Daftar Pustaka

Jumat, 12 Oktober 2012

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis



Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan Hadis





REVISI MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Mata Kuliah
Ulumul Hadis
Semester I  Tahun Akademik 2010


Oleh;
A G U S
NIM. 80100209008

Dosen Pemandu;
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
M A K A S S A R
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah adalah peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau yang dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah. Olehnya itu dalam mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits, baik perkembangan riwayat-riwayatnya sanadnya ataupun matannya haruslah dipertanggung jawabkan secara ilmiah karna benar atau tidaknya suatu peristiwa sangat di tentukan oleh kebenaran ilmiahnya.
Sungguh gelap jalan yang dilalui oleh mereka yang mempelajari hadits, jika mereka menempuh pelajaran hadits tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits.[1]Dengan demkian dapat dapat dipahami bahwa dalam mempelajari hadits maka yang paling pertama di kaji adalah sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits sehingga ilmu hadits dapat di pertanggung jawabkan secarah ilmiah.
Mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits harus dititik beratkan kepada dua persoalan yang terpokok yakni:
1. Mempelajari periode-periode ilmu hadits dan nadhariah-nadhariahnya, serta memperhatikan keadaan masyarakat yang telah mendukung nadhariah-nadhariahnya dan lapangan-lapangan yang telah  ditempuh olehnya. Disamping itu kita mempelajari kebutuhan masa kepadanya dan pengaruhnya terhadap masyarakat yang mendukungnya.
 2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadits dengan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.[2] Dengan mempelajari periode-periode yang telah di lalui oleh ilmu itu (sejarah pertumbuhan dan perkembangannya), dapatlah kita mengetahui bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa ke masa. Istimewa pula yang mempelajari sejarahnya, karena menggambarkan kepada kita bagaimana kesungguhan yang telah di berikan oleh parah ahli untuk pertumbuhan dan perkembangannya dan merentangkan jalan-jalan untuk sampai kepada tujuan yang terakhir dari sesuatu ilmu itu.
Mempelajari sejarah perkembangan hadits, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, amat di perlukan karena di pandang satu bagian dari pelajaran hadits yang tidak boleh dipisahkan. Selain itu kita pelajari manhaj-manhaj yang telah dijalani dan tujuan-tujuan yang di maksudkan serta nilai-nilai hasil yang telah di peroleh begitu pulah natijah-natijah yang telah dicapai.
Mempelajari periode-periode ilmu dan betapa masa yang telah mendukung pandangan-pandangan (teori-teori) ilmu dan tidak memperhatikan daya upaya ulama dalam melahirkan teori-teori. Dalam mempelajari para ahli hadits yang telah menetapkan asas-asas ilmu. Mereka diteliti dengan mendalam,agar nyatalah jalan-jalan yang telah mereka lalui dan pokok-pokok dasar yang telah mereka wujudkan,serta ukuran-ukuran dan timbangan-timbangan yang telah mereka pergunakan, yang menyampaikan mereka kepada natijah-natijah yang telah mereka peroleh.[3]
Mempelajari para ahli hadits, suatu hal yang tidak boleh di abaikan karena dengan mempelajari keadaan mereka dapat diketahui bagaimana keadaan hadits-hadits itu dishaihikan, dihasankan, didhaifkan dan syarat-syarat apa yang mereka gunakan.
Apabila kita pelajari dengan seksama suasana dan keadaan-keadaan yang telah dilalui hadits sejak dari zaman tumbuhnya hinggah dewasa ini dapatlah kita menarik sebuah garis bahwa hadits rasul sebagai dasar tasyri¢ yang kedua telah melalui enam masa dan sekarang telah menempuh periode ke tujuh.
Masa pertama: masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan nabi diangkat hingga beliau wafat pada tahun 11 hijriah.                      Masa kedua: masa membatasi riwayat, masa khulafau Rasyidin (12 H – 40 H. masa ketiga: masa berkembangnya riwayat dan periwayatan dari kota ke kota untuk mencari hadits, yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar (41 H sampai akhir pertama H). masa ke empat: masa pembukuan hadits (dari permulaan abad kedua H hingga akhirnya). Masa kelima: masa mentashithkan hadits dan menyaringnya (awal abad ketiga hinga akhir).masa ke enam: masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab jami¢ yang khusus (dari abad ke empat hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). masa ke tujuh: masa membuat sarah, membuat kitab-kitab takhrij, menentukan hadits-hadits hukum dan membuat kitab-kitab jami¢ yang umum serta membahas hadits-hadits zahwa-id ( 656 H hingga dewasa ini).[4]
Menyadari akan sangat luasnya uraian tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits dan kaitannya uraian-urain di atas maka masalah pokok yang dikaji dalam makalah ini adalah masa kelahiran hadits, masa penulisan hadits, masa pembukuan hadits, masa pentashihan hadits, masa penkajian hadits serta hadits pada masa kontemporer.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana masa kelahiran dan penulisan hadits dan tokoh-tokohnya?
2.      Bagaimana masa pembukuan, pentashihan dan penkajian hadits dan tokoh-tokohnya?
3.      Bagaimana eksistensi hadits pada masa kontemporer dan tokoh-tokohnya?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Kelahiran Dan Penulisan Hadits Beserta Tokoh-Tokohnya
    1. Masa kelahiran hadits dan tokoh-tokohnya
Seluruh prbuatan nabi demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat, segala gerak-gerik beliau dijadikan pedoman hidup. Karena kesungguhan para sahabat untuk meniru dan meneladani beliau, maka berganti-gantilah para sahabat yang jauh rumahnya dari masjid mendatangi majelis-majelis nabi. Sebagian sahabat dari tempat-tempat yang jauh mendatangi nabi hanya untuk menanyakan tentang hukum sayri’. Salah satu contohnya yaitu diberitakan kepada Al Bukhari dalam shahinya dari Uqbah ibn Al Harits, bahwa seorang wanita menerankan kepadanya (Uqbah), bahwa dia telah menyusui Uqbah dan istrinya. Mendengar itu Uqbah yang tinggal di Mekah terus berankat menuju ke Madinah. Sesampainya kepada nabi Uqbah pun bertanya tentang hukum-hukum Allah mengenai seseorang yang memperistrikan saudara sesusuannya,tanpa  mengetahuinya,kemudian baru diterankan oleh yang menyusui mereka,maka nabi menjawab kaifa waqad Qila=betapa, pada hal telah diterangkan orang. Mendengar itu Uqbah saerta merta menceraikan istrinya, kemudian istrinya itu menikah dengan orang lain.[5] Hal Itu membuktikan bahwa betapa kesungguhannya para shabat untuk mendapatkan hadits dari Rasulullah SAW.
Eksintensi hadits  pada masa kelahirannya pada umumnya masih terjaga kemurniannya  dan susunan bahasanya sangat sistematis, sehingga hadits yang diucapkan  oleh Rasul sangat indah  susunan bahasanya.[6]  Dan sahabat menerima hadits langsung dari nabi lalu para sahabat menghafalnya.
Masa  kelahiran hadits terjadi pada periode pertama yakni pada masa Rasul yakni pada tahun 11 H. (dari tahun 13 S.H.- 11 H).
Adapun sahabat-sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah SAW, yaitu:
a.    As sabiqulnal awwalun, seperti Khulafa empat dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
b.   Abu Hurairah, yang bersungguh-sungguh menghafal hadits.
c.    Anas Ibn Malik, yang banyak menerima hadits daripara shabat nabi dan
d.   Aisyah dan Ummu Salamah, yang erat hbungannya dengan nabi.[7]
      2. Masa penulisan hadits dan tokoh-tokohnya
Beberapa sahabat nabi dengan motifasinya tinggi mencatat hadis-hadits sebanyak-banyaknya berdsarkan segala yang didengar dari nabi dan ada juga sebagian sahabat mencatat sebahagian saja.[8] Para sahabat menulis hadits sesuai dengan kemampuannya, dan perlu juga diketahui bahwa tidak semua sahabat dibolehka menulis hadits, karena Rasulullah SAW khawatir akan adanya sahabat  yang mencampur adukkan hadits dengan firman Allah SWT.[9]
            Berbicara persoalan proses penulisan hadits, maka penulis akan mengangkat suatu kisah adanya sahabat nabi yang mengajukan keberatannya terhhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah ibn Amer Ibn Ash. Mereka berkata kepada Abdullah ibn Amer bahwa anda selalu menulis apa yang anda dengar dari nabi pada hal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syari’at. Maka Abdullah bertanya kepada nabi apakah boleh dia menulis hadits-hadits nabi?
            Untuk lebih jelasnya dalam hadits Rasulullah Saw menjelaskannya, yakni:  
أخبرنا مسدد ثنا يحيى عن عبيد الله بن الأخنس قال حدثني الوليد بن عبد الله عن يوسفكنت اكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه و سلم أريد حفظه فنهتني قريش وقالوا تكتب كل شيء سمعته من رسول الله صلى الله عليه و سلم ورسول الله صلى الله عليه و سلم بشر يتكلم في الغضب والرضاء فأمسكت عن الكتاب فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه و سلم فأومأ بأصبعه إلى فيه وقال اكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج منه الا حق

Artinya: dari Musaddad dari Yahya dari Ubaidillah ibn al-Akhnasy dari al-Walid ibn Abdillah dari Yusuf ibn Mahik dari Abdullah ibn Amr berkata “Saya menulis setiap apa yang saya dengar dari Rasulullah saw supaya saya menghafalnya. Lalu Quraisy melarangku dan berkata “engkau menulis setiap sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw. padahal beliau hanyalah mnusia yang berbicara, baik para waktu marah maupun pada waktu bahagia, lalu aku berhenti menulis lalu saya melapor kepada Rasulullah saw. lalu Rasulullah member isyarat dengan jari-jarinya di mulutnya seraya berkata “Tulislah demi Zat yang jiwaku dalam genggamannya, tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali kebenaran”.[10]

Kalau kita cermati hadit tersebut, Maka jelaslah bahwa pada masa Rasulullah SAW  memang sudah ada sahabat yang dibolehkan menulis hadits yakni pada abad pertama Hijriah.
Namun demikian pendapat yang dominan dikalangan para sarjana dan ilmuan bahwa hadits-hadits itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut secara lisan sampai akhir pertama hijriah. Sedang orang yang pertama kali mempunyai ide untuk menulis hadits adalah Khalifah Umar Bin Abdul Azis, dimana beliau mengirimkan surat kapada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, yang mengatakan bahwa periksalah dan tulislah semua hadits-hadits nabi, sunnah-sunah yang telah dikerjakan, atau hadits tetang umroh, karena saya khawatir hal itu akan punah.[11]
Ketika kita cermati kedua pebedaan pandangan tersebut  maka menurut hemat penulis pandangan yang pertama, memang sudah ada sahabat yang menulis hadits namun hadits itu belum dikumpulkan menjadi sebuah buku artinya hanya beberapa hadits yang ditulis yang langsung didengar dari Rasulullah SAW nanti pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis dikumpulkan hadits-hadits untuk dibukukan. 
Sebagai mana dalam bukunya Prof. Dr. M. M. Azami yang berjudul hadits nabawi dan sejarah kodifikasinya, menyebutkan tokoh-tokoh penulis hadits pada masa Raulullah SAW sampai pada pertengahan abad ke dua Hijriah, ialah antara lain:
a. Abu Umamah al-Bahili (10 SH-81 H.),
b. Abu Bakar al-siddiq (50 SH-13 H.),
c. Abu Hurairah, ra. (19 SH-59 H.),
d. Anas bin Malik, ra. (10 SH-93 H.),
e. Zaid bin Tsabit al-Anshari, ra. (w. 45 H.),
f. Zaid bin Arqam, (w. 66 H.),
g . Yunus bin Ubaid al- Abdi, (w. 140 H.) dan lain-lain.[12]
       Dengan memperhatikan para tokoh yang terlibat dalam penulisan hadits, maka betapa lamanya hadits nabi ditulis oleh para tokoh-tokoh tersebut.
B.  Masa  Pembukuan, Pentashihan Dan Pengkajian Hadits Beserta tokoh-tokohnya
   1. Masa pembukuan hadits dan tokoh-tokohnya
         Sudah dapat dipahami bahwa pada abad pertama hijriah, mulai dari zaman Rasul, masa Khulafau Rasyidin dan sebagian besar zaman Amawiyah hingga akhir abad pertama Hijriah hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan pada kekuatan hafalannya. Pada masa itu mereka belum terdorong untuk membukukannya, karena hafalan mereka terkenal kuat.
         Dikala kendali Khalifah dipegang oleh Umar bin Abdul Azis yang dinobatkan dalam tahun 99 H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dikenal khalifa Rasyidin yang ke lima, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits, beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits dalam kepalanya semakin lama semakin banyak yang meninggal. Olehnya itu timbul kekhawatiran pada diri Umar bin Abdul Azis apabila hadits tidak dibukukan dari para perawinya, maka mungkinlah hadits-hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawa bersama oleh para penghafalnya ke alam barzah. Untuk mencapai maksud mulia itu, pada tahun 100 H. Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah. Abu Bakar Ibn Muhammad ibn Amr Ibn Hazmim  (120 H.) yang menjadi guru Ma’mar, Al Laits,Al Auza’y, Malik Ibn Ishaq dan Ibn Abi dzi’bin supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang paling terkenal, Amrah binti Abdir Rahman ibn Sa’ad ibnu Zurarah ibn Ades ,seorang ahli fiqih, murid Aisyah ra.(107 H atau 725 M) seorang pemuka Tabi’y dan salah serang fuqaha madinah yang tujuh.[13]
            Disamping itu Mahmud Ali Fuad dalam bukunya,metodologi penetapan keshahihan hadits menjelaskan bahwa: Ketika masa khalifah bin Abdul Azis Al-Amawi, yaitu 100 tahun sesudah hijriah, tidak ada seorang sahabat pun yang masih hidup. Dan telah meninggal pula kebanyakan penghafal hadits, ada yang wafat ada pula yang terbunuh. Khalifah Umar bin Abdul Azis  r.a. merasa bahwa hadits-hadits akan terancam kepunahan maka ia memerintahkan agar hadits-hadits dibukukan.[14] Dengan demikian dapat dipahami bahwa masa pembukuan hadits pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Azis, yakni pada abad ke dua Hijriah.
            Tokoh-tokoh hadits pada abad ke dua hijriah, ialah:
a. Malik,
b. Yahya Ibn Sa’id Al Qaththan,
c. Waki’ Ibn Al Jarrah,
d. Sufyan Ats Tsaury,
e. Ibnu Uyainah,
f. Syu’bah ibn Hajjaj,
g. Abdur Rahman ibn Mahdy,
h. Auza’y,
i. Al Laits,
j. Abu Hanifah dan
k. Asy Syafi’y.[15]
Adapun kitab-kitab yang terkenal diabad ke dua, yaitu: Al Muaththa’, Al Masghasy wal Siyar, Al Jami’, Al Mushannaf, Al Maghasin Nabawiyah, al Musnad dan Mukhtaliful Hadits.14
   2. Masa pentashihan hadits dan tokoh-tokohnya
         Untuk mentashihkan hadits dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang tarikh Rijal Hadits, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang yang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Sebagai mana dibutuhkannya pengtahuan yang mendalam tentang perawi-perawi hadits sejak zaman shahabi hingga zaman Al Bukhari umpamanya bagaimana nilai kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercayai, siapa yang tertutup keadaanya ,siapa yang dusta dan siapa yang lalai. Al Bukhari mempunyai dua keistimewaan, yaitu hafalan yang sungguh kuat yang jaran kita temukan bandingannya, teristimewa dalam bidang hadits, serta keahlian dalam meneliti kedaan perawi-perawi yang nampak kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disusun untuk menerankan kedaa-keadaan perawi hadits.[16] Jadi dalam pentashihhkan hadits perlu penelitian yang mendalam mengenai Rijal hdits yang trkait dengan perawi hadits baik dari sahabat,dari tabi’in maupun dari ankatan-ankatan sesudahnya dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui kedaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan kedaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
         Al Bukhari dalam menghadapi perawi-peawi yang lemah dan tercela menggunakan kata-yang sopan sekali. Al Bukhari dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih kedalam buku jami’nya yang  memakai  beberapa syarat ykni mengisyaratkan sanad yang yang mustahil , serta perawi-perawi yang muslim, yang bersifat benar, tidak suka bertadlis dan tidak berobah akal,adil kuat hafalannya, tidak ragu-ragu dan baik pula iktikadnya.[17]
Hadits yang shahih dengan kata lain penyampain sabda,prilaku  atau persetujuan nabi dengan tepat  harus diamalkan oleh segenap umat, meskipun ,jika hanya memiliki satu atau sedikit  isnad (ahad). Hadits tersebut menyampaikan kemunkinan (zahn) bukan kepastian (yaqin). Selanjutnya hadits-hadits shahi yang mengandung  peristiwa-peristiwa historis atau yang  memberikan uraia-uraian tentang orang atau situasi harus diterima sebagai shahih secara historis.[18] Dengan demikian dapat difahami dalam mentashihkan hadits harus melalui beberapa tinjauan termasuk didalamnya tinjauan historis.
Masa pentshihan hadits terjadi pada abad ke tiga Hijriah.Adapun tokooh-tokoh hadits pada abad ke tiga, yaitu:
a.       Ali Ibnu Madany,
b.      Abu Hatim Ar Razy,
c.       Muhammad Ibn Jarir Ath Thabaray,
d.      Muhammad Ibn Sa’ad,
e.       Ishaq Ibn Rahawaih,
f.       Ahmad,
g.      Al Bukhary,
h.      Muslim,
i.        An Nasa-y,
j.        Abu Daud,
k.       At Turmizy,
l.        Ibnu Majah dan
m.    Ibnu Qutaibah Ad Dainury.[19]
3. Masa Pengkajian Hadits
            Pengkajian adalah proses atau cara atau perbuatan mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelitian.[20] Menurut hemat penulis, pengkajian hadits adalah mempelajari hadits secara mendalam terutama mempelajari hadits dengan pendekatan secara historis dan metodologi kritik hadits.
          Yang dimaksud dengan  pendekatan historis dalam hal ini adalah suatu upaya memahami hadits dengan cara mempertimbangkan  kondisi historis, empiris pada hadits itu disampaikan oleh Nabi SAW.[21] Dalam arti kata pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadits dengan meperhatikan sejarahnya.
          Metodologi kritik hadits adalah suatu pekerjaan yang tidak pernah berhenti, yang ternyata hal itu juga dilakukan oleh peneliti dan pengkaji dikalangan ekstrim ummat islam.[22] Dengan demikian dapat difahami bahan pengkajian hadits memang sudah ada sejak lahirnya hadits sampai pada saat sekarang ini.
          Umat islam selalu berkewajiban untuk mempelajari al quran maupun hadits  Nabi SAW. Dan sebagai pelaksanaan terhadap kewajiban ini, disemua negeri-negeri islam banyak dijumpai kegiatan-kegiatan pendidikan dimana hal itu belum pernah ditemukan bandingannya dalam sejarah umat manusia pada masa lalu. Apalagi dalam sejarah pendidikan dan kata “al-ilm”(ilmu) itu sendiri dipakai selama beberapa abad  yang lalu.[23] Dalam artian mengkaji  hadits dan hal-hal yang berkaitan dengan hal itu. Dengan demikian dapat dipahami sejauh mana kajian hadits untuk mendapat perhatian.
            Pada masa Nabi SAW, para sahabat, maupun tabi’in belum terdapat akademik-akademik atau perguruan-perguruan tinggi dengan sistem pengajaran yang teratur dan pasti. Begitu pula, pada waktu itu belum ada metode mengajar yang pasti yang layak untuk diikuti. Metode belajar maupun metode mengajar pada saat itu adalah bebas, dimana pelajar atau murid bebas memilih guru dan guru pun bebas menerima ata menolak murid. Bahkan metode mengajar seorang guru dapat juga berlainan apa bila muridnya atau situasinya tidak sama.
            Para sahabat juga selalu memperhatikan tingkah laku, perbuatan, ucapan, dan gerak-gerik nabi SAW dengan cermat. Mereka tampak berkemauan keras untuk menghafal sabda-sabda nabi SAW yang mereka dengar dan berusaha mengamalkan hal yang mereka pelajari. Oleh karena itu tidak ada kesempatan belajar yang mereka peroleh kecuali mereka mesti memanfaatkannya. Anas bin  Malik berkata  ”suatu ketika kami duduk bersama Nabi SAW, jumlah kami kurang lebih enam puluh orang. Nabi SAW menyampaikan haditsnya kepada kami. Setelah beliau pergi untuk suatu keperluan. Kami mendiskusikan kembali masalah yang beliau sampaikan tadi sampai hal itu mantap seperti tertanam dalam hati kami”.[24]Dengan demikian dapat dipahami   bahwa ketika sahabat mendapatkan sebuah hadits dari Nabi SAW, maka para sahabat mengkajinya dengan menggunakan metode diskusi untuk memahami hadits itu secara mendalam sehingga betul-betul menjadi pedoman hidup bagi mereka dan melekat pada diri mereka.
          Ada beberapa metode pembelajaran hadits, yaitu mengajarkan hadits secara lisan, membacakan hadits dari suatu kitab, metode soal-jawab dan metode imla’. mengajarkan hadits secara lisan nampak pada abad ke dua Hijriah dan berlangsung lama setelah abad ke dua. Murid pada waktu itu tinggal bersama-sama gurunya dalam waktu yang lama, dengan cara inilah mereka memperoleh hadits dari gurunya. Metode membacakan hadits dari suatu kitab, metode ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Guru membacakan kitabnya sendiri  dan murid mendengarkannya,
b. Guru membacakan kitab yang lain dan murid mendengarkannya  dan
c. Murid membacakan suatu kitab dan guru mendengarkannya.
Metode soal -jawab adalah suatu metode dimana murid membacakan pangkal dari suatu hadits, kemudian gurunya menruskan hadits itu selenkapnya. Surat-surat Nabi Saw yang banyak itu, perjanjian-prjanjian dan dokumen-dokumen lainnya, begitu pula hadits-hadits yang lain telah beliau imla’kan kepada para sahabat.[25]
          Apabila dibandinkan dengan metode-metode pengajaran hadits sejak abad ke dua dan sesudahnya, maka metode-metode yang disebutkan termasuk tidak popular, bahkan sebagian jarang dipakai.
            Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa proses pengkajian hadits sejak pada abad pertama. Disamping itu dapat dibuktikan dengan munculnya kritikus-kritikus dari abad ke abad.
            Adapun tokoh-tokoh kritikus hadits yang terkenal, ialah:
a.       Ubadah bin Al-Shamit yang wafat pada tahun 93 H.
b.      Amir bin Syarahi yang wafat pada tahun 109 H.
c.       Muhammad bin Sirin yang wafat pada tahun 110 H.
d.      Hasyim bin Abdillah wafat tahun 152 H.
e.       Ma’mar bin Rasyid Al-azdiy yang wafat pada tahun 153 H.
f.       Abdullah bin Al- Mubarak Al-Handzali yang wafat pada tahun 181 H.
g.      Imam Yahya bin Ma’in Al-Ghathafani yang wafat pada tahun 233 H.
h.      Imam Ahmad bin Hambal yang wafat pada tahun 214 H.
i.        Imam Zuhair bin Harb An-Nasa’i yang wafat pada tahun 234 H.
j.        Imam Abdullah bin Umar yang wafat pada tahun 235 H.
k.      Imam Bukhary, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhary yang wafat pada tahun 256 H.[26] dan masih banyak lagi tokoh-tokoh penkritik hadits yang lainnya yang tidak sempat kami masukkan dalam makalah ini.    
C. Hadits Pada Masa Kontemporer Dan Tokoh-Tokohnya
            Masalah kontemporer adalah berbagai permasalahan yang berkembang dalam masyarakat modern yang memerlukan landasan yuridis atas keberadaannya.[27] Hadits pada masa kontenporer tentunya menimbulkan berbagai macam perbedaan pendapat dikalangan para ulama tergantung bagaimana proses pengkajian mereka masing-masing dan tinjauannya.
            Perlu juga diketahui bahwa masa kontemporer yaitu sejak tahun 652 H hingga sekarang  atau abad ketujuh Hijriah sampai sekarang,dengan alasn bahwa  masa itu ulama sudah berusaha menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits hukum, mentakhrijkan hadits-hadits yang terkenal dalam masyarakat. Pada masa itu juga ulama mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab sebelumnya kedalam kitab tertentu. Ini membuktikan bahwa para ulama sudah memiliki pemikiran-pemikiran moderen.
            Tokoh-tokoh hadiits pada masa itu ialah:
a. Az Zahabi (748 H),
            b. Ibnu sayyidinas (734 H),
c. Ibnu Daqiqil  ied (862 H),
d. Mughlathai (862 H),
e. Al  Asqalany (852 H),
f. Ad Dimyati (705),
g. Al Aini (855H),
h. As Sayuthy (911 H),
i. Az Zarkaasyy (744 H),
j. Al Mizzy (742 H),
k. Al Ala-y (761 H),
l. Ibnu Katsir (774 H),
m. Az zaila-y (762 H),
n. Ibnu Rajab (795 H),
o. ibnu Mulaqqin (804 H)
p. Al Bulqany (805 H),
q. Al Iraqy (806 H),
r . Al Haitsamy (807 H) dan
s. Abu Zurah (826 H).[28].
            Apabila diteliti secara seksama pada uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa hadits pada masa kontemporer mengalami perkembangan termasuk perkembangan penkajian ulumul hadits. Sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.




BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
            Beranjak dari pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Masa kelahiran hadits yaitu pada masa Rasulullah SAW yakni pada periode pertama atau dari tahun 13 S.M. hingga 11 H. Dan diantara tokoh-tokoh pada masa itu ialah Khulafa empat, Abu Hurairah dan lain-lain. Masa penulisan hadits yaitu pada masa Rasulullah SAW sampai pada pertengahan abad ke dua hijriah. Dan diantara tokoh-tokoh pada masa itu ialah Abu Umamah,Abu Bakar al Shiddiq, Abu Hurairah r.a, Anas bin Malik r.a, Zaid bin Tsabit dan tokoh-tokoh yang lain.
2.      Masa pembukuan hadits yaitu sejak masa khalifah Umar bin Abdul Azis yakni pada abad kedua hijriah. Diantara tokoh-tokoh pada masa itu ialah Malik, Yahya ibn Sa’id Al Khaththan, Waki’ ibn Al Jarrah, Sufyan Ats Tsaury dan tokoh-tokoh lainnya. Masa pentashihan hadits yaitu pada abad ke tiga hijriah. Diantara tokoh-tokoh pada masa itu ialah Ali ibn Madany, Abu Hatim Ar Razy, Muhammad ibnu jarir Athabaray, Muhammad ibnu Sa’ad dan tokoh-tokoh lainnya.Masa penkajian hadits yaitu sejak abad pertama hijriah dibuktikan munculny tokoh-tokoh kritikus hadits dari abad kea bad. Diantara tokoh-tokoh kritikus hadits ialah  Ubadah bin Al Shamit, Amir bin Syarahi, Muhammad bin Sirrin, Hasyim bin Abdillah, Ma’mar bin Rasyid Al Azdiy, Abdillah bin al Mubarak imam Bukhari dan tokoh-tokoh kritikus hadits  yang lain.
3.      Hadits pada masa kontemporer  mengalami perkembangan khususnya perkembangan dalam penngkajian hadits, masa kontenporer yakni pada tahu 652 H. sampai sekarang.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Arifuddin, Memahami Hadits Nabi, Cet. I, Jakarta: Renaisans, 2005
As-Shahih Subih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, cet.I, Jakarta: Pustaka Firdaus,1993
Ash Shiddieq Hasbi, sejarah Pengantar Ilmu Hadits, cet. II, Jakarta: Bulan Bintang,1993
____________________, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, cet. IV, semarang: Pustaka Reski Putra,1999
____________________ ,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, cet.VI, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Azmi M. M, Hadits Nabi Dan Sejarah Kodifikasinya, cet. II, Jakarta: Firdaus, 1994
Darmalaksana Wahyudin,Hadits Di mata Orientalis, cet. II, Bandung: Benang Merah Pres, 2004
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II, Balai Pustaka
Fayyad Muhammad Ali, Metodologi penetapan Keahahihan Hadits, Cet. I, Bandung: Pustaka setia, 1998
Hasan Ilyas, Kontrofersi Hadits Di Mesir, Cet. I, Bandung: Mizan, 1999
Munawwar H Said Agil Hasim, Mustakim Abdul, Asbabul Wurud, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001  


[1]Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. II; Jakarta:   Bulan Bintang, 1993), h. 45
[2]Ibid
[3] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Perngantar Ilmu Hadis, (Cet IV; Semarang: Pustaka Reski Putra, 1999), h. 26
[4] Ibid
[5] Ibid h. 32
[6] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Cet VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 40
7 T.M. Hasbi Ashiddieqy, op cit. h. 27.
8 Ibid, h.32-33
9 Subih As-shahih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist, (cet. 1; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 24.



[10] Abdullah ibn Abd Rahman Abu Muhammad al-Darimi, Sunan al-Darimi (Cet. I; bairut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1407 H), vol. 1 h. 136.
[11]  Subhi Ashahih, op. cit., h. 38
[12] ibid., h. 39.
[13]M. M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Cet I; Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h. 106
[14] Muhammad Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, ( Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,1998), h. 31
[15] M.M. Azami, Op. cit. h.57.
[16]Ibidt h. 60.
[17] Ibid. h. 70
[18] Ibid. h. 73.
[19] Ibid. h.80.
[20] Ilyas Hasan, Kontropersi Hadis di Mesir, (Cet. I, Bandung: Mizan, 1999), h. 36
[21] Departemen pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. II; Balai Pustaka), h. 377
[22] H. Said Agil Hasim Munawwar, Abdul Mustakim, Asbabul Urud ( Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 26
[23] Wahyudin Darmalaksana, Hadis Dimata Orientalis, (Cet. I; Bandung: Benang Merah Press, 2004), h. 8
[24] Op. Cit. h. 443
[25] Ibid, h. 445
[26] M.M. Azami, op.cit., h. 95.
[27] Arifuddin Ahmad, Memahami Hadis Nabi, ( Cet I; Jakarta: Renaisans, 2005), h. 221
[28] Op. Cit. h.105-106

Tidak ada komentar: