ibid. h. 32
15. Ibid. h. 30-35.
[16] Ibid. h. 352
[17] Op cit, h. 73-74
[18] Mahmud Tahhan Taisyir, mushtlaah al hadis(kuait tp, tt) h.109
[19] Ajaj op cit., h. 201
[20] Fathur Rahman op cit h. 241
[21] Ajaj op cith. 202
[22] Ibid. h.202-203
[23] Ibid h. 52
[24] Suhudi Ismail, op cit., h.59
[25] Abu Umar Usman bin Abd al-Rahman al-salah. Ulumul al-hadis
(al-madinah al-munawwarah : al-makthabat al-ilmiah. 1972). H. 127
[26] Syuhudi ismail. Loc. Cit.
[27] Ajaj.op. cit., h. 207
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Syuhudi ismail op cit h.84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar