Daftar Pustaka

Sabtu, 13 Oktober 2012

Tekhnik Periwayatan Hadits



Revisi Makalah

UINTEKHNIK PERIWAYATAN HADIS








Makalah Disampaikan dalam Seminar
Mata Kuliah Ulumul Hadis Semester I PPs 
UIN Alauddin Makassar

Oleh

AGUSSALIM
NIM: 80100209009


Dosen Pemandu;
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdianah.
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag.



PROGRAM PASCASARJANA S2
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2009/2010

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Alqur’an merupakan sumber ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT, sedangkang hadis adalah merupakan sumber kedua sekaligus sebagai penjelasan (Bayan) dari Alqur’an yang berasal dari nabi Muhammad SWT baik melalui perkataan (Qauliyyah) ialah yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum ( syari’at), akhlaq, akidah, pendidikan dan sebagainya.[1] Perbuatan  (Fi’liyah) yang merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan- peraturan syariat yang belum jelas cara pelaksanaannya,[2] dan takrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang dilakukan  atau apa yang diperkatakan sahabat dihadapan beliau.[3]
            Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenarannya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipastikan periwayatannya apakah berasal Nabi atau tidak[4] apakah periwatannya dapat dipercaya atau tidak.
            Adapun dalam kondisi faktualnya terkadang manusia terbentuk dengan adanya hadis-hadis yang dalam periwatannya tidak memenuhi kriteria tertentu atau yang lebih dikenal hadis lemah atau tertolak baik dari segi sanad maupun matannya padahal kedua aspek tersebut sangat menentukan apakah hadis itu dapat diterima atau tidak. Sehingga dalam periwatan hadis ada yang dikenal dengan Ilmu hadis Riwayah ialah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukiran, pemeliharaan dan pendewaan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Mihammadsaw. Baikberupa perkataan,perbuatan,ikrar maupun lain sebagainya.dan ada juga yang dikenal dengan Imu Hadis Dirayah yang merupakan undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal, sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Al-Hadis,sifat-sifat rawi dan sebagainya.[5]
            Dari uraian diatas maka perlu diketahui Tekhnik Periwayatan Hadis dari Nabi terhadap sahabat dan cara sahabat meriwayatkan Hadis, sehingga dapat membedakan Hadis yang shahih dan daif.
B. Rumusan masalah      
            Bertitik tolak dari latar belakang pemikiran di atas maka dirumuskan masalah pokok ; ‘Bagaimana Tekhnik Periwayatan Hadis’ yang meliputi tiga aspek yaitu;
1.      Bagaimana bentuk-bentuk periwatan hadis dari Nabi ?
2.      Bagaimana periwatan dan lafal dan ma’na ? dan
3.      Bagaimana Tahammul wa Ada’al-Hadis ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk-Bentuk Periwayatan Hadis
Dalam bahasa Indonesia, kata riwayat yang berasal dari bahasa arab tersebut mempunyai arti, antara lain: cerita, sejarah, Periwayatan adalah kata yang memperoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun.[6] jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadis.yakni:1.kegiatan menerima hadis dari periwatyatan hadis: 2. kegiatan menyampaikan hadis itu epada orang lain:3. ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.  
Orang yang melakukan periwayatan hadis dinamai al-rawiy (periwayat) apa yang diriwayatkan dinamai al-marwiy, susunan rangkaian para periwayatnya dinamai sanad atau bisa juga disebut isnad dan kalimat disebutkan sesudah sanad dinamai matan..
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud al riwayah ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta menyandarkan hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.kata al-riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-nagl (penukilan),al-zikr (penyebutan). Apabila kedudukan Nabi dihubungkan dengan bentuk-bentuk hadis yang terdiri sabda, perbuatan, takrir dan hal ihwalnya, maka dapat dikatakan bahwa hadis Nabi telah disampaikan oleh Nabi sendiri dengan berbagai cara.[7]
Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk / cara-cara sebagai berikut :
1.      Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri kaum laki-laki.
2.      Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.
3.      Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.[8]
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi menyampaikan hadisnya melalui yaitu :
1.      Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, dimesjid pada waktu malam dan subuh.
2.      Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadis dari masyarakat.
3.      Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang yang banyak, berisi jawaban yang diajukan  oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4.      Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat,berupa takrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontohkan langsung oleh Nabi.
5.      Riwayat lain juga mengatakan cara nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6.      Dalam Bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.[9]
Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, perbuatan,takrir dan ihwal lainnya.
Berikut ini dikemukakan cara-cara Nabi menyampaikan hadis sebagai berikut contoh-contohnya.[10]                                                                                                 
1. Hadis-hadis dalam bentuk perkataan atau sabda.
    a. Nabi menyampaikan hadis dengan lisan dengan cara-cara sebagai berikut:
Pertama, dilakukan didepan orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki;      kedua, melalui pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki; ketiga, melalui pengajian rutin dikalangan kaum perempuan, setelahkaum wanita memintanya;                                                                                   keempat dilakukan dihadapan seorang petugas kemudian kepada orang banyak; kelima,tidak dilakukan dihadapan orang banyak, merupakan jawaban atas pertanyaan sahabat, berupa tuntunan teknik suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.                                                                                                                   
    b. Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk tertulis. Cara seperti ini dilakukan nabi misalnya ajakan memeluk islam kepada berbagai kepala negara dan pembesar daerah yang non islam lewat surat, perjanjian-perjanjian yang dilakukan Nabi dengan orang orang musyrik di Mekah dan penduduk Madinah. Seperti perjanjian Hudaibiyyah dan piagam madinah.
2. Hadis berupa perbuatan dengan cara lisan dan perbuatan. Cara ini dilakukan didepan orang banyak di mesjid pada waktu malam dan subuh.
3. Hadis dalam bentuk takrir ini dengan cara meminta penjelasan dari sahabat, dan berupa takrir atas amalan ibadah sahabat yang belum pernah dicontohkan langsung oleh nabi.
4. Hadis dalam bentuk hal ihwal ini dengan cara berupa keadaan nabi sesungguhnya bukan merupakan aktifitas nabi, karena menyampaikan hadis nabi bersikaf pasif saja pihak aktif adakah para sahabat nabi, dalam arti sebagai perekam terhadap keadaan nabi tersebut.       
B. Periwayatan dengan Lafal dan Makna
            Sebagaimana para muhaddisin bersepakat bahwa periwayatan hadis harus sesuai dengan lafal aslinya tanpa ada perubahan. Adapun tokoh yang dikenal dalam menjaga keaslian hadis diantaranya: al-qasym bin muhammad, ibnu sirin dan Al-qadi Iyad. Menurut qadi Iyat, seyogyanya periwayatan dengan makna ditutup rapat untuk menghindari domibnasi orang-orang mengklaim dirinya cakap dalam periwayatan sebagaimana yang terjadi pada banyak periwayat dulu dan sekarang.
         Dalam masalah ini, sebagian ulama ahli hadis, ahli fighih,dan ahli ushul besikap ketat. Mereka mewajibkan periwatyatan hadis dengan lafadz, dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.[11]
         Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, dengan syarat:
a.   Bila ia memahami bahasa arab dengan segala seluk beluknya;
b.   Mengerti makna-makna dan kandungan hadis; serta
c.  Memahami kata yang bisa merubah makna dn kata yang tidak merubahnya.[12]       adakala para sahabat meriwayatkan hadis dengan lafal aslinya dan adakala dengan maknanya saja, dan disini penulis akan lebih memeperjelas cara-cara periwayatan hadis dengan lafal dan maknanya.
Demikian tadi periwayatan hadis dengan lafal. Dan adapun periwayatan hadis dengan makna sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Hasbi Ash Siddieqy yang berjudul Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, sebagai berikut;
            Adapun bentuk-bentuk atau cara para sahabat meriwayatkan hadis sebagai berikut:
a. Adakala dengan lafal asli, ya’ni menurut lafal yang mereka terima dari nabi yang mereka hafal benar lafal dari nabi itu.
b. Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari nabi saw.[13]
            Namun demikian Jumhur Ulama berpendapat bahwa,  boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis  dengan makna apabila ia seorang yang mengetahu bahasa arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalmiat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang biasa merobahkan makna yang tidak merubahkannya, jika ia bersifat demikian, bolehlah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perubahan makna tersebut.[14]
            Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan ummat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab.
            Bukti lain adalah periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan Ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam  suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya.[15]
            Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang megetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua Ulama sependapat menetapkan, bahawa orang yang demikian itu wajib menyampaikan  dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarkanya.
            AL-Imam Asy Syafi’I telah menerangkan tentang siat-sifat perawi.
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya  lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraanya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaknya dia dari orang yang menyapmpaikan hadis persis bagaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahuinya hal-hal yang memalingkan makna, niscaya tidaklah dapat kita mengetahui  boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram.
Tetapi apabia menyampaikan hadis yang secara didengarnya, tidaklah lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya.[16]
            Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis  yang diriwayatkan dengan  makna, tidak boleh meriwayatkan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkan, maka Jumhur Ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna  dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu.
Dengan demikian sebagaimana pendapat.para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghindari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari dengan makna.
C. Tahammul wa Ada’ al-Hadis
            Tahammul adalah kegiatan menerima atau mengambil hadis dari seorang guru, sedangkan Ada’ adalah meriwayatkan atau menyampaikan hadis kepada murid[17]                                                                                                                     1.Syarat-Syarat Tahammul Al-hadis
Syarat-syarat yang dimaksud dalam penerimaan hadis adalah kelayakan si penerima hadis, apakah disyaratkan islam dan balig atau tidak
         a. Tahammul Anak kecil
     Mayoritas ulama membolehkan penerimaam hadis oleh anak kecil, sebahagian tidak memperbolehkannya. ulama yang memperbolehkan Tahammul anak kecil beralasan bahwa banyak dari dari kalangan sahabat, ta’biin dan ali limu menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperi hasan, Husain, Ibnu subair, Ibnu abbas, Anas ibnu malik dan lain-lain. [18]
Bagi yang membolehkan penerimaan anak-anak berbeda pandangan pada batas usia dibolehkannya. Ada yang berpendapat usia minimal lima tahun, ada 15 tahun,[19] dan ada yang tidak membatasi usia minimal yang penting anak tersebut sudah tamyiz, maka dinilai sah penerimaan hadisnya.
       b. Tahammul Orang Kafir dan Orang Fasik
Jumhur Muhadisin berpendapat bahwa seorang yang menerima hadis sewaktu masih dalam keadaan kafir atau fasik dapat diterima periwayatannya,setelah memeluk islam dan bertobat.[20]
2.  Ada’ al-Hadis
Berbeda dengan tahammul al-hadis, mayoritas ulama sependapat bahwa orang yang meriwayatkan hadis dan riwayatnya bisa dijadikan hujah harus memiliki persyaratan. Syarat-syarat dimaksud adalah Islam, baligh, adil, dan dhabit.[21]
3. Tata cara Tahammul dan Ada’ al-hadis
Tata cara teknik periwayatan hadis oleh ulama pada umumnya dibagi kepada delapan macam:
1.      AL-Sama min Lafzh al-Syaikh.
Al-Sama di dasarkan kepada penerimaan riwayat melalui proses penyimakan/mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis yang didiktekan atau disampaikan dalam pengajian berdasarkan hafalan atau catatannya. Mayoritas ulama hadis menwempatkan tekhnik al-sama sebagai cara tertinggi kualitasnya. Walaupun demikian tekhnik ini masih perlu dipersoalkan sebab layak atau tidak dipercaya hasil pendengaran seseorang ditentukan oleh beebrapa faktor, kepegangan alat pendengar, kejelasan suara, kesungguhan pendengar dan kemampuan intelektual pendengar dalam memahami apa yang didengarnya.[22] Jadi meskipun cara yang ditempuh dalam menerima riwayat adalah dengan cara al-sama, tidak dengan sendirinya langsung . menduduki kualitas yang tertinggi.
2. AL-Qiraah al-Syaikh
            Dikenal juga dengan istilah al-aradh. Riwayat membacakan atau dibacakan sebuah riwayat dihadapan seorang guru hadis. Riwayat hadis yang disampaikan bisa saja berasal dari catatannya atau hafalannya. Kemudian guru hadis tadi menyimak melalui hafalan atau catatannya sendiri.
Kata yang dipakai dalam periwayatan cara al-qira’ah adalah: qara’atu ala fulan, ana asmau fa akarrabih.

3. Al-Ijazah
             Al-Ijazah adalah pemberian izin seorang guru hadis kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya tanpa harus membacakan hadis satu persatu,[23] dengan lisan atau tertulis. Periwayatan dengan cara al-ijazah ada dua: ijazah bersama al-munawalah dan ijazah mujarradah.
             Ijazah bersama al-munaalah ada dua macam bentuk:
a.  Seorang guru hadis menyodorkan hadis kepada murid kemudian mengatakan: Anda saya beri ijazah unuk meriwayatkan hadis yang telah saya peroleh ini.
b. Murid yang menyodorkan hadis kepada guru hadis, lalu memeriksanya kemudian mengatakan “Hadis ini telah saya peroleh dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkannya dari saya.[24]
Oleh karena itu tekhnik ini sama engan secara al-sama dan ada juga yang menilainya sama dengan al-qiraah.[25]
Periwayatan dengan ijazah mujarradah adalah orang tertentu untuk hadis tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya atau hadis tertentu untuk orang yang tidak tertentu. Kata-kata yang dipakai untuk cara al-ijazah adalah Haddatsanah ijazah, HaddatsanahIsna atau ijazaliy.[26]

4. Al-munawalah
Tekhik ini dilakukan dengan cara seorang guru hadis memberikan sebuah atau beberapa hadis ataukah sebuah kitab hadis kepada seorang murid seraya mengatakan “inilah hadis yang telah saya riwayatkan.[27]

Al-munawalah ada dua bentuk:
a.  Al-munawalah al-mujarradah an-al-ijazah (munawwalah yang tidak disertai dengan ijazah ) dimana guru memberikan kitab hadis kepada muridnya tanpa disertai pernyataan tentang kebolehan meriwayatkannya
b. Al-munawwalah al-magrunah bi al-ijazah (munawwalah yang disertai dengan ijazah). Ulama pada umumnya tidak membolehkan periwayatan dengan munawwalah tanpa ijazah. Lafal yang dipergunakan dalam cara ini adalah: Nawalna atau nawalni.
5. Al-mukatabah
Al-mukatabah dimana seorang guru menuliskan sendiri atau meminta kepada orang lain menulis darinya sebagian hadis yang diriwayatkannya untuk muridnya atau orang tertentu yang mungkn saja tidak berada dihadapannya tetapi berada ditempat lain.[28] 
Periwayatan al-mukatabah ada dua macam :a) Al-mukatabah yang disertai dengan ijazah. b) Al-mujatabah yang tidak disertai dengan ijazah. perbedaan al-munaalah dengan al-mukatabah adalah bahwa dalam almuktabah ketika hadis dicatat sudah ada maksud untuk memberikan kepada orang tertentu sedangkan al-munawalah yang tertulis.
6. Al-I’lam
            Seorang guru memberitahukan kepada muridnya hadis atau kitab hadis yang telah diterimanya dari seorang periwayat tanpa diikuti pernyataan agar muridnya meriwayatkan darinya.[29]Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan periwayatan dengan al-I’lam. Yang membolehkan alasannya bila dengan cara al-sama’ dan al-qiraah dinyatakan sah meski tanpa iazah maka cara i’lam juga harus diakui.sedangkan yang melarang menganggap bahwa hadis yang diriwayatkan mempunyai cacat sehingga gurunya tidak memberikan izin untuk meriwayatkannya.
7. Al-Washilah
            Seorang guru mewasiatkan sebuah kitab hadis kepada muridnya untuk meriwayatkannya. Waktu dia memberikan wasiat mungkin sebelum ia meninggal atau bepergian ketempat lain. Kata yang dipakai adalah Ausa Hayya atau yang semakna dengannya.
8. Al-Wijadah
            Al-wijadah adalah seseorang yang mendapati sebuah hadis yang telah ditulis oleh periwayatnya yang bisa saja semasa ataupun tidak semasa, pernah bertemu atau tidak dan pernah atau tidak pernah meriwayatkan hadis dari penulisnya. Pernyataan yang bisa dipakai dengan cara Al-wijadah adalah wajadtu bi khatt fulan haddatsana fulan atau wajadtu fi ktabi fulan bi kghattihi.
            Periwayat hadis yang sighad: memiliki tingkatan akurasi yang tinggi karena dapat dipercaya riwayatnya. Bagi periwayatan yang tidak sighad perlu penelitian ulang apaakah dari kualitas pribadinya atau intelektualnya. Dalam hubungan sanat kualitas periwatyat sangat menentukan. Selain itu ada periwayat tan dinilai sighad, oleh ulama ahli kritis hadis. Namun dengan syarat dia menggunakan lambang periwayatan haddasani atau sami’tu sanadnya bersambung.[30]                                                                                                                                                                                   

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang “Tekhnik Periwayatan Hadis” Dan kaitan dengan bentuk-bentuk Periwayatan hadis dari Nabi, Periwayatan dengan lafal dan makna, dan Tahammul wa Ada’Hadis. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.  Periwayatan hadis dari Nabi dan para sahabat, sebagaimana kita ketahui bahwa Muhammad sbagai Nabi dan Rasul terkadang menurut suatu riwayat bahwa beliau terkadang menyampaikan Hadis dengan cara pengajian secara rutin dihadapan orang banyak dan secara lisan. Sedangkan para sahabat dalam menyampaikan riwayat hadis adakala dengan lafal asli dan adakalanya dengan makna saja.
2.  Menurut para Ulama Periwaayatan hadis dengan lafal lebih kuat kebenarannya dari pada makna.
3. Adapun tingkatan-tingkatan Tahammul ialah dengan Sima,’ Munawalah (menyerahkan) Ijazah tanpa munawalah, yakni seorang guru membolehkan murid untuk meriwayatkan hadis dari gurunya, Munawalah tampa ijazah yakni seorang guru menyerahkan kitab kepada muridnya seraya berkata,”ini hadis yang saya dengar.”I’lam yakni seorang guru berkata muridnya,”Kitab ini yang saya dengar,”tanpa memberi izin meriwayatkan, Wasiat yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang meninggalnya berwasiat dengan sebuah kitab kepada salah seorang muridnya, Wijadah, yakni AL-Muhaddis menemukan hadis atau kitab yang ditulis Ulama yang dikenal adil dan dhabit.Kemudian seorang muhaddits berkata,”Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,”tanpa mengatakan, “Saya mendengar atau ia mengijazikan kepadaku.
            Demikian pembahsan ini semoga dapat memberikan gambaran secara global tentang teknik periwayatan hadis dan saya hanya bisa berharap muda-mudahan saya telah diberi taufiq oleh Allah SWT. Dalam penulisan makalah ini dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang saya miliki.
“Tidak ada taufiq bagiku kecuali dngan pertolongan Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-nyalah aku kembali.”                       


DAPTAR PUSTAKA
Ash Shiddiqieqi Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Jakarta: Penyebaran   Buku-buku,1995.
. .........................,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jilid. 11.Cet,1; Jakarta: Bulan Bintang,1958.
Athhan Mahmud, Taisyir Musthalahul Hadis, tt: Dar-Fikr, t.th.
Azami Muhammad Mustafa, Dirasat Fi al-Hadits al-Nabawi, dierjemahkan oleh H.Ali Mustafa Yakub, M.A. dengan judul Hadis Nabawi dan sejarah kondifikasinya Cet,1;Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994.
Chumaidy A Zarkasyi, Metologi penetapan Keshahihan Hadis Cet.1;Bandung: CV.Pustaka,Setia1998.                                                                              
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia Cet. 11; Jakarta: Bali Pustaka,1990.
Mukammil, Makalah Ulumul hadis, Makassar: Perogram Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2005.
Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fi ‘Ulum Hadis, Diterjemahkan oleh Drs. H. Endang  Soetari Ad, Ulum AL-Hadis 1 Cet. 1; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Muhammad Sakri Ahmad, Ihtisar Ulum AL-Hadis, Berut:Dar Kutub Ilmiah, t.th.
Rahman Fathur, Ikhtisar Mustahalul Hadis Cet. 1;  Bandung: PT. Alma’arif,1974.
Khatib Al-Ajaj, usul al-hadis pokok-pokok ilmu hadis,ter. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafig (Cet.111;jakarta:Gaya media pratama 2003).          


[1] Drs. Fathur Rahman, Ikhtisar Mustahalul Hadis( Cet. 1;  Bandung: PT. Alma’arif,1974), h. 21.
[2] Ibid., h. 22.
[3] Ibid., h. 24.
[4] Mukammil, Makalah Ulumul hadis, (Makassar: Perogram Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2005), h. 1
[5] Op. cit., h. 73-74.
[6]Suhudi ismail, kaedah-kaedah kesahihan sanad hadis ialah kritis dan pendekatan dengan ilmu sejarah (cet.111;jakarta: Bulan Bintang. 2005) h.23
[7] Lihat  suhudi ismail, op cit h.24      
[8] W. Montgmery Watt, Muhammad prophet and statemen, diteremahkan oleh suhudi ismail; kaedah-kaedah kesahihan sanad hadis telaah kritis dan pendekatan dengan ilmu sejarah(Cet,11; jakarta:Bulang Bintang, 1995) h. 29
[9] Ibid., h. 31-34.
10 Ibid h 60-69    .

[11] .suhudi ismail, op. cit.,. h.30-35
[12] Ajaj Al-Khatib, usul hadis pokok-pook hadis, ter qadirun nur (Cet,111;Jakarta:Gaya media Pratama. 2003). H. 216
13. Gasbi Ash- Shiddigiegi, sejarah dan pengantar ilmu hadis (Jakarta: penyebaran buku-buku, 1995). H. 63
14. Ibid. h. 32
15. Ibid. h. 30-35.


[16] Ibid. h. 352
[17]  Op cit, h. 73-74
[18] Mahmud Tahhan Taisyir, mushtlaah al hadis(kuait tp, tt) h.109
[19] Ajaj op cit., h. 201
[20] Fathur Rahman op cit h. 241
[21] Ajaj op cith. 202
[22] Ibid. h.202-203
[23] Ibid h. 52
[24] Suhudi Ismail, op cit., h.59
[25] Abu Umar Usman bin Abd al-Rahman al-salah. Ulumul al-hadis (al-madinah al-munawwarah : al-makthabat al-ilmiah. 1972). H. 127
[26] Syuhudi ismail. Loc. Cit.
[27] Ajaj.op. cit., h. 207
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Syuhudi ismail op cit h.84

Tidak ada komentar: