Revisi Makalah
Hadis dan Sunnah
Makalah
ini disampaikan pada Seminar
Mata
Kuliah Ulum al-Hadis
Semester
I Tahun Akademik 2009/2010
Oleh;
Abdul Jalil
Nim: 80100209005
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hadis sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-qur’an,[1]diakui
oleh hampir oleh seluruh umat Islam,[2]
hanya kelompok kecil umat Islam yang menolak hadits sebagai sumber ajran Islam
yang dikenal dengan ingkar al-Sunnah[3].
Tidak diragukan
lagi bahwa sunnah Rasulullah saw menempati posisi yang tinggi dalam agama
Islam, oleh karena selain sunnah merupakan sumber penetapan hukum yang kedua
setelah al-Qur’an, sunnah juga merupakan sumber pengetahuan baik keagamaan atau
ma’rifah diniyah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan alam ghaib yang
sumber satu-satunya adalah wahyu, seperti yang berkaitan dengan Allah, malaikat,
kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, surga dan neraka, hari kiamat dan
tanda-tandanya, kejadian-kejadian di akhir zaman, ataupun pengetahuan yang
berkaitan dengan aspek kemanusiaan atau jawanib insaniyah seperti yang
berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Selain itu sunnah juga merupakan sumber peradaban
baik dalam tataran konsep peradaban fikhu hadhary, perilaku peradaban suluk
hadhary ataupun pembentukan peradaban bina’ hadhary. [4]
Oleh karena
posisi sunnah yang begitu urgen dalam agama, maka perhatian para ulama terhadap
sunnah sejak masa sahabat sampai sekarang terus terjaga, baik dalam bentuuk
pemeliharaan sunnah dengan periwayatan kepada orang lain melalui hapalan atau
tulisan dalam bentuk kajian-kaian yang mendalam terhadap metodologi penerimaan
dan penyampaian suunah, penilaian terhadap periwayat hadist dan penyeleksian
sunnah dari segi bisa tidaknya penyandaran suatu ucapan, pebuatan, ataupun
ketetapan terhadap nabi dipertanggungjawabkan keabsahannya. Untuk tujuan pertama
kemudian melahirkan ilmu hadist riwayat, sementara untuk tujuan yang kedua
melahirkan ilmu hadist dirayah.[5]
Berdasarkan
uraian di atas, maka permasalahan dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian hadist dan sunnah?
2.
Apa sinonim hadist?
3.
Bagaimana perbedaan pandangan ulama tentang hadist dan sunnahh?
4.
Apa perbedaan hadist Nabi, hadist Qudsi, dan Quran?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadist dan Sunnah
1. Menurut Bahasa dan Istilah
Manzur
mengemukakan bahwa hadist menurut bahasa adalah sebagia berikut:
a.
Hadist lawan dari kata qadim,[6]
yaitu adanya sesuatu yang sebelumnya tidak ada, misalnya ungkapan yang
mengatakan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan makhluk itu
adalah hadist.
b.
Hadist adalah sesuatu yang baru.[7]
c.
Hadist adalah berita, baik sedikit ataupun banyak [8]
misalnya firman Allah dalam QS. al-Ghasiyah (88):1 “Sudah datang kepaadamu
berita tentang hari pembalasan?.”
Ar-Razy
menyatakan bahwa kata sunnah berarti:
a.
Metode atau jalan,[9] baik itu jalan yang terpuji ataupun jalan
yang tercela seperti pernyataan Rasulullah saw.
“Siapa yang
membaut jalan yang terbaik dalam Islam dan diamalkan oleh orang setelahnya maka
dituliskan baginya pahala seperti pahala orang yang melakukan setelahnya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit juapun. Dan siapa yang membuat satu jalan yang
tidak baik dalam Islam dan diikuti oleh orang setelahnya, maka dituliskan
baginya dosa seperti dosa oaring yang melakukan setelahnya tanpa mengurangi
dosa-dosa mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
b.
Perjanan hidup. [10]
Seperti ucapan Kahlid bin Utbah:
“Maka engkau
merasa cemas terhadap perjanan hidup yang telah engkau lalui, karena pertama
merasa puas terhadap perjalanan hidupnya adalahh orang yang menjalaninnya.”
c.
Penjelasan.[11]
Misalnya sannnalahu ahkama li an-Nasi, maksudnya adalah Allah menjellaskan
hukum-hukumnya kepada manusia.
d.
Contoh yang dipedomani dan iman yang diikuti.
e.
Umat, tabiat, wajah, hukum-hukum Allah, perintah dan larangannya.
Ismail
mengemukakan bahwa kata istilah adalah kesepekatan sekelompok orang untuk
menggunakan satu lafaz, kata atau kelompok kata dalam makna tertentu di luar
yang diletakkan pada kata tersebut pada asalnya. [12]
Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa hadist adalah segala sabda, perbuatan,
taqrir, dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya
sunnah dari segi syara’ adalah al-Quran dan sunnah.
Kata hadist
dengan berbagia derivasinya disebutkan di dalam al-Quran sebanyak 36 kali
dengan berbagai artii, diantaranya: berita secara umum QS. al-Ghasiyah (88:1),
pembicaraan QS. an-Nisaa (3:140), cerita QS. Taha (20:9), bahkan kata hadist
juga ada yang berarti al-Quran QS. al-Waqi’ah (56:81). Selanjutnya kata sunnah
baik dalam bentuk tunggal ataupun dalam bentuk plural disebutkan dalam al-Quran
sebanyak 16 kali. Peynebutran kata sunnah tersebut ada yang disandarkan kepada
Allah swt. Dan ada yang disandarkan kepada makhluk-Nya.
Dengan demikian
kata sunnah yang disandarkan kedapa makhluk, ada yang disandarkan kepada
oaring-orang yang saleh dan ada juga yang disandarkan kepada para penentang
agama Allah.
B. sinonim Hadist
Al-Qasimi
menyatakan bahwa hadist menurut para muhaddisin adalah sinonim dengan khabar
dan atsar yang menunjukkan makna sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik
yang berupa perkataan, taqrir, ataupun sifat.[13] Selanjutnya Ibnu Hajar mengemukakan bahwa
hadist adalah apa yang bersumber dari nabi sedangkan khabar adalah apa yang
bersumber selain nabi. Sehingga berdasarkan perbedaan ini, maka ulama yang
banyak berkecimpun dalam bidang sejarah dan semacamnya dinamakan akhbari,
sedangkan orang yang banyak mempelajari sunnah nabi dinamkan muhaddis.
Namun adapula
yang membedakan antara hadist dan kabar dengan mengatakan bahwa hubungan antara
keduanya adalah umum dan khsus secara mutlak, dalam arti semua hadist adalah
khabar sementara sebaliknya tidak seperti itu.[14]
Selanjutnya Fathur Rahman mengemukakan bahwa atsar itu ialah yang datang dari
sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesuadahnya, juga ada pendapat yang menatakan
bahwa istlah atsar itu lebih umum penggunaannya dari pada istilah hadist dan
khabar Karena istilah atsar itu mencakup segala berita dan perilaku para
sahabat, tabi’in dan selanjutnya.[15]
C. Perbedaaan Pandangan Ulama
Tentang Hadist dan Sunnah (subyek,oobyek, dan masa).
Menurut
al-Jazairy mengemukakan pengertian hadist adalah perkataan-perkataan Nabi
saw dan perbuatan-perbuatannya, termasuk
bagian dari perbuatan adalah taqrir yakni tidak adanya penolakan beliau
terhadap sesuatu hal yang dilihat atau disampaikan kepada beliau dari orang
tunduk kepada ketentuan syar’i.[16]
Sebagian ulam amenggolongkan bahwa semua yang disandarkan kepada nabi adalah
hadist. Dengan demikian maka hadist adalah perkataan-perkataan nabi, perbuatan,
dan keadaan-keadaanya. Pengertian ini beliau sandarkan kepada para ulama hadist.[17]
Ibnu Hajar,
at-Thiby (as-Suyuthi, 1996) mengemukakan bahwa term hadist bersifat umum yaitu
mencakup perbuatan nabi, sahabat, dan tabi’in perbuatan, dan perkataan mereka.[18]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kata hadist nabi jiaka dipergunakan secara lepas
dimakudkan kepada apa yang diceritakan dari nabi setelah kenabian, baik itu
ucapan, perbuatan, dan ketetapan.[19]
Berdasarkan
definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama, maka ada tiga hal yang menjadi
perbedaan mereka dalam mendefinisikan hadist adalah sebagai berikut:
a.
Subyek hadist; apakah hadist hanya terbatas pada apa yang
disanndarkan kepada nabi saja ataukah hadist juga mencakup pada apa yang
disandarakan selain nabi seperti sahabat atau tabi’in.
b.
Obyek hadist; apakah hadist hanya terbatas pada perkataan,
perbuatan, dan ketetapan saja ataukah hadist juga mencakup keadaan dan sifat.
c.
Periode atau masa hadist; apakah hadist hanya terbatas pada apa
yang disampaikan setelah Muhammad saw. dingkat menjadi nabi, ataukah juga
meliputi apa yyang disandarkan sebelum beliau diangkat menjadi nabi.
Menurut istilah
ahli hadist sunnah adalah semua yang
bersumber dari nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
sifat-sifat fisik atau psikis dan sirah baik sebelum pengangkatan beliau
menjadi nabi ataupun sesudahnya. Dengan demikian sunnah menurut mereka sinonim
dengan hadist. Selanjutnya menurut Ushuliyyun sunnah adalah apa yang dinukilkan
dari nabi baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan. [20]
Sunnah
terkadang juga dimaksudkan untuk menunjukan sesuatu yang mempunyai landasan
atau dalil syar’i, baik dalil itu terdapat dalam al-Quran atau bersumber
dari nabi, bahkan merupakan ijtihad dari para sahabat, seperti penggunaan
mushaf dan perintah untuk membaca al-Quran dengan qiraah yang sama. Imam
Malik ra. ketika beliau ditanya tentang sunnah, maka beliau mengatakan yaitu
semua yang tidak mempunyai nama selain sunnah, kemudian beliau membaca ayat:[21]Wa
Anna Hazaa Shiraathiy Mustaqiymaa fattabihu walaatattabiuus subula fatafarraqa
bikum an sabilihi (QS.6:153).
"Dan.bahwa
yang kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlahengkau
mengikuit jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu rnenceraikan kamu dari
jalannya.” (QS. al-An’am: 153)
Perbedaan para ulama dalam mendefinisikan sunnah tersebut disebabkan
perbedaan tujuan yang ingin dicapai. Ketika para ulama hadis mempelajari tentang
pribadi Rasulullah saw sebagai seorang imam, yang seperti diberitakan oleh Allah,
diutus ke dunia ini sebagai contoh dan teladan uswah dan quduwah.
maka mereka berupaya untuk meriwayatkan semua hal yang berkaitan dengan beliau baik
itu sirah, akhlak, sifat-sifat fisik, berita-berita, perkataan-perkataan,
perbuatan-perbuatan, baik yang memberikan konsekuensi hukum syar'I ataupun yang
tidak.
Demikian halnya ulama ushul mempelajari pribadi Rasulullah saw sebagai
pembuat hukum syar'i atau musyri' yang meletakkan kaidah-kaidah bagi
para mujtahid sesudahnya, menjelaskan kepada manusia aturan-aturan hidup,
sehingga mereka memberikan perhatian terhadap perkataan-perkataan,
perbuatan-perbuatan, dan ketetapan-ketetapan rasul yang mempunyai konsekuensi hukum
dan menetapkannya. Di sisi lain, ulama fikih
lebih memfokuskan bahasan mereka tentang nabi sebagai manusia yang segala aspek
dan tingkah lakunya tidak terlepas dari indikasi terhadap sesuatu hukum, sehingga
mereka lebih memfokuskan bahasan mereka dalam aspek hukum terhadap perbuatan
manusia baik yang bersifat wajib, haram, mubah, dan lain-lain.[22]
Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat disirnpulkan bahwa
perbedaan ulama dalan mendefinisikan sunnah sesungguhnya bukanlah perbedaan yang
sebenarnya atau ikhtilaf hakiki, tetapi hanyalah perbedaan cara pengungkapan
karena perbedaan sudut pandang atau seperti yang dikernukakan oleh al-Jazairy ikhtlaf
al-ibrat li ikhtilaf al-i’tibarat.[23]
Dengan dernikian kata hadis dan sunnah dikalangan ulama umunya ulama
hadis mengidentikkan di antara keduanya. Meskipun pada kenyataannya ketika kita
mencermati penggunaan keduanva menunjukkan adanva beberapa perbedaan sebagai
berikut:
a.
Hadis adalah segala yang diceritakan atau diberitakan dari Rasulullah
saw. Sunnah, baik dia ceritakan ataupun tidak, adalah sesuatu yang telah bisa dikerjakan
oleh para muslimin sejak dahulu dan tidaklah selalu sunnah itu sesuai denganh hadis.[24]
Ringkasannya menurut Hasby ash-Shiddiqy’ hadis adalah ‘ilmiyyun nawadhirrun =
berita yang merupakan pengetahuan lagi
merupakan kunci.’[25]
b.
Hadis lebih banyak digunakan dikarangan ahli hadis, sedangkan
sunnah lebih banyak dijumpai dikalangan para ulama ushul dan ulama fikhi..
c. Hadis merupakan registrasi dari sunnah yang diriwayatkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
D. Perbedaan Hadis Nabi, Hadis Qudsi,dan al-Qur’an
Subhi Shalih mengernukan bahwa hadis nabi (biasa) adalah ucapan yang
disandarkan secara langsung kepada beliau.[26] Menurut
Fahur Rahman bahwa hadis qutsi adalah sesuatu yang dikabarkan Allah ta'ala kepada
Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna
dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.[27]
Selanjutnya Gufron menyatakan bahwa hadis qudsi (hadis suci) merupakan
perkataanTuhan melalui lisan nabi Muhammad saw, sebagai pelengkap wahyu yang diturunkan
kepadanya.[28]
Sedangkan al-Quran merupakan kalam Ilahi
yang diturunkan kepada Nabi Muhamad saw. dan tertulis dalam mushaf berdasarkan
sumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya dan yang dibaca umat Islam
dalam rangka ibadah.[29]
Perbedaan hadis nabi dengan hadis qudsi adalah hadis qudsi biasanya
diberi ciri-ciri dengan dibubuhi kalimat-kalmat qaala (yaquulu) Allahu,
fima yarwihi, anillahi tabaraka wata'ala, dan lapadh lapadh lain
yang semakna dengan apa yang tersebut. Selanjutnya perbedaan hadis qudsi dengan
hadis nabi yaitu hadis qudsi kalimat yang biasa digunakan seperti Rasulullah saw.
bersabda meriwayatkan apa yang beliau terima dari Tuhannya dan kalimat Allah
Ta'ala berfirman seperti yang telah diceritakan oleh Rasulullah saw. sedangkan hadis
nabi tidak ada tanda-tanda yang demikian.
Abu al-Baqa' dalam (Subhi Shalih) menyatakan sesungguhnya al-Quran itu
lafaz dan maknanya dari sisi Allah melalui wahyu yang jelas. Adapun hadis qudsi,
lafaznya dari Rasulullah saw. sedangkan maknanya dari Allah lewat ilham atau mimpi.[30]
Perbedaan hadis qudsi dengan al-Quran adalah sebagai berikut:
a.
Semua lafaz ayat al-Quran adalah mu'jizat dan mutawatir,
sedang hadis qudsi tidak demikian halnya.
b.
Ketentuan hukumnya yang berlaku bagi al-Quran tidak berlaku bagia
al-Hadis, 'seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang sedang berhadats
kecil, dan pantangan membacanya bagi orang yang berhadas besar. Sedang untuk
hadis qudsi tidak ada pantangannya.
c.
Setiap huruf yang dibaca dari al-Quran memberikan hak pahala kepada
pembacanya sepuluh kebaikan.
d.
Meriwayatkan al-Quran tidak boleh dengan maknanya saja atau
mengganti lafaz sinonimnya, berlainan dengan al-Hadis.[31]
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Hadis adalah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ikhwal yang
disandarkan kepada Nabi M uhammad saw.
2.
Sunnah adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau
dianjukan oleh Nabi saw. baik berbentuk sabda maupun perbuatan.
3.
Sinonirm hadis yaitu khabar dan atsar. Khabar adalah apa yang
bersumber selain nabi sedangkan atsar adalah apa yang datang dari sahabat,
tabi’in, dan orang-orang sudahnya.
4.
Perbedaan pandangan ulama tentang hadis dan sunnah; para ulama
hadis megidentikkan keduanya. Hadis lebih banyak digunakan dikalangan ahli
hadis, sunnah lebih banyak dijumpai di kalangan para ulama ushul dan ulama fikih.
5.
Perbedaan hadis nabi, hadis qudsi, dan al-Quran yaitu: a ) hadis
qudsi kalimat yang biasa digunakan seperti Rasulullah saw. bersabda
meriwayatkan apa yang beliau terima dari Tuhannya dan kalam Allah Ta’ala
berfirman seperti yang telah diceritakan oleh Rasulullah saw. Sedangkan hadis
nabi tidak ada tanda-'tanda demikian b; ) al-Quran adalah lafaz dan maknanya
dari sisi Allah melalui wahyu yang jelas, hadis qudsi, lafaznya dari Rasulullah
saw. sedangkan maknanya dari Allah lewat ilham atau mimpi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdil
Hadi, Abdul Muhdi bin Abdil Kadir bin, al-Madkhal ila as-Sunnah an-Nahawiyah
t.cet; Cairo: Dar al-I’tisam,1998
Abu
Guddah, Abd. Al-Fattah. Lamhat min Tarikh as-Sunnah wa Ulum al-Hadits Cet.IV;
Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyya, 1417 H.
Ibnu
Hajar, Ahmad bin Ali bin Muhammad, Nushah an Nazar (Cet.I; Cairo: ad-Dar
ats-Tsaqafiyyah, 1998
Ibnu
Manzur, Jamaluddin Muhammad ibnu Mukrim, Lisanul Arab, Jilid II t.cet.
Beirut: Dar al-Fikri,t.th.
Ismail,
M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta:
Gema Insani Press, 1985.
_________,
Kaedah Keshahihan sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Ismail,
Yahya. Ma’a al-Hadis wa Ahlihi wa Naqdihi Cet.I; Munsyiyah Nasr al-fajr
al-Jadid, 1992.
al-Jazairy,
Tahir bin Salih bin Ahmad. Taujih an-Nazar ila Ushul al-Asar t.cet;
Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th.
al-Katib,
Muhammad ajjaj. Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr
1395H/1975M.
Mas’adi,
Gufron A, Ensiklopedi Islam (ringkas), Ed.I Cet.II; Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada,1999
Rahman,
Fathur.Ihtisar Musthalahu Hadis Cet.I; Bandung: PT.al-Ma’arif 1974.
ar-Razy,
Muhammad bin Abi Bakar bin Abdil Qadir, Mukhtar as-Shalih Cet t.tp: Dar
al-Manar, t.th.
as-Shalih,
Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Cet IX; Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002.
__________,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Cet. V; Pustaka Firdaus, 2002
_________,
Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Cet.IX; Beirut Dar al-Ilmi li al-Malayin,
1997.
as-Shiba’I,
Mustafa. As-Sunnah wa Makanatuhu fi at-Tsyri al-Islamy, Cet.I;Cairo: Dar
as-Salam, 1998.
ash-Shiddiqy,
M. Hasbi. Sejarah dan Pengatar Ilmu Hadis, Cet.X; Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
al-Suyuti,
Jalal al-Din Abd. al-Rahman bin Abi Bakar. Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi
al-Sunnah, Cet.III; al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Rasyid,
1399H/1979M.
________,
Tadrib al-Rawi, Juz I t.cet; Beirut: Dar al-Kitab al-Araby,1996
as-Syafi’I,
Muhammad bin Idris. Al-Umm, t.tp: Dar al-Syaib,t.th.
al-Qardawi,
Yusuf. As-Sunnah Masdar li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Cet.II; Mesir:
Dar as-Syuruq,1998.
al-Qasimi,
Muhammad Jamaluddin, Qawaid al-Tahdis min Funun Mustalah al-Hadis, t.cet;
Cairo;Isa al-Halaby,t.th.
[1]
Lihat Subhi al-Shaleh, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, (Cet.IX:
Beirut:Darl al-Ilm li al-Malayin, 1977), h.3. Lihat pula M.Syuhudi Ismai, Hadis
Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani
Press’ 1985),h.3. lihat pula Muhammad Ajjad al-Katib, Ushul al-Hadis
‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikri 1395H/1975M0,h.18-19.
[2]
Lihat Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthiy, Miftah al-Jannah
fi al-Ihyijaj bi al-Sunnah (Cet. III; al-Madinah al-Munawwarah Maktabah
al-Rasyid, 1399 H/1979 M), h.5. Lihat pula M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis
dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1988), h. 3
[3] AL-Asyafi’I, membagi ingkar al-Sunnah kepada
tiga golongan yaitu: a) golongan yang menolak seluruh; b) golongan yang menolak
sunnah kecuali sunnah itu memilii kesamaan dengan petunjuk al-Quran; dan c)
golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad. Lihata Muhammad binIdris
al-Syafi’I al-Um, (ttp: Dar al-Sya’ib t.th), h. 250-256.
[4] Lihat Yusuf al-Qardhawi, as-Suunah Masdhar
li al-Ma’rifah wa al Hadharah, (Cet. II; Mesir: Dar as-Syuruq, 1998) h.8-9
[5] Nuruddin ‘Itr, Manhaj, an-Naqd fi Ulum
al-Hadist, (Cet. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h. 25
[6]
Jamaluddin Muhammad Ibnu Manzur, Lisanul arab, Jilid II (Cet. Bairut:
Dar al- Fikri, t.th), h.134.
[7] Ibid.,h.
133
[8] Ibid.
[9] Muhammad bin Abi Bakar bin Abdil Qadir
ar-Razy, Mukhtar as-Shahih (Cet. T.th: Dar al-Manar, t.th), h. 133
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Yahya Ismail, Ma’a al-Hadist wa Ahlili wa
Naqdihi, (Cet. I, Munsyiyah Nasr al-Fajr al-Jadid, 1992), h. 50.
[13]
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mustalah
al-Hadist, (t.Cet; Cairo: Isa al-Halaby, t.th), h. 61.
[14]
Ahmad bin Ali bin Muhammad Ibnu Hajar, Nuzhah an-Nazar, (Cet. I; Cairo:
ad- Dar As- Tsaqafiyyah, 1998), h. 21
[15] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul
Hadist, (Cet. I; Bandung PT. al-Ma’arif, 1974), h. 69-70
[16] Tahir bin Saleh bin Ahmad al-Jazairy, Tujih
an-Nazar ila Ushul al-Asar (t. Cet.;
Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th), h.2
[17] Ibid
[18] Jalal ad-Din Abd Rahman bin Bakar
as-Suyyuthi, Tadrib ar-Rawi, Juz I
(t. Cet; Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1996), h. 23
[19] Abd al-Fattah Abu Guddah, Lamhat min
tarikh as-Sunnah wa Ulum al-hadist, (Cet. IV; Beirut: Dar al-Basyair
al-Islamiyya, 1417 H), h. 15
[20] Musthafa as-Shiba’i, as-Sunnah wa
Makanatuhu fi at-Tasyri’ al-Islamy, (Cet. I; Cairo: Dar asa-Salam, 1988),h.
57
[21]
Abdul Muhdi bin Abdil Kadir bin abdil
Hadi, al-Madkhal ila as-sunnah an-Nawawiyah (t.cet; Cairo: Dar
al-I’tisham, 1998),h.23.
[22]Musthafa
as-Shiba’I, op.cit.,h.58
[23]
Al-jazairy, op.cit.,h.2
[24] M.
Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits (Cet.X; Jakarta:
Bulan Bintang, 1991),h.36.
[25]
Tertulis ‘ilmiyyun nawadhirrun’ seharusnya ‘ilmiyyun qizaruyyun =
pengetahuan yang bersifat teoretis.’
[27] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Cet. I; Bandung ,
PT. al-Ma’arif, 1974),h.69-70
[28] Gufron A. Mas'adi, Ensiklopedi lslam (ringkas), Ed.l (Cet,
lI; Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,I 999),h . I I I
[30] Ibid.
[31] Ibid.,h.70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar