BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama wahyu yang
menyatakan dirinya sebagai rahmatan lil alamin, dan ajarannya shālih
li kulli zamān wa makān. Agama ini, didakwahkan oleh Nabi saw sebagai rasul
Allah yang termulia. Agama Islam dalam sejarah perjalaannya, sudah berusia
kurang lebih empat belas abad. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu,
Islam telah dipahami oleh penganutnya yang memiliki latar belakang sosial,
kultural, politik, pendidikan, kecenderungan, kecerdasan, disiplin, aliran dan
sebagainya yang berbeda-beda. Berbagai keragaman latar belakang yang dimiliki
para penganutnya, pada gilirannya melahirkan pakar-pakar Islam dalam berbagai
bidang. Para pakar itu, ada yang memiliki
reputasi berskala lokal untuk daerahnya, nasional untuk negaranya, dan
internasional untuk berbagai bangsa.
Dalam pada itu, Islam aktual
antara lain disebabkan tampilnya pakar-pakar dari dalam dunia Islam itu sendiri
yang tersebar berbagai penjuru dunia,dari luar Indonesia Al-Albani misalnya.
termasuk di Indonesia,
dan salah satu pakar Islam kenamaan di negara ini adalah Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy (selanjutnya cukup disebut Hasbi).
|
Howard
M. Federspiel menyatakan bahwa Hasbi adalah seorang ilmuwan pertama yang
terkenal di IAIN pada tahun 1950 dan tahun 1960-an. Banyak hasil karyanya yang
berhubungan dengan penjelasan tentang ilmu- Alquran dan hadis, serta hukum
Islam (fikih).[1]
Jadi, dapat dipahami bahwa Hasbi telah memiliki jasa yang sangat besar terhadap
dunia ilmu-ilmu keislaman terutama dalam ketiga bidang tersebut.
Mengkaji
seorang tokoh seperti Hasbi yang dikenal sebagai pakar dalam berbagai bidang,
tentu memiliki arti penting dan siginifikan. Lebih menarik lagi bila kepakaran
Hasbi tersebut dapat disoroti melalui takaran yang akurat. Sehingga akan dapat
dilihat di sisi mana ia menonjol, apakah ia menonjol dalam bidang tafsir,
hadis, atau fikih.
B. Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang diatas, maka penulis merumuskan beberapa masalah dalam
pembahasan ini, sebagai berikut:
1.
Bagaimana profil Muhamad Nashirudin
al-Albani, buku dan metodologinya?
2.
Bagaimana profil Hasbi
ash-Shidiqy, karya-karyanya serta pemikiranya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Profil
Nasiruddin Al-Albani
1.
Biografi
Singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad
Nashiruddin bin al-Haj Nuh bin adam Najati, nama julukanya “al-Albani”
disandarkan kepada negeri kelahiranya Albania[2]nama
kunyahnya adalah abu Abdirahman.[3]
Al-Bani dilahirkan pada
tahun 1333 H bertepatan pada tahun(1914 M) di kota Ashqodar
(Asyqudarah/Shkodra), ibu kota
lama repbublik Albania. Ia tumbuh dan
berkembang di tengah keluarga miskin yang jauh dari kekayaan, akan tetapi
terkenal akan ketekunan dan keseriusan
mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama).[1]
Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani
(yang kini menjadi Istanbul).setelah
al-albani menyelesaikan studinya ia kembali ketanah kelahiranya al-Albania
untuk mendedikasikan ilmunya untuk agama dan
tanah airnya.[4]
Ia wafat pada hari Jumat malam, 21 Jumada
Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999, di Yordania.
2.
Karir
Akademik, guru-guru dan muridnya
Ketika Raja Ahmet Zogu
naik tahta di Albania
dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat
mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk
berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Ia sekeluarga pun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh
al-Albani kecil mulai aktif mempelajari Bahasa Arab. Ia masuk madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah
hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia
meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh ulama. Ia mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, selain mempelajari
pula sebagian fiqih madzhab, yakni madzhab Hanafi, dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari
ketrampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga ia
menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu
mata pencariannya.
Pada umur dua puluh
tahun, al-Albani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan
yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab
berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min
al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya'
Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali. Kegiatan Syeikh Al-Albani dalam bidang hadits
ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang
pailit."[5]
Namun, Syeikh al-Albani justru
semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani
tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan
Perpustakaan azh-Zhahiriyah di sana
(Damaskus), di samping juga meminjam buku dari beberapa
perpustakaan khusus. Karena sibuknya, ia sampai-sampai
menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab
hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Akhirnya, kepala kantor perpustakaan
memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian
ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia
menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu
pula, ketika orang lain pulang pada waktu sholat zhuhur, ia justru pulang setelah sholat isya’.
Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Disamping itu beliau juga rutin
memberikan ceramah dan kajian- kajian keislaman baik dalam masalah aqidah, fiqh
maupun hadits, hingga kemudian beliau diminta oleh pihak Jami’ah Islamiyah
madinah untuk mengajar dikampus tersebut, setelah kurang lebih tiga tahun
beliau pindah ke yordania yang tidak lama kemudian beliau balik lagi ke
madinah.
Walaupun banyak yang kagum kepadanya
bukan berarti tidak ada aral melingtang dihadapanya, dari kritikan sampai harus
tinggal didalam jeruji besi telah beliau alami bahkan hingga berulang dua kali
beliau harus tinggal dibui , akan tetapi hal itu tidak membuat beliau surut
dalam menegakkan kebenaran.[6]
Adapun
diantara guru-guru beliau adalah sebagai berikut:
a.
Syaikhnya
yang pertama adalah ayahnya, al-Haj Nuh al-Najati, yang telah menyelesaikan
belajar Syariah di Istanbul dan kembali ke Albania sebagai
seorang ulama Hanafiyah. Dibawah bimbingan ayahnya inilah al-Albani belajar
qur’an, tajwid dan Bahasa Arab, dan juga fiqh Hanafiyah.
b.
Kemudian
belajar Fiqh Hanafiyyah lebih lanjut dan Bahasa Arab dari Syaikh Sa’id
al-Burhani.
c.
Al-Albani
memiliki ijazah hadits dari allamah syaikh Muhamad Raghib at-Tabagh yang
kepadanya beliau mempelajari ilmu hadits, dan mendapatkan hak untuk
menyampaikan hadits darinya.
d.
Al-Albani
memiliki ijazah tingkat lanjut dari Syaikh Bahjatu al-Baytar ( ijazah serupa
juga dimiliki murid Syaikh al-Albani, yaitu Syaikh Ali Hasan Al-Halabi)
e.
Al-Albani
juga mengikuti pelajaran dari Imam Abdul Fattah dan Syaikh Taufiq al-Barzah.[7]
Adapun tentang Murid-Murid beliau sangatlah banyak, penulis
hanya akan menyebutkan beberapa muridnya, diant ranya: Syaikh Hamdi ibn Abdul
Majid ibn Ismail al-Salafy, Syaikh Abdur Rahman ‘Abdul Khaliq, Dr. Umar Sulaiman
al-Asyqor, Ustadz Khoirun Wa’il, Syaikh Muhammad ‘id Abbasy, Syaikh Muhammad
Ibrahim Syakrah, Syaikh Abdur Rahman Shamad, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I,
Syaikh Zuhair Syawisy, Syaikh ‘Ali Hasan Syawisy, Syaikh Muhammad jamil Zainu,
Syaikh Abdur Rahman al-Albani, Syaikh Ali Hasan.[8]
3. Kitab-
kitab karya al-Albani
Kesungguhan Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani selama
kurang lebih enam puluh tahun dalam menekuni ilmu hadits dan ilmu ke-islaman
lainya telah membuahkan karya-karya besar dan monumental, dalam bidang aqidah,
fiqih, manhaj dan lainya. Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang
sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud
(hilang), semua berjumlah 218 judul.[9]
Adapun karya-karyanya yang sudah dicetak antara lain
a.
Adabuz-Zifaf
fi As-Sunnah al-Muthahharah
b.
Al-Ajwibah
an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
c.
Silisilah
al-Ahadits ash Shahihah
d.
Silisilah
al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah
e.
At-Tawasul
wa anwa’uhu
f.
Ahkam
Al-Jana’iz wabida’uha
Adapun
untuk karyanya yang belum dicetak anyaralain :
a.
Al-Ayatu
wa al-Haditsu fi Dzami al-Bid’ah
b.
Ahadits
al-Isra’ wa Al-Mi’raj
c.
Ahadits
at-Tahari wa al-Bina’ ‘ala al-Yakin fi al-Salat
d.
Ahkam
al-Rikaz
e.
Al-Hadits
al-Maudhuah fi Umahat al-Kutub al-Fiqghiyah
Adapun
karya beliau yang hilang adalah Mukhtashar
Shahih Muslim
Di samping itu, beliau juga memiliki
kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan
kaset-kaset berisi jawabanjawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik
berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip
(yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke
perpustakaan Jami’ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan
manhaj Salafush Shalih (sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum), pada
saat beliau menjadi pengajar disana.[10]
B.
Profil Kitab Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi
al-Umah.
1.
Identifikasi
Kitab.
Kitab karya Syaikh Nashirudin al-Albani yang akan dibahas
ini berjudul Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah
wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah.buku ini cetakan kedua
diterbitkan oleh Maktabah Dar al-Ma’arif li Nasyri’ wa Tauzi’ tahun 1420/ 2000
sebanyak lima
jilid. Walaupun kitab ini juga diterbitkan oleh al-maktab al-islamy damaskus
dan Maktabah al-Ma’arif Riyadh.adapun untuk rincian tentang Bab-Bab bisa
dilihat langsung pada buku tersebut.[11]
2.
Manhaj
Nashirudin al-Albani dalam kitab Silsilahnya.
a.
Latar
Belakang Penulisan Kitab.
Adapun
yang mendorong al-Albani untuk meneliti hadits dan konsentrasi didalamnya
berawal dari ketertarikanya pada tulisan Sayyid Rasyid Ridha yang dimuat dalam
majalah al-Manar yang membahas tentang Kitab Ihya’ Ulumuddin serta
memberikan kritikan didalamnya. Baik dari sisi tasawuf ataupun tentang
hadits-hadits dhaif.[12]
Tidak ketinggalan juga buku yang sama membahas tentang kitab Ihya’ yang
berjudul al-Mugni ‘an Hamli Asfar fi
Takhrij ma lil Ihya’ minal Akhbar karya Abu Fadl Zainuddin al-Iroqi.
b.
Sumber-sumber
Tulisan
Adapun
beberapa sumber tulisan yang sangat berperan dalam penyusunan kita al-Albani
sebagaimana yang dituliskan dalam muqodimahnya[13]
yaitu:
1)
Kitab
al-Maqosid al-Hasanat fi Bayan Katsir min
Hadits al-Musyatharat ‘ala al-Sinah karya al-Sakhawy
2)
Kitab
Nasb al-Rayyah li Ahadits al-Hidayyah
karya al-Hafidz al-Zaila’iy
3)
Kitab
al-Mugni ‘an Hamli Asfar fi Takhrij ma
lil Ihya’ minal Akhbar karya Abu Fadl Zainuddin al-Iroqi.
4)
Kitab
al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadits
al-Rafi’ al-Kabir karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani.
5)
Kitab
Takhrij Ahadits al-Kasyaf, dan
Takhrij Ahadits al-Syifa’ karya
al-Suyuti.
c.
Sistematika
Penulisan.
Dengan
mencermati judul buku al-Albani yang berjudul
Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa
al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah,maka dapat dilihat bahwa
sitematika pembahasanya mencakup dua pokok, yakni hadits- hadits dhoif (lemah)
dan hadits-hadits Maudhu’ (palsu).
Adapun
sistematika penulisan kitab Silsilah
Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah, adalah
sebagai berikut:
1)
Tidak
menggunakan metode abjat sesuai urutan abjat, tetapi ditulis apa adanya sesuai
apa yang dianggap perlu.
2)
Penyusunan
hanya didasarkan pada nomor urut hadits.
3)
Dalam
penulisan bab juga tidak mengikuti sistematika Bab.
4)
Menuliskan
matan hadits tampa
menyebutkan rentetan sanadnya.
5)
Mentakhrij
hadits dan menjelaskan sumber hadits tersebut.
6)
Menyebutkan
satu hadits, kemudian menjelaskan kedhaifanya atau kemaudhuanya dan menghukumi
hadits tersebut. Misalnya hadits ini dhaif atau hadits ini maudhu’.
7)
Menyebutkan
periwayat yang bermasalah, dan menjelaskan sebab-sebab kedhaifan/ kemaudhuanya
berdasarkan pemahaman kririkus hadits, serta memberikan keputusan pada
periwayat tersebut.
8)
Beliau
juga mengangkat dua hadits yang derajatnya lemah menjadi shahihkarena ada
factor yang dapat menguatkanya.[14]
C. T.
M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
1. Riwayat Hidup dan Karyanya
T.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10
Maret 1904,[15]
dan wafat pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta dan
dimakamkan di Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan.[16]
Ibunya
bernama Tengku Amrah, puteri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik
Maharaja Mangkubumi. Ayahnya bernama al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad
Su’ud yang menduduki jabatan Qadhi Chik setelah mertuanya wafat. Tengku
Muhammad Husen berasal dari anggota rumpun Tengku Chik di Simeuluk Samalanga,
yang garis keturunannya sampai pada Ab Bakr al-Shidd³q.[17]
Pada
usia delapan tahun, Hasbi telah khatam Alquran. Satu tahun berikutnya, ia
belajar qir±’ah, tajw³d,
dasar-dasar tafsir dan fikih pada ayahnya sendiri. Kontrolir Lhokseumawe
meminta kepada ayah Hasbi agar Hasbi dimasukkan ke sekolah gubernuran, tetapi
ditolaknya, sebab khawatir anaknya akan dipengaruhi pikiran Nasrani.
Sebagaimana halnya ia menolak Hasbi dicacar, karena takut dimasukkan air kafir,
dan Hasbi baru dicacar setelah ia dewasa.[18]
Ayah
Hasbi menganjurkannya agar menjadi ulama, karena itu Hasbi dikirim belajar dari
dayah satu kedayah yang lain Selama
delapan tahun (1912-1920), sampai akhirnya beliau memperoleh Syhadah untuk
mendirikan dayah sendiri. Walaupun selanjutnya beliau harus meninggalkan kota kelahiranya dengan tujuan Surabaya untuk memperdalam ilmu bahasa di
al-Irsyad.[19]
Dalam
aktifitas sosial kemasyarakatan, Hasbi berjuang melalui bidang pendidikan,
organisasi, dan tulisan. Di bidang pendidikan, ia berkiprah mulai dari guru
Ibtidaiyah sampai menjadi guru besar.[20]
Beliau juga senantiasa berpesan agar setiap guru dapat meningkatkan mutu
pendidikan.[21]
Selanjutnya, sejak tahun 1951 sampai wafatnya (1975), ia menetap dan mengabdi
pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pada
tahun 1339/1920, Hasbi memulai aktivitas organisasi, yaitu dengan bergabung
dalam pergerakan Islam Menjadi Satoe yang didirikan oleh Syaikh
al-Kal±liy di Lhokseumawe. Pada tahun 1350/1931, ia mendirikan cabang Jong
Islamieten Bond di Lhokseumawe. Pada tahun 1352/1933, ia menjadi pengurus
organisasi Nadil Islahil Islami (Kelompok Pembaruan Islam) dan merangkap wakil
redaktur Soeara Atjeh. Pada tahun 1357/1938-1362/1943, ia menjabat Ketua
Cabang Muhammadiyah Kutaraja. Selanjutnya, pada tahun 1362/1943-1365/1946, ia
menjabat Konsul (Ketua Wilayah) Muhammadiyah Daerah Aceh.[22]
Hasbi
memulai aktivitas menulis sejak tahun 1930. Tulisan yang pertama diterbitkan
berjudul Penoetoep Moeloet dan yang terakhir Pedoman Haji (1975).
Dalam bidang tafsir, Hasbi dapat dilihat melalui karyanya, antara lain Tasīr
al-Nūr dan Tafsīr al-Bayān, serta berbagai ilmu tafsir (‘ulūm
al-Qur’ān). Dalam bidang hadis, antara lain ; 2002 Mutiara Hadis, dan
berbagai ilmu hadis (‘ulūm al-hadīś). Dalam bidang fikih, antara lain ; Pedoman
Shalat, Hukum-hukum Fiqh islam, Kuliah Ibadah dan buku-buku ushul fikih
lainnya, dimana karya-karnya beliau dalam ketiga bidang tersebut, banyak
beredar di masyarakat luas dewasa ini.
Seluruh
karya tulisnya terdiri atas tujuh puluh tiga judul buku dan lebih dari empat
puluh sembilan artikel. Ketujuh puluh tiga judul buku tersebut yaitu 6 tafsir,
8 hadits, 36 fikih, 5 tauhid/kalam, dan 17 pemikiran Islam umum.[23]
Dari
jumlah tulisan dan pembidangan ilmu seperti dikemukakan si atas, dapat
dikatakan bahwa tulisan-tulisan Hasbi hampir mencakup seluruh disiplin ilmu
keislaman tradisional, dengan kecenderungan lebih besar dalam bidang fikih
(hukum Islam).
2. Gagasan Pembaruan Pemikiran
Instrumen yang dipergunakan oleh
generasi-generasi muslim di masa lampau, sehingga teladan Nabi dapat kian
berkembang menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku
manusia, adalah aktifitas pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab.
Pemikiran rasional yang disebut ra’y atau “pemikiran yang
dipertimbangkan sendiri” ini menghasilkan banyak sekali ide-ide di bidang
hukum, religius dan moral pada kira-kira abad pertama dan penggal pertama abad
kedua Hijriah.[24]
Kurun waktu tersebut merupakan masa umat
Islam yang paling produktif sepanjang sejarahnya, yang juga disebut periode
klasik, hingga paruh kedua abad ke-20 masih merupakan sesuatu yang krusial
untuk dihidupkan kembali. Terutama aktifitas pemikiran yang seolah terbungkam
oleh anggapan umum bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan menganggap apa yang
dihasilkan pada masa itu tetap relevan sepanjang zaman. Timbullah sikap fanatik
dan berpegang pada salah satu mazhab secara teguh.
Hasbi yang sadar akan kenyataan itu, dan
meskipun sejak kecil ia dididik dalam mazhab Syafi’i dari dayah yang satu ke
dayah yang lain, melepaskan diri dari borgol mazhab dan berjuang mengibarkan
panji-panji kaum pembaru. Gagasannya yang cukup menantang adalah mengenai fiqh
yang berkepribadian Indonesia.
Dalam hal ini menyangkut masalah hukum Islam yang dimaksudkan agar sesuai
dengan karakter budaya masyarakat Indonesia.[25]
Hasbi mengatakan, ditilik pada sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari masa ke masa menunjukkan bahwa di
setiap saat ijtihad diperlukan dan di setiap saat pula peranan mujtahid selaku
pembina hukum Islam sangat besar artinya di tengah-tengah masyarakat yang
selalu tumbuh dan berkembang. Tanpa keduanya, dari waktu ke waktu, hukum Islam
akan membeku, tidak mampu membina masyarakat ke arah yang lebih maju.[26]
Pembaruan pemikiran tentang Islam adalah hal
yang harus dikerjakan terus menerus agar tidak ketinggalan zaman. Akan tetapi
Hasbi menekankan makna pembaruan bukanlah dengan meninggalkan nash. Pembaruan
ialah memperbarui barang lama yang telah usang dengan mengembalikannya seperti
keadaan semula. Oleh karena berlalunya masa, maka hukum Islam produk terdahulu
telah dilekati kiambang dan lumut. Tugas pembaru hukum ialah menghilangkan
kiambang dan lumut yang telah menutupi kemurniannya, bukan untuk merombak atau
menghancurkannya.[27]
Namun pembaruan hukum Islam itu tidak dapat
dilakukan jika para ulama dan umat Islam pada umumnya bersikap skeptis dan
jumud. Akan tetapi, dalam bersikap progresif dan dinamis, sikap hati-hati tetap
merupakan keharusan. Oleh karenanya, tidaklah semua orang dibenarkan
berijtihad. Orang yang boleh berijtihad harus memiliki syarat berpribadi kokoh
dan jujur serta mempunyai kecakapan dan kemampuan ilmiah tertentu, sehingga
memungkinkan yang bersangkutan beristinbath menurut garis-garis yang benar dan
representatif mewakili syara’.[28]
Para mujtahid selain menggali hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang belum ada penetapan hukumnya (nash), juga harus mampu membuat fiqh baru
yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya, guna
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum di setiap waktu dan tempat. Hukum
yang tidak terinci dan qath’i dibenarkan berbeda antara satu tempat
dengan tempat yang lain. Juga dibenarkan untuk dilakukan perubahan, penghapusan
atau penggantian terhadap sesuatu hukum yang telah ditetapkan (hasil ijtihad
ulama) sebelumnya, selama tidak berlawanan dengan nash yang qath’i dan
tidak pula bertentangan dengan masalah yang telah diijma’i.[29]
Mengenai kasus Indonesia,
Hasbi menilai bahwa keberadaan fiqh di kalangan masyarakat muslim Indonesia sudah
sangat memprihatinkan, seakan lesu darah. Ibarat kitab tua yang sudah dimakan
rengat, dibuang sayang tetapi tidak dapat dibaca lagi. Bagi sebagian
masyarakat, fiqh dianggap sebagai barang antik yang hanya layak untuk dipajang
di museum saja. Keadaan ini telah mengantarkan masyarakat Indonesia lebih suka mencari hukum
lain ketimbang fiqh.[30]
Selain itu, salah satu sebab fiqh tidak
mendapat sambutan di kalangan muslimin Indonesia, ialah karena ada
bagian-bagian fiqh yang berdasarkan ‘Urf di Timur Tengah yang tidak
sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga
dalam hukum adat. Akan tetapi bagian-bagian fiqh yang terasa asing itu
dipaksakan juga berlaku atas dasar taqlid.[31]
Menurut Hasbi, agar fiqh mendapat dukungan
dan memasyarakat di kalangan umat Islam Indonesia, maka dalam mengkaji fiqh
para ulama harus suka mencari pendapat yang lebih sesuai dengan watak dan
tabiat bangsa Indonesia dan cocok dengan alam pikiran masa kini. Untuk itu, ia
mengemukakan tiga alasan yang menjadi dasar pemikirannya tentang mungkinnya
dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia.
Pertama, Hasbi meluruskan pemahaman mengenai
syari’at dan fiqh. Syari’at adalah hukum in abstrakto, bersifat
universal dan abadi, sedangkan fiqh adalah hukum in concreto yang
bersifat lokal dan bisa mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan
kebutuhan tempat dan waktu. Kedua, bahwa watak hukum Islam (fiqh) adalah
dinamis dan kenyal. Fiqh yang benar adalah fiqh yang dapat menampung segala
perubahan dan tasyri’ Islami diatur dengan cara yang begitu rupa sehingga ia
sanggup memenuhi kehendak zaman. Di samping itu, hukum baru bisa berjalan
dengan baik jika sesuai dengan rasa kesadaran hukum dari masyarakat pendukung
hukum itu. Ketiga, sejalan dengan keragaman masyarakat yang masing-masing terus
bergerak dan berubah, maka iradah manusia pun tidak pula statis dan
monoton. Karena itu ijtihad harus selalu dilakukan tanpa henti. Ijtihad adalah
tiang utama dalam pembinaan hukum Islam. Karena itu, menjadi satu kewajiban
bagi ulama (pewaris Nabi), selalu melakukan ijtihad demi pembaruan dan pembinaan
hukum Islam. Jika ijtihad[32]
tidak dilakukan, maka hukum menjadi tertinggal, sedangkan masyarakat terus
melaju berkembang. Akibatnya, banyak peristiwa hukum yang tidak tertampung
dalam fiqh.[33]
Hal itu berarti fiqh akan ditinggalkan umat Islam Indonesia. Dengan ijtihad, menjamin
syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan bangsa, berlaku untuk segala zaman dan
tempat.
Hasbi berkeyakinan bahwa, jika fiqh yang
berkepribadian Indonesia
terwujud, bukan saja akan menghilangkan sikap mendua hati dalam menerima fiqh
sebagi alat pemutus hukum di kalangan umat Islam Indonesia,
tetapi juga memberikan kontribusi bagi pembinaan hukum nasional Indonesia.
Sebagai mujtahid, Hasbi banyak mengeluarkan
pendapatnya dalam bidang hukum. Contohnya, dapat dikemukakan antara lain, mengenai
Musabaqah Tilawatil Qur’an, jabat tangan antara laki-laki dan perempuan dan
shalat Jum’at...[34]
Dalam masalah-masalah ini, Hasbi berbeda
dengan rekan-rekannya sesama kaum pembaru. Tentang melombakan ayat-ayat
al-Qur’an dengan berlagu, dengan maksud-maksud duniawi dan maddi, adalah bid’ah
idlafiyah. Alasannya, bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan hal itu,
walaupun ada sejumlah sahabat yang memiliki suara merdu. Karena tidak ingin
mengulangi kebiasaan Arab sebelum Islam yang melombakan syair-syair yang mereka
buat di pasar ‘Ukas. Di samping itu, memperlombakan ayat-ayat al-Qur’an lebih
banyak efek negatif dari pada efek positif, terutama di kalangan peserta (qari’,
qari’ah, daerah) dan pihak pelaksana.
Mengenai jabat tangan antara laki-laki
dengan perempuan yang diharamkan berdasar fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
ditolak oleh Hasbi. Alasannya karena, fatwa itu didasarkan atas qiyas. Menurut
Hasbi, mengharamkan sesuatu harus berdasar dalil nash yang qath’i, tidak
boleh dengan qiyas. Sedangkan nash yang qath’i (al-Qur’an dan Hadits)
yang mengharamkan jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan tidak ada.
Mengqiyaskan jabat tangan dengan pandang memandang adalah tidak tepat. Karena
itu hukum haram yang dijatuhkan bagi jabat tangan antara laki-laki dan
perempuan tidak didukung oleh dalil yang pasti.
Dalam hal sholat Jum’at, Hasbi mengatakan,
pada hari Jum’at tidak ada shalat Dhuhur empat rakaat karena sudah diganti oleh
shalat Jum’at dua rakaat. Karena itu, orang yang tidak mengikuti jamaah Jum’at,
baik seluruh atau sebagiannya, atau orang yang berhalangan berjama’ah di masjid
karena sakit atau sebab lain, demikian juga perempuan yang tidak hadir
berjamaa’ah di masjid harus bersembahyang Jum’at baik bersama-sama atau
sendiri-sendiri. Tidak boleh sembahyang Dhuhur pada siang hari Jum’at.
Berjama’ah dan khutbah bukan rukun atau syarat sahnya shalat Jum’at.[35]
Jadi kewajiban Jum’at bersifat individu,
yang dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah. Karena itu, berjama’ah
dan khutbah bukanlah merupakan rukun Jum’at.
Dari pemikiran- pemikar inilah sehingga
banyak orang yang mengatakan bahwa hasbi pakar dalam bidang Hukum Islam,
walaupun banyak juga yang mengatakan bahwa hasbi juga pakar dalam bidang
tafsir, hadits juga ilmu kalam.[36] walaupun bila ditinjau dari akademis dia lebih pakar dalam bidang houum
akan tetapi juga tidak bias dinafikan akan kedalaman ilmunya pada bidang lain
misalnya ilmu tafsir dan Hadits .
BAB III
KESIMPULAN
1.
Al-Albani
bernama lengkap Muhamad Nashirudin bin Nuh bin Adam Najati, Al-Albani adalah
nama julukanya yang disandarkan pada tanah kelahiranya, beliau dilahirkan
dikota Asy Qudarah tahun 1914 M, al-Albani mempunyai banyak guru dan yang
paling pertama dan paling berperan terhadap dirinya adalah ayahnya yang juga
sekaligus gurunya.begitu pula beliau mempunyai banyak murid diantaranya Syaikh
Muqbil bin Hadial-Wad’I, al-Albani juga mempunyai banyak karya ilmiyah
diantaran ya kitab Silisilah
al-Ahadits ash Shahihah dan Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah,
yang dalam bukunya albani menyebutkan tentang latar belakang penyusunan kitab
tersebut, sumber-sumber tulisan, dan sistematika penulisanya. Al-Albani
meninggal pada hari jum’at malam sabtu tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
2.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy
dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10 Maret 1904, dan wafat
pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta dan dimakamkan di
Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan. Hasbi mempunyai
banyak karya tulis diantaranya Penoetoep Moeloet para ilmuan berbeda pendapat tentang kepakaran al-Hasbi apakah bidang
Fiqh atau Hadits walaupun bila ditinjau dari akademis dia lebih pakar dalam
bidang hokum akan tetapi juga tidak bias dinafikan akan kedalaman ilmunya pada
bidang lain misalnya ilmu tafsir dan Hadits. Dengan gagasannya mengenai perlu dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia,
menunjukkan bahwa bagi Hasbi, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Gagasan ini,
mulai menyentak kebekuan berpikir dan sikap taqlid di kalangan umat
Islam Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashirudin.
Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa
al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah. Jil I, II, III, IV, V ( Cet.
II, Riyadh; Maktabah al-Ma’arif li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000)
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. , Ilmu-ilmu yang Mutlak
Diperlukan oleh Para Pembina Hukum Islam, Pidato Promotor, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Oktober 1975.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Beberapa Permasalahan Hukum Islam (Jakarta:
Tinta Mas, 1975)
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam, (Edisi II, Cet.
I; Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997)
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975)
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pedoman
Shalat (Edisi II, Cet. II; Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000)
Al-Qoryuti, Ashim Abdurrahman. Tarjamah Mujazah li fadhilah al-Muhadits
as-Syaikh Abi ‘Abdurahman Muhammad Nashirudin al-Albani wa adhwa’u ala hayatihi
al-Ilmiyyah, (Jeddah: Dar al-Madani, t.th)
Bamuallim,
Mubarak BM. Biografi Syaikh al-Albani Mujadid dan ahli Hadits abad ini
(Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2003)
Federspiel, Howard M. Popular Indonesian
Literature of The Qur'an, diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan judul: Kajian
Al-Quran di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Cet. II;
Bandung: Mizan, 1996)
Rahman,
Fazlur. Islamic Methodology
and History, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin dengan judul “Membuka Pintu
Ijtihad” (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1995)
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
Shiddiqi, Nourouzzaman. Jeram-jeram Peradaban Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Syaibani, Muhammad Ibrahim . Hayatu al-Albani wa Atsaruha wa Tsanau
al-Ulama alaihi, juz I, (Cet. I; t.tp: Maktabah al-Sadawwi, 1997)
Revisi Makalah
TOKOH-TOKOH
HADITS KONTEMPORER
Dipresentasikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Semester I tahun 2009/2010
Oleh :
YAHYA KOMARUDIN
NIM 80100209137
DOSEN
PEMANDU :
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M. Ag
Dr. H. Rosmaniah Hamid
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN)
ALAUDIN
MAKASSAR 2010
[1]Lihat
Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of The Qur'an, diterjemahkan
oleh Tajul Arifin dengan judul: Kajian Al-Quran di Indonesia: Dari
Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h.
104.
[2] Albania
adalah salah satu negeri Balkan yang terletak dieropa.
[3] Mubarak BM.Bamuallim, Biografi
Syaikh al-Albani Mujadid dan ahli Hadits abad ini (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2003), h. 13
[4] Ashim Abdurrahman al-Qoryuti, Tarjamah
Mujazah li fadhilah al-Muhadits as-Syaikh Abi ‘Abdurahman Muhammad Nashirudin
al-Albani wa adhwa’u ala hayatihi al-Ilmiyyah, (Jeddah: Dar al-Madani,
t.th), h. 3
[5] Ibid, h. 5
[6] Mubarak BM.Bamuallim, op. cit.
h. 13
[7] Lihat Muhammad Ibrahim Syaibani,
Hayatu al-Albani wa Atsaruha wa Tsanau al-Ulama alaihi, juz I, (Cet. I;
t.tp: Maktabah al-Sadawwi, 1997), h. 65-66
[8] Ibid, h. 94-105
[9] Lihat Umar Abu Bakar, op. cit,
h. 123-136.
[10] Ibid
[11] Lihat
Muhammad Nashirudin al-Albani, Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha
As-Sayyi’ fi al-Umah. Jil I, II, III, IV, V ( Cet. II; Riyadh; Maktabah al-Ma’arif li Nasyr wa
al-Tauzi’, 2000)
[12] Mubarak Bamuallim, op. cit.
h. 170
[13] Lihat Muhammad Nashirudin
al-Albani, op. cit. h. 48
[14] Lihat Ibid, h. 5-6
[15]Lihat
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia,
Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 3.
[16]Lihat
ibid., h. 60-61.
[17]Lihat
ibid., h. 3 dan 7.
[18]Lihat
ibid., h. 13.
[19]Lihat,
ibid., h. 15-16.
[20]Jabatan
guru besar diperoleh pada tahun 1960 dengan pidato pengukuhan berjudul “Syareat
Islam Menjawab Tantangan Zaman”. Lihat ibid., h. 28. Pada tahun 1975, ia
mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung dan IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lihat ibid., h. 16.
[21]Lihat
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 219-220.
[23]Lihat,
Nourouzzaman, Jeram, loc. cit.. Selengkapnya, lihat pula
Nourouzzaman, Fiqh, op. cit., h. 265-281.
[24]Fazlur Rahman, Islamic Methodology and History, diterjemahkan
oleh Anas Mahyuddin dengan judul “Membuka Pintu Ijtihad” (Cet. III; Bandung:
Pustaka, 1995), h. 20.
[25]Orang pertama yang melontarkan gagasan ini ialah Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy pada tahun 1940, lihat, Nourouzzaman, Peran…, op. cit.,
h. 234.
[26]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan
oleh Para Pembina Hukum Islam, Pidato Promotor, Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Oktober 1975.
[27]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Beberapa Permasalahan Hukum
Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1975), h. 38.
[28]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Yang…, loc. cit.;
mengenai syarat-syarat ijtihad dan mujtahid, lihat, Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Edisi II, Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997), h. 95-103.
[29]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Perbandingan
Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
[30]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariat Islam…, op. cit., h.
11.
[31]Lihat, ibid., h. 42-43.
[32]Ijtihad yang dianjurkan Hasbi ialah ijtihad kolektif, bukan
perorangan, hal itu akan menghasilkan pendapat yang lebih benar dan menghindari
pertengkaran baru, ibid., h. 243.
[33]Lihat, Nourouzzaman Shiddiqy, Jeram…, op. cit., h.
235-243.
[34]Lihat, Nourouzzaman, Fiqh…, op. cit., h. 171-211.
[35]Selengkapnya, lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat
(Edisi II, Cet. II; Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 389-403.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama wahyu yang
menyatakan dirinya sebagai rahmatan lil alamin, dan ajarannya shālih
li kulli zamān wa makān. Agama ini, didakwahkan oleh Nabi saw sebagai rasul
Allah yang termulia. Agama Islam dalam sejarah perjalaannya, sudah berusia
kurang lebih empat belas abad. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu,
Islam telah dipahami oleh penganutnya yang memiliki latar belakang sosial,
kultural, politik, pendidikan, kecenderungan, kecerdasan, disiplin, aliran dan
sebagainya yang berbeda-beda. Berbagai keragaman latar belakang yang dimiliki
para penganutnya, pada gilirannya melahirkan pakar-pakar Islam dalam berbagai
bidang. Para pakar itu, ada yang memiliki
reputasi berskala lokal untuk daerahnya, nasional untuk negaranya, dan
internasional untuk berbagai bangsa.
Dalam pada itu, Islam aktual
antara lain disebabkan tampilnya pakar-pakar dari dalam dunia Islam itu sendiri
yang tersebar berbagai penjuru dunia,dari luar Indonesia Al-Albani misalnya.
termasuk di Indonesia,
dan salah satu pakar Islam kenamaan di negara ini adalah Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy (selanjutnya cukup disebut Hasbi).
|
Howard
M. Federspiel menyatakan bahwa Hasbi adalah seorang ilmuwan pertama yang
terkenal di IAIN pada tahun 1950 dan tahun 1960-an. Banyak hasil karyanya yang
berhubungan dengan penjelasan tentang ilmu- Alquran dan hadis, serta hukum
Islam (fikih).[1]
Jadi, dapat dipahami bahwa Hasbi telah memiliki jasa yang sangat besar terhadap
dunia ilmu-ilmu keislaman terutama dalam ketiga bidang tersebut.
Mengkaji
seorang tokoh seperti Hasbi yang dikenal sebagai pakar dalam berbagai bidang,
tentu memiliki arti penting dan siginifikan. Lebih menarik lagi bila kepakaran
Hasbi tersebut dapat disoroti melalui takaran yang akurat. Sehingga akan dapat
dilihat di sisi mana ia menonjol, apakah ia menonjol dalam bidang tafsir,
hadis, atau fikih.
B. Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang diatas, maka penulis merumuskan beberapa masalah dalam
pembahasan ini, sebagai berikut:
1.
Bagaimana profil Muhamad Nashirudin
al-Albani, buku dan metodologinya?
2.
Bagaimana profil Hasbi
ash-Shidiqy, karya-karyanya serta pemikiranya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Profil
Nasiruddin Al-Albani
1.
Biografi
Singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad
Nashiruddin bin al-Haj Nuh bin adam Najati, nama julukanya “al-Albani”
disandarkan kepada negeri kelahiranya Albania[2]nama
kunyahnya adalah abu Abdirahman.[3]
Al-Bani dilahirkan pada
tahun 1333 H bertepatan pada tahun(1914 M) di kota Ashqodar
(Asyqudarah/Shkodra), ibu kota
lama repbublik Albania. Ia tumbuh dan
berkembang di tengah keluarga miskin yang jauh dari kekayaan, akan tetapi
terkenal akan ketekunan dan keseriusan
mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama).[1]
Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani
(yang kini menjadi Istanbul).setelah
al-albani menyelesaikan studinya ia kembali ketanah kelahiranya al-Albania
untuk mendedikasikan ilmunya untuk agama dan
tanah airnya.[4]
Ia wafat pada hari Jumat malam, 21 Jumada
Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999, di Yordania.
2.
Karir
Akademik, guru-guru dan muridnya
Ketika Raja Ahmet Zogu
naik tahta di Albania
dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat
mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk
berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Ia sekeluarga pun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh
al-Albani kecil mulai aktif mempelajari Bahasa Arab. Ia masuk madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah
hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia
meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh ulama. Ia mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, selain mempelajari
pula sebagian fiqih madzhab, yakni madzhab Hanafi, dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari
ketrampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga ia
menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu
mata pencariannya.
Pada umur dua puluh
tahun, al-Albani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan
yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab
berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min
al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya'
Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali. Kegiatan Syeikh Al-Albani dalam bidang hadits
ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang
pailit."[5]
Namun, Syeikh al-Albani justru
semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani
tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan
Perpustakaan azh-Zhahiriyah di sana
(Damaskus), di samping juga meminjam buku dari beberapa
perpustakaan khusus. Karena sibuknya, ia sampai-sampai
menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab
hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Akhirnya, kepala kantor perpustakaan
memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian
ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia
menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu
pula, ketika orang lain pulang pada waktu sholat zhuhur, ia justru pulang setelah sholat isya’.
Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Disamping itu beliau juga rutin
memberikan ceramah dan kajian- kajian keislaman baik dalam masalah aqidah, fiqh
maupun hadits, hingga kemudian beliau diminta oleh pihak Jami’ah Islamiyah
madinah untuk mengajar dikampus tersebut, setelah kurang lebih tiga tahun
beliau pindah ke yordania yang tidak lama kemudian beliau balik lagi ke
madinah.
Walaupun banyak yang kagum kepadanya
bukan berarti tidak ada aral melingtang dihadapanya, dari kritikan sampai harus
tinggal didalam jeruji besi telah beliau alami bahkan hingga berulang dua kali
beliau harus tinggal dibui , akan tetapi hal itu tidak membuat beliau surut
dalam menegakkan kebenaran.[6]
Adapun
diantara guru-guru beliau adalah sebagai berikut:
a.
Syaikhnya
yang pertama adalah ayahnya, al-Haj Nuh al-Najati, yang telah menyelesaikan
belajar Syariah di Istanbul dan kembali ke Albania sebagai
seorang ulama Hanafiyah. Dibawah bimbingan ayahnya inilah al-Albani belajar
qur’an, tajwid dan Bahasa Arab, dan juga fiqh Hanafiyah.
b.
Kemudian
belajar Fiqh Hanafiyyah lebih lanjut dan Bahasa Arab dari Syaikh Sa’id
al-Burhani.
c.
Al-Albani
memiliki ijazah hadits dari allamah syaikh Muhamad Raghib at-Tabagh yang
kepadanya beliau mempelajari ilmu hadits, dan mendapatkan hak untuk
menyampaikan hadits darinya.
d.
Al-Albani
memiliki ijazah tingkat lanjut dari Syaikh Bahjatu al-Baytar ( ijazah serupa
juga dimiliki murid Syaikh al-Albani, yaitu Syaikh Ali Hasan Al-Halabi)
e.
Al-Albani
juga mengikuti pelajaran dari Imam Abdul Fattah dan Syaikh Taufiq al-Barzah.[7]
Adapun tentang Murid-Murid beliau sangatlah banyak, penulis
hanya akan menyebutkan beberapa muridnya, diant ranya: Syaikh Hamdi ibn Abdul
Majid ibn Ismail al-Salafy, Syaikh Abdur Rahman ‘Abdul Khaliq, Dr. Umar Sulaiman
al-Asyqor, Ustadz Khoirun Wa’il, Syaikh Muhammad ‘id Abbasy, Syaikh Muhammad
Ibrahim Syakrah, Syaikh Abdur Rahman Shamad, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I,
Syaikh Zuhair Syawisy, Syaikh ‘Ali Hasan Syawisy, Syaikh Muhammad jamil Zainu,
Syaikh Abdur Rahman al-Albani, Syaikh Ali Hasan.[8]
3. Kitab-
kitab karya al-Albani
Kesungguhan Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani selama
kurang lebih enam puluh tahun dalam menekuni ilmu hadits dan ilmu ke-islaman
lainya telah membuahkan karya-karya besar dan monumental, dalam bidang aqidah,
fiqih, manhaj dan lainya. Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang
sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud
(hilang), semua berjumlah 218 judul.[9]
Adapun karya-karyanya yang sudah dicetak antara lain
a.
Adabuz-Zifaf
fi As-Sunnah al-Muthahharah
b.
Al-Ajwibah
an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
c.
Silisilah
al-Ahadits ash Shahihah
d.
Silisilah
al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah
e.
At-Tawasul
wa anwa’uhu
f.
Ahkam
Al-Jana’iz wabida’uha
Adapun
untuk karyanya yang belum dicetak anyaralain :
a.
Al-Ayatu
wa al-Haditsu fi Dzami al-Bid’ah
b.
Ahadits
al-Isra’ wa Al-Mi’raj
c.
Ahadits
at-Tahari wa al-Bina’ ‘ala al-Yakin fi al-Salat
d.
Ahkam
al-Rikaz
e.
Al-Hadits
al-Maudhuah fi Umahat al-Kutub al-Fiqghiyah
Adapun
karya beliau yang hilang adalah Mukhtashar
Shahih Muslim
Di samping itu, beliau juga memiliki
kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan
kaset-kaset berisi jawabanjawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik
berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip
(yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke
perpustakaan Jami’ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan
manhaj Salafush Shalih (sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum), pada
saat beliau menjadi pengajar disana.[10]
B.
Profil Kitab Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi
al-Umah.
1.
Identifikasi
Kitab.
Kitab karya Syaikh Nashirudin al-Albani yang akan dibahas
ini berjudul Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah
wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah.buku ini cetakan kedua
diterbitkan oleh Maktabah Dar al-Ma’arif li Nasyri’ wa Tauzi’ tahun 1420/ 2000
sebanyak lima
jilid. Walaupun kitab ini juga diterbitkan oleh al-maktab al-islamy damaskus
dan Maktabah al-Ma’arif Riyadh.adapun untuk rincian tentang Bab-Bab bisa
dilihat langsung pada buku tersebut.[11]
2.
Manhaj
Nashirudin al-Albani dalam kitab Silsilahnya.
a.
Latar
Belakang Penulisan Kitab.
Adapun
yang mendorong al-Albani untuk meneliti hadits dan konsentrasi didalamnya
berawal dari ketertarikanya pada tulisan Sayyid Rasyid Ridha yang dimuat dalam
majalah al-Manar yang membahas tentang Kitab Ihya’ Ulumuddin serta
memberikan kritikan didalamnya. Baik dari sisi tasawuf ataupun tentang
hadits-hadits dhaif.[12]
Tidak ketinggalan juga buku yang sama membahas tentang kitab Ihya’ yang
berjudul al-Mugni ‘an Hamli Asfar fi
Takhrij ma lil Ihya’ minal Akhbar karya Abu Fadl Zainuddin al-Iroqi.
b.
Sumber-sumber
Tulisan
Adapun
beberapa sumber tulisan yang sangat berperan dalam penyusunan kita al-Albani
sebagaimana yang dituliskan dalam muqodimahnya[13]
yaitu:
1)
Kitab
al-Maqosid al-Hasanat fi Bayan Katsir min
Hadits al-Musyatharat ‘ala al-Sinah karya al-Sakhawy
2)
Kitab
Nasb al-Rayyah li Ahadits al-Hidayyah
karya al-Hafidz al-Zaila’iy
3)
Kitab
al-Mugni ‘an Hamli Asfar fi Takhrij ma
lil Ihya’ minal Akhbar karya Abu Fadl Zainuddin al-Iroqi.
4)
Kitab
al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadits
al-Rafi’ al-Kabir karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani.
5)
Kitab
Takhrij Ahadits al-Kasyaf, dan
Takhrij Ahadits al-Syifa’ karya
al-Suyuti.
c.
Sistematika
Penulisan.
Dengan
mencermati judul buku al-Albani yang berjudul
Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa
al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah,maka dapat dilihat bahwa
sitematika pembahasanya mencakup dua pokok, yakni hadits- hadits dhoif (lemah)
dan hadits-hadits Maudhu’ (palsu).
Adapun
sistematika penulisan kitab Silsilah
Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah, adalah
sebagai berikut:
1)
Tidak
menggunakan metode abjat sesuai urutan abjat, tetapi ditulis apa adanya sesuai
apa yang dianggap perlu.
2)
Penyusunan
hanya didasarkan pada nomor urut hadits.
3)
Dalam
penulisan bab juga tidak mengikuti sistematika Bab.
4)
Menuliskan
matan hadits tampa
menyebutkan rentetan sanadnya.
5)
Mentakhrij
hadits dan menjelaskan sumber hadits tersebut.
6)
Menyebutkan
satu hadits, kemudian menjelaskan kedhaifanya atau kemaudhuanya dan menghukumi
hadits tersebut. Misalnya hadits ini dhaif atau hadits ini maudhu’.
7)
Menyebutkan
periwayat yang bermasalah, dan menjelaskan sebab-sebab kedhaifan/ kemaudhuanya
berdasarkan pemahaman kririkus hadits, serta memberikan keputusan pada
periwayat tersebut.
8)
Beliau
juga mengangkat dua hadits yang derajatnya lemah menjadi shahihkarena ada
factor yang dapat menguatkanya.[14]
C. T.
M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
1. Riwayat Hidup dan Karyanya
T.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10
Maret 1904,[15]
dan wafat pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta dan
dimakamkan di Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan.[16]
Ibunya
bernama Tengku Amrah, puteri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik
Maharaja Mangkubumi. Ayahnya bernama al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad
Su’ud yang menduduki jabatan Qadhi Chik setelah mertuanya wafat. Tengku
Muhammad Husen berasal dari anggota rumpun Tengku Chik di Simeuluk Samalanga,
yang garis keturunannya sampai pada Ab Bakr al-Shidd³q.[17]
Pada
usia delapan tahun, Hasbi telah khatam Alquran. Satu tahun berikutnya, ia
belajar qir±’ah, tajw³d,
dasar-dasar tafsir dan fikih pada ayahnya sendiri. Kontrolir Lhokseumawe
meminta kepada ayah Hasbi agar Hasbi dimasukkan ke sekolah gubernuran, tetapi
ditolaknya, sebab khawatir anaknya akan dipengaruhi pikiran Nasrani.
Sebagaimana halnya ia menolak Hasbi dicacar, karena takut dimasukkan air kafir,
dan Hasbi baru dicacar setelah ia dewasa.[18]
Ayah
Hasbi menganjurkannya agar menjadi ulama, karena itu Hasbi dikirim belajar dari
dayah satu kedayah yang lain Selama
delapan tahun (1912-1920), sampai akhirnya beliau memperoleh Syhadah untuk
mendirikan dayah sendiri. Walaupun selanjutnya beliau harus meninggalkan kota kelahiranya dengan tujuan Surabaya untuk memperdalam ilmu bahasa di
al-Irsyad.[19]
Dalam
aktifitas sosial kemasyarakatan, Hasbi berjuang melalui bidang pendidikan,
organisasi, dan tulisan. Di bidang pendidikan, ia berkiprah mulai dari guru
Ibtidaiyah sampai menjadi guru besar.[20]
Beliau juga senantiasa berpesan agar setiap guru dapat meningkatkan mutu
pendidikan.[21]
Selanjutnya, sejak tahun 1951 sampai wafatnya (1975), ia menetap dan mengabdi
pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pada
tahun 1339/1920, Hasbi memulai aktivitas organisasi, yaitu dengan bergabung
dalam pergerakan Islam Menjadi Satoe yang didirikan oleh Syaikh
al-Kal±liy di Lhokseumawe. Pada tahun 1350/1931, ia mendirikan cabang Jong
Islamieten Bond di Lhokseumawe. Pada tahun 1352/1933, ia menjadi pengurus
organisasi Nadil Islahil Islami (Kelompok Pembaruan Islam) dan merangkap wakil
redaktur Soeara Atjeh. Pada tahun 1357/1938-1362/1943, ia menjabat Ketua
Cabang Muhammadiyah Kutaraja. Selanjutnya, pada tahun 1362/1943-1365/1946, ia
menjabat Konsul (Ketua Wilayah) Muhammadiyah Daerah Aceh.[22]
Hasbi
memulai aktivitas menulis sejak tahun 1930. Tulisan yang pertama diterbitkan
berjudul Penoetoep Moeloet dan yang terakhir Pedoman Haji (1975).
Dalam bidang tafsir, Hasbi dapat dilihat melalui karyanya, antara lain Tasīr
al-Nūr dan Tafsīr al-Bayān, serta berbagai ilmu tafsir (‘ulūm
al-Qur’ān). Dalam bidang hadis, antara lain ; 2002 Mutiara Hadis, dan
berbagai ilmu hadis (‘ulūm al-hadīś). Dalam bidang fikih, antara lain ; Pedoman
Shalat, Hukum-hukum Fiqh islam, Kuliah Ibadah dan buku-buku ushul fikih
lainnya, dimana karya-karnya beliau dalam ketiga bidang tersebut, banyak
beredar di masyarakat luas dewasa ini.
Seluruh
karya tulisnya terdiri atas tujuh puluh tiga judul buku dan lebih dari empat
puluh sembilan artikel. Ketujuh puluh tiga judul buku tersebut yaitu 6 tafsir,
8 hadits, 36 fikih, 5 tauhid/kalam, dan 17 pemikiran Islam umum.[23]
Dari
jumlah tulisan dan pembidangan ilmu seperti dikemukakan si atas, dapat
dikatakan bahwa tulisan-tulisan Hasbi hampir mencakup seluruh disiplin ilmu
keislaman tradisional, dengan kecenderungan lebih besar dalam bidang fikih
(hukum Islam).
2. Gagasan Pembaruan Pemikiran
Instrumen yang dipergunakan oleh
generasi-generasi muslim di masa lampau, sehingga teladan Nabi dapat kian
berkembang menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku
manusia, adalah aktifitas pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab.
Pemikiran rasional yang disebut ra’y atau “pemikiran yang
dipertimbangkan sendiri” ini menghasilkan banyak sekali ide-ide di bidang
hukum, religius dan moral pada kira-kira abad pertama dan penggal pertama abad
kedua Hijriah.[24]
Kurun waktu tersebut merupakan masa umat
Islam yang paling produktif sepanjang sejarahnya, yang juga disebut periode
klasik, hingga paruh kedua abad ke-20 masih merupakan sesuatu yang krusial
untuk dihidupkan kembali. Terutama aktifitas pemikiran yang seolah terbungkam
oleh anggapan umum bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan menganggap apa yang
dihasilkan pada masa itu tetap relevan sepanjang zaman. Timbullah sikap fanatik
dan berpegang pada salah satu mazhab secara teguh.
Hasbi yang sadar akan kenyataan itu, dan
meskipun sejak kecil ia dididik dalam mazhab Syafi’i dari dayah yang satu ke
dayah yang lain, melepaskan diri dari borgol mazhab dan berjuang mengibarkan
panji-panji kaum pembaru. Gagasannya yang cukup menantang adalah mengenai fiqh
yang berkepribadian Indonesia.
Dalam hal ini menyangkut masalah hukum Islam yang dimaksudkan agar sesuai
dengan karakter budaya masyarakat Indonesia.[25]
Hasbi mengatakan, ditilik pada sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari masa ke masa menunjukkan bahwa di
setiap saat ijtihad diperlukan dan di setiap saat pula peranan mujtahid selaku
pembina hukum Islam sangat besar artinya di tengah-tengah masyarakat yang
selalu tumbuh dan berkembang. Tanpa keduanya, dari waktu ke waktu, hukum Islam
akan membeku, tidak mampu membina masyarakat ke arah yang lebih maju.[26]
Pembaruan pemikiran tentang Islam adalah hal
yang harus dikerjakan terus menerus agar tidak ketinggalan zaman. Akan tetapi
Hasbi menekankan makna pembaruan bukanlah dengan meninggalkan nash. Pembaruan
ialah memperbarui barang lama yang telah usang dengan mengembalikannya seperti
keadaan semula. Oleh karena berlalunya masa, maka hukum Islam produk terdahulu
telah dilekati kiambang dan lumut. Tugas pembaru hukum ialah menghilangkan
kiambang dan lumut yang telah menutupi kemurniannya, bukan untuk merombak atau
menghancurkannya.[27]
Namun pembaruan hukum Islam itu tidak dapat
dilakukan jika para ulama dan umat Islam pada umumnya bersikap skeptis dan
jumud. Akan tetapi, dalam bersikap progresif dan dinamis, sikap hati-hati tetap
merupakan keharusan. Oleh karenanya, tidaklah semua orang dibenarkan
berijtihad. Orang yang boleh berijtihad harus memiliki syarat berpribadi kokoh
dan jujur serta mempunyai kecakapan dan kemampuan ilmiah tertentu, sehingga
memungkinkan yang bersangkutan beristinbath menurut garis-garis yang benar dan
representatif mewakili syara’.[28]
Para mujtahid selain menggali hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang belum ada penetapan hukumnya (nash), juga harus mampu membuat fiqh baru
yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya, guna
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum di setiap waktu dan tempat. Hukum
yang tidak terinci dan qath’i dibenarkan berbeda antara satu tempat
dengan tempat yang lain. Juga dibenarkan untuk dilakukan perubahan, penghapusan
atau penggantian terhadap sesuatu hukum yang telah ditetapkan (hasil ijtihad
ulama) sebelumnya, selama tidak berlawanan dengan nash yang qath’i dan
tidak pula bertentangan dengan masalah yang telah diijma’i.[29]
Mengenai kasus Indonesia,
Hasbi menilai bahwa keberadaan fiqh di kalangan masyarakat muslim Indonesia sudah
sangat memprihatinkan, seakan lesu darah. Ibarat kitab tua yang sudah dimakan
rengat, dibuang sayang tetapi tidak dapat dibaca lagi. Bagi sebagian
masyarakat, fiqh dianggap sebagai barang antik yang hanya layak untuk dipajang
di museum saja. Keadaan ini telah mengantarkan masyarakat Indonesia lebih suka mencari hukum
lain ketimbang fiqh.[30]
Selain itu, salah satu sebab fiqh tidak
mendapat sambutan di kalangan muslimin Indonesia, ialah karena ada
bagian-bagian fiqh yang berdasarkan ‘Urf di Timur Tengah yang tidak
sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga
dalam hukum adat. Akan tetapi bagian-bagian fiqh yang terasa asing itu
dipaksakan juga berlaku atas dasar taqlid.[31]
Menurut Hasbi, agar fiqh mendapat dukungan
dan memasyarakat di kalangan umat Islam Indonesia, maka dalam mengkaji fiqh
para ulama harus suka mencari pendapat yang lebih sesuai dengan watak dan
tabiat bangsa Indonesia dan cocok dengan alam pikiran masa kini. Untuk itu, ia
mengemukakan tiga alasan yang menjadi dasar pemikirannya tentang mungkinnya
dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia.
Pertama, Hasbi meluruskan pemahaman mengenai
syari’at dan fiqh. Syari’at adalah hukum in abstrakto, bersifat
universal dan abadi, sedangkan fiqh adalah hukum in concreto yang
bersifat lokal dan bisa mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan
kebutuhan tempat dan waktu. Kedua, bahwa watak hukum Islam (fiqh) adalah
dinamis dan kenyal. Fiqh yang benar adalah fiqh yang dapat menampung segala
perubahan dan tasyri’ Islami diatur dengan cara yang begitu rupa sehingga ia
sanggup memenuhi kehendak zaman. Di samping itu, hukum baru bisa berjalan
dengan baik jika sesuai dengan rasa kesadaran hukum dari masyarakat pendukung
hukum itu. Ketiga, sejalan dengan keragaman masyarakat yang masing-masing terus
bergerak dan berubah, maka iradah manusia pun tidak pula statis dan
monoton. Karena itu ijtihad harus selalu dilakukan tanpa henti. Ijtihad adalah
tiang utama dalam pembinaan hukum Islam. Karena itu, menjadi satu kewajiban
bagi ulama (pewaris Nabi), selalu melakukan ijtihad demi pembaruan dan pembinaan
hukum Islam. Jika ijtihad[32]
tidak dilakukan, maka hukum menjadi tertinggal, sedangkan masyarakat terus
melaju berkembang. Akibatnya, banyak peristiwa hukum yang tidak tertampung
dalam fiqh.[33]
Hal itu berarti fiqh akan ditinggalkan umat Islam Indonesia. Dengan ijtihad, menjamin
syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan bangsa, berlaku untuk segala zaman dan
tempat.
Hasbi berkeyakinan bahwa, jika fiqh yang
berkepribadian Indonesia
terwujud, bukan saja akan menghilangkan sikap mendua hati dalam menerima fiqh
sebagi alat pemutus hukum di kalangan umat Islam Indonesia,
tetapi juga memberikan kontribusi bagi pembinaan hukum nasional Indonesia.
Sebagai mujtahid, Hasbi banyak mengeluarkan
pendapatnya dalam bidang hukum. Contohnya, dapat dikemukakan antara lain, mengenai
Musabaqah Tilawatil Qur’an, jabat tangan antara laki-laki dan perempuan dan
shalat Jum’at...[34]
Dalam masalah-masalah ini, Hasbi berbeda
dengan rekan-rekannya sesama kaum pembaru. Tentang melombakan ayat-ayat
al-Qur’an dengan berlagu, dengan maksud-maksud duniawi dan maddi, adalah bid’ah
idlafiyah. Alasannya, bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan hal itu,
walaupun ada sejumlah sahabat yang memiliki suara merdu. Karena tidak ingin
mengulangi kebiasaan Arab sebelum Islam yang melombakan syair-syair yang mereka
buat di pasar ‘Ukas. Di samping itu, memperlombakan ayat-ayat al-Qur’an lebih
banyak efek negatif dari pada efek positif, terutama di kalangan peserta (qari’,
qari’ah, daerah) dan pihak pelaksana.
Mengenai jabat tangan antara laki-laki
dengan perempuan yang diharamkan berdasar fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
ditolak oleh Hasbi. Alasannya karena, fatwa itu didasarkan atas qiyas. Menurut
Hasbi, mengharamkan sesuatu harus berdasar dalil nash yang qath’i, tidak
boleh dengan qiyas. Sedangkan nash yang qath’i (al-Qur’an dan Hadits)
yang mengharamkan jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan tidak ada.
Mengqiyaskan jabat tangan dengan pandang memandang adalah tidak tepat. Karena
itu hukum haram yang dijatuhkan bagi jabat tangan antara laki-laki dan
perempuan tidak didukung oleh dalil yang pasti.
Dalam hal sholat Jum’at, Hasbi mengatakan,
pada hari Jum’at tidak ada shalat Dhuhur empat rakaat karena sudah diganti oleh
shalat Jum’at dua rakaat. Karena itu, orang yang tidak mengikuti jamaah Jum’at,
baik seluruh atau sebagiannya, atau orang yang berhalangan berjama’ah di masjid
karena sakit atau sebab lain, demikian juga perempuan yang tidak hadir
berjamaa’ah di masjid harus bersembahyang Jum’at baik bersama-sama atau
sendiri-sendiri. Tidak boleh sembahyang Dhuhur pada siang hari Jum’at.
Berjama’ah dan khutbah bukan rukun atau syarat sahnya shalat Jum’at.[35]
Jadi kewajiban Jum’at bersifat individu,
yang dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah. Karena itu, berjama’ah
dan khutbah bukanlah merupakan rukun Jum’at.
Dari pemikiran- pemikar inilah sehingga
banyak orang yang mengatakan bahwa hasbi pakar dalam bidang Hukum Islam,
walaupun banyak juga yang mengatakan bahwa hasbi juga pakar dalam bidang
tafsir, hadits juga ilmu kalam.[36] walaupun bila ditinjau dari akademis dia lebih pakar dalam bidang houum
akan tetapi juga tidak bias dinafikan akan kedalaman ilmunya pada bidang lain
misalnya ilmu tafsir dan Hadits .
BAB III
KESIMPULAN
1.
Al-Albani
bernama lengkap Muhamad Nashirudin bin Nuh bin Adam Najati, Al-Albani adalah
nama julukanya yang disandarkan pada tanah kelahiranya, beliau dilahirkan
dikota Asy Qudarah tahun 1914 M, al-Albani mempunyai banyak guru dan yang
paling pertama dan paling berperan terhadap dirinya adalah ayahnya yang juga
sekaligus gurunya.begitu pula beliau mempunyai banyak murid diantaranya Syaikh
Muqbil bin Hadial-Wad’I, al-Albani juga mempunyai banyak karya ilmiyah
diantaran ya kitab Silisilah
al-Ahadits ash Shahihah dan Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah,
yang dalam bukunya albani menyebutkan tentang latar belakang penyusunan kitab
tersebut, sumber-sumber tulisan, dan sistematika penulisanya. Al-Albani
meninggal pada hari jum’at malam sabtu tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
2.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy
dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10 Maret 1904, dan wafat
pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta dan dimakamkan di
Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan. Hasbi mempunyai
banyak karya tulis diantaranya Penoetoep Moeloet para ilmuan berbeda pendapat tentang kepakaran al-Hasbi apakah bidang
Fiqh atau Hadits walaupun bila ditinjau dari akademis dia lebih pakar dalam
bidang hokum akan tetapi juga tidak bias dinafikan akan kedalaman ilmunya pada
bidang lain misalnya ilmu tafsir dan Hadits. Dengan gagasannya mengenai perlu dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia,
menunjukkan bahwa bagi Hasbi, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Gagasan ini,
mulai menyentak kebekuan berpikir dan sikap taqlid di kalangan umat
Islam Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashirudin.
Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa
al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah. Jil I, II, III, IV, V ( Cet.
II, Riyadh; Maktabah al-Ma’arif li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000)
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. , Ilmu-ilmu yang Mutlak
Diperlukan oleh Para Pembina Hukum Islam, Pidato Promotor, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Oktober 1975.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Beberapa Permasalahan Hukum Islam (Jakarta:
Tinta Mas, 1975)
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam, (Edisi II, Cet.
I; Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997)
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975)
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pedoman
Shalat (Edisi II, Cet. II; Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000)
Al-Qoryuti, Ashim Abdurrahman. Tarjamah Mujazah li fadhilah al-Muhadits
as-Syaikh Abi ‘Abdurahman Muhammad Nashirudin al-Albani wa adhwa’u ala hayatihi
al-Ilmiyyah, (Jeddah: Dar al-Madani, t.th)
Bamuallim,
Mubarak BM. Biografi Syaikh al-Albani Mujadid dan ahli Hadits abad ini
(Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2003)
Federspiel, Howard M. Popular Indonesian
Literature of The Qur'an, diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan judul: Kajian
Al-Quran di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Cet. II;
Bandung: Mizan, 1996)
Rahman,
Fazlur. Islamic Methodology
and History, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin dengan judul “Membuka Pintu
Ijtihad” (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1995)
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
Shiddiqi, Nourouzzaman. Jeram-jeram Peradaban Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Syaibani, Muhammad Ibrahim . Hayatu al-Albani wa Atsaruha wa Tsanau
al-Ulama alaihi, juz I, (Cet. I; t.tp: Maktabah al-Sadawwi, 1997)
Revisi Makalah
TOKOH-TOKOH
HADITS KONTEMPORER
Dipresentasikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Semester I tahun 2009/2010
Oleh :
YAHYA KOMARUDIN
NIM 80100209137
DOSEN
PEMANDU :
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M. Ag
Dr. H. Rosmaniah Hamid
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN)
ALAUDIN
MAKASSAR 2010
[1]Lihat
Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of The Qur'an, diterjemahkan
oleh Tajul Arifin dengan judul: Kajian Al-Quran di Indonesia: Dari
Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h.
104.
[2] Albania
adalah salah satu negeri Balkan yang terletak dieropa.
[3] Mubarak BM.Bamuallim, Biografi
Syaikh al-Albani Mujadid dan ahli Hadits abad ini (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2003), h. 13
[4] Ashim Abdurrahman al-Qoryuti, Tarjamah
Mujazah li fadhilah al-Muhadits as-Syaikh Abi ‘Abdurahman Muhammad Nashirudin
al-Albani wa adhwa’u ala hayatihi al-Ilmiyyah, (Jeddah: Dar al-Madani,
t.th), h. 3
[5] Ibid, h. 5
[6] Mubarak BM.Bamuallim, op. cit.
h. 13
[7] Lihat Muhammad Ibrahim Syaibani,
Hayatu al-Albani wa Atsaruha wa Tsanau al-Ulama alaihi, juz I, (Cet. I;
t.tp: Maktabah al-Sadawwi, 1997), h. 65-66
[8] Ibid, h. 94-105
[9] Lihat Umar Abu Bakar, op. cit,
h. 123-136.
[10] Ibid
[11] Lihat
Muhammad Nashirudin al-Albani, Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha
As-Sayyi’ fi al-Umah. Jil I, II, III, IV, V ( Cet. II; Riyadh; Maktabah al-Ma’arif li Nasyr wa
al-Tauzi’, 2000)
[12] Mubarak Bamuallim, op. cit.
h. 170
[13] Lihat Muhammad Nashirudin
al-Albani, op. cit. h. 48
[14] Lihat Ibid, h. 5-6
[15]Lihat
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia,
Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 3.
[16]Lihat
ibid., h. 60-61.
[17]Lihat
ibid., h. 3 dan 7.
[18]Lihat
ibid., h. 13.
[19]Lihat,
ibid., h. 15-16.
[20]Jabatan
guru besar diperoleh pada tahun 1960 dengan pidato pengukuhan berjudul “Syareat
Islam Menjawab Tantangan Zaman”. Lihat ibid., h. 28. Pada tahun 1975, ia
mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung dan IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lihat ibid., h. 16.
[21]Lihat
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 219-220.
[23]Lihat,
Nourouzzaman, Jeram, loc. cit.. Selengkapnya, lihat pula
Nourouzzaman, Fiqh, op. cit., h. 265-281.
[24]Fazlur Rahman, Islamic Methodology and History, diterjemahkan
oleh Anas Mahyuddin dengan judul “Membuka Pintu Ijtihad” (Cet. III; Bandung:
Pustaka, 1995), h. 20.
[25]Orang pertama yang melontarkan gagasan ini ialah Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy pada tahun 1940, lihat, Nourouzzaman, Peran…, op. cit.,
h. 234.
[26]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan
oleh Para Pembina Hukum Islam, Pidato Promotor, Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Oktober 1975.
[27]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Beberapa Permasalahan Hukum
Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1975), h. 38.
[28]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Yang…, loc. cit.;
mengenai syarat-syarat ijtihad dan mujtahid, lihat, Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Edisi II, Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997), h. 95-103.
[29]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Perbandingan
Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
[30]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariat Islam…, op. cit., h.
11.
[31]Lihat, ibid., h. 42-43.
[32]Ijtihad yang dianjurkan Hasbi ialah ijtihad kolektif, bukan
perorangan, hal itu akan menghasilkan pendapat yang lebih benar dan menghindari
pertengkaran baru, ibid., h. 243.
[33]Lihat, Nourouzzaman Shiddiqy, Jeram…, op. cit., h.
235-243.
[34]Lihat, Nourouzzaman, Fiqh…, op. cit., h. 171-211.
[35]Selengkapnya, lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat
(Edisi II, Cet. II; Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 389-403.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar