Daftar Pustaka

Sabtu, 13 Oktober 2012

Aplikasi Metode Maudu'i Dalam Hadis





Metode Maud}u>'i<
 



(Aplikasi Dalam Hadis)


 









Revisi Makalah
mata kuliah ‘Ulum al-Hadis
Semester I (S2) tahun akademik 2009

Oleh;
Abdul Gaffar
NIM: 80100209003

Pembimbing;
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag


PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an dan al-Hadis merupakan dua sumber pokok ajaran Islam yang datang secara universal dan berangsur-angsur. Ajaran-ajaran keduanya sangat erat kaitannya dengan kondisi dan situasi kemunculannya, sehingga dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis membutuhkan pemahaman secara komprehensif. Salah satu metode yang ditempuh dalam memahami keduanya adalah metode tematik.
Meskipun keduanya menjadi sumber utama ajaran Islam dan sama-sama membutuhkan metode tematik dalam memahaminya, akan tetapi menurut penulis, yang sangat perlu dapat perhatian dengan metode tematik ini adalah al-Hadis. Salah satu alasannya karena al-Hadis tidak semuanya qath’i al-wurud (falid dari Rasulullah).[1] Oleh karena itu, dibutuhkan takhrij al-Hadis (pembuktian kefalidan) dan pemahaman yamg mendalam dengan menggunakan berbagai pendekatan, baik secara tekstual, interteks maupun kontekstual. Disamping itu, al-Hadis maudhu’i berguna untuk memperoleh sebuah kesimpulan dan pemahaman yang komperehensif, baik yang terkait dengan definisi, maksud dan hukum yang dikandungnya.
Untuk mengetahui aplikasi metode maud}u>’i<, ditetapkanlah judul sebagai sarana penerapan metode tersebut dalam masalah ini adalah gibah dimana banyak media atau alat yang dapat menimbulkan permusuhan di kalangan manusia salah satunya adalah lidah, sebab lidah dapat menguak hal-hal yang seharusnya ditutupi dan lidah pulalah yang banyak menelorkan tabiat atau perangai yang tidak terpuji sehingga Nabi sudah mewanti-wanti dengan bersabda:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه[2]
Terjamahannya: “Orang Islam sejati adalah orang Islam yang mampu menjadikan orang lain aman dari lidah dan tangannya”.

Gibah adalah menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya sehingga ia merupakan sifat yang tercela dan dilarang oleh agama berdasarkan al-Qur’an dan Hadis Nabi[3] karena mengandung bahaya besar, baik individu maupun masyarakat. Di antara dampak negatif gibah pada individu adalah melukai hati seseorang sehingga dapat menimbulkan permusuhan. Sementara dampak negatifnya untuk masyarakat adalah mengacaukan hubungan kekeluargaan, persaudaraan dan kemasyarakatan serta menimbulkan saling curiga-mencurigai.
Namun dalam kehidupan masyarakat, banyak ditemukan model gibah akan tetapi dianggap oleh masyarakat bukan sebagai gibah, sebaliknya menyebutkan aib seseorang dengan tujuan yang baik namun masyarakat menganggap sebagai pencemaran nama baik orang. Belum lagi gibah yang terkadang tidak bisa dipisahkan dan dibedakan dengan buhtan (dusta), namimah (adu domba) dan al-ifk (desas-desus) serta masih banyak lagi sifat-sifat yang hampir mirip dengan gibah, bahkan terkadang istilah-istilah itu tertukar satu sama lain.     
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang terdapat dalam latar belakang masalah, dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa sebenarnya metode maudu>’i< dalam Hadis?
  2. Bagaimana aplikasi metode maudu>’i< dalam Hadis?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sekilas tentang Metode Maud{u>’i<
Secara etimologi, kata maud{u>’i< yang terdiri dari huruf و ض ع berarti meletakkan sesuatu atau merendahkannya, sehingga kata maud{u>’i< merupakan lawan kata dari al-raf’u (mengangkat).[4] Mustafa Muslim berkata bahwa yang dimaksud maud{u>’i< adalah meletakkan sesuatu pada suatu tempat sehingga yang dimaksud metode maud}u>’i< adalah mengumpulkan ayat-ayat yang bertebaran dalam al-Qur’an atau hadis-hadis yang bertebaran dalam kitab-kitab hadis yang terkait dengan topik tertentu      atau tujuan tertentu kemudian disusun sesuai dengan sebab-sebab munculnya dan pemahamannya dengan penjelasan, pengkajian dan penafsiran dalam masalah tertentu tersebut.[5] Menurut al-Farmawi, Metode maud}u>’i< adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun sesuai dengan asbab al-wurud dan pemahamannya yang disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah tertentu tersebut.[6] Sedangkan Arifuddin Ahmad mengatakan bahwa metode Maud}u>’i> adalah pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontolgisnya maupun aspek epistemologis dan aksiologisnya saja atau salah satu sub dari salah satu aspeknya”.[7]
Berdasarkan penjelasan di atas, metode maud{u>’i< harus memenuhi beberapa unsur yaitu:
-       Menentukan topik atau judul yang akan dikaji
-       Mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan topik yang telah ditentukan
-       Melakukan pensyarahan atau pengkajian sesuai dengan tema
-       Memilih salah satu atau seluruh aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang terkait dengan tema.
Sedangkan langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode maud{u>’i< antara lain dapat dilakukan dengan: 
1)      Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas
2)      Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, baik secara lafaz maupun secara makna melalui kegiatan takhrij al-hadis
3)      Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurudnya hadis (tanawwu’) dan perbedaan periwayatan hadis.
4)      Melakukan kegiatan i’tibar[8] dengan melengkapi seluruh sanad
5)      Melakukan penelitian sanad yang meliputi penelitian kualitas pribadi perawi, kapasitas intelektualnya dan metode periwayatan yang digunakan.
6)      Melakukan penelitian matan yan meliputi kemungkinan adanya illat (cacat) dan syaz (kejanggalan).
7)      Mempelajari term-term yang mengandung arti serupa
8)      Membandingkan berbagai syarah hadis
9)      Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung
10)  Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep.[9]
Langkah nomor 4, 5 dan 6 dilakukan jika dibutuhkan karena hal itu mengetahui kualitas hadis yang menjadi objek penelitian.  
B.     Aplikasi Metode Maud{u>’i< dalam Aplikasi Hadis
1.    Penetapan Judul dan Pengertian
Untuk mengetahui aplikasi maud{u>’i<, penulis memilih tema tentang gibah (gunjingan) sebagai eksperimen dalam penerapan metode maud{u>’i<  dalam bidang hadis.

2.    Takhrij al-hadis
Dalam mencari dan menelusuri hadis-hadis yang terkait dengan gibah, penulis menggunakan dua kitab yaitu Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Hadits dan Miftah Kunuz al-Sunnah.
  1. Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Hadits
Dalam Mu’jam misalnya, penulis menelusuri akar kata غيب. Dari akar kata tersebut, penulis menemukan dua kata yang mengarah pada makna gibah, satu dalam bentuk fi’il, baik fi’il  madhi atau fi’il mudhari’ yaitu إغتاب atau يغتاب (termasuk bentuk-bentuk kedua fi’il tersebut) dan satu dalam bentuk masdar yaitu الغيبة.
Dalam bentuk إغتاب atau يغتاب ditemukan potongan hadis atau bab tentang gibah sebagai berikut:
فإن كان فيه ما تقول فقد اغتبته (م: بر70، ت: بر23، دى: رقاق6، حم:2 23, 384, 386, 458)
فقال النبي قد اغتبتها (حم: 6 137، 206) / هذه ريح الذين يغتابون المؤمن (حم: 3 351) / لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم (د: أدب35، حم: 4 421، 424) / ولا نغتب (صوابه نغتاب)... (حم 5 320) / باب ما يجوز من اغتياب أهل الفساد والريب (خ: أدب48)

Sedangkan dalam bentuk الغيبة ditemukan potongan hadis atau bab tentang gibah sebagai berikut:
من ذب عن لحم أخيه بالغيبة (حم: 6 **461) / أتدرون ما الغيبة (م: بر70) / قيل يا رسول الله ما الغيبة (ت: بر23، دى: رقاق6، ط: كلام10، حم: 2 384، 386) / الغيبة للصائم (خ: أدب46، د: صوم25) / وما يعذبان إلا فى البول والغيبة (حم: 5 36) / الصوم جنة مالم يخرقها...(دى: صوم27) / باب ما جاء فى الغيبة (د: أدب35، جه: صيام21، دى: رقاق6)
فى التشديد فى الغيبة (ت: صوم16) / إنهما ليعذبان فى الغيبة.... (حم: 5 39) / فيعذب فى الغيبة (جه: طهارة26) / باب عذاب القبر من الغيبة (خ: جنائز88)[10]
  1. Miftah Kunuz al-Sunnah
Setelah mencari lafal gibah dalam kitab tersebut, penulis menemukan pembahasan gibah dalam bab القذف dengan tulisan sebagai berikut:
·        حد الغيبة : تر- ك25 ب 23، حم – ثان ص 384، 286، 458
·        لا تدابروا ولا تباغضوا: حم –ثان ص 469، 482 ثالث ص 416، ط- ح 416[11]

Di samping itu, penulis mencari hadis-hadis yang terdapat dalam topik gibah di beberapa kitab matan, sehingga terkadang matan hadisnya tidak menggunakan lafal gibah dan segala isytiqaqnya akan tetapi kandungannya terkait dengan permasalahan gibah.   
3.    Sanad, Matan dan Mukharrij
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis,[12] atau singkatnya sanad adalah jalur atau mata rantai kolektif yang menghubungkan mukharrij dengan matan hadis. Matan adalah Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna.[13] Dapat juga diartikan sebagai sebagai apa yang berhenti dari sanad berupa perkataan,[14] sehingga matan hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu teks /lafal dan makna (konsep). Sedangkan mukharrij adalah perawi yang memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain lalu membukukannya dalam kitab.[15]  Untuk lebih jelasnya, yang dimaksud sanad di bawah ini adalah lafaz yang bergaris bawah, matan adalah lafaz yang dicetak tebal sedangkan mukharrij adalah lafaz yang terletak dalam tanda kurung.
1-    حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة وابن حجر قالوا حدثنا إسمعيل عن العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما يكره قيل أفرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته. (رواه مسلم والترمذى وأبو داود والدارمى)

Terjemahan: “Dari (حدثنا) Yahya ibn Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hajar menceritakan, dari  Ismail (حدثنا), dari al-‘Ala>’ dari ayahnya dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw. bertanya “Apakah kalian mengetahui apa itu gibah?” sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu” Rasulullah saw. menjawab “Engkau menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang dibenci” lalu dikatakan “(Bagaimana) jika apa yang aku ceritakan itu kenyataan”?, Rasulullah saw. menjawab “Jika apa yang engkau ceritakan itu kenyataan maka engkau telah meng-gibah-nya dan jika hal itu tidak terbukti maka engkau telah menfitnahnya.[16]  

2-    حدثنا وكيع عن سفيان عن علي بن الأقمر عن أبي حذيفة أن عائشة حكت امرأة عند النبي صلى اللهم عليه وسلم ذكرت قصرها فقال النبي صلى اللهم عليه وسلم قد اغتبتيها (رواه أحمد)

Terjemahan: “dari Waki’ dari Sufyan dari Ali ibn al-Aqmar dari Abi Huzaifah bahwa Aisyah menceritakan seorang perempuan dihadapan Nabi saw. bahwa perempuan itu pendek lalu Nabi saw. bersabda “Engkau telah menggibahnya”. [17]  
3-    حدثنا عثمان بن أبي شيبة حدثنا الأسود بن عامر حدثنا أبو بكر بن عياش عن الأعمش عن سعيد بن عبد الله بن جريج عن أبي برزة الأسلمي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته. (رواه أبو داود وأحمد)

Terjemahan: “Dari Usman ibn Abi Syaibah dari al-Aswad ibn ‘Amir dari Abu Bakar ibn Iyasy dari al-A’masy dari Said ibn Abdillah ibn Juraij dari Abi Barzakh al-Aslami berkata, Rasulullah saw. bersabda “Wahai golongan orang yang menjaga lidahnya dan iman belum masuk ke dalam hatinya”Janganlah kalian menggibah (menggunjing) orang-orang Islam dan mencari-cari aib dan kesalahannya karena barang siapa mencari-cari kesalahan mereka, Allah akan mencari-cari kesalahanya pula dan barang siapa yang dicari-cari kesalahannya oleh Allah, maka Allah akan membuka aibnya di rumahnya”. [18]  

4-    حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا وكيع حدثنا الأسود بن شيبان حدثني بحر بن مرار عن جده أبي بكرة قال مر النبي صلى اللهم عليه وسلم بقبرين فقال إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير أما أحدهما فيعذب في البول وأما الآخر فيعذب في الغيبة. (رواه إبن ماجه)
Terjemahan: dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah dari Waki’ dari al-Aswad ibn Syaiban dari Bahr ibn Mirar dari Kakeknya Abi Bakrah berkata, Rasulullah saw. lewat di depan dua kuburan seraya berkata “Kedua penghuni kuburan itu akan disiksa dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah satu diantara mereka disiksa karena kencing sedangkan yang satu lagi disiksa karena masalah gibah”. [19] 

5-    أخبرنا عمرو بن عون حدثنا خالد بن عبد الله عن واصل مولى أبي عيينة عن بشار بن أبي سيف عن الوليد بن عبد الرحمن عن عياض بن غطيف عن أبي عبيدة بن الجراح قال سمعت رسول الله صلى اللهم عليه وسلم يقول الصوم جنة ما لم يخرقها قال أبو محمد يعني بالغيبة. (رواه الدارمى)

Terjemahan: dari ‘Amar ibn ‘Aun dari Khalid ibn Abdillah dari Wasil (bekas budak) Abi ‘Uyainah dari Basyar ibn Abi Saif dari al-Walid ibn Abi Rahman dari ‘Iyad ibn Gutaif dari Abi ‘Ubaidah ibn al-Jarrah, Rasulullah saw. bersabda “Puasa itu taming sepanjang tidak dibakarnya. Abu Muhammad menambahkannya “dengan gibah”. [20]

6-    حدثنا عارم حدثنا عبد الله بن المبارك عن عبيد الله بن أبي زياد عن شهر بن حوشب عن أسماء بنت يزيد عن النبي صلى اللهم عليه وسلم قال من ذب عن لحم أخيه بالغيبة كان حقا على الله أن يعتقه من النار. (رواه أحمد)

Terjemahan: “Dari Arim dari Abdullah ibn al-Mubarak dari Ubaidillah ibn Abi Ziyad dari Syahr ibn Hausyab dari Asma’ binti Yazid dari Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang tidak mau (menolak) menggibah saudaranya pada waktu tidak ada, maka kewajiban Allah membebaskannya dari api neraka”. [21]  

7-    حدثنا عبد الصمد حدثني أبي حدثنا واصل مولى أبي عيينة حدثني خالد بن عرفطة عن طلحة بن نافع عن جابر بن عبد الله قال كنا مع النبي صلى اللهم عليه وسلم فارتفعت ريح جيفة منتنة فقال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم أتدرون ما هذه الريح هذه ريح الذين يغتابون المؤمنين. (رواه أحمد)

Terjemahan: dari Abd Samad dari Ayahnya dari Wasil (bekas budak) Abi ‘Uyainah dari Khalid ibn Arfatah dari Talhah ibn Nafi’ dari Jabir ibn Abdillah berkata “kami bersama Nabi saw. lalu tercium bau bangkai yang sangat menyangat, lalu Rasulullah saw. bertanya “Apakah kalian mengetahui bau apa itu? Ini adalah baunya orang-orang yang menggibah orang-orang mukmin”. [22]

8-    حدثنا ابن المصفى حدثنا بقية وأبو المغيرة قالا حدثنا صفوان قال حدثني راشد بن سعد وعبد الرحمن بن جبير عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم. (رواه أبو داود)

Terjemahan: dari ibn al-Mustafa dari Baqiyah dan Abu al-Mugirah dari Safwan dari Rasyid ibn Sa’ad dan Abd Rahman ibn Jabir dari Anas ibn Malik berkata, Rasulullah saw. berkata “Tatkala saya dimi’rajkan, saya melewati kaum yang memiliki kuku dari besi yang digunakan mencakar wajah dan dada mereka, lalu berkata “siapa mereka wahai Jibril? Lalu Jibril menjawab “Mereka itu orang-orang yang memakan daging manusia dan merusak harga diri mereka”. [23]    

9-    حدثنا محمد بن جعفر بن أعين نا يحيى بن أيوب المقابري ثنا أسباط بن محمد عن أبي رجاء الخرساني عن عباد بن كثير عن سعيد الجريري عن أبي نضرة عن جابر بن عبد الله وأبي سعيد الخدري قالا: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الغيبة أشد من الزنا، قيل: وكيف؟ قال: "الرجل يزني ثم يتوب فيتوب الله عليه وإن صاحب الغيبة لا يغفر له حتى يغفر له صاحبه." (رواه الطبرانى)

Terjemahan: dari Muhammad ibn Ja’far ibn A’yun dari Yahya ibn Ayyub al-Maqabiri dari Asbat ibn Muhammad dari Abi Raja’ al-Khurasani dari Ubbad ibn Kasir dari Said al-Jariri dari Abi Nadrah dari Jabir ibn Abdillah dan Abi Said al-Khudri berkata, Rasulullah saw. bersabda “gibah itu lebih parah dari pada zina, lalu dikatakan, kenapa bisa demikian? Rasulullah saw. bersabda “Seorang laki-laki berzina kemudian bertaubat lalu Allah member taubat dan sesungguhnya orang yang menggibah tidak akan diampuni sehingga orang yang digibah memaafkannya”. [24]

4.    Kritik Sanad dan Matan
a.       Kritik Sanad (hadis pertama)
1)      Abu Hurairah adalah salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah saw. Mengenai nama aslinya dan nama ayahnya, para sejarawan beragam komentar, akan tetapi paling masyahur adalah Abd Rahmad ibn Sakhr. Dialah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Menurut Baqi bin Mukhallad sebanyak 5374 buah hadis yang dia riwayatkan dari sekitar 800 sahabat, bahkan al-Bukhari meriwayatkan sekitar 93 hadis darinya sementara Imam Muslim meriwayatkan sekitar 189 hadis darinya.[25] Wafat pada tahun 58 H. ada juga yang berpendapat tahun 57 atau 59 H.
Guru-gurunya adalah Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi Talib, Aisyah, Ubai ibn Ka’ab, dll. Sedangkan murid-muridnya adalah Said ibn al-Musayyib, Abd Rahman al-A’raj, Ikrimah, Nafi’, Abd Rahman ibn Ya’qub, dll.[26] 
Jika melihat Rasulullah dan Abu Hurairah maka sudah bisa dipastikan bahwa keduanya bertemu karena Abu Hurairah termasuh sahabat Nabi yang dekat denganya. 
2)      Abih, yang dimaksud adalah ayah al-‘Ala>’ yaitu Abd Rahman ibn Ya’qub al-Juhni al-Madani Maula al-Hirqah. Tanggal wafatnya tidak ditemukan oleh penulis dalam kitab-kitab tarikh.
Guru-gurunya adalah Ayah Ya’qub, Abu Hurairah, Abu Said, Ibn Abbas, Ibn Umar, dll. Sedangkan murid-muridnya adalah anaknya al-‘Ala>, Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi, Muhammad ibn Ajlan, Salim Abu al-Nad}r, dll.[27]
Al-Nasai berkata “laisa bihi ba’s”, Abu Hatim berkata bahwa “al-Musayyib dan Abd Rahman sama-sama s|iqah dan Ibn Hibban menggolongkan dia s|iqah.[28]
Penulis kesulitan melacak apakah Abu Hurairah bertemu dengan Abd Rahman karena penulis belum menemukan tahun wafatnya akan tetapi kitab-kitab sejarah menulis bahwa keduanya masih semasa dan pernah bertemu.   
3)      Al’Ala>’ bernama lengkap al-‘Ala>’ ibn Abd Rahman ibn Ya’qub al-Haraqi>. Al-Bukhari berkata wafat pada tahun 132 H. Menurut Ibn al-As|ir tahun 139 H.  
Gurunya antara lain adalah ayahnya Abd Rahman ibn Ya’qub, Ibn Umar, Anas ibn Malik, Abbas ibn Sahal, Salim ibn Abdullah ibn Umar, dll. Sedangkan muridnya antara lain adalah Ibn Juraij, Ubaidillah ibn Umar, Muhammad ibn Ajlan, Ismail ibn Ja’far ibn Kasir. Dll.  
Abu Zur’ah berkata “Dia tidak lebih kuat”, Abu Hatim berkata “orang-orang s|iqah meriwayatkan dari dia”, al-Nasai “laisa bih ba’s”, Ibn Hibban menggolongkannya dalam golongan s|iqah, dan al-Turmuzi berkata “al-‘Ala>’ itu s|iqah menurut ahli hadis“.[29]      
Ada kemungkinan periwayatan terjadi antara Abd Rahman dan putranya al-‘Ala karena keduanya ayah-anak.
4)      Ismail bernama lengkap Abu Ishaq, Ismail ibn Ja’far ibn Abi Kasir al-Ans}a>ri> al-Zarqi>. Wafat pada tahun 180 H. di Bagdad. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa wafatnya tahun 181 H.[30]       
Gurunya antara lain adalah Abdullah ibn Dinar, Humaid al-T{awi>l, al-‘Ala>’ ibn Abd Rahman, Malik ibn Anas, dll. Sedangkan muridnya antara lain Yahya ibn Yahya ibn al-Naisaburi>, Suraij ibn al-Nu’man, Yahya ibn Ayyub al-Maqabiri, Qut}aibah ibn Sa’i>d, ‘A
  • , dll.
  • Ahmad ibn Hambal, Abu Zur’ah dan al-Nasa>i< berkata “Dia s|iqah”, Yahya ibn Ma’i>n “Dia s|iqah”, Muhammad ibn Sa’ad “Dia s|iqah”.[31]   
    Sedangkan jarak antara al-‘Ala>’ (w. 132 H.) dan Ismail (w. 180 H.) menunjukkan jarak yang lumayan jauh yaitu 48 tahun sehingga memungkin tidak bertemu akan tetapi kitab-kitab sejarah menunjukkan hubungan guru-murid antara keduanya terjadi.
    5)      Ibn Hajar  bernama lengkap Abu al-Hasan Ali ibn Hajar ibn Iya>s ibn Muqa>til ibn Mukha>disy al-Sa’di>. Dilahirkan pada tahun 154 H. dan wafat pada hari rabu pertengahan bulan Jumadil Ula tahun 244 H.[32]     
    Gurunya diantara lain adalah Isa ibn Yunus, Ibn al-Mubaarak, al-Walid ibn Muslim, Ismail ibn Ja’far, dll. Sedangkan muridnya antara lain adalah al-Bukhari, Muslim, al-Turmuzi, al-Nasai, Ahmad ibn Hambal, dll.     
    Qutaibah bernama Abu Raja’ al-Bagla>ni>, Qutaibah ibn Sa’id ibn Jami>l ibn T{ari>f ibn Abdillah al-S|aqafi>. Dia termasuk orang yang dipercaya dalam bidang hadis dan dalam bidang sunnah. Lahir pada tahun 150 H. dan wafat pada tahun 240 H.[33]  
    Gurunya diantaranya Ismail ibn Ja’far, Ayyub ibn al-Najja>r al-Yama>mi>, Hamma>d ibn Khah. sedangkan muridnya adalah al-Bukhari, Muslim, al-Turmuzi, Ahmad ibn Hambal, Abu Daud, al-Da>rimi>, dll.      
    Abu Hatim berkata “Dia s|iqah”, Yahya ibn Ma’in dan al-Nasai berkata “dia s|iqah”, al-Nasai menambahkan kata s}adu>q.[34]      
    Yahya ibn Ayyub bernama lengkap Abu> Zakariya> Yahya ibn Ayyub al-Maqa>biri> al-Bagda>di>. Lahir pada tahun 157 H. Wafat pada hari Ahad 12 Rabiul Awal 234 H di Bagdad. Menurut yang lain tahun 233 H.[35]    
    Guru-gurunya antara lain adalah Abu Ismail Ibrahim ibn Sulaiman, Ismail ibn Ja’far al-Madani>, Syu’aib ibn harb, Abdullah ibn al-Mubarak, dll. Sedangkan murid-muridnya adalah Imam al-Bukhari Muslim, al-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad ibn Hambal, dll.
    Ali ibn al-Madini dan Abu Hatim berkata “Yahya itu S}adu>q”, sedangkan Ibn Habban memasukkannya dalam golongan al-S|iqa>t.[36]      
    Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa jika dilihat dari para perawi hadis tersebut, dapat dipastikan bahwa semua perawinya s|iqah sehingga sanadnya shahih. Jika dilihat dari madar al-hadis bahwa hadis ini pada awalnya berada di Madinah mulai dari Abu Hurairah, Abd Rahman, al-‘Ala>’, Ismail, lalu kemudian dibawah ke Hamas oleh Qutaibah dan ke Bagdad oleh Ibn Hajar dan Yahya ibn Ayyub kemudian di bukukan oleh imam Muslim, sehingga dapat dipastikan hadis tersebut tidak banyak mengalami perubahan lafaz atau penambahan dan sejenisnya. 
    1. Kritik Matan (hadis pertama)
    1)      Aspek pertentangan dengan al-Qur’an
    Jika dilihat dari kandungan hadis tersebut, maka hal itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan hadis tersebut sejalan dengan ayat al-Qur’an QS: al-Hujurat: 12.  
    ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه
    Artinya: “…Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya…”.

    2)      Aspek pertentangan dengan hadis shahih
    Jika dilihat dari hadis-hadis shahih, maka hadis tersebut tidak bertentang dengan hadis-hadis shahih seperti hadis-hadis yang akan diuraikan.   
    3)      Aspek linguistik matan
    a)      Hadis riwayat Muslim
    -          قال: "أتدرون ما الغيبة"          - قالوا الله ورسوله أعلم.
    -          قال "ذكرك أخاك بما يكره"      - قيل أفرأيت إن كان فى أخى ما أقول
    -          قال: "إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته"
    b)      Hadis riwayat Abi Daud
    -          قيل: يارسول الله ما الغيبة ؟                        - قال: "ذكرك أخاك بما يكره"
    -          قيل أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟
    -          قال: "إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته"

    c)      Hadis riwayat al-Turmuzi
    -          قيل يا رسول الله ما الغيبة؟               - قال ذكرك أخاك بما يكره
    -          قال أرأيت إن كان فيه ما أقول؟            
    -          قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته

    d)     Hadis riwayat al-Darimi
    -          انه قيل له ما الغيبة                - قال ذكرك أخاك بما يكره
    -          قيل وان كان في أخي ما أقول       
    -           قال فإن كان فيه فقد اغتبته وان لم يكن فيه فقد بهته

    e)      Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal 
    (1)   Sanad pertama
    -          هل تدرون ما الغيابة ؟                    -  قالوا: الله ورسوله أعلم،
    -          قال: ذكرك أخاك بما ليس فيه،    - قال: أرأيت إن كان في أخي ما أقول له ؟ يعني،
    -          قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته.


    (2)   Sanad kedua
    -          أنه قيل له: ما الغيبة ؟ يا رسول الله      - قال: ذكرك أخاك بما يكره
    -          قال: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ أي رسول الله،
    -          قال: إن كان في أخيك ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته.

    (3)   Sanad ketiga
    -          قال رسول الله ص م: هل تدرون ما الغيابة؟  - قال: قالوا: الله ورسوله أعلم،   
    -          قال: ذكرك أخاك بما ليس فيه                               
    -          قال: أرأيت إن كان في أخي ما أقول له؟
    -          قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته ، وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته.

    Tidak adanya perbedaan signifikan antara riwayat Shahih Muslim dengan riwayat-riwayat lain maka dipastikan bahwa hadis tersebut riwayat bi al-lafzi.
    Oleh karena kesimpulan dari kritik sanad dan matan pada hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa hadisnya Shahih.

    5.    I’tibar

    6.    Kualitas /Kedudukan Hadis
    1. Hadis kedua ini shahih karena para perawinya tsiqah. Sedangkan matan hadis ini tidak ada masalah karena tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis shahih.
    2. Hadis ketiga di atas dapat dipertanggungjawabkan meskipun ada sebagian ulama yang memberi catatan kepada sebagian perawinya yaitu Abu Bakar bin ‘Ayyasy. Namun Syekh al-Albani menilai hadis ini shahih. Terlebih lagi hadis tersebut didukung oleh syahid dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh al-Turmuzi secara makna. Sedangkan matannya tidak bertentang dengan al-Qur’an maupun hadis shahih.[37]
    3. Hadis keempat dari segi sanadnya shahih, karena semua perawinya tsiqah. Namun dari segi matan hadis tersebut dapat digolongkan syaz karena sebenarnya hadis tersebut menggunakan kata namimah bukah al-gibah. Namun Syekh al-Albani menganggapnya shahih sehingga dapat dikategorikan hadis ini termasuk riwayat bi al-ma’na.   
    4. Hadis kelima tersebut hanya mencapai tingkat hasan karena sebagian perawinya hanya mencapai tingkat مقبول  saja yaitu ‘Iyadh bin Ghuthaif dan Bassyar bin Abi al-Saif, sedangkan Washil hanya mencapai tingkat صدوق dan hal itu sejalan dengan pendapat Husain Salim Asad. Sedangkan ditinjau dari matan, menurut al-Albani, jika hanya sampai pada kata “junnah“ maka hal itu shahih, namun jika ditambah kata (ما لم يخرقها) maka hadis itu dhaif dan jika sampai pada kalimat (بالغيبة) maka hadis sangat lemah. Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa kata al-gibah hanyalah tambahan imam al-Darimi. Sehingga kesimpulannya hadis tersebut daif.[38]  
    5. Hadis keenam ditinjau dari sanadnya shahih karena perawi-perawinya tidak dipermasalahkan oleh kritikus hadis kecuali Syahr bin Hausyab yang dianggap matruk oleh Syu’bah bin al-Hajjaj, sedangkan yang lain menilainya baik. Sementara Ubaidillah bin Ziyad kurang dianggap kuat. Tapi secara umum hadisnya tergolong hasan. bahkan al-Albani menganggap hadis tersebut shahih li gairih.[39]
    6. Hadis ketujuh ini hanya ditemukan dalam Musnad Ahmad, sedangkan perawinya ada yang mencapai derajat مقبول yaitu Khalid bin ‘Urfuthah, sementara yang berada di tingkat  صدوق adalah Thalhah bin Nafi’ dan Washil. Dari keterangan ini, hadis tersebut masuk kategori hasan. Menurut al-Albani, hadis tersebut Hasan li gairih.
    7. Hadis kedelapan, semua perawi hadis di atas dapat dipertanggungjawabkan meskipun ada yang hanya mencapai tingkat صدوق yaitu Ibnu al-Mushaffa dan Baqiyyah bin al-Walid. Walau demikian hadisnya tidak berarti dhaif tetapi masuk dalam status hasan, bahkan menurut al-Albani, hadis itu shahih, dan kadang Shahih li gairih.[40] Sedangkan matan hadis tersebut tidak bisa dinilai dari segi rasionalitas karena kandunganya berupa informasi ukhrawi.
    8. Hadis kesembilan dinilai dhaif karena Ubad bin Katsir termasuk perawi matruk. Sehingga berimplikasi pada matan hadisnya juga dhaif.
    7.    Klasifikasi Hadis
    a.    Pengertian gibah
    Kata الغيبة berasal dari akar kata غ – ي –ب yang dalam kitab Maqayis al-Lughah diartikan sebagai “sesuatu yang tertutup dari pandangan”[41] sehingga yang dimaksud dengan الغيب dalam al-Qur’an adalah sesuatu yang tidak bisa dipanca indra atau sesuatu yang hanya diketehui oleh Allah swt.
    Sedangkan dalam istilah syar’i, ulama memberikan ragam definisi. Di antaranya adalah:
    -          Imam al-Raghib mengatakan bahwa gibah adalah “Seseorang menceritakan aib orang lain tanpa ada keperluan”.[42]
    -          Menurut Imam al-Ghazaly, gibah adalah “menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya andaikan hal itu sampai padanya”.[43]
    -          Imam Nawawi mendefinisikannya dengan “Menceritakan seseorang pada saat dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak disukainya”.[44] Dan beberapa definisi lain.
    Definisi yang diberikan para ulama meskipun beragam, semuanya berdasarkan hadis Rasulullah:  
    ...أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما يكره قيل أفرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته[45]

    Namun mereka berbeda dalam memahami kandungan hadis tersebut. Hal itu terjadi karena teks hadisnya masih sangat umum, khususnya yang terkait dengan dua kata yaitu:
    ذكرك أخاك dan بما يكره
    Ulama dalam menjelaskan kata ذكرك أخاك terbagi dalam dua kelompok. Sebagian mereka tetap memberlakukan keumuman teks hadis tersebut sehingga menimbulkan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kalimat itu adalah menceritakan seseorang, baik dia ada di tempat maupun tidak. Namun mayoritas ulama hadis, khususnya yang mendalami lughah (bahasa) mengatakan bahwa maksud teks itu hanya ditujukan kepada orang yang ghaib (tidak ada di tempat). Hal itu berdasarkan akar kata الغيبة  yang berarti tidak hadir.[46]
    Di samping itu kata ذكرك أخاك juga dapat dipahami bahwa gibah hanya berlaku kepada sesama muslim karena yang digunakan adalah الأخ (saudara seagama) sehingga Imam ‘Iyadh mengatakan bahwa gibah tidak terjadi kepada orang kafir. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa gibah tidak hanya berlaku untuk orang Islam semata melainkan juga orang kafir akan tetapi dengan catatan bahwa gibah itu terkait dengan dirinya bukan agamanya. Argumen yang diajukan ulama yang mengatakan bahwa gibah berlaku umum adalah hadis yang menggunakan teks المرء (bukan الأخ) sebagaimana yang terdapat dalam matan hadis Muwattha’ Malik.[47]  
    Sedangkan kata بما يكره tidak memberikan batasan apa saja yang masuk kategori sesuatu yang tidak disukai. Walaupun demikian, mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan بما يكره adalah kekurangan seseorang baik yang terkait dengan fisik, agama, dunia, jiwa, akhlak, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, pakaian, cara jalan dan lain-lain yang semuanya mengarah pada kekurangan dan perendahan. Dan dalam hadis ini juga tidak menyebutkan bagaimana bentuk gibah itu, apakah hanya melalui mulut atau boleh dengan yang lain, sehingga sebagian besar ulama memberkakukan bahwa gibah bisa terjadi dengan ungkapan, tulisan, simbol, kode, isyarah dan hikayat.[48]
    Meskipun ulama memberikan berbagai pandangan tentang gibah, penulis sendiri cenderung membatasi gibah pada arti “Menceritakan seseorang pada saat dia  tidak ada dengan sesuatu yang tidak disukai tanpa ada tujuan yang diperbolehkan oleh syariat”.  Pemahaman tersebut di atas, disamping berdasarkan teks hadis tersebut, juga hadis-hadis Rasulullah sebagai berikut:           
    1-    ...أن عائشة حكت امرأة عند النبي صلى اللهم عليه وسلم ذكرت قصرها فقال النبي صلى اللهم عليه وسلم قد اغتبتيها[49]
    2-    ...ان رجلا سأل رسول الله  صلى الله عليه وسلم ما الغيبة فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ان تذكر من المرء ما يكره ان يسمع قال يا رسول الله وإن كان حقا قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  إذا قلت باطلا فذلك البهتان[50]
    3-    ....فلما حللت ذكرت له أن معاوية بن أبي سفيان وأبا جهم خطباني فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك لا مال له انكحي أسامة بن زيد فكرهته ثم قال انكحي أسامة فنكحته فجعل الله فيه خيرا واغتبطت[51]
    Dari ketiga hadis diatas, dapat dipahami pengertian dan cakupan gibah dalam persfektif hadis. Hadis pertama misalnya menjadi penjelas tentang cakupan gibah yang antara lain terkait dengan fisik. Sementara hadis kedua menjelaskan bahwa gibah terjadi ketika orang tersebut tidak ada. Hal itu dapat dipahami dari kata ما يكره أن يسمع  (tidak senang jika didengar) sedangkan hadis ketiga menjadi alasan/argumen bahwa yang termasuk gibah jika tidak ada tujuan yang diperbolehkan syara’ seperti hadis tersebut yang menjelaskan tentang nasihat Rasulullah kepada Fathimah binti Qais yang dilamar oleh Abu Jaham dan Mu’awiyah dengan menyebutkan kekurangan mereka masing-masing.      
    b.    Batasan-batasan gibah
    Berdasarkan pengertian di atas bahwa gibah jika ada tujuan yang diperbolehkan syara’ maka hal itu boleh saja dan tidak tergolong gibah yang dilarang oleh agama. Di antara tujuan-tujuan yang diperbolehkan itu adalah:
    1)      Melaporkan penganiayaan
    Seorang yang dianiaya, berhak melaporkan penganiayaan terhadap aparat yang berwenang, baik presiden, hakim atau siapa saja yang memiliki wewenang untuk menangani kasus tersebut. Sebagaimana kasus yang terjadi pada masa Rasulullah:
    ...أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم يتقاضاه فأغلظ فهم به أصحابه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم دعوه فإن لصاحب الحق مقالا ثم قال أعطوه سنا مثل سنه قالوا يا رسول الله إلا أمثل من سنه فقال أعطوه فإن من خيركم أحسنكم قضاء.[52]

    2)      Minta tolong untuk merubah kemunkaran
    Menggunjing diperbolehkan pula diwaktu meminta pertolongan agar sebuah kemunkaran dapat diubah atau agar seorang yang melakukan maksiat atau kesalahan itu dapat diarahkan ke jalan yang baik kembali.   
    3)      Meminta fatwa
    Meminta fatwa atau penerangan hukum agama adalah salah satu hal yang membolehkan melakukan gibah sebab hal itu pernah terjadi pada masa Rasulullah ketika seorang wanita yaitu Hindun bin Uthbah menghadap Rasulullah dan melaporkan kekikiran suaminya, Abu Sufyan. Lalu Rasulullah memberinya solusi pemecahan masalahnya dengan mengatakan:
    عن عائشة أن هند بنت عتبة قالت يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم فقال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف.[53]


    4)      Mengingatkan penipuan  atau menakut-nakuti
    Menceritakan kelakuan tidak baik atau trik penipuan seseorang kepada orang lain agar waspada terhadap orang tersebut atau menjauhi agar terhindar dari kejahatannya atau menakut-nakuti orang lain dengan menceritakan kejelekan dan bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan orang tersebut. Semisal para perawi hadis atau ada seorang pedagang yang melakukan penipuan kemudian diceritakan kepada orang lain yang ingin bertransaksi dengannya untuk waspada atau menghindarinya. Atau ada seorang wanita yang ingin menikah dengan orang yang tidak baik kemudian diceritakan kejelekannya supaya terhindar darinya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. dalam salah satu hadis yang telah disebutkan di atas yakni:   
    ...أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك لا مال له انكحي أسامة بن زيد فكرهته ثم قال انكحي أسامة فنكحته فجعل الله فيه خيرا واغتبطت.

    5)      Menanyakan seseorang yang lebih dikenal dengan gelarnya.
    Menggunjing dengan menyebutkan gelar (negatif) yang lebih dikenal dari pada namanya sendiri itu diperbolehkan dan hal itu banyak terjadi dalam kalangan ulama-ulama besar Islam semisal al-A’masy, al-A’ma, al-A’raj dan gelar-gelar yang menjurus negatif akan tetapi tujuan menyebutkan hanya sebatas pengenalan bukan atas dasar menjatuhkan atau mencela. Jika bukan tujuan di atas, maka menyebutkan sifat atau gelar mereka termasuk gibah yang dilarang oleh syara’    
    6)      Menceritakan orang yang sudah dikenal jahat
    Seorang yang terang-terangan melakukan kefasikan bahkan bangga dengan perbuatannya itu dapat diceritakan perbuatannya kepada orang lain. Semisal pemabuk, penodong dan sebagainya.[54]
    c.    Hukum Gibah
    Jika melihat hadis-hadis yang berbicara tentang gibah, dapat dipahami bahwa gibah adalah sesuatu yang dilarang oleh agama, baik al-Qur’an maupun hadis. Al-Qur’an misalnya menggambarkan pelaku gibah itu bagaikan orang yang makan daging saudaranya dalam keadaan mati.[55] Artinya status hukum gibah sama halnya dengan makan bangkai karena orang yang dimakan bangkainya tidak merasakan apa-apa sama dengan orang yang digibah tidak merasakan apa-apa, padahal harga diri seseorang itu bagaikan dagingnya.[56] Sedangkan hadis-hadis yang melarang gibah  disamping hadis-hadis yang telah disebutkan di atas, juga hadis berikut:   
    قال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته...[57]
    Dengan memperhatikan ayat dan hadis-hadis yang telah dipaparkan, dapat dipahami bahwa gibah merupakan sesuatu yang diharamkan. Hanya saja, ulama berbeda pendapat tentang apakah gibah masuk dosa besar atau hanyalah dosa kecil. Sebagian ulama berpendapat bahwa gibah tergolong dosa besar sementara ulama yang lain mengatakan bahwa gibah jika dilakukan oleh orang-orang yang tidak menuntut ilmu atau pengkaji al-Qur’an (masyarakat biasa) maka hanya masuk dalam kategori dosa kecil.[58]
    Akan tetapi jika melihat hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya: وما يعذبان في كبير أما أحدهما فيعذب في البول وأما الآخر فيعذب في الغيبة maka gibah tergolong dosa kecil saja, bukan dosa besar namun siksaan bagi pelakunya tetap pedih.      
    Walaupun demikian, dalam pandangan penulis, hal terpenting dari gibah bukan terletak pada dosa besar atau dosa kecilnya akan tetapi gibah merupakan tindakan yang dikecam, baik oleh al-Qur’an, al-Hadis maupun oleh manusia itu sendiri dan merupakan sifat yang harus dihaindari oleh setiap manusia, khususnya umat Islam tanpa memandang apakah orang terpelajar, intelektual atau masyarakat biasa, sebab dampak dari gibah dapat diarasakan dan dialami oleh siapa saja. Dan siapapun pelakunya akan mendapatkan dosa dan hukuman di sisi Allah swt, sedangkan besar-kecilnya dosa itu adalah wewenang mutlak Allah swt.
    d.   Sanksi Gibah
    Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa gibah dapat merusak kehormatan orang lain dan dapat memicu perpecahan dan perselisihan di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, sanksi bagi para pelaku gibah yang dipaparkan oleh hadis-hadis Rasulullah saw. sebagai berikut:
    1.      Mendapatkan siksaan kubur.
    ... مر النبي صلى اللهم عليه وسلم بقبرين فقال إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير أما أحدهما فيعذب في البول وأما الآخر فيعذب في الغيبة[59]

    Hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah mendengarkan siksaan dari dalam dua kubur yang salah satunya disiksa karena dosa gibah.       
    2.      Menjerumuskan ke dalam api neraka
    ... عن النبي صلى اللهم عليه وسلم قال من ذب عن لحم أخيه بالغيبة كان حقا على الله أن يعتقه من النار[60]
    Sebenarnya dalam hadis di atas, tidak dijelaskan bahwa orang yang melakukan gibah akan dimasukkan ke dalam api neraka, akan tetapi dapat dipahami secara terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa orang yang menghalau atau menghindari perilaku gibah maka Allah akan menyelamatkannya dari api neraka berarti orang yang melakukan gibah tidak akan diselamatkan dari api neraka.  
    3.      Mengeluarkan bau busuk di hari kiamat.  
    ... فقال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم أتدرون ما هذه الريح هذه ريح الذين يغتابون المؤمنين[61]
    Salah satu sanksi yang akan diterima oleh pelaku gibah di hari kiamat nanti adalah dia akan mengeluarkan bau bangkai busuk sebagaimana dia suka memakan bangkai pada saat masih hidup.
    4.      Menyiksa diri sendiri.
    ... قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم[62]
    Di antara siksaan atau sanksi yang akan diperoleh oleh orang yang melakukan gibah adalah dia akan diberi kuku dari besi kemudian melukai, mencakar dan mencabik-cabik muka dan dada mereka sendiri.  
    Sebenarnya masih ada sanksi bagi para pelaku gibah, khususnya gibah yang dilakukan oleh orang puasa dapat berdampak pada pahala puasa dimana gibah akan menghabiskan pahalanya, sehingga dalam hadis dikatakan bahwa puasa digambarkan bagaikan bunga atau perlindungan yang sewaktu-waktu dapat dirusak atau dibakar oleh hama gibah. Namun hadis di atas tidak dapat dijadikan hujjah karena mayoritas ulama menilainya lemah. 
    عن رسول الله صلى اللهم عليه وسلم يقول الصوم جنة ما لم يخرقها قال أبو محمد يعني بالغيبة[63]
     
    Dan masih banyak sanksi yang ditemukan dalam buku-buku tentang gibah, bahkan dalam ensiklopedi Islam ditemukan sebuah hadis yang menunjukkan betapa gibah lebih berbahaya daripada zina karena pelaku zina dapat bertaubat langsung kepada Allah sementara pelaku gibah harus meminta maaf kepada orang yang digibah sebelum meminta ampun kepada Allah swt. akan tetapi penulis menemukan hadis tersebut dhaif karena salah satu perawinya adalah matruk atau dhaif yaitu ‘Ubad bin Katsir.
    ... قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الغيبة أشد من الزنا. قيل: وكيف؟ قال: "الرجل يزني ثم يتوب، فيتوب الله عليه، وإن صاحب الغيبة لا يغفر له حتى يغفر له صاحبه"[64]
    Oleh karena itu, penulis tidak menjadikan kedua hadis di atas sebagai pembahasan inti dalam makalah ini, akan tetapi diletakkan dalam pembahasan akhir sebagai penutup dan bahan pertimbangan dengan alasan keduanya tidak dapat dipertanggungjawabkan kehujjahannya. Meskipun demikian, penulis tetap mencantumkannya sebagai bahan informasi sekaligus mengakomidir perbedaan ulama dalam menilai kedua hadis  tersebut.
    BAB III
    PENUTUP
    A.    Kesimpulan
    Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait dengan makalah ini sebagai berikut:
    1.      Metode Maud}u>’i> adalah pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontolgisnya maupun aspek epistemologis dan aksiologisnya saja atau salah satu sub dari salah satu aspeknya.
    2.      Aplikasi hadis maud}u>’i< bisa dilakukan dengan memperhatikan beberapa langkah yaitu: Penetapan judul, takhrij al-hadis, mengumpulkan sanad, matan dan mukharrij hadis-hadis yang terkait dengan judul sekaligus menetatapkan status hadisnya dengan melakukan kritik sanad dan matan, kemudian klasifikasi hadis dalam bentuk ontologis, epistemologis dan aksiologisnya. Semisal topik gibah, setelah melalui kajian, ditemukan ada 9 hadis pokok yang dikaji dan dari hasil kajian ditemukan ada 2 dhaif sedangkan yang lain statusnya hasan dan shahih. Hadis-hadis tersebut kemudian diklasifikasi dalam 3 kategiri yaitu:
    a.       Gibah dari segi etimologi adalah sesuatu yang tertutup dari pandangan sedangkan secara terminologi, gibah adalah menceritakan seseorang pada saat dia  tidak ada dengan sesuatu yang tidak disukai tanpa ada tujuan yang diperbolehkan oleh syariat.
    b.      Berdasarkan hadis-hadis Nabi, gibah tergolong dosa kecil, bukan dosa besar namun siksaan bagi pelakunya tetap pedih.  
    c.       Di antara sanksi-sanksi yang akan dirasakan oleh pelaku gibah adalah mendapatkan siksaan kubur, pahala terhapus, dijerumuskan ke dalam api neraka, mengeluarkan bau busuk di hari kiamat dan menyiksa dirinya sendiri.
    B.     Implikasi
    Dengan metode maud}u>’i<, satu topik dapat dilihat secara komprehensif dari berbagai sudut hadis sehingga permasalahan-permasalahan karena perbedaan matan dan kandunagn hadis dapat diminimalisir dan didamaikan, bahkan permasalahan-permasalahan di tengah-tengah masyarakat dapat diselesaikan dengan metode ini.
    Hadis-hadis yang telah diteliti dan dikaji dalam makalah ini dapat dijadikan pegangan dalam memberikan definisi tentang gibah, khususnya dalam menanamkan pemahaman-pemahaman yang benar terhadap masyarakat awam. Gibah yang dilarang oleh al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi tersebut dapat dijadikan pedoman dan diterapkan pada kondisi sekarang ini, di mana masyarakat terkadang salah memahami apa dan bagaimana gibah yang sebenarnya. Selain itu, para da’i dan ulama hendaknya memperhatikan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat, sementara orang tua harus mendidik anak-anaknya sejak dini agar menjauhi sifat-sifat tercela termasuk gibah sesuai dengan syariat agama dan hadis-hadis Rasulullan saw. Semoga dengan memberikan pemahaman dan pendidikan seperti itu, mereka akan menjalankan agama dengan baik dan tumbuh menjadi anak yang beriman serta memiliki wawasan keilmuan.

    DAFTAR PUSTAKA
    Abu> al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
    Abu> Da>ud, Sulaiman bin al-Asy’as| al-Azdi<, Sunan Abi< Da>ud, Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.
    Abu> Ha>tim, Muhammad ibn Hibba>n ibn Ahmad, al-S|iqa>t, Cet. I; Bairut: Da>r al-Fikr, 1390 H/1975 M.
    Ahmad, Arifuddin, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar, 2007.
    ___________, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
    Al-Afriqi<, Muhammad bin Mukrim bin Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Bairut: Da>r Ihya>’ al-Turas| al-‘Arabi<, 1996.
    Al-Alba>ni<, Muhammad Na>s}ir al-Dial-Silsilah al-D{a’ial-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
    __________, Al-silsilah al-S{ahi, al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
    __________, D{a’ial-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
    __________, S}ahiCet. V; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
    Al-Asqala>ni<, Ahmad ibn Ali ibn Hajar, Tahz|iCet. I; Bairut: Da>r al-Fikr, 1404 H/1984 M.
    _____________, Fath al-Ba>ri<, Bairut: Da>r al-Fikr, 1414 H/1991 M.
    Al-Bagda>di>, Abu> Bakr al-Khat}iTa>rikh Bagda>d,
    Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
    Al-Ba>ji<, Abu> al-Walif bin Sa’ad, al-Muntaqa> Syarh Muwat}t}a’ Ma>lik, Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi<, 1403 H./1983 M.
    Al-Bukha>ri<, Muhammad bin Isma>’iS}ahiri<,
    Riya>d}: Da>r ‘A
    Al-Dahlawi>, Abd Haq ibn Saifuddin, Muqaddimah fi> Us{u>l al-Hadi>s, Cet. II; Bairut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1406 H/1989 M.
    Al-DamiMaqa>yis Naqd Mutu>n  al-Sunnah
    , Riya>d}: Ja>mi’ah Ibn Sa’u>d, 1984.
    Al-Da>rimi<, Abu> Muhammad Abdullah bin Abd Rahma>n, Sunan al-Da>rimi<, Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi<, 1407 H.
    Al-Farma>wi<, Abd al-Hayyi, al-Bida>yah fi< al-Tafsi’i< Dira>sah Manhajiah Maud}u>’iyah. diterj. Rosehan Anwar dan Maman Abd Jalil, Metode Tafsir Maudhui. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1423 H/2002 M.
    Al-Gaza>li<, Abu> Ha>mid Muhammad bin Muhammad, Ihya>’ ‘Ulu>m al-DiCet. I; Bairut: Da>r al-Fikr, 1991.
    Al-Haitami<, Ahmad ibn Hajar, Tat}hiBairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1409 H./1988 M.
    Al-Khat}ij, Us}ūl al-Hadīs|, `’Ulūmuh wa Mus}t}alahuh, Bairut: Da>r al-Fikr, 1989.
    Al-Mizzi<, Abu> al-Hajja>j Yu>suf ibn al-Zaki<, Tahz|il, Cet. I; Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H/1980 M.
    Al-Nawawi<, Abu> Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarh al-Nawawi< ‘ala> S{ahiBairut: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.
    Al-Qusyairi<, Abu> al-Husain Muslim bin Hajja>j, S}ahiRiya>d}: Da>r ‘A
    Al-Suyu>t}i>, Abd Rahman, T{abaqa>t al-Huffa>z}, CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, http://www.alwarraq.com.
    _____________, Syarh al-Suyu>t}i< li Sunan al-Nasa>i<, Cet. II; Halb: Maktab al-Mat}bu>’ah al-Isla>miyah, 1406 H/1986 M.
    Al-Syauka>ni<, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadi, Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994.
    Al-T{ahha>n, Mahmu>d, Taisi>r Mus}t}alah al-Hadi>s, Cet.II; al-Riyad{: Maktabah al-Ma’a>rif, 1407 H/1987 M.
    Al-Thabrani<, al-Mu’jam al-Aus}a>t}, CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
    Al-Turmuz|i<, Abu> I Muhammad bin I, Sunan al-Turmuz|i<, Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
    Al-Zarqa>ni<, Muhammad bin Abd Ba>qi<, Syarh al-Zarqa>ni< ‘ala> Muwat}t}a’ Ma>lik, Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H./1990 M.
    Anas, Abu> Abdillah Ma>lik bin, Muwat}t}}a’ Ma>lik, Bairut: Da>r al-Kutub Al-‘Ilmiyah, t.th.
    Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
    Finstik, Dr. A.Y, alih bahasa Muhammad Fuad Abd Baqi, Mifta>h Kunu>z al-Sunnah, Lahor Pakistan Barat: Alam Markits, 1391 H/1941 M.
    Hambal, Ahmad bin, Musnad Ahmad, Bairut Lebanon: Da>r al-Fikr, 1415 H/1995 M.
    Ibn al-S}ala>h, ‘Ulu>m al-HadiMadi
    Ibnu Ma>jah, Abu> Abdillah Muhammad bin YaziSunan Ibnu Ma>jah
    , Bairut: Da>r al-Fikr, 1415 H/1995 M.
    Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, cet ke-1, 2008.
    Muslim, Musta>fa>, Maba>his fi> al-Tafsi>r al-Maud{u>’i<, Cet. I; Damasqus: Da>r al-Qalam, 1410 H/1989 M.
    Sulaiman PL, HM. Noor, Antologi Ilmu Hadis, Cet. II; Jakarta: Gaung Persada, 2009.
    Wensinck, A.J. dkk. Alih Bahasa Muhammad Fuad Abd Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfaz} a-HadiLaiden: E.J. Brill, 1969.


    [1]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2.
    [2]Muhammad bin Isma>’iri<, S}ahi>h al-Bukha>ri>, Kitab al-Iman bab al-Muslim Man Salim al-Muslimun min Lisan…  (Riya>d{: Da>r ‘A
    [3]Al-Qur’an menggambarkan gibah itu bagaikan memakan daging bangkai saudara sebagaimana dalam surah al-Hujura>t: 12. sementara dalam hadis-hadis Nabi, gibah diandaikan sebagai virus yang sewaktu-waktu menyerang dan menghabisi hasil-hasil tanaman dari amal ibadah.  
    [4]Abu> al-Husain Ahmad ibn Fa>ris ibn Zaka>riya<>, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah (Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.), vol. 2 h. 218.
    [5]Musta>fa> Muslim, Maba>his fi> al-Tafsi>r al-Maud{u>’i< (Cet. I; Damasqus: Da>r al-Qalam, 1410 H/1989 M) h. 16.    
    [6]Abd al-Hayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi< al-Tafsi>r al-Maud{u>’I< Dira>sah Manhajiah Maud}u>’iyah. diterj. Rosehan Anwar dan Maman Abd Jalil, Metode Tafsir Maudhui. (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1423 H/2002 M), h. 44.  
    [7]Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis (Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar) h. 4.
    [8]I’tibar adalah suatu proses yang membandingkan antara beberapa riwayat untuk mengetahui apakah perawinya itu sendiri meriwayatkan hadis tersebut ataukah ada perawi lain yang meriwayatkannya. Jika ada perawi/sanad yang lain, apakah kedua sanad itu sama di tingkat sahabat ataukah berbeda? Jika sama ditingkat sahabat akan tetapi berbeda ditingkat setelah disebut berarti hadis tersebut ada muta’bi’-nya, jika berbeda ditingkat sahabat maka hadis tersebut ada syahid-nya. Lihat: Abd Haq ibn Saifuddin al-Dahlawi>, Muqaddimah fi> Us{u>l al-Hadi>s (Cet. II; Bairut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1406 H/1989 M), h. 56-57. Bandingkan dengan Mahmu>d al-T{ahha>n, Taisi>r Mus}t}alah al-Hadi>s, (Cet.II; al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, 1407 H/1987 M), h. 142.       
    [9]Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis. Op.Cit. h. 20-21.
    [10]A.J. Wensinck, dkk. Alih Bahasa Muhammad Fuad Abd Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfa>z} a-Hadi>s (Leiden: E.J. Brill, 1969), vol. 5 h. 30
    [11]Dr. A.Y Finstik, alih bahasa Muhammad Fuad Abd Baqi, Mifta>h Kunu>z al-Sunnah, (Lahor Pakistan Barat: Alam Markits, 1391 H/1941 M),  h. 395
    [12]Mah}mu>d al-T{ah{h{a>n, Op.Cit., h. 16.
    [13]Al-Damini, Maqa>yis Naqd Mutu>n  al-Sunnah, (Riya>d}: Ja>mi’ah Ibn Sa’u>d, 1984), h. 50. Lihat juga Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Ushūl al-Hadīts: `Ulūmuh wa Mus}t}alahuh (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), h. 32.
    [14]Ibn al-S}ala>h, ‘Ulu>m al-Hadis|, (Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-’Ilmiyyah, 1972), h. 18.
    [15]HM. Noor Sulaiman, PL, Antologi Ilmu Hadis (Cet. II; Jakarta: Gaung Persada, 2009), h. 20. 
    [16]Abu al-Husain Muslim bin Hajja>j al-Qusyairi>, S}ahi>h Muslim (Riya>d{: Da>r ‘A al-Turmuz|i<, Sunan al-Turmuz|i< (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.) vol. 4 h. 290. Abu> Da>ud Sulaiman bin al-Asy’as| al-Azdi<, Sunan Abi< Da>ud (Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.) vol. 4 h. 269. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad (Bairut: Da>r al-Fikr, 1415 H/1995 M), vol. 2 h. 230, 384, 386 dan 458 dan Abu> Muhammad Abdullah bin Abd Rahma>n al-Da>rimi<, Sunan al-Da>rimi< (Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi<, 1407 H), vol. 2 h. 299.     
    [17]Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad, Op.Cit. vol. 6 h. 136. 
    [18]Abu> Da>ud, Sunan Abi< Da>ud, kitab al-Adab bab fi al-Gi vol. 4 h. 270. juga terdapat di Musnad Ahmad. Op.Cit. vol. 4 h. 421 dan 424.   
    [19]Abu> Abdillah Muhammad bin Ya>zid al-Qazwijah, Sunan Ibnu Ma>jah (Bairut: Da>r al-Fikr, 1415 H/1995 M), vol. 1 h. 123-124.
    [20]Al-Da>rimi<, Sunan al-Da>rimi<. Op.Cit. vol. 2 h. 26.
    [21]Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad. Op.Cit. vol. 6 h. 461.
    [22]Ibid. vol. 3 h. 351.
    [23]Abu> Da>ud, Sunan Abi< Da>ud, Op.Cit. vol. 4 h. 269.
    [24]Al-T{abra>ni<, al-Mu’jam al-Aus}a>t}, vol. 6 h. 348. diambil dari CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah. Dan lihat Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) vol. 2 h. 213. 
    [25]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Sinar Grafika Offset, cet ke-1, 2008) h. 247.
    [26]Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqala>ni<, Tahz|i(Cet. I; Bairut: Da>r al-Fikr, 1404 H/1984 M), vol. 12 h. 288.
    [27]Ibid. vol. 6 h. 269.
    [28]Abu> al-Hajja>j Yu>suf ibn al-Zaki< al-Mizzi<, Tahz|il (Cet. I; Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H/1980 M), vol. 31 h. 
    [29]Al-Mizzi<, Tahz|il, Op.Cit. vol. 22 h. 520.  Lihat juga: al-Asqala>ni<, Tahz|ivol. 8 h. 166.
    [30]Abd Rahma>n Jala>luddin al-Suyu>t}i>, T{abaqa>t al-Huffa>z} (CD ROM al-Maktabah al-Syamilah) http://www.alwarraq.com, vol. 1 h. 19.   
    [31]Abu> Bakr al-Khat}i>b al-Bagda>di>, Ta>rikh Bagda>d (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), vol. 11 h. 416. 
    [32]Ibid, vol. 11 h. 416.  
    [33]Abu> Ha>tim Muhammad ibn Hibba>n ibn Ahmad, al-S|iqa>t (Cet. I; Bairut: Da>r al-Fikr, 1390 H/1975 M), vol. 9 h. 20. 
    [34]Al-Asqala>ni<, Tahz|ivol. 8 h. 322.
    [35]Al-Mizzi<, Tahz|il, vol. 31 h. 238-241.
    [36] Ibid. vol. 31 h. 238. 
    [37]Muhammad Na>s}ir al-Dini, S}ahi(Cet. V; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.), vol. 2 h. 292.
    [38]Muhammad Na>s}ir al-Dini<, al-Silsilah al-D}a’i(al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.), vol. 3 h. 631., Muhammad Na>s{ir al-Dini<, D{a’i(al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.), vol. 1 h. 166.  Abd Rahman al-Suyu>t}i<, Syarh al-Suyu>t}i< li Sunan al-Nasa>i< (Cet. II; Halb: Maktab al-Mat}bu>’ah al-Isla>miyah, 1406 H/1986 M), vol. 4 h. 164.  
    [39]Al-Alba>ni<, S}ahi, Op.Cit. vol. 3 h. 52.
    [40]Muhammad Na>s}ir al-Dini<, Al-silsilah al-S}ahi (al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.), vol. 2 h. 69. Shahih al-Targib wa al-Tarhib, Op.Cit. vol. 3 h. 51.
    [41]Ibnu Fa>ris, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, Op.Cit., vol. 4 h. 340.   
    [42]Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqala>ni<, Fath al-Ba>ri<, (Bairut: Da>r al-Fikr, 1414 H./1991 M.), vol. 12 h. 88.  
    [43]Abu Ha>mid Muhammad bin Muhammad al-Gaza>li<, Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di(Bairut: Da>r al-Fikr, Cet. I, 1991), vol. 2 h. 338.
    [44]Abu> Zakariya> Yahya bin Syaraf al-Nawawi<, Syarh al-Nawawi< ‘ala> S}ahi(Bairut: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.), vol. 16 h. 142.  
    [45]Lihat hadis no. 1.   
    [46]Muhammad bin Mukrim bin Manz{u>r al-AfriLisa>n al-‘Arab
    (Bairut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s| al-‘Arabi<, 1996), vol. 1 h. 654.
    [47]Bunyi teksnya: ...أن تذكر من المرء ما يكره أن يسمع... , Muhammad bin Abd Ba>qi< al-Zarqa>ni<, Syarh al-Zarqa>ni< ‘ala> Muwat}t}a’ Ma>lik (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H./1990 M.) vol. 4 h. 520. Hadisnya shahih. 
    [48]Abu> al-Wali>d Sulaiman bin Khala>f bin Sa’ad al-Ba>ji<, al-Muntaqa> Syarh Muwat}t}a’ Ma>lik, (Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi<, 1403 H./1983 M.), vol. 7 h. 311.
    [49]Lihat hadis no. 2  
    [50]Abu> ‘Abdillah Ma>lik bin AMuwat}t}a’ Ma>lik,
    kitab al-Ja>mi’ bab Ma> Ja>’a fi< al-Gi  (Bairut: Da>r al-Kutub Al-‘Ilmiyah) h. 538. salah satu perawi hadis ini yaitu al-Mutthalib bin Abdullah bin Hanthab dinilai cacat oleh Muhammad bin Sa’ad dengan mengatakan لا يحتج بحديثه tetapi mayoritas kritikus menilainya tsiqah sehingga hadis ini masih bisa dipertanggungjawabkan. Lihat: al-Mizzi<: i="i">Tahz|il, Op.Cit., vol. 28 h. 81.  
    [51]Muslim, S}ahi Kitab al-T{ala>q bab al-Mut}alliqah S|ala>s|, Op.Cit. vol. 2 h. 1114. Mengenai status hadis tersebut shahih karena semua perawinya tsiqah.
    [52]Al-Bukha>ri<, S}ahiri<, kitab al-Wika>lah bab al-Wika>lah fi Qad}a>’ al-Duyu>n. Op.Cit. vol. 3 h. 61-62.  Status hadis ini shahih sebab perawinya s|iqah.
    [53]Ibid. vol. 6 h. 193. perawi-perawi hadis ini dapat dipercaya dan tidak ditemukan krikus hadis yang mencelanya sehingga dapat disimpulkan hadisnya shahih.
    [54]Abu> Zakariya> Yahya bin Syaraf al-Nawawi<, Op.Cit., vol. 16 hal. 142. Lihat juga: al-Ghazali, Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, diterj. Zainuddin, Bahaya Lidah (Jakarta: Bumi Aksara, 1994, Cet. II) h. 79-82  
    [55]Surah al-Hujura>t ayat 12 yaitu:
    يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب رحيم
    [56]Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syauka>ni<, Fath al-Qadi. (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), vol. 7 h. 17
    [57]Untuk sanad dan matan yang lengkap, lihat hadis no. 3. 
    [58]Ahmad bin Hajar al-Haitami<, Tat}hi(Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1409 H./1988 M.), h. 79.
    [59]Lihat hadis no. 4.
    [60]Lihat hadis no. 6.
    [61] Lihat hadis no, 7.
    [62]Lihat hadis no. 8.
    [63]Lihat hadis no. 5.
    [64]Lihat hadis no. 9.

    Tidak ada komentar: