HADIS SHAHIH, HASAN
dan
DHA’IF DAN MAUDHU’
MAKALAH
Disampaikan Pada
Seminar Kelas Mata Kuliah
Ulumul Hadis
(S2) UIN Alauddin Makassar
Semester I Tahun
Akademik 2009
Oleh:
ALAMSYAH HALIM
NIM. 80100209015
Dosen
Pemandu:
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag
PROGRAM PASCA SARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadis atau
Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya
mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan
hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi
atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan
setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat.
Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam
dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam
periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya
sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima);
Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam
periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal
dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu
(maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad
maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi
terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima
maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.
Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai
kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya
Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk
menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan
menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam
menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan
dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
B.
Rumusan
Masalah
Dengan uraian
latar belakang diatas penulis hendak menyajikan makalah yang
berkisar pada permasalahan hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’
yang bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
- Pengertian, syarat-syarat, pembagian, kehujjahan dan kitab-kitab hadis shahih;
- Pengertian, Pembagian, Kehujjahan, Kitab-kitab Hadis Hasan;
- Pengertian, pembagian, pengamalan dan kitab-kitab hadis dhaif;
- Pengertian, sejarah munculnya, motivator, kaidah-kaidah untuk mengetahui, kitab-kitab dan hukum meriwayatkan hadis maudhu’;
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis
Shahih
1. Pengertian dan syarat-syarat hadits shahih
Ibnu shalah
mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis shahih
ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi
dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan
tidak mu’allal (terkena illat)[1]
Ajjaj
al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah
dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw)
tanpa syuzuz tanpa illat”[2]
Dengan
demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk
dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya, b. Perawi-perawinya adil[3]
c. Perawi-perawinya dhabit[4]
d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan terhindar dari illat
qadihah (illat yang mencacatkannya)
Shubhi Shalih juga
memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah
hadis, yaitu:
a.
Hadis
tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b.
Hadis
shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya
, akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c.
Hadis
shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi
yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara
zahirnya terhindar dari illat.
d.
Seluruh
tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat[5]
Definisi-definisi
dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis shahih diatas,
dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam
pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah hadis dikatakan
shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil)
sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit
tanpa adanya unsur syaz maupun mu’allal (terkena illat).
Dengan demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi’, mu’dal
dan muallaq dan sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai hadis shahih. Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah
hadis memiliki illat maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
Meskipun definisi
dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisin tentang hadis shahih
diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis shahih, namun
dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak sama, misalnya
dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan periwayat thabaqah
berikutnya harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa serah terima ini
dapat dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan sebab tidaklah
menjamin bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara langsung.
2. Pembagian Hadis Shahih
Para ulama hadis
membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.
Shahih
li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua
syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih
li Dzatihi” karena telah memenuhi
semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk
sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[6]
Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ
بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ :
ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ
: ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ
مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Hadis yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an
maupun illat.
b.
Shahih
li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi
(tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang
diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya,
dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih
melalui sanad pendukung yang lain.[7]
Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا
عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
عِنْدَ كُلِّ صَلاة. ٍ
Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis
shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis
tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi
kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke
tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain,
yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Dari sini
dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an
dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si
perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang
diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu
rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa
dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid,
ada yang mengatakan:
1)
Riwayat
Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2)
Sebagian
lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari
Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3)
Imam
Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam
Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam
Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam
Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari
Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul
asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari
Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata
rantai emas).[8]
3. Kehujjahan Hadis Shahih.
Mengenai kehujjahan
hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan hukumnya,
terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal ini
didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
"apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".
4. Kitab-kitab yang
memuat Hadis Shahih.
Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum
al-Hadis, mengemukakan bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih
adalah[9]:
a.
Shahih
Bukhari d. Shahih
Ibn Hibban
b. Shahih Muslim e.
Shahih Ibn Khuzaimah
c.
Mustadrak
al-Hakim
Sedangkan
menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih
adalah:
a.
Shahih Bukhari e. Sunan an-Nasa’i
b. Shahih
Muslim f. Sunan Ibn Majah
c.
Sunan Abu Daud g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d. Sunan
at-Tirmidzi
Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj
an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat
hadis-hadis shahih antara lain[10]:
a.
al-Muwattha’
b. Shahih
Bukhari
c.
Shahih
Muslim
d. Shahih Ibn Khuzaimah
e.
Shahih Ibn
Hibban
f.
Al-Mukhtarah[11]
B. Hadis Hasan
1. Pengertian
Hadis Hasan
Hadis
hasan ialah hadis yang sanadnya
bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya
(tidak terlalu kuat ingatannya) serta
terhindar dari Syaz dan illat.[12]
Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih
terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit
yang kurang untuk hadis hasan[13]
Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud
Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil
tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li
dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li
dzatihi[14]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya,
hanya saja semua perawi atau sebagiannya,
kurang ke-dhabitan-nya
dibanding dengan perawi hadis shahih. [15]
Berdasarkan pada pengertian-pengertian
yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis
hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan
terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi
hadis shahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.
Sanad hadis harus bersambung.
b.
Perawinya adil
c.
Perawinya mempunyai sifat dhabit,
namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis
shahih
d.
Hadis yang diriwayatkan tersebut
tidak syaz
e.
Hadis yang diriwayatkan terhindar
dari illat yang merusak (qadihah)[16]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Hadis hasan li dzatihi
Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang
dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut
diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.
Hadis hasan li ghairihi
Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if
apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya
bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[17]
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada
mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat
penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu,
seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi
adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang
menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat
shahih terendah.[18]
Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ
الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ
قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ
بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ
الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
Hadis tersebut diatas
bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali
Ma’bad al-Juhany menurut adz-Zahaby,Ma’bad
termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.[19]
Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ
بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ
رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ
عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ
. قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin
Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah
dengan mahar sepasang sandal.
Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada
bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan
Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis
ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.[20]
Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya
ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)
hadis tersebut diriwayatkan
oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan)
yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)
bahwa sebab kedha’ifannya karena
keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak
dikenal.[21]
Jadi hadis dha’if yang bisa naik
kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah,
sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk
betapapun syahid dan muttabi’
kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan
Hadis Hasan.
Hadis hasan sebagaimana kedudukannya
hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan
sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
Para ulama hadis dan ulama ushul
fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan
ini.[22]
4. Kitab-kitab
Yang Memuat Hadis Hasan
Ulama yang mula-mula membagi hadis
sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar
jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan.
Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah[23]:
a.
Sunan at-Tirmidzy
b.
Sunan Abu Daud
c.
Sunan ad-Dar Quthny
C. Hadis Dhaif
1.
Pengertian dan Pembagian
Hadis Dha’if
Dha’if menurut bahasa adalah lawan
dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang
dimaksud disini adalah dha’if maknawiyah.
Hadis dhaif menurut istilah adalah
“hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula
didapati syarat hadis hasan.”[24]
Diantara para ulama terdapat
perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada
dasarnya isi dan maksudnya sama.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
“hadis yang
didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis
hasan”[25]
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang salah
satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata
lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab
kedhaifannya, maka dapat dibagi kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya
sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.
- Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis ini di bagi lagi menjadi :
1) Hadis Mu’allaq
Hadis mu’allaq yaitu
hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi baik secara
berurutan maupun tidak.
Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:
قال مالك عن الزهرى
عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq
karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik
tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت
العائشة كان النبى يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut istilah adalah
hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang
tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
begini atau berbuat seperti ini”[26]. Contoh hadits ini adalah:
قال
مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan
sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
3) Hadis Munqathi'
Hadis munqathi’ menurut istilah para ulama
hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi”. Sedangkan menurut para ulama hadis mutaakhkhirin adalah ”suatu hadis yang
ditengah sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak
berturut-turut” [27]
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى
إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan
hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri
tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits
dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di
atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.
4) Hadis Mu'dhal
Hadis mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada sanadnya
dua atau lebih secara berurutan.”[28].
Contohnya :
Diriwayatkan
oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia
menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته
بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق "
Al-Hakim
berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak
ke-mu’adalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu
Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara
berurutan[29]
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi
diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
a. Tadlis
Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh seorang
perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu
namun ia tidak mendengar hadis tersebut langsung darinya. Apabila
perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadis tersebut padahal
kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu
kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis
qath’i : Apabila perawi menggugurkan beberapa
perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya
perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat
dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan
seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya
tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau
tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
c. Tadlis
‘Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal
“Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya
dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadis tersebut
dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya
karena dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh
orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis
taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena
mengandung penipuan yang keterlaluan.
e. Tadlis
Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada
perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama
dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan
maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat
alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat
hafaleannya brkata kepadaku”.
f. Termasuk dalam golongan tadlis
suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana
fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan).
Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,
adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum
dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau
karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis
darinya dan lain sebagainya.
- Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya
Sebab-sebab cela pada perawi yang
berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima, dan yang berkaitan dengan
kedhabithannya juga ada lima.
- Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan,
c) berdusta, d) Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah
(ketidakjelasan
- Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat buruk, b) Buruk hafalan, c) Kelalaian, d) Banyaknya waham, e) menyelisihi para perawi yang tsiqah
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
1) Hadis Maudhu'
Hadis maudhu’ adalah hadis
kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali.
Menurut Subhi Shalih adalah khabar yang di buat oleh pembohong kemudian
dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.[30]
Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan
Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:
قيل
يارسول الله لم سمي رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn
Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
Hadis
matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka berdusta.[31]
Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan
oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.
قال
النبي عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni,
Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan
oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan.[32]
perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang dhabit. Atau
dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi
tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat
pada matan.
4) Hadis Majhul
a. Majhul
'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh
dan ta'dilnya.Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad
dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn
Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
ان
النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs
ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b. Majhul hali : diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh
dan ta'dilnya.contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari
Yazid ibn Madkur.
ان
عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5) Hadis Mubham
Hadis
mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam rangkaian sanad-nya,
baik lelaki maupun perempuan.[33]
Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi
Salamah dari Abi Hurairah.
قال
رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود
6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang
beretentangan dengan hadis lain yang riwayatnya lebih kuat[34].
7) Hadis maqlub
Yang dimaksud
dengan hadis maqlub ialah yang memutar balikkan (mendahulukan) kata,
kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata,
kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
8) Hadis mudraj
Secara terminologis hadits mudraj
ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada
sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi terhadap hadits yang
diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal matan, di
tengah-tengah, atau pada akhirnya.
9) Hadis mushahaf
Hadits mushahaf
ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang
kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan
ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis
menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
2. Pengamalan Hadits Dha’if
Hadis dhaif pada
dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila dibandingkan dengan
hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama
melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis
dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:
a.
Hadis
dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun
ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu
Hazm, Abu Bakar ibn Araby.
b.
Hadis
dhaif bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud
dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu
perorangan.
c.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail
mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.[35]
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah
amal, mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1)
Kelemahan
hadis itu tiada seberapa.
2)
Apa yang
ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi,
dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang
sudah dibenarkan.
3)
Jangan
diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya
dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash
sama sekali.[36]
3. Kitab-kitab Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif.
1.
Ketiga
Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir
2.
Kitab
al-Afrad, karya ad-Daruquthny
3.
Kumpulan
karya al-Khatib al-baghdadi
4.
Kitab
Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, karya abu Nu’aim al-Asbahani.
D. Hadis Maudhu’
a.
Pengertian
Hadis Maudhu’
Maudhu’
menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut istilah
adalah:
”sesuatu yang
diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah secara dusta”[37].
Hadis ini adalah
yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya. Selain ulama
membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka
maudhu menjadii satu bagian tersendiri.[38]
Hadis maudhu
adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu’ dinamakan juga hadis musqath,
hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.[39]
b.
Sejarah
Munculnya Hadis Maudhu’
Para ulama berbeda
pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis, berikut pendapat
mereka:
a.
Menurut
Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah masih hidup.
b.
Shalahuddin
ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan yang
terjadi pada masa rasulullah saw.
c.
Menurut
jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib.[40]
c.
Motivasi-Motivasi
Munculnya Hadis Maudhu’
Hadis maudhu’
tidaklah bertambah kecuali bertambahnya bid’ah dan pertikaian.
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh
orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.
Ada beberapa motif
yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:
a.
Pertentangan
Politik
Perpecahan umat islam terjadi akibat
permasalahan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib,
membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadis-hadis palsu. Masing-masing
golongan berusaha mengalahkan lawannya dan berusaha mempengaruhi orang-orang
tertentu, salah satu usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.
b.
Usaha Kaum
Zindiq
Kaum Zindiq adalah golongan yang
membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka
merasa tidak mungkin dapat memalsukan Alqur’an sehingga mereka beralih
melakukan upaya pemalsuan hadis.[41]
Dengan tujuan ingin menghancurkan islam dari dalam.
c.
Sikap
Fanatik Buta
Salah satu faktor upaya pembuatan hadis
palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta tehadap suku, bangsa, negeri dan
pimpinan
Contoh golongan yang fanatik yaitu ash-Syu’ubiyah
yang fanatik terhadap bangsa persia, dia mengatakan “Apabila Allah Murka, dia
menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan apabila senang dia menurunkan dengan
bahsa persia.[42]
d.
Mempengaruhi
Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat
Kelompok yang melakukan pemalsuan hadis
ini bertujuan untuk memmperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum
melihat kemampuannya.[43]
Hadis yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.
Bahkan ada hadis palsu yang berbunyi:
“nabi duduk bersanding dengan Allah diatas Arsy-nya”.
e.
Perselisihan
dalam fiqhi dan ilmu kalam
Munculnya hadis palsu dalam masalah fiqhi
dan ilmu kalam, berasal dari para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan
hadis karena ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
f.
Lobby
dengan penguasa
Sebuah peristiwa yang terjadi pada masa
khilafah bani Abbasiyah, seorang yang bernama Ghiyats ibn Ibrahim pernah
membuat hadis yang disebutkannya didepan khalifah al-Mahdi yang menyangkut
kesenangan khalifah.[44]
g. Semangat ibadah yang
berlebihan tanpa didasari pengetahuan.
Dikalangan para ahli ibadah ada yang
beranggapan bahwa membuat hadis-hadis yang bersifat mendorong agar giat
beribadah (targhib) adalah hal yang dibolehkan, dalam rangka ber-taqarrub
kepada Allah.[45]
d.
Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
Para ulama hadis
menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan hadis maudhu’,
sehingga hadis maudhu’ dapat diketahui dengan beberapa hal, antar lain[46]:
a.
Pengakuan
dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat Nuh bin Abi Maryam,
yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan hadis atas Ibnu Abbas tentang
keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.
b.
Adanya
indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya seorang
perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul bait.
c.
Adanya
indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat, atau
bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan ketetapan agama
yang kuat dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan kacau, misalnya apa
yang diriwayatkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya
secara marfu’,”bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali
dan shalat dua raka’at di maqam Ibrahim.”
e. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para ulama sepakat
bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun,
kecuali disertai dengan penjelasan akan kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi
saw:
“barang siapa yang menceritakan hadis dariku
sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para
pendusta.”(HR.Muslim)
f. Kitab-kitab Hadis Maudhu’:
a.
al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi
b.
al-La’ali
al-Ma’shum fi al-Hadis al-Maudhu’ah, karya
as-Suyuthi
c.
Silsilah
al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Alban.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian makalah
yang penulis paparkan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal.
1. Hadis Shahih
- Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).
- Syarat-syarat hadis shahih antara lain: a. Muttashil sanadnya b.Perawi-perawinya adil c.Perawi-perawinya dhabit d.yang diriwayatkan tidak syaz e.yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah(illat yang mencacatkannya).
- Hadis shahih terbagi atas dua:
1.shahih lidzatihi
2.shahih li ghairihi
- Tidak terdapat perbedaan ulama tentang kehujjahannya terutama dalam masalah penentuan hukum sesuatu.
- Kitab-kitab yang memuat hadis shahih, antara lain:
1)
Shahih
bukhari 7) Shahih Ibn Khuzaimah
2)
Shahih
muslim 8) Sunan Abu Daud
3)
Mustadrak
al-Hakim 9) Sunan at-Tirmidzi
4)
Shahih Ibn
Hibban 10) Sunan an-Nasa’i
5)
Shahih Ibn
Khuzaimah 11) Sunan Ibn Majah
6)
Sunan Abu Daud
2. Hadis Hasan
- Hadis Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat.
- Kriteria hadis hasan :
1)
Sanad hadis harus bersambung.
2)
Perawinya adil
3)
Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun
kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)
Hadis yang diriwayatkan tersebut
tidak syaz
5) Hadis yang
diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.
Hadis hasan dibagi menjadi dua
yaitu:
a.
hasan li dzatihi
b.
hasan li ghairi
b.
Hadis hasan sebagaimana
kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah
hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal
c.
Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.
Sunan at-Tirmidzy
b.
Sunan Abu Daud
c.
Sunan ad-Dar Quthny
3. Hadis Dhaif
a. Hadis dhaif adalah “hadis yang didalamnya
tidak didapati syarat hadis shahih dan
tidak pula didapati syarat hadis hasan
b. ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya,
maka dapat dibagi kepada dua bahagian:
1.
Dhaif disebabkan
karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad, yang tergolong didalamnya
antara lain:
a.
Mu’allaq
b.
Mursal
c.
Munqathi'
d.
Mu'dhal
e.
Mudallas
2.
Dhaif
karena terdapat cacat pada perawinya, yang tergolong didalamnya antara lain:
a.
Maudhu' g. Mudhtharab
b.
Munkar h. Mudarraj
c.
Majhul i. mu'allal
d.
Matruk j. Musalsal
e.
Mubham k. Mukhtalith
f.
Syadz l. mudha'af
c.
Terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai pengamalan hadis dhaif, mengenai hal ini ada tiga
pendapat:
1)
Hadis
dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun
ahkam.
2)
Hadis
dhaif bisa digunakan secara mutlak, hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu
perorangan
3)
Sebagian
ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail
mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat
d. Kitab-kitab Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif
1)
Ketiga
Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir
2)
Kitab
al-Afrad, karya ad-Daruquthny
3)
Kumpulan
karya al-Khatib al-baghdadi
4. Hadis Maudhu’
a. Hadis maudhu’
adalah “sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah secara dusta”
b.
Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’
1).
Pertentangan Politik
2).
Usaha Kaum Zindiq
3).
Sikap Fanatik Buta
4).
Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah
dan Nasehat
5). Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
6).
Lobby dengan penguasa
7).
Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan
c.
Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
1)
Pengakuan
dari orang yang memalsukan hadis
2)
Adanya
indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya
3)
Adanya
indikasi pada isi hadis
d.
Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para ulama sepakat bahwanya diharamkan
meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang
mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan
akan kemaudhu’annya
Fsafsa
e. Kitab-kitab Hadis Maudhu’
1). al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi
2). al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis
al-Maudhu’ah, karya as-Suyuthi
3). Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah,
karya al-Albani
DAFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah
al-Hadis,[t.d]
Rahman,
Fathur Ikhtishar, Mushthalah Hadis,
Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah,
Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr,
Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis,
Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet.II,
1997
Hasby
as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan Bintang,1987)
al-Khatib,
Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1975
Mudassir,
Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem,
Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan
, Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul Pengantar
ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II,
2006
Sayyidi
,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih,
Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.
[4]
”dhabit” ialah: yang kuat ingatan,dan hafal secara sempurna.Dhabit terbagi atas
dua macam, pertama: dhabt shadr yaitu perawi memiliki daya hafal yang
kuat dan mampu menyuguhkannya kapan saja.kedua:”dhabt kitab” yaitu
pemeliharaan melalui penulisan teks dan hafalan.dengan tingkat ketelitian yang
tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar