Sejarah
Pertumbuhan
dan
Perkembangan Hadis
REVISI
MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Mata Kuliah
Ulumul Hadis
Semester I
Tahun Akademik 2010
Oleh;
A G U S
NIM. 80100209008
Dosen Pemandu;
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN
M A K A S S A R
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah adalah
peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau yang dapat di pertanggungjawabkan
secara ilmiah. Olehnya itu dalam mempelajari sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadits, baik perkembangan riwayat-riwayatnya sanadnya ataupun matannya
haruslah dipertanggung jawabkan secara ilmiah karna benar atau tidaknya suatu
peristiwa sangat di tentukan oleh kebenaran ilmiahnya.
Sungguh gelap
jalan yang dilalui oleh mereka yang mempelajari hadits, jika mereka menempuh
pelajaran hadits tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits.[1]Dengan
demkian dapat dapat dipahami bahwa dalam mempelajari hadits maka yang
paling pertama di kaji adalah sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits
sehingga ilmu hadits dapat di pertanggung jawabkan secarah ilmiah.
Mempelajari sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hadits harus dititik beratkan kepada dua persoalan
yang terpokok yakni:
1. Mempelajari periode-periode
ilmu hadits dan nadhariah-nadhariahnya, serta memperhatikan keadaan masyarakat
yang telah mendukung nadhariah-nadhariahnya dan lapangan-lapangan yang
telah ditempuh olehnya. Disamping itu
kita mempelajari kebutuhan masa kepadanya dan pengaruhnya terhadap masyarakat
yang mendukungnya.
2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadits dengan
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.[2]
Dengan mempelajari periode-periode yang telah di lalui oleh ilmu itu (sejarah
pertumbuhan dan perkembangannya), dapatlah kita mengetahui bagaimana proses
pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa ke masa. Istimewa pula yang
mempelajari sejarahnya, karena menggambarkan kepada kita bagaimana kesungguhan
yang telah di berikan oleh parah ahli untuk pertumbuhan dan perkembangannya dan
merentangkan jalan-jalan untuk sampai kepada tujuan yang terakhir dari sesuatu
ilmu itu.
Mempelajari
sejarah perkembangan hadits, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun
pembukuannya, amat di perlukan karena di pandang satu bagian dari pelajaran
hadits yang tidak boleh dipisahkan. Selain itu kita pelajari manhaj-manhaj yang
telah dijalani dan tujuan-tujuan yang di maksudkan serta nilai-nilai hasil yang
telah di peroleh begitu pulah natijah-natijah yang telah dicapai.
Mempelajari
periode-periode ilmu dan betapa masa yang telah mendukung pandangan-pandangan
(teori-teori) ilmu dan tidak memperhatikan daya upaya ulama dalam melahirkan
teori-teori. Dalam mempelajari para ahli hadits yang telah menetapkan asas-asas
ilmu. Mereka diteliti dengan mendalam,agar nyatalah jalan-jalan yang telah
mereka lalui dan pokok-pokok dasar yang telah mereka wujudkan,serta
ukuran-ukuran dan timbangan-timbangan yang telah mereka pergunakan, yang
menyampaikan mereka kepada natijah-natijah yang telah mereka peroleh.[3]
Mempelajari
para ahli hadits, suatu hal yang tidak boleh di abaikan karena dengan
mempelajari keadaan mereka dapat diketahui bagaimana keadaan hadits-hadits itu
dishaihikan, dihasankan, didhaifkan dan syarat-syarat apa yang mereka gunakan.
Apabila kita
pelajari dengan seksama suasana dan keadaan-keadaan yang telah dilalui hadits
sejak dari zaman tumbuhnya hinggah dewasa ini dapatlah kita menarik sebuah
garis bahwa hadits rasul sebagai dasar tasyri¢ yang kedua telah melalui enam masa dan sekarang telah menempuh
periode ke tujuh.
Masa pertama:
masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan nabi
diangkat hingga beliau wafat pada tahun 11 hijriah. Masa kedua: masa membatasi riwayat, masa
khulafau Rasyidin (12 H – 40 H. masa ketiga: masa berkembangnya riwayat dan
periwayatan dari kota ke kota untuk mencari hadits, yaitu masa sahabat kecil
dan tabi’in besar (41 H sampai akhir pertama H). masa ke empat: masa pembukuan
hadits (dari permulaan abad kedua H hingga akhirnya). Masa kelima: masa
mentashithkan hadits dan menyaringnya (awal abad ketiga hinga akhir).masa ke
enam: masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab jami¢ yang khusus (dari abad ke empat hingga jatuhnya Baghdad tahun 656
H). masa ke tujuh: masa membuat sarah, membuat kitab-kitab takhrij, menentukan
hadits-hadits hukum dan membuat kitab-kitab jami¢ yang umum serta membahas hadits-hadits zahwa-id ( 656 H hingga
dewasa ini).[4]
Menyadari akan
sangat luasnya uraian tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits dan
kaitannya uraian-urain di atas maka masalah pokok yang dikaji dalam makalah ini
adalah masa kelahiran hadits, masa penulisan hadits, masa pembukuan hadits,
masa pentashihan hadits, masa penkajian hadits serta hadits pada masa kontemporer.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
1. Bagaimana masa
kelahiran dan penulisan hadits dan tokoh-tokohnya?
2. Bagaimana masa
pembukuan, pentashihan dan penkajian hadits dan tokoh-tokohnya?
3. Bagaimana
eksistensi hadits pada masa kontemporer dan tokoh-tokohnya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Masa Kelahiran Dan Penulisan Hadits Beserta Tokoh-Tokohnya
1. Masa kelahiran hadits dan tokoh-tokohnya
Seluruh
prbuatan nabi demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata nabi menjadi tumpuan
perhatian para sahabat, segala gerak-gerik beliau dijadikan pedoman hidup. Karena
kesungguhan para sahabat untuk meniru dan meneladani beliau, maka berganti-gantilah
para sahabat yang jauh rumahnya dari masjid mendatangi majelis-majelis nabi. Sebagian
sahabat dari tempat-tempat yang jauh mendatangi nabi hanya untuk menanyakan
tentang hukum sayri’. Salah satu contohnya yaitu diberitakan kepada Al Bukhari dalam
shahinya dari Uqbah ibn Al Harits, bahwa seorang wanita menerankan kepadanya
(Uqbah), bahwa dia telah menyusui Uqbah dan istrinya. Mendengar itu Uqbah yang
tinggal di Mekah terus berankat menuju ke Madinah. Sesampainya kepada nabi
Uqbah pun bertanya tentang hukum-hukum Allah mengenai seseorang yang memperistrikan
saudara sesusuannya,tanpa mengetahuinya,kemudian baru diterankan oleh
yang menyusui mereka,maka nabi menjawab kaifa waqad Qila=betapa, pada hal telah
diterangkan orang. Mendengar itu Uqbah saerta merta menceraikan istrinya, kemudian
istrinya itu menikah dengan orang lain.[5] Hal
Itu membuktikan bahwa betapa kesungguhannya para shabat untuk mendapatkan
hadits dari Rasulullah SAW.
Eksintensi
hadits pada masa kelahirannya pada
umumnya masih terjaga kemurniannya dan
susunan bahasanya sangat sistematis, sehingga hadits yang diucapkan oleh Rasul sangat indah susunan bahasanya.[6] Dan sahabat menerima hadits langsung dari
nabi lalu para sahabat menghafalnya.
Masa kelahiran hadits terjadi pada periode pertama
yakni pada masa Rasul yakni pada tahun 11 H. (dari tahun 13 S.H.- 11 H).
Adapun
sahabat-sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah SAW, yaitu:
a.
As sabiqulnal awwalun, seperti Khulafa empat dan Abdullah Ibnu
Mas’ud.
b.
Abu Hurairah, yang bersungguh-sungguh menghafal hadits.
c.
Anas Ibn Malik, yang banyak menerima hadits daripara shabat nabi
dan
d.
Aisyah dan Ummu Salamah, yang erat hbungannya dengan nabi.[7]
2. Masa penulisan hadits dan
tokoh-tokohnya
Beberapa
sahabat nabi dengan motifasinya tinggi mencatat hadis-hadits sebanyak-banyaknya
berdsarkan segala yang didengar dari nabi dan ada juga sebagian sahabat mencatat
sebahagian saja.[8]
Para sahabat menulis hadits sesuai dengan kemampuannya, dan perlu juga
diketahui bahwa tidak semua sahabat dibolehka menulis hadits, karena Rasulullah
SAW khawatir akan adanya sahabat yang
mencampur adukkan hadits dengan firman Allah SWT.[9]
Berbicara
persoalan proses penulisan hadits, maka penulis akan mengangkat suatu kisah
adanya sahabat nabi yang mengajukan keberatannya terhhadap pekerjaan yang
dilakukan oleh Abdullah ibn Amer Ibn Ash. Mereka berkata kepada Abdullah ibn
Amer bahwa anda selalu menulis apa yang anda dengar dari nabi pada hal beliau
kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak
dijadikan syari’at. Maka Abdullah bertanya kepada nabi apakah boleh dia menulis
hadits-hadits nabi?
Untuk lebih jelasnya dalam hadits
Rasulullah Saw menjelaskannya, yakni:
أخبرنا مسدد ثنا يحيى عن عبيد الله بن الأخنس قال
حدثني الوليد بن عبد الله عن يوسفكنت اكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه
و سلم أريد حفظه فنهتني قريش وقالوا تكتب كل شيء سمعته من رسول الله صلى الله عليه
و سلم ورسول الله صلى الله عليه و سلم بشر يتكلم في الغضب والرضاء فأمسكت عن الكتاب
فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه و سلم فأومأ بأصبعه إلى فيه وقال اكتب فوالذي نفسي
بيده ما خرج منه الا حق
Artinya: dari Musaddad dari Yahya dari Ubaidillah ibn al-Akhnasy
dari al-Walid ibn Abdillah dari Yusuf ibn Mahik dari Abdullah ibn Amr berkata
“Saya menulis setiap apa yang saya dengar dari Rasulullah saw supaya saya
menghafalnya. Lalu Quraisy melarangku dan berkata “engkau menulis setiap
sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw. padahal beliau hanyalah mnusia
yang berbicara, baik para waktu marah maupun pada waktu bahagia, lalu aku
berhenti menulis lalu saya melapor kepada Rasulullah saw. lalu Rasulullah
member isyarat dengan jari-jarinya di mulutnya seraya berkata “Tulislah demi
Zat yang jiwaku dalam genggamannya, tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali
kebenaran”.[10]
Kalau kita
cermati hadit tersebut, Maka jelaslah bahwa pada masa Rasulullah SAW memang sudah ada sahabat yang dibolehkan
menulis hadits yakni pada abad pertama Hijriah.
Namun demikian
pendapat yang dominan dikalangan para sarjana dan ilmuan bahwa hadits-hadits
itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut secara lisan sampai akhir pertama
hijriah. Sedang orang yang pertama kali mempunyai ide untuk menulis hadits adalah
Khalifah Umar Bin Abdul Azis, dimana beliau mengirimkan surat kapada Abu Bakar
bin Muhammad bin Hazm, yang mengatakan bahwa periksalah dan tulislah semua
hadits-hadits nabi, sunnah-sunah yang telah dikerjakan, atau hadits tetang
umroh, karena saya khawatir hal itu akan punah.[11]
Ketika kita
cermati kedua pebedaan pandangan tersebut
maka menurut hemat penulis pandangan yang pertama, memang sudah ada
sahabat yang menulis hadits namun hadits itu belum dikumpulkan menjadi sebuah
buku artinya hanya beberapa hadits yang ditulis yang langsung didengar dari
Rasulullah SAW nanti pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis dikumpulkan
hadits-hadits untuk dibukukan.
Sebagai mana
dalam bukunya Prof. Dr. M. M. Azami yang berjudul hadits nabawi dan sejarah
kodifikasinya, menyebutkan tokoh-tokoh penulis hadits pada masa Raulullah SAW
sampai pada pertengahan abad ke dua Hijriah, ialah antara lain:
a. Abu Umamah
al-Bahili (10 SH-81 H.),
b. Abu Bakar
al-siddiq (50 SH-13 H.),
c. Abu
Hurairah, ra. (19 SH-59 H.),
d. Anas bin
Malik, ra. (10 SH-93 H.),
e. Zaid bin
Tsabit al-Anshari, ra. (w. 45 H.),
f. Zaid bin
Arqam, (w. 66 H.),
g . Yunus bin
Ubaid al- Abdi, (w. 140 H.) dan lain-lain.[12]
Dengan memperhatikan para tokoh yang
terlibat dalam penulisan hadits, maka betapa lamanya hadits nabi ditulis oleh
para tokoh-tokoh tersebut.
B. Masa Pembukuan,
Pentashihan Dan Pengkajian Hadits Beserta tokoh-tokohnya
1. Masa pembukuan hadits dan tokoh-tokohnya
Sudah
dapat dipahami bahwa pada abad pertama hijriah, mulai dari zaman Rasul, masa Khulafau
Rasyidin dan sebagian besar zaman Amawiyah hingga akhir abad pertama Hijriah
hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya
berdasarkan pada kekuatan hafalannya. Pada masa itu mereka belum terdorong
untuk membukukannya, karena hafalan mereka terkenal kuat.
Dikala
kendali Khalifah dipegang oleh Umar bin Abdul Azis yang dinobatkan dalam tahun
99 H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga
beliau dikenal khalifa Rasyidin yang ke lima, tergeraklah hatinya untuk
membukukan hadits, beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits
dalam kepalanya semakin lama semakin banyak yang meninggal. Olehnya itu timbul
kekhawatiran pada diri Umar bin Abdul Azis apabila hadits tidak dibukukan dari
para perawinya, maka mungkinlah hadits-hadits itu akan lenyap dari permukaan
bumi dibawa bersama oleh para penghafalnya ke alam barzah. Untuk mencapai maksud
mulia itu, pada tahun 100 H. Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah. Abu
Bakar Ibn Muhammad ibn Amr Ibn Hazmim (120
H.) yang menjadi guru Ma’mar, Al Laits,Al Auza’y, Malik Ibn Ishaq dan Ibn Abi
dzi’bin supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang
paling terkenal, Amrah binti Abdir Rahman ibn Sa’ad ibnu Zurarah ibn Ades
,seorang ahli fiqih, murid Aisyah ra.(107 H atau 725 M) seorang pemuka Tabi’y
dan salah serang fuqaha madinah yang tujuh.[13]
Disamping
itu Mahmud Ali Fuad dalam bukunya,metodologi penetapan keshahihan hadits
menjelaskan bahwa: Ketika masa khalifah bin Abdul Azis Al-Amawi, yaitu 100
tahun sesudah hijriah, tidak ada seorang sahabat pun yang masih hidup. Dan
telah meninggal pula kebanyakan penghafal hadits, ada yang wafat ada pula yang
terbunuh. Khalifah Umar bin Abdul Azis r.a.
merasa bahwa hadits-hadits akan terancam kepunahan maka ia memerintahkan agar
hadits-hadits dibukukan.[14] Dengan
demikian dapat dipahami bahwa masa pembukuan hadits pada zaman Khalifah Umar
bin Abdul Azis, yakni pada abad ke dua Hijriah.
Tokoh-tokoh hadits pada abad ke dua
hijriah, ialah:
a. Malik,
b. Yahya Ibn
Sa’id Al Qaththan,
c. Waki’ Ibn Al
Jarrah,
d. Sufyan Ats
Tsaury,
e. Ibnu
Uyainah,
f. Syu’bah ibn
Hajjaj,
g. Abdur Rahman
ibn Mahdy,
h. Auza’y,
i. Al Laits,
j. Abu Hanifah
dan
k. Asy Syafi’y.[15]
Adapun
kitab-kitab yang terkenal diabad ke dua, yaitu: Al Muaththa’, Al Masghasy wal
Siyar, Al Jami’, Al Mushannaf, Al Maghasin Nabawiyah, al Musnad dan Mukhtaliful
Hadits.14
2. Masa pentashihan hadits dan tokoh-tokohnya
Untuk
mentashihkan hadits dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang tarikh Rijal
Hadits, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia
bertemu dengan orang yang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Sebagai mana
dibutuhkannya pengtahuan yang mendalam tentang perawi-perawi hadits sejak zaman
shahabi hingga zaman Al Bukhari umpamanya bagaimana nilai kebenaran dan
kepercayaan perawi-perawi itu nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar
dapat dipercayai, siapa yang tertutup keadaanya ,siapa yang dusta dan siapa
yang lalai. Al Bukhari mempunyai dua keistimewaan, yaitu hafalan yang sungguh
kuat yang jaran kita temukan bandingannya, teristimewa dalam bidang hadits, serta
keahlian dalam meneliti kedaan perawi-perawi yang nampak kita lihat dalam kitab
tarikhnya yang disusun untuk menerankan kedaa-keadaan perawi hadits.[16]
Jadi dalam pentashihhkan hadits perlu penelitian yang mendalam mengenai Rijal
hdits yang trkait dengan perawi hadits baik dari sahabat,dari tabi’in maupun
dari ankatan-ankatan sesudahnya dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui kedaan
para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan kedaan para perawi yang
menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
Al
Bukhari dalam menghadapi perawi-peawi yang lemah dan tercela menggunakan
kata-yang sopan sekali. Al Bukhari dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih
kedalam buku jami’nya yang memakai beberapa syarat ykni mengisyaratkan sanad
yang yang mustahil , serta perawi-perawi yang muslim, yang bersifat benar, tidak
suka bertadlis dan tidak berobah akal,adil kuat hafalannya, tidak ragu-ragu dan
baik pula iktikadnya.[17]
Hadits yang
shahih dengan kata lain penyampain sabda,prilaku atau persetujuan nabi dengan tepat harus diamalkan oleh segenap umat, meskipun
,jika hanya memiliki satu atau sedikit
isnad (ahad). Hadits tersebut menyampaikan kemunkinan (zahn) bukan
kepastian (yaqin). Selanjutnya hadits-hadits shahi yang mengandung peristiwa-peristiwa historis atau yang memberikan uraia-uraian tentang orang atau
situasi harus diterima sebagai shahih secara historis.[18] Dengan
demikian dapat difahami dalam mentashihkan hadits harus melalui beberapa tinjauan
termasuk didalamnya tinjauan historis.
Masa pentshihan
hadits terjadi pada abad ke tiga Hijriah.Adapun tokooh-tokoh hadits pada abad
ke tiga, yaitu:
a.
Ali Ibnu Madany,
b.
Abu Hatim Ar Razy,
c.
Muhammad Ibn Jarir Ath Thabaray,
d.
Muhammad Ibn Sa’ad,
e.
Ishaq Ibn Rahawaih,
f.
Ahmad,
g.
Al Bukhary,
h.
Muslim,
i.
An Nasa-y,
j.
Abu Daud,
k.
At Turmizy,
l.
Ibnu Majah dan
m.
Ibnu Qutaibah Ad Dainury.[19]
3. Masa Pengkajian Hadits
Pengkajian adalah proses atau cara
atau perbuatan mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelitian.[20] Menurut
hemat penulis, pengkajian hadits adalah mempelajari hadits secara mendalam
terutama mempelajari hadits dengan pendekatan secara historis dan metodologi
kritik hadits.
Yang
dimaksud dengan pendekatan historis
dalam hal ini adalah suatu upaya memahami hadits dengan cara
mempertimbangkan kondisi historis, empiris
pada hadits itu disampaikan oleh Nabi SAW.[21]
Dalam arti kata pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadits
dengan meperhatikan sejarahnya.
Metodologi
kritik hadits adalah suatu pekerjaan yang tidak pernah berhenti, yang ternyata
hal itu juga dilakukan oleh peneliti dan pengkaji dikalangan ekstrim ummat
islam.[22]
Dengan demikian dapat difahami bahan pengkajian hadits memang sudah ada sejak lahirnya
hadits sampai pada saat sekarang ini.
Umat
islam selalu berkewajiban untuk mempelajari al quran maupun hadits Nabi SAW. Dan sebagai pelaksanaan terhadap
kewajiban ini, disemua negeri-negeri islam banyak dijumpai kegiatan-kegiatan
pendidikan dimana hal itu belum pernah ditemukan bandingannya dalam sejarah
umat manusia pada masa lalu. Apalagi dalam sejarah pendidikan dan kata
“al-ilm”(ilmu) itu sendiri dipakai selama beberapa abad yang lalu.[23] Dalam
artian mengkaji hadits dan hal-hal yang berkaitan
dengan hal itu. Dengan demikian dapat dipahami sejauh mana kajian hadits untuk
mendapat perhatian.
Pada
masa Nabi SAW, para sahabat, maupun tabi’in belum terdapat akademik-akademik
atau perguruan-perguruan tinggi dengan sistem pengajaran yang teratur dan
pasti. Begitu pula, pada waktu itu belum ada metode mengajar yang pasti yang
layak untuk diikuti. Metode belajar maupun metode mengajar pada saat itu adalah
bebas, dimana pelajar atau murid bebas memilih guru dan guru pun bebas menerima
ata menolak murid. Bahkan metode mengajar seorang guru dapat juga berlainan apa
bila muridnya atau situasinya tidak sama.
Para
sahabat juga selalu memperhatikan tingkah laku, perbuatan, ucapan, dan
gerak-gerik nabi SAW dengan cermat. Mereka tampak berkemauan keras untuk
menghafal sabda-sabda nabi SAW yang mereka dengar dan berusaha mengamalkan hal yang
mereka pelajari. Oleh karena itu tidak ada kesempatan belajar yang mereka
peroleh kecuali mereka mesti memanfaatkannya. Anas bin Malik berkata
”suatu ketika kami duduk bersama Nabi SAW, jumlah kami kurang lebih enam
puluh orang. Nabi SAW menyampaikan haditsnya kepada kami. Setelah beliau pergi
untuk suatu keperluan. Kami mendiskusikan kembali masalah yang beliau sampaikan
tadi sampai hal itu mantap seperti tertanam dalam hati kami”.[24]Dengan
demikian dapat dipahami bahwa ketika
sahabat mendapatkan sebuah hadits dari Nabi SAW, maka para sahabat mengkajinya
dengan menggunakan metode diskusi untuk memahami hadits itu secara mendalam
sehingga betul-betul menjadi pedoman hidup bagi mereka dan melekat pada diri
mereka.
Ada
beberapa metode pembelajaran hadits, yaitu mengajarkan hadits secara lisan, membacakan
hadits dari suatu kitab, metode soal-jawab dan metode imla’. mengajarkan hadits
secara lisan nampak pada abad ke dua Hijriah dan berlangsung lama setelah abad ke
dua. Murid pada waktu itu tinggal bersama-sama gurunya dalam waktu yang lama, dengan
cara inilah mereka memperoleh hadits dari gurunya. Metode membacakan hadits
dari suatu kitab, metode ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Guru
membacakan kitabnya sendiri dan murid
mendengarkannya,
b. Guru membacakan kitab yang lain
dan murid mendengarkannya dan
c. Murid
membacakan suatu kitab dan guru mendengarkannya.
Metode soal -jawab
adalah suatu metode dimana murid membacakan pangkal dari suatu hadits, kemudian
gurunya menruskan hadits itu selenkapnya. Surat-surat Nabi Saw yang banyak itu,
perjanjian-prjanjian dan dokumen-dokumen lainnya, begitu pula hadits-hadits
yang lain telah beliau imla’kan kepada para sahabat.[25]
Apabila
dibandinkan dengan metode-metode pengajaran hadits sejak abad ke dua dan
sesudahnya, maka metode-metode yang disebutkan termasuk tidak popular, bahkan
sebagian jarang dipakai.
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa proses pengkajian hadits sejak pada abad pertama. Disamping itu dapat
dibuktikan dengan munculnya kritikus-kritikus dari abad ke abad.
Adapun tokoh-tokoh kritikus hadits
yang terkenal, ialah:
a.
Ubadah bin Al-Shamit yang wafat pada tahun 93 H.
b.
Amir bin Syarahi yang wafat pada tahun 109 H.
c.
Muhammad bin Sirin yang wafat pada tahun 110 H.
d.
Hasyim bin Abdillah wafat tahun 152 H.
e.
Ma’mar bin Rasyid Al-azdiy yang wafat pada tahun 153 H.
f.
Abdullah bin Al- Mubarak Al-Handzali yang wafat pada tahun 181 H.
g.
Imam Yahya bin Ma’in Al-Ghathafani yang wafat pada tahun 233 H.
h.
Imam Ahmad bin Hambal yang wafat pada tahun 214 H.
i.
Imam Zuhair bin Harb An-Nasa’i yang wafat pada tahun 234 H.
j.
Imam Abdullah bin Umar yang wafat pada tahun 235 H.
k.
Imam Bukhary, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhary yang
wafat pada tahun 256 H.[26]
dan masih banyak lagi tokoh-tokoh penkritik hadits yang lainnya yang tidak
sempat kami masukkan dalam makalah ini.
C. Hadits Pada Masa Kontemporer Dan
Tokoh-Tokohnya
Masalah
kontemporer adalah berbagai permasalahan yang berkembang dalam masyarakat
modern yang memerlukan landasan yuridis atas keberadaannya.[27] Hadits
pada masa kontenporer tentunya menimbulkan berbagai macam perbedaan pendapat
dikalangan para ulama tergantung bagaimana proses pengkajian mereka masing-masing
dan tinjauannya.
Perlu
juga diketahui bahwa masa kontemporer yaitu sejak tahun 652 H hingga sekarang atau abad ketujuh Hijriah sampai
sekarang,dengan alasn bahwa masa itu
ulama sudah berusaha menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan
menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab
yang mengumpulkan hadits hukum, mentakhrijkan hadits-hadits yang terkenal dalam
masyarakat. Pada masa itu juga ulama mengumpulkan hadits-hadits yang tidak
terdapat di dalam kitab-kitab sebelumnya kedalam kitab tertentu. Ini membuktikan
bahwa para ulama sudah memiliki pemikiran-pemikiran moderen.
Tokoh-tokoh
hadiits pada masa itu ialah:
a. Az Zahabi (748
H),
b.
Ibnu sayyidinas (734 H),
c. Ibnu
Daqiqil ied (862 H),
d. Mughlathai
(862 H),
e. Al Asqalany (852 H),
f. Ad Dimyati (705),
g. Al Aini
(855H),
h. As Sayuthy (911
H),
i. Az Zarkaasyy
(744 H),
j. Al Mizzy (742
H),
k. Al Ala-y (761
H),
l. Ibnu Katsir
(774 H),
m. Az zaila-y
(762 H),
n. Ibnu Rajab (795
H),
o. ibnu Mulaqqin
(804 H)
p. Al Bulqany
(805 H),
q. Al Iraqy
(806 H),
r . Al Haitsamy
(807 H) dan
s. Abu Zurah (826
H).[28].
Apabila
diteliti secara seksama pada uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa hadits
pada masa kontemporer mengalami perkembangan termasuk perkembangan penkajian
ulumul hadits. Sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Beranjak
dari pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Masa kelahiran hadits yaitu pada masa Rasulullah SAW yakni pada
periode pertama atau dari tahun 13 S.M. hingga 11 H. Dan diantara tokoh-tokoh
pada masa itu ialah Khulafa empat, Abu Hurairah dan lain-lain. Masa penulisan
hadits yaitu pada masa Rasulullah SAW sampai pada pertengahan abad ke dua hijriah.
Dan diantara tokoh-tokoh pada masa itu ialah Abu Umamah,Abu Bakar al Shiddiq,
Abu Hurairah r.a, Anas bin Malik r.a, Zaid bin Tsabit dan tokoh-tokoh yang lain.
2.
Masa pembukuan hadits yaitu sejak masa khalifah Umar bin Abdul Azis
yakni pada abad kedua hijriah. Diantara tokoh-tokoh pada masa itu ialah Malik,
Yahya ibn Sa’id Al Khaththan, Waki’ ibn Al Jarrah, Sufyan Ats Tsaury dan
tokoh-tokoh lainnya. Masa pentashihan hadits yaitu pada abad ke tiga hijriah.
Diantara tokoh-tokoh pada masa itu ialah Ali ibn Madany, Abu Hatim Ar Razy,
Muhammad ibnu jarir Athabaray, Muhammad ibnu Sa’ad dan tokoh-tokoh lainnya.Masa
penkajian hadits yaitu sejak abad pertama hijriah dibuktikan munculny
tokoh-tokoh kritikus hadits dari abad kea bad. Diantara tokoh-tokoh kritikus
hadits ialah Ubadah bin Al Shamit, Amir
bin Syarahi, Muhammad bin Sirrin, Hasyim bin Abdillah, Ma’mar bin Rasyid Al
Azdiy, Abdillah bin al Mubarak imam Bukhari dan tokoh-tokoh kritikus
hadits yang lain.
3.
Hadits pada masa kontemporer mengalami perkembangan khususnya perkembangan
dalam penngkajian hadits, masa kontenporer yakni pada tahu 652 H. sampai
sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Arifuddin, Memahami Hadits Nabi, Cet. I, Jakarta:
Renaisans, 2005
As-Shahih Subih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, cet.I, Jakarta:
Pustaka Firdaus,1993
Ash Shiddieq Hasbi, sejarah Pengantar Ilmu Hadits, cet. II,
Jakarta: Bulan Bintang,1993
____________________, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits,
cet. IV, semarang: Pustaka Reski Putra,1999
____________________ ,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, cet.VI,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Azmi M. M, Hadits Nabi Dan Sejarah Kodifikasinya, cet. II,
Jakarta: Firdaus, 1994
Darmalaksana Wahyudin,Hadits Di mata Orientalis, cet. II,
Bandung: Benang Merah Pres, 2004
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Ed. II, Balai Pustaka
Fayyad Muhammad Ali, Metodologi penetapan Keahahihan Hadits,
Cet. I, Bandung: Pustaka setia, 1998
Hasan Ilyas, Kontrofersi Hadits Di Mesir, Cet. I, Bandung:
Mizan, 1999
Munawwar H Said Agil Hasim, Mustakim Abdul, Asbabul Wurud, Cet. I,
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001
[1]Hasbi
Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 45
[2]Ibid
[3] T.
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Perngantar Ilmu Hadis, (Cet IV;
Semarang: Pustaka Reski Putra, 1999), h. 26
[4]
Ibid
[5] Ibid
h. 32
[6] M.
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Cet VI; Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), h. 40
7 T.M. Hasbi Ashiddieqy, op cit. h. 27.
8 Ibid, h.32-33
9 Subih As-shahih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist, (cet. 1;
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 24.
[10]
Abdullah ibn Abd Rahman Abu Muhammad al-Darimi, Sunan al-Darimi (Cet. I;
bairut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1407 H), vol. 1 h. 136.
[12] ibid.,
h. 39.
[13]M.
M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Cet I; Jakarta: Pustaka
Firdaus,1994), h. 106
[14]
Muhammad Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, ( Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia,1998), h. 31
[15]
M.M. Azami, Op. cit. h.57.
[17] Ibid.
h. 70
[19] Ibid.
h.80.
[20]
Ilyas Hasan, Kontropersi Hadis di Mesir, (Cet. I, Bandung: Mizan, 1999),
h. 36
[21]
Departemen pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed.
II; Balai Pustaka), h. 377
[22] H.
Said Agil Hasim Munawwar, Abdul Mustakim, Asbabul Urud ( Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 26
[23]
Wahyudin Darmalaksana, Hadis Dimata Orientalis, (Cet. I; Bandung: Benang
Merah Press, 2004), h. 8
[24] Op.
Cit. h. 443
[25] Ibid,
h. 445
[26]
M.M. Azami, op.cit., h. 95.
[27]
Arifuddin Ahmad, Memahami Hadis Nabi, ( Cet I; Jakarta: Renaisans,
2005), h. 221
Tidak ada komentar:
Posting Komentar