Revisi Makalah
METODOLOGI
PEMAHAMAN HADIS
MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata
Kuliah Ulumul Hadis
Oleh:
A
L I Z A
NIM
: 80100209016
Dosen Pemandu :
Prof. Dr. Hj. Andi
Rasdiyanah
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sempurna yang haus akan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak hanya bersumber dari suatu yang sifatnya
rasio atau aqli, akan tetapi juga
bersifat naqli. Dalam memahami
berbagai persoalan dunia maupun agama, seorang Muslim tentunya sangat
tergantung pada unsur aqli dan naqli. Khusus dalam persoalan naqli ini
berarti tidak terlepas dari persoalan al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan
sumber utama dalam prinsip Islam.
Hadis atau “Sunnah”[1] adalah segala sesuatu dinisbatkan kepada Nabi Muhammad
SAW baik berupa perkataan, perbuatan
atau ketetapan atau sifat Khuluqiyyah (sifat akhlak nabi) atau Khalqiyah (sifat
ciptaan atau bentuk tubuh nabi) sebelum bi’tsah (diutus menjadi rasul) atau
sesudahnya.[2]
Secara epistomologi. Hadis dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai
sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.[3] Sebab ia merupakan bayan (penjelasan), terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal
(global), ‘am (umum) dan mutlaq
(tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum
ditetapkan oleh al-Qur’an.[4]
Hadis juga mempunyai fungsi penjelasan bagi al-Qur’an, menjelaskan yang
global, mengkhususkan yang umum dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.[5]
Selain itu, as-Sunnah oleh Yusuf Qardhawi, adalah penafsiran praktis
terhadap al-Qur’an, implementasi realitas, dan juga implementasi ideal Islam.
Pribadi nabi Muhammad SAW itu sendiri adalah merupakan penafsiran al-Qur’an dan
pengejawantahan Islam.[6]
Keberadaan hadis tidak hanya telah mewarnai masyarakat dalam berbagai
kehidupan, terutama dalam dunia akademisi, akan tetapi juga telah menjadi
bahasan dalam kajian dan penelitian yang menarik dan tiada hentinya, termasuk
pendekatan dan metodologi pemahaman hadis beserta aplikasinya.
Namun demikian, untuk memahami maksud suatu hadis secara baik terkkadang
relative tidak mudah, khususnya jika kita menjumpai hadis-hadis yang tampak
saling bertentangan. Terhadap hal yang demikian, biasanya para ulama hadis
metode tarjih (pengunggulan) atau nasakh-mansukh (pembatalan) atau metode al-jam’u (mengkompromikan) atau tawaqquf (mendiamkan) untuk tidak
mengamalkan hadis sampai ditemukan adanya keterangan.[7]
Sikap mendiamkan atau mentawaqqufkan
hadis ini masih bias diberikan solusi dengan
cara memberikan takwil atau interpensi secara rasional terhadap hadis
tersebut.[8]
Dalam diskursus hadis Nabi, disana ada sekian metode, teknik dan
pendekatan yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memahami hadis-hadis Nabi
yang selanjutnya akan dijadikan sebagai perangkat dalam penggunaan dan
aplikasinya.
B.
Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, akan diuraikan secara sederhana
beberapa metodologi memahami hadits Nabi saw sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Metode
Tahlili, Muqaran, dan Maudu’i ?
2. Bagaimanakah Teknik
Interprentasi secara Tekstual, Intertekstual dan Kontekstual?
3. Bagaimanakah Pendekatan
Linguistik, Historis dan Sosiologis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Metode Tahlili, Muqaran, dan Maudu’i
1.
Metode Tahlili
Kata tahlili berasal dari
bahasa Arab, حلل-
يحلل- تحليلا, yang berarti “mengurangi, menganalisis”.[9] Metode tahlili adalah
metode dalam menyoroti hadits dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung di dalamnya, mencakup semua kehidupan manusia, baik aspek vertical,
horizontal maupun kedalamannya. Aspek vertical meliputi dimensi zaman yang
melputi kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggaal dunia bahkan sejak
lahir sampai pasca kematiannya.[10]
Aspek horizontal meliputi semua dimensi kehidupan manusia, dimana
petunjuk Nabi Saw (sunnah) mengatur semuanya, baik dirumah, pasar, mesjid,
jalan dan tempat kerja; mengatur hubungan dengan Allah SWT. Hubungan dengan
diri sendiri, hubungan dengan keluarga dan hubungan dengan orang lain, baik
muslim maupun non muslim, bahkan dengan sesame manusia, hewan dan benda mati.
Adapun yang dimaksud dengan aspek kedalamannya yang berkaitan dimensi
“dalam” kehidupan manusia, yang menyangkut jasad, akal dan roh meliputi sisi
lahir dan bathin serta ucapan perbuatan dan niat.[11]
2.
Metode Muqaran
Untuk mengetahui
ada atau tidak adanya matn lain yang
memiliki topic masalah yang sama, perlu dilakukan takhrij al-hadits bi al-maudlui. Apabila ternyata ada matn lain yang bertopik sama, maka matn itu perlu diteliti sanadnya. Apabila sanadnya memenuhi syarat,
maka kegiatan muqaran kandungan matn-matn tersebut dilakukan.[12]
Apabila kandungan matn yang diperbandingkan ternyata sama, maka dapatlah
dikatakan bahwa kegiatan penelitian telah berakhit. Tetapi dalam praktek,
kegiatan biasanya masih perlu dilanjutkan, misalnya memeriksa penjelasan
masing-masing matan di berbagai kitab
syarah sehingga dapat diketahui lebih jauh hal-hal penting yang berkaitan
dengan matan yang diteliti, misalnya
pengertian kosa kata khususnya kata-kata yang garib, pendapat ulama dan hubungannya dengan dalil-dalil yang lain.[13]
Apabila kandungan matan yang diteliti ternyata
sejalan juga dengan dalil-dalil yang kuat, maka dapatlah dinyatakan kegiatan
penelitian telah selesai. Namun bila tetap saja bertentangan, maka ulama hadits
sepakat bahwa hal itu harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan,
tetapi mereka berbeda pendapat dalam melakukan penyelesaian. Ibnu Hazm secara
tegas menyatakan bahwa matan-matan hadits yang bertentangan, masing-masing
hadits harus diamalkan maka perlu penggunaan metode exception.[14]
Syafi’i memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadits yang
tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat
global (mujmal) dan yang satunya
bersifat rinci (mufassar); mungkin
yang satu bersifat umum (‘amm) dan
yang lainnya khusus (khass); mungkin
yang satu sebagai nasikh dan yang
lainnya mansukh atau mungkun
kedua-duanya menunjukkan boleh diamalkan.[15]
Sedangkan Ibnu hajar al-Asqalani menempuh empat tahap, yakni 1. Al-jam’u; 2. Al-nasikh wa al-mansukh; 3.
Al-tarjih; 4. Al-tauqif (menuggu
sampai ada dalil yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya),[16]
3.
Metode Maudu’i
Untuk memhami sunnah Nabi dengan baik, kita harus menghimpun
hadits-hadits yang bermakna sama. Hadits-hadits yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq dihubungkan
dengan yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang khash. Dengan
demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh
dipertentangkan.[17]
Sebagaimana disepakati, sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas
Al-Qur’an. Artinya, sunnah merinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang
masih samar, mengkhususkan yang umum dan membatasi yang mutlak. Dengan
demikian, ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan juga dalam memahami
hadits yang satu dengan yang lainnya.[18]
Contoh hadits-hadits yang menerangkan tentang memanjangkan kain dengan
ancamannya yang keras, misalnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Dzar
ra dari Nabi SAW, beliau bersabda :
عَنْ
أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثَةٌ لاَ
يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمَنَّانُ الَّذِى لاَ يُعْطِى
شَيْئًا إِلاَّ مَنَّهُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْفَاجِرِ
وَالْمُسْبِلُ إِزَارَهُ
Artinya:
“Ada tiga
golongan dimana Allah tidak akan bercakap dengan mereka pada hari kiamat.
Mereka itu ialah orang yang suka member tapi suka menyebut-nyebut pemberiannya
itu, orang yang menawar-nawarkan dagangannya dengan sumpah palsu dan orang yang
suka berpakaian berjela-jela karena panjangnya.”[19]
Dan dalam riwayat lain juga bersumber dari Abu Dzar:
ثَلاَثَةٌ
لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ
يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ » قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- ثَلاَثَ مِرَارٍ. قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ
بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ ».
Artinya:
“Ada tiga golongan yang tidak bakal diajak bicara oleh
Allah pada hari kiamat, Allah tidak bakal melihat mereka, tidak bakal
mensucikan mereka dan bagi mereka disediakan siksa yang sangat pedih. Abu Dzar
berkata: Rasulullah saw mengatakan itu tiga kali. Abu Dzar berkata kepada
Rasulullah : sungguh kecewa dan rugi mereka, siapa mereka itu wahai Rasulullah?
Beliau bersabda: orang yang berpakaian yang berjela-jela, orang yang suka
memberi tetapi suka menyebut-nyebut pemberiannya dan orang yang
menawar-nawarkan barang dagangannya dengan sumpah palsu.[20]
Hadits tersebut dipertegas oleh hadits shahih Bukhari dari Abu Hurairah:
ما
أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
Artinya:
“Kain yang berada di bawah kedua mata kaki akan masuk neraka.”[21]
Al-Nasai
juga meriwayatkan dengan redaksi:
ما تحت الكعبين من الإزار ففي النار
(Kain yang ada di bawah kedua mata kaki akan masuk neraka).[22]
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar, nabi saw
bersabda:
من جر ثوبه
خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. قال أبو بكر يا رسول الله إن أحد شقي إزاري
يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم لست ممن يصنعه خيلاء.
Artinya:
“Barangsiapa berpakaian panjang hingga menyapu tanah
karena kesombongannya, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Abu Bakar
berkata: Wahai Rasulullah, salah satu bagian kainku berjuntai, hanya saja saya
sudah terbiasa dengan hal itu. Nabi saw bersabda: Engkau tidak termasuk orang
yang melakukannya karena kesombongan.”[23]
Dalam hadits yang lain pada bab yang sama dari Abu Hurairah:
لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطرا
(“Allah
tidak akan melihat orang yang menyeret kainnya karena sombong.”)[24]
Muslim telah meriwayatkan hadits Abu Hurairah dari Ibnu Umar.
Diantaranya: “Saya mendengar Rasulullah saw dengan kedua telingaku ini, beliau
bersabda:
مَنْ
جَرَّ إِزَارَهُ لاَ يُرِيدُ بِذَلِكَ إِلاَّ الْمَخِيلَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ
يَنْظُرُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya:
“Barangsiapa yang menyeret kainnya dengan maksud hanya
untuk menyombongkan diri, maka sesungguhnya Allah tidak akan melihatnya pada
hari kiamat.”[25]
Dari beberapa hadits di atas yang bertemakan sama, setelah
dikembalikan dari yang umum ke yang khusus,dapatlah disimpulkan bahwa
menjulurkan sarung (sampai ke bawah mata kaki)
karena ingin menyombong, termasuk dosa besar. Dan jika hal itu bukan
karena kesombongan pun, maka tetap saja hal itu haram menurut pengertian dzahir
hadits-hadits itu. Tetapi mengingat adanya keterangan tambahan tentang sikap
sombong dari mereka yang melakukannya, maka dapatlah disimpulkan bahwa
perbuatan menjulurkan sarung taua menyeretnya, tidaklah haram sepanjang tidak
disertai sikap kesombongan.[26]
B. Teknik Interprestasi secara Tekstual, Intertekstual
dan kontekstual
1. Secara
Tekstual
Istilah
pemahaman tekstual dimaksudkan sebagai pemahaman terhadap kandungan petunjuk
suatu hadits Nabi berdasarkan teks atau matan hadits semata tanpa
mempertimbangkan bentuk dan cakupan petunjuk, kapan dan apa sebab terjadinya,
serta kepada siapa ditujukan; bahkan tidak mempertimbangkan dalil-dalil
lainnya. Karena itu,
setiap hadits Nabi yang dipahami secara tekstual berarti petunjuk yang
dikandung di dalamnya bersifat universal.[27]
Sebagai contoh
hadits Nabi saw riwayat jama’ah kecuali Abu Daud ;
جابر
بن عبد الله رضي الله عنهما قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم الحرب خدعة (رواه
الجماعة إلا أبو داود)
Artinya:
“Dari Jabir bin abdillah ra, rasulullah saw bersabda:
Perang itu siasat”.[28]
Pemahaman terhadap petunjuk hadits
tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, bahwa setiap perang pastilah memakai
siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak
terikat oleh tempat dan waktu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa
saja pastilah memerlukan siasat. Tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk
kepada lawan tanpa syarat.[29]
2.
Secara Intertekstual
Memahami hadits Nabi secara intertekstual artinya memahami hadits dan
hubungannya (munasabah) dengan hadits lain atau antara hadits dengan ayat.
Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan matan hadits yang berbunyi:
عن
ابن عمر رضي الله عنهما: نهى النبي صلى الله عليه و سلم عن لحوم الحمر الأهلية يوم
خيبر (رواه البخارى ومسلم وغيرهما)
Artinya:
“Hadits riwayat dari Ibnu Umar r.a, Nabi saw. Melarang
(memakan) daging himar (keledai) kampung pada peperangan Khaibar.” (H.R.
Bukhari, Muslim dll).
Kalangan ulam ada yang mengatakan
bahwa petunjuk hadits tersebut merupakan salah satu contoh bahwa Rasulullah
memiliki kewenangan menetapkan hokum yang dalam Al-Qur’an tidak dinyatakan.
Pendapat itu cukup beralasan bila dilihat dari kejelasan isi teks haditsnya,
kemudian dihubungkan dengan hadits lain yang berbunyi:
عَنِ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى
أُذُنَيْهِ «إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا
مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ... (رواه البخارى ومسلم
وغيرهما)
Artinya:
“(Hadits riwayat) dari al-Nu’man bin Basyir, dia
berkata: saya mendengar dia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, (al-Nu’man
bin Basyir menunjuk kea rah kedua telinganya denagn kedua jari telunjuknya),:
Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram telah jelaas pula,
sedangkan (hal-hal) di antara keduanya adalah samar-samar, kebanyakan manusia
tidak mendengar tentang yang samar-samar itu…”[30] (H.R. Bukhari, Muslim dll).
Hadits tersebut menerangkan bahwa hukum halal dan
haram untuk berbagai hal telah jelas, namun di samping itu, masih ada pula
hal-hal yang hukumnya samar-samar. Hanya sedikit orang yang mengetahui hukum
yang samar-samar tentang hal-hal yang tertentu itu.[31] Mereka yang mengetahuinya adalah para mujtahid yang
tetap bersandar kepada dalil-dalil naqli, baik al-Qur’an maupun hadits.
Di samping itu, telah diketahui
bahwa hadits juga berfubgsi sebagai bayan
al-ta’kid dan bayan al-tafsir bagi
Al-Qur’an. Contoh hadits berfungsi sebagai bayan
al-ta’kid bagi Al-Qur’an adalah :
ألا
أنبئكم بأكبر الكبائر. قالوا بلى يا رسول الله قال: الإشراك بالله وعقوق الوالدين
وكان متكئا فجلس فقال ألا وقول الزور.
Artinya:
“Tidakkah kamu sekalian ingin aku jelaskan tentang
dosa yang paling besar? Sahut kami (para sahabat) : Ya Rasulullah, Beliau
meneruskan sabdanya (yaitu) menyekutukan Allah, berbuat durhaka kepada kedua
orang tua, (saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya
bersabda lagi: Awas ingat pula) yaitu bersaksi palsu (H.R. Bukhari Muslim).[32]
Hadits tersebut sebagai penetapan
dan menggarisbawahi ayat Al-Qur’an surah al-haj ayat 30:
واجتنبوا قول الزور
(“…dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta.”)[33]
Adapun fungsi hadits bagi Al-Qur’an
yang kedua adalah memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir bagi
Al-Qur’an. Yaitu memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih mujmal, memberikan taqyid
(persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang mutlaq, dan memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya perintah mengerjakan sembahyang, membayar
zakat dan menunaikan ibadah haji, di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan
kaifiatnya. Tetapi semuanya telah di tafshil
dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh hadits.[34] Contoh lain, hadits Nabi sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم أحلت لكم ميتتان ودمان، وأما الميتتان فالحوت والجراد
وأما الدمان فالكبد والطحال.
Artinya:
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam
darah. Adapun dua macam bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang. Sedangkan
dua macam darah itu adalah hati dan limpa.”(H.R Ahmad dan Ibnu Majah).[35]
Hadits ini merupakan pengecualian terhadap ayat Al-Qur’an yang sifatnya
umum yaitu surah al-Maidah ayat 3;
حرمت
عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير
Terjemahnya:
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah dan daging babi”.[36]
3. Secara
Kontekstual
Sebaliknya,
istilah pemahaman Kontekstual dimaksudkan sebagai pemahaman terhadap kandungan
petunjuk suatu hadits Nabi berdasarkan atau dengan mempertimbangkan konteksnya,
meliputi bentuk atau cakupan petunjuknya; kapasitas Nabi tatkala hadits itu
terjadi kapan dan apa sebab hadits itu terjadi; serta kepada siapa ditujukan
bahkan dengan mempertimbangkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, pemahaman
secara Kontekstual memerlukan kegiatan ijtihad. Hadits Nabi yang dipahami
secara Kontekstual menunjukkan bahwa ternyata ada hadits yang sifatnya
universal, dan ada yang temporal dan local.[37]
Oleh karena itu, pemahaman terhadap hadits Nabi
memerlukan pendekatan holistic.[38]Pemanfaatan berbagai teori dari berbagai disiplin
pengetahuan. Termasuk ilmu-ilmu social misalnya sosiologi, antropologi,
psikologi, dan sejarah menjadi sangat penting karena penerapan ajaran Islam
yang Kontekstual menuntut penggunaan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan kondisi masyarakat.[39]
C.
Pendekatan Linguistik, Historis dan Sosiologis
1. Pendekatan
Linguistic
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadits tertuju pada
beberapa objek. Pertama, struktur
bahasa artinya apakah susunan kata dalam matan hadits yang menjadi objek
penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab atau tidak? Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, apakah
menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan dalam bahasa arab pada masa nabi
Muhammad saw atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam
literature arab modern? Ketiga, matan
hadits tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi
saw sama makna yang dipahami oleh
pembaca atau peneliti.[40]
Terkadang suatu riwayat berasal dari Rasulullah, tidak bertentangan
dengan nash Al-Qur’an atau sunnah yang shahih, akal, indera (kenyataan), atau
sejarah, tetapi riwayat tersebut tidak seperti perkataan kenabian, maka tidak
dapat kita terima.[41]
Umpamanya perkataan tashwir (menggambar/melukis)
yang tersebut dalam hadits-hadits shahih yang muttafaqqun ‘alaih. Apa yang dimaksud dengan siksa yang berat?
Orang-orang yang biasa begumul dengan hadits dan fiqh menganggap ancaman
ini berlaku kepada mereka yang dikenal sekarang dengan istilah fotografer
(dalam bahasa arab disebut المصور ).
Alat yang digunakan itu disebut kamera dan mengambil bentuk yang dinamkan foto
(dalam bahasa arab صورة ).
Apakah penamaan ini yaitu menamakan fotografer sebagai mushawwir dan pekerjaannya tashwir adalah penamaan menurut bahasa.
Seorangpun tidak akan mengira bahwa bangsa Arab ketika menggunakan perkataan
ini untuuk pertamakalinya terlintas di benaknya maslah ini. Maka penamaan ini
bukan menurut bahasa.[42]
Contoh lain: “ Barang siapa
melakukan shalat anu, maka ia akkan beroleh tujuh puluh rumah, di dalam satu
rumah terdapat tujuh puluh rumah, dan dalam satu rumah terdapat tujuh puluh
ranjang dan dalam setiap setiap ranjang terdpat tujuh puluh ribu wanita muda. Ibnu
al-jauzy berkata: “ Walau kekuasaan Allah tidak terbatas tetapi ini adalah
karangan yang jelek.[43]
2. Pendekatan
Historis
Salah satu
langkah yang dilakukan muhadditsin
untuk melakukan penelitian matan hadits
adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits (asbab al-wurud al-hadits). Mengetahui asbab alp-wurud mempermudah memahami
kandungan hadits. Dengan asbab al-wurud
al-hadits. dalam melakukan kritik hadits yang diketahui memakai asbab wurud. Oleh karena itu, tema pembahasan ini dinamakan
pendekatan sejarah.[44]
Fungsi asbab al-wurud al-hadits ada
tiga. Pertama, menjelaskan makna
hadits melalui takhsish al-‘am, taqyid,
tafsil al-mujmal, al-nasikh wa al-mansukh, bayan illat al-hukm, dan taudhih al-musykil. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadits,
apakah sebagai rasul, sebagai qadhi,
dan mufti, sebagai pemimpin suatu
masyarakat atau sebagai manusia biasa. Ketiga,
mengetahui situasi dan kondisi suatu masyarakat saat hadits itu disampaikan.[45]
Sebagai contoh adalah hadits
tentang orang Islam membunuh orang kafir. Hadits ini terdapat dalam shahih Bukhari kitab al-Diyat bab La yaqtul
al-Muslim bi al-kafir Hadits Mauquf:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم... وأن لا يقتل مسلم
بكافر (رواه البخارى)
“Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir”
Hadits ini terdapat dalam tujuh
kitab hadits dengan enambelas jalur sanad , walau jalur sanadnya dinilai mauquf, Kecuali Muhammad Al-Gazali
menilainya berkualitas shahih.[46]
Dikalangan ulama ada yan g tidak
mengamalkan hadits ini antaranya adalah Abu Hanifah yang menilai sanadnya lemah
yang matnnya bertentangna dengan sejarah. Dalam sejarah dikatakan bahwa apabila
kaum kafir memerangi kaum muslimin maka kaum muslimin diperintahkan
memeranginya. Jika terbunuh, tidak ada
hukuman apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahl al-zimmi, yang
apabila seseorang yang membunuhnya, maka ia dujatuhi hukuman qishash. Dari segi matan dengan
pendekatan sejarah, hadits tersebut tidak menggambarkan praktik hukum Rasulullah.[47]
Contoh lain, riwayat ungkapan Abbas
terhadap Ali bin Abi thalib. Muslim meriwayatkan dari Malik Ibn Aus, tentang
kedatangan Abbas dan Ali kepda Umar bin Khattab, untuk urusan fa’I yang diberikan kepada Rasul. Mereka
berdua meminta Umar untuk membagi dua harta itu. Dalam riwayat lain sesuai
riwayat muslim, Abbas berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, putuskanlah
perkara ini antara aku dengan pembohong dan penghianat ini.” Yang dimaksud
Abbas adalah Ali Bin Abi Thalib.[48]
Ungkapan ini mustahil jika berasal
dari Abbas untuk anak saudaranya Ali, karena hal semacam ini tidak pernah diketahui dalam sejarah mereka.
Oleh karena itu sebagian ulama ada yang menakwili kata-kata ini, adapula yang
menolaknya. Takwilan yang dimaksud adalah dengan membuang syarat yang
dikira-kirakan, yaitu : Putuskanlah
antaraku dan pembohong ini jika ia tidak adil. Hal ini adalah penakwilan
nash dengan takwilan yang tidak dapat diterima, maka takwilan ini ditolak. Oleh
karena itu, Imam al-Maziri berpendapat bahwa kata ini tidak patut diucapkan
oleh Abbas. Dan Ali lebih terhormat daripada menerima sebagian sifat-sifat ini,
apalagi menerima semuanya.[49]
3.
Pendekatan Sosiologis
Pemahaman terhadap hadits dapat juga menggunakan pendekatan
sosio-historis. Keadaan sosial kemasyarakatan dan tempat serta waktu
terjadinya, memungkinkan utuhnya gambaran
pemaknaan hadits yang disampaikan, dimana dan untuk tujuan apa ia
diucapkan, sekiranya dipadukan secara harmoni dalam suatu pembahasan.
Oleh karena itu, pendekatan ini dapat dimanfaatkan sehingga diperoleh
hal-hal yang bermanfaat secara optimal
dari hadits yang disampaikan sehingga maksud hadits benar-benar menjadi jelas
dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang.[50]
Sebagai contoh hadits nabi dari Abdullah bin Umar menyatakan:
إذ جاء أحدكم الجمعة فليغتسل (رواه البخارى ومسلم
وغيرهما)
Artinya :
“Apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan
shalat) Jum’at, maka hendaklah terlebih dahulu mandi”. (H.R. Bukhari, muslim
dll).[51]
Secara tekstual, hadits tersebut menyatakan bahwa
hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib. Hadits di atas mempunyai sebab
khusus. Pada waktu itu, ekonomi para sahabat Nabi umumnya masih dalam keadaan
sulit. Mereka memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka banyak
menjadi pekerja kebun. Setelah mereka menyiram tanam-tanaman, mereka banyak
yang langsung pergi ke mesjid untuk menunaikan shalat jum’at, cuaca sedang
sangat panas, mesjid masih sempit. Tatkala nabi berkhutbah, aroma keringat dari
orang-orang yang ebrbaju wol kasar dan jarang mandi itu menerpa hidung Nabi.
Suasana dalam mesjid terganggu oleh aroma yang tidak sedap tersebut. Lalu Nabi
bersabda dengan hadits tersebut atau yang semakna.[52]
Dalam riwayat lain, petunjuk Nabi secara lebih tegas lagi dari Abu Said
al-Khudriy, menyatakan:
غسل يوم الجمعة واجب على كل محتلم (رواه البخارى ومسلم
وغيرهما)
Artinya:
“Mandi pada hari Jum’at adalah wajib atas setiap orang
yang telah bermimpi (baligh).” (H.R. Bukhari, Muslim dll).
Adanya peristiwa yang mendahului
terjadinya hadits di atas menjadi pertimbangan tentang perlunya pemahaman
hadits tersebut secara kontekstual. Bagi masyarakat yang telah terbiasa mandi
sehari dua kali, dan karenanya aroma mereka tidak mengganggu orang-orang
sekitar, maka mandi Jum’at bagi mereka tidak wajib. Bagi anggota masyarakat
yang jarang mandi dan jarang berganti pakaian, sehingga aroma badan dan pakaian
mereka mengganggu orang-orang sekitar, maka mereka dikenakan kewajiban mandi
sebelum melaksanakan shalat Jum’at.
BAB III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
antara lain:
1.
Metode tahlili adalah metode memahami hadits dengan
cara mengurai segala segala yang berhubungan dengannya seperti sanadnya,
mautannya, mukharrinnya, kualitasnya atau kedudukannya, pengertian mufradatnya,
pengertian frasenya dan kandungannya.
2.
Metode muqaran atau metode komparatif adalah metode
memahami hadits dengan cara membandingkan satu hadits dengan hadits lainnya
atau dengan ayat al-Qur’an.
3.
Metode maudu’i atau metode tematik adalah metode
memahami hadits dengan cara menghimpun hadits-hadits yang berbicara tentang
satu topik bahasan yang sama.
4.
Tekhnik memahami
hadits secara tekstual adalah tipe pemahaman hadits yang hanya
memperhatikan pada apa yang tertulis saja tanpa memperdulikan bagaimana hadits
tersebut terbentuk, apa latar belakang (Asbab
al-Wurud) dan bagaimana bahasa yang digunakan di dalamnya.
5.
Tekhnik memahami
hadits secara kontekstual adalah tipe pemahaman hadits berdasarkakn atau mempertimbangkan konteksnya. Meliputi
bentuk dan cakupan petunjuknya , kapasitas Nabi tatkala hadits itu terjadi,
kapan dan apa sebab hadits itu terjadi serta kepada siapa ditujukan bahkan
dengan mempertimbangkan dalil-dalil lainnya.
6.
Tekhnik memahami hadits secara intertekstual adalah
tipe pemahaman terhadap matan hadits dengan mempertimbangkan hadits lain atau
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait.
7.
Pendekatan dalam memahami hadits terdiri dari (1) Pendekatan kebahasaan
(Linguistic), (2) Historis dan Sosiologis.
B.
Saran-saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karenanya, saran-saran dari para pembaca berupa kritikan-kritikan positif atau
masukan-masukan yang sifatnya konstruktif tetap kami harapkan demi sempurnanya makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abududdin, Nata, Metodologi
Studi Islam. Cet. II; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007
Al-Adlabi, Salahuddin ibn ahmad, Manhaj Naqd al-matn Ind Ulama’ al Hadits al-Nabawi, alih bahasa H.
M Qodirun Nur ahmad Musyafiq, Metodologi
Kritik Matan Hadits. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004.
Ahmad,
Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadits
Nabi, Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Ahmad, H. Muhammad, M. Mudzakir, Ulumul hadits. Cet. III; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004.
Al-Bukhari al-Ja’fi, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ibrahim
bin al-Mughirah bin Bardzabah, Shahih Bukhari, Juz V. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.
Al-Asqalani,
Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari Juz
10, t.tp.: Al-Maktabah al-Salafiyah,
t.th.
Bustamin, M. Isa H.A. samam, Metodologi Kritik Hadits, Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Departemen agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Syamil Cipta Media, 2005.
Al-Ghazali,
Syaikh Muhammad, As-Sunnah An-Nabawiyyah:
Baina ahl Fiqh wa Ahl al-Hadits,
diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas hadits Nabi Saw. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1989.
Hajar, Ahmad bin Ali bin, Fathul bari. Juz
X, t. tp. : al-Maktabah al-Salafiyah,
t. th.
Maliky,
alwi Abbas, hasan Sulaiman al-Nury, Ibanah
al-Ahkam Syarah Bulug al-Maram, Juz I., t. tp.: t.p., t. th.
M.
Dahlan Y. Al-Barry, L. Lya Sofyan Yacub. Kamus
Induk Istilah Ilmiyah, Surabaya: Target
Press, 2003.
M. Syuhudi
Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar
dan Pemalsunya. Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1995.
--------, Hadits
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Tela’ah
Ma’ni al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal). Cet.
I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994.
--------, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi. Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992. Al-Nawawi,
Al-imami Muhyiddin, Syarah Shahih Muslim,
Juz I. Beirut: dar al-Ma’rifah, 1996.
Al-Qardhawi,
Yusuf, Kaifa Nata’amalu ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyyah, diterjemahkan oleh Saifullah Kamalie Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar. Jakarta: Media Da’wah,
t.th.
Al-Qardhawi,
Yusuf, Al-Madhal li al-Dirasah al-Sunnah
al-Nabawiyyah, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun, Pengantar Studi Hadits. Cet. II:
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Al-Qusyairi
al-naisaury, Abu Husain Muslim bin Hujjaj Shahih
Muslim, Juz III. Beirut: Dar al-kutub
al-Ilmiyah, 1996.
--------,
Al-Madhal li al-Dirasah al-Sunnah
al-Nabawiyyah, alih bahasa, Agus Suyadi Raharusun, Pengantar Studi Hadits.
Cet. II: Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Soebahar,
H. M. Erfan, Menguak Keabsahan Al-Sunnah-
Kritik Mushtafa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam
Fajar al-Islam. Cet. I; Bogor: Fajar Interpratama Offset, 2003.
Shihab,
Quraish, ahmad Sukardja, Badri Yatim, Dede Rosyada, Sejarah dan Ulum al-Qur’an. Cet. II; Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006.
Al-Suyuthi,
jalaluddin, Syarah Sunan al-Nasa’I,
Juz V. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.
Zuhri, Muh., Hadits Nabi, Tela’ah historis dan Metodologis. Cet. II; Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 2003.
[1]
Para ulama hadis menyamakan istilah hadis dengan sunnah, sementara ulama ushul
fiqh lebih sering menggunakan istilah sunnah daripada hadis, Lihat Muhammad
Ajjad al-Khatib, Ushul Hadis wa
Musthahalahuh. (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 25.
[3]Lihat Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaharuan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, (Cet.
I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 20.
[4]Wahbah az-Zuhaili, Al-Qur’an
al-Karim wa Bunyatuhu at-Tasyri’iyyah wa khasha ‘isuhuhu al-Khadariyyah, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1993), h. 48.
[5] Manna al-Qathan, Mahabits Fii Ulum al-Hadits, Diterjemahkan
oleh mifdhol Abdurrahman, Pengantar Ilmu Hadits, (Cet. I; Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 5
[6]Yusuf Qardawi, Kayfa
Nata’amal ma’a as-Sunnah an-nabawiyyah: Ma’aalim wa Dhawaabith, diterjemahkan
oleh Saifullah Kamalie dengan judul, Metode
Memahami as-Sunnah dengan Benar, (Jakarta: Media Da’wah, 1994), h. 28.
[7]H. Said Aqil Munawwar. Abdul Mustaqim, Studi Kritik Hadis nabi: Pendekatan Sosio
Historis Kontekstual, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2001), h. 24
[8] Muhammad Abu Zahwa, Al-hadis wa al-Muhadditsun, (Mesir: Syirkah Misriyah, t.th.), h. 47
[9]Quraish Shihab, Ahmad Sukardja, Badri Yatim, Dede
Rosyada, Sejarah dan Ulum al-Qur’an,
(Cet. II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 172.
[10]Yusuf Qardhawi, Al-Madhal
li Dirasah al-sunnah al-Nabawiyyah, ahli bahasa, Agus Suyadi Raharusun, Pengantar Studi Hadits, (Cet. II; Bandung:
Pustaka Setia, 2007), h. 123.
[12]Syuhudi Ismail, Metodologi
Penenlitian Hadis Nabi. (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), h. 141.
[13]
Arifuddin ahmad, op. cit., h. 125-126.
[14] Ibid., h. 126.
[15] Ibid.,
[16] Ibid., h. 127.
[17]
Yusuf Qardhawi, op. cit., h. 171.
[18] Ibid. h.
172.
[19]
Yusuf Qardhawi, op. cit., h. 172
[20]
Yusuf Qarhawi, op. cit., h. 173
[21] Abdillah Muhammad Ibn Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzabah
al-Bukhari al-Jaf'y, Shahih Bukhari, Juz V. (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), h. 44.
[22]Jalaluddin
al-Suyuthi, Syarah Sunan al-Nasa'I, Juz V, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1996), h. 207.
[23]
Yusuf Qardhawi, op. cit., h. 173.
[25] Abu Husain Muslim Bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz
III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 1652
[26] Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, diterjemahkan oleh
Muhammad Baqir, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, (Cet. I; Bandung:
Karisma, 1993), h. 110.
[28] Abu
Husain Muslim Bin Hujjaj al-Qusyari al-Naisaury, Shahih Muslim, Juz III,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 1361.
[29] H.M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Tela’ah Ma’ni al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal
dan Lokal). (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), h. 11.
[30] M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi
menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
1995), h. 100.
[32]Abududdin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet.
II; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), h. 242.
[35] Alwi Abbas Maliky, Hasan Sulaiman al-Nury, Ibanah
al-Ahkam-Syarah Bulug al-Maram, Juz I, .t.tp.: t.p., t.th), h. 48.
[38] Holistic artinya pendekatan terhadap suatu
fenomena atau masalah dengan memandang fenomena masalah itu sebagai satu
kesatuan yang utuh. Lihat, M Dahlan Y. Al-Bary,L. Lya Sofyan Yacub. Kamus induk
Istilah Ilmiyah, (Surabaya: Target Press, 2003), h. 289.
[40] Bustamin M. Isa H. A. Saman, Metodologi
Kritik Hadits, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 76
[41]Salahuddin ibn Ahmad al-adlabi, Manhaj Naqd al-
Matan Ind Ulama’ Al-Hadits al-Nabawi, alih bahasa H.M. Qodirun Nur, Ahmad
Musyafik, Metodologi Kritik Matan Hadits, (Cet. I; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004), h. 270
[42] Lihat, yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amalu
ma’a al- Sunnah al-Nabawiyyah, diterjemahkan oleh Saifullah Kamalie, Metode
Memahami As-sunnah dengan Benar, (Jakarta: Media Da’wah, t.th.), h. 333-33
[43]Salahuddin ibn Ahmad al-adlabi, Manhaj Naqd al-matn Ind Ulama’ al Hadits
al-Nabawi, alih bahasa H. M Qodirun Nur ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadits. (Cet. I; Jakarta: Gayh. 271.a
Media Pratama, 2004),
[46] Abu Abdillah Muhammad Ibn Ibrahim bin al- Mughirah
al-Bukhari bin Bardzabah al- Bukhari al-jaf’I, Shahih Bukhari, Juz V,
(Beirut: Dar al-Ilmiyyah, 1996), h. 368.
[47] Ibid.,
h. 86.
[50] H.M Erfan Soebahar, Menguak Keabsahan
Al-Sunnah Kritik Mushtafa al-Siba’I Terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai
Hadits dalam Fajr al- Islam, (Cet. I; Bogor: Fajar
Interpratama Offset, 2003), h. 244. Lihat juga Bustamin M. Isa H. A. Samam, Op.
cit., h. 97.
[51] Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail Ibn Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzabah
al-Bukhari al-jafy, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, t, th), h. 263.
[52] M.
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang…., op. cit., h. 58-59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar