TOKOH HADIS KONTEMPORER
(MUHAMMAD MUSTAFA AZAMI)
REVISI MAKALAH
Disampaikan dalam Forum
Seminar Mata Kuliah
Ulumul Hadis
Semester I Tahun Akademik 2010
Oleh;
ABDUL GANI
NIM. 80100209004
Dosen Pemandu;
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdianah,
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag.
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN
M A K A S S A R
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits
sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an dijadikan penjelas bagi manusia tentang
apapun baik berupa hukum, ibadah maupun
muamalah yang belum jelas dalam al-Qur’an. Hadis yang kitalihat hari ini
tidak lepas dari peran para ulama hadis dalam menyampaikan dan menjelaskan maksud dan tujuan hadis melalui berbagai
penelitian keilmuan.
Hingga
saat ini, hadis Nabi tidak henti-hentinya dikaji dan dipelajari secara serius,
bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri tapi oleh para islamisis dan orientalis
pun juga tertarik terhadap kajian tersebut. Hal ini terjadi karena eksistensi
hadis pada kenyataannya semakin mengundang banyak problematika dikalangan
orientalis yang serius mengkaji hadis. Problematika tersebut dirasa semakin
kompleks, ketika eksistensi hadis itu sendiri dalam banyak aspeknya berbeda
dengan al-Qur’an, dimana al-Qur’an sebagai sumber otoritas pertama diriwayatkan
secara mutawatir (qot’i al-Wurud), sedangkan hadis sebagai sumber
otoritas kedua diriwayatkan tidak secara mutawatir (dhoni al-Wurud),
karena secara historisitas penulisan ataupun pengkodifikasiannya relatif sangat
jauh dari masa hidup Nabi.[1]
Dari sinilah kemudian timbul penilaian-penilaian miring yang sengaja
menstereotipkan keberadaan hadis di mata umat Islam.
Peranan
para ulama hadis dalam menggeluti ilmu hadis tidak lepas dari ilmu-ilmu hadis
yang mendukung mereka menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh hadis. Bukan hanya
itu serangan-serangan dari orientalis barat terhadap hadis setidaknya memaksa
para tokoh hadis hari ini melakukan penelitian dan membuktikan bahwa hadis nabi
adalah benar.
Mustafa
Azami adalah salah satu tokoh hadis kontemporer yang banyak meluangkan waktunya
untuk menggeluti ilmu hadis yang ditandai dengan banyak karya yang berguna
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu karyanya adalah Hadis Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya yang membahas beberapa kritikan para orientalis
terhadap hadis Nabi baik dari segi matan maupun sanadnya.
Ignaz
Goldziher, orientalis yang telah melakukan kajian yang intens terhadap hadis.
Metode yang digunakan Goldziher adalah historis-fenomenologis yang hanya
ditujukan terhadap unsur matan hadis (teks), yang cakupannya adalah aspek
politik, sains, maupun sosio kultural, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan
unsur sanad sampai kepada Nabi. Hal ini disebabkan oleh Goldziher yang secara
tegas memang tidak menerima metode kritik sanad sebagai metode ilmiah. Kondisi
yang demikian berbeda dengan para Muhaddisin umumnya menganggap bahwa kritik
sanad lebih urgen dari pada kritik matan, sedangkan Ignaz dan sejarawan pada
umumnya mementingkan kritik terhadap teks/matan, sebab Ignaz dan Sejarawan
bergerak dengan asumsi bahwa sumber informasi tidak selamanya benar. Terhadap dari
berbagai kelemahan kajian terhadap hadis yang telah dilakukan oleh Ignaz maupun
orientalis, yang pasti, hal ini telah membawa nuansa baru dan cakrawala baru
yang memperkaya khazanah kajian hadis Nabi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
dari latar belakang di atas, maka penulis akan mengemukakan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana riwayat hidup M.M.Azami?
2.
Bagaimana karya-karya M.M. Azami?
3.
Bagaimana kritikan para orientalis terhadap hadis Nabi?
4.
Bagaimana tanggapan M.M. Azami terhadap kritikan para orientalis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Muhammad Mustafa Azami
Muhammad
Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932. Ayahnya pencinta
ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa Inggris. Watak ini
mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA beliau
disuruh pindah oleh ayahnya ke sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Dari
sinilah Azami mulai belajar hadis. Tamat dari sekolah Islam, Azami lalu
melanjutkan studinya di Collage of Science di Deoband, sebuah perguruan tinggi
terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam dan tamat tahun 1952.
Kemudian Azami melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris,
Universitas al-Azhar, Cairo dan tamat tahun 1955 dengan memperoleh ijazah al-‘Alimiyah.
Tahun itu juga beliau kembali ke tanah airnya, India.[2]
Tahun
1956 Azami diangkat menjadi dosen bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di
Qatar. Lalu tahun 1957 beliau diangkat sebagai sekretaris Perpustakaan Nasional
di Qatar (Dar al-kutub al-qatriyah). Tahun 1964 Azami melanjutkan studinya lagi
di Universitas Cambridge, Inggris sampai meraih gelar Ph.D. Tahun 1966 dengan
disertasi berjudul Studies in Early Hadits Literature. Lalu beliau
kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau
mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Mekkah untuk mengajar
di Fakultas Pasca Sarjana jurusan Syari’ah dan studi islam Universitas King
Abdul Aziz (sekarang Universitas Umm al-Qura). Beliau bersama al Marhum Dr.
Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.[3]
Tahun
1973 beliau berpindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam,
Fakultas Tarbiyah Universitas King Saud. Dan di Universitas ini Ali Mustafa
Yakub bertemu dengan Azami sebagai murid dan guru, dimana setelah tamat ia
mendapat amanah dari Azami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi ilmiah
Azami melejit ketika pada tahun 1980 beliau memenangkan hadiah Internasional
Raja Faisal untuk studi islam dari lembaga hadiah Yayasan Raja Faisal di
Riyadh. Azami sebagai guru besar hadis dan ilmu hadis pada Universitas King
Saud, Riyadh.[4]
Dan berawal dari riwayat hidupnya yang banyak menekuni ilmu hadis sehingga
karya-karyanya banyak digunakan hingga saat ini.
B.
Garis Besar Isi Buku Muhammad Mustafa Azami “Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya”
Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya adalah salah satu karya M. M. Azami yang
fenomenal dan banyak dibahas, karena buku ini membahas tentang kritikan para
orientalis mengenai hadis Nabi.
Secara
garis besar buku ini terdiri dari delapan bab, dan delapan lampiran. Pada bab I
buku ini membahas tentang pengertian dan kedudukan hadis nabawi dalam Islam,
kehidupan muslim, baik di dunia dan di akhirat, dimana hal itu tidak terlepas
dari hadis nabawi.
Pada
bab II membahas tentang kegiatan pendidikan di Jazirah Arab pada masa jahiliyah
dan permulaan Islam. Pada bab III membahas sekitar larangan dan izin penulisan
hadis dari nabi Saw dijelaskan pula bahwa larangan tersebut hanya berlaku
apabila penulisan hadis dilakukan secara bersama-sama dengan penulisan
al-qur’an.Atau bahwa hadis yang melarang penulisan hadis masa berlakunya (mansukh).
Pada
bab IV membahas tentang tulisan-tulisan hadis yang dilakukan oleh sahabat.
Demikian pula tulisan para tabi’in tentang hadis-hadis yang berasal dari para
sahabat, tulisan dari para tabi’in sendiri, serta tulisan-tulisan para tabi’ut
tabi’in (generasi sesudah tabi’in) tentang hadis yang mereka terima dari
tabi’in.
Pada
bab V dibahas tahammul al-“ilm atau cara penyebaran hadis atau cara
belajar dan mengajarkan hadis secara umum. Serta menjelaskan metode yang
dipakai dalam mempelajari hadis pada saat itu. Pada bab ini juga menjelaskan
gambaran tentang sejauh mana perhatian kaum muslimin dapat berkhidmah terhadap
yang hadis Nabi dari satu segi, dan menyebarkan buku-buku disisi lain.
Pada
bab VI membahas kitab hadis ditinjau dari segi bentuk dan alat tulisannya. Juga
membahas tentang adanya pencurian hadis atau tambahan tulisan yang dilakukan
oleh orang lain, bukan pengarangnya, serta masalah-masalah lain yang masih
berkaitan.
Pada
bab VII membahas permasalahan sanad hadis dan kesalahpahaman sementara orang
tentang hal tersebut. Demikian pula tentang menilai sistem sanad dari segi
ilmiahnya serta pembuktian bahwa sanad hadis sudah ada sejak masa nabi Saw.
Pada
bab VIII menjelaskan tentang sejauh mana hadis nabawi itu dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya.[5]
Dan pada bab inilah orientalis memberikan kritikan tajam terhadap hadis Nabi.
C.
Materi Hadis dan Tanggapan para Orientalis terhadap hadis
1.
Materi Hadis
Metode
ahli-ahli hadis dinilai lemah oleh orang-orang orientalis dan orang-orang yang
sependapat dengan mereka. Karena itu mereka menolak metode itu dan membikin
metode sendiri yang kemudian dikenal dengan “metode kritik matan hadis”. Dan
akan ditengahkan tiga tulisan tokoh-tokoh orientalis abad ini yaitu Ignaz
Goldziher, Wensinck dan Joseph Schacht.
Salah
satu materi hadis yang dikritik oleh orientalis adalah hadis tentang “Pergi ke
tiga masjid” yaitu:
لاَ تَشَدُّواالرِّحاَلِ إلاَّ الِىَ ثلاثة
مساجدَ. المسجد الحرامِ والمسجدي ومسجد بيبِ المَقْدِسِ
Terjemahnya: Janganlah kalian mengecangkan tali
kendaraan-maksudnya: jangan kalian pergi-kecuali menuju tiga mesjid. Masjidil
haram, masjidku, dan Baitul Maqdis.
2.
Tanggapan para Orientalis terhadap matan hadis
a.
Kritik Orientalis terhadap hadis Nabi
Diskursus
tentang otentisitas hadis merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial
dalam studi hadis. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an yang telah
mendapatkan “garasi” akan keterpeliharaanya, sebagai mana firman Allah Swt
dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[6]
Maka secara normatif-theologis,
hadis tidak mendapatkan “garasi” akan keterpeliharaannya dari Allah Swt.
Ignaz
Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini
dengan menganggap negatif keberadaan hadis. Walaupun dia dikenal lebih skeptis
dari pada Alois Sprenger (kritikus hadis pertama kali) dengan karyanya “Uber
Das Traditionsweser Bei Dai Arabern”(1856)[7]
dan Sir William Munir dengan karyanya life
of manoment,[8]
namun dalam beberapa hal ini,
Goldziher mampu memberikan penilaian atau pun celaan seputar eksistensi dan
validitas hadis tersebut.
Dalam
bukunya, Muslim Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang pemeliharaan
hadis tertulis (Kitaba al-Hadits) secara umum. Dia mengatakan bahwa kaum
muslimin klasik telah beranggapan bahwa hadis adalah ajaran lisan yang
penulisannya dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an, yang menurut
Goldziher, penulisannya wajib dilakukan. Beberapa cacatan atau pandangan
Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut:
Pertama,
Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin
belakangan, karena kodifikasinya hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari
masa hidup Nabi.[9]
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadis yang membolehkan penulisan (proses
pengkodifikasian) lebih banyak dari pada penalaran hadis yang lebih
mengandalkan pada hapalan. Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan
adanya penulisan hadis melalui periwayatan Abu Hurairah “tidak ada seorang pun
yang hafal lebih banyak hadis selain aku, namun Abdullah Bin ‘Ash telah
menuliskannya sedangkan aku tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan
justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin Anas pernah mengajar
murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para pendengar menghafalnya
dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannnya. Di samping itu, masih
banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis oleh Goldziher untuk
menguatkan data tentang penulisan hadis ini.[10]
Pergulatan
Pemikiran (ghazwu al-fikri) yang berkisar pada wilayah boleh tidaknya
penulisan hadis, merangsang Ignaz Goldziher untuk berkomentar, bahwasanya
pelarangan itu merupakan akibat yang dibiaskan dari prasangka-prasangka yang
muncul kemudian. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id
al-Khudri bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kamu menulis dariku
kecuali al-Qur’an, dan barang siapa menuliskannya hendaknya dia
menghapuskannya.”[11]
Selain itu juga karena kekhawatiran akan mensakralkan tulisan, sehingga kata
Goldziher, mereka lebih cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan,
sebagaimana yang dilakukan oleh agama-agama terdahulu yang mengabaikan ungkapan
Tuhan tetapi justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.[12]
Nampaknya
Iqnaz Goldziher sengaja mengutip banyak bukti periwayatan yang melegitimasi
pelarangan ataupun pembolehan penulisan hadis. Terlepas apakah
periwayatan-periwayatan tersebut mutawatir atau tidak, namun harus diakui bahwa
orientalis, khususnya Ignaz Goldziher, sangat hebat dalam menelusuri data-data
yang telah ada. Berikut data-data historis yang juga mendukung pelarangan
penulisan hadis, yaitu abad ke-3 H. (masa Imam Bukhari dan Muslim). Abu Ali
al-Basri sangat memuji orang yang menghapal dan mengutuk orang yang menulis,
karena menulis buku tidak akan bebas dari bahaya api, bahaya tikus, bahaya air
dan bahaya pencuri yang akan mengambilnya. Hal ini sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Abu Sa’ad Abdul Rahman Bin Dost pada abad ke-4 H. kemudian
pada abad ke-6, penulisan hadis ini direkomendasikan oleh sejarawan terkemuka
dari Damaskus, yaitu Abu al-Qasim Ibnu Asakir yang wafat pada tahun 521 H.[13]
Kedua,
Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw
dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik bukan
merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari
perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya,
hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian
banyak materi hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang
benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.[14]
Ketiga,
Ignaz Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt, beranggapan
bahwa tradisi penulisan hadis sebenarnya merupakan pengadopsian dari
gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya ada larangan atas penulisan
aturan-aturan agama.[15]
Namun ternyata pemahaman yang keliru tersebut masih juga mendapat dukungan dari
sebagian kaum Muslimin sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang
telah ada. Menurut Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa
terlepas dari kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti
yang menunjukkan bahwa Muhammad Saw mencatat riwayat-riwayat selain al-Qur’an
serta tidak ada bukti bahwa penulisan hadis itu sudah terjadi sejak awal Islam.[16]
Keempat,
Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadis yang diriwayatkan oleh
perawi-perawi hadis dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan
pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima
periwayatan hadis disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat
perawinya.[17]
Goldziher
dan Schacht seringkali tidak melakukan checking yang mendalam atas
bahan-bahan kesejarahan yang mendalam yang mereka pakai dalam pembuktian,
seperti penelitian otensitas hadis melalui kitab-kitab fiqih ataupun tanpa
dilibatkannya al-Qur’an sebagai referensi lain dalam meneliti hadis.[18]
b.
Kritikan Goldziher terhadap hadis “Pergi ke Tiga Masjid”
Terkait
dengan matan hadis diatas tentang pergi haji ketiga masjid, menurut Glodziher,
Abd. al-Malik bin Marwan merasa khawatir apabila orang-orang Syam yang pergi
haji ke Mekkah itu melakukan baiat
kepada ‘Abdullah bin Zubair. Karena itu berusaha agar orang-orang dapat
melakukan haji di Qubbah al Shakhra di Qudus (Jerussalem) sebagai ganti
dari pergi haji ke Mekkah. Ia juga mengeluarkan keputusan bahwa tawaf
(berkeliling) di sekitar al-Shakhra tadi sama nilainya dengan tawaf di sekitar
Ka’bah. Untuk tujuan politis ini, ia mempercayai ahli hadis al-Zuhri untuk
membuat hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Saw, dan
mengedarkannya dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat dipahami bahwa ada
tiga mesjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji yaitu masjid di Mekkah,
mesjid di Madinah, dan mesjid di Qudus.
Goldziher
juga menuduh Abd ‘al-Malik meniadakan ibadah haji atau setidak-tidaknya
berusaha meniadakan ibadah haji. Sebagai argument tuduhannya ini ia menukilkan
keterangan al Ya’qubi dalam kitabnya al-Tarikh, sebagai berikut:
‘Abd
al-Malik melarang orang-orang Syam untuk melakukan ibadah haji. Hal itu Ibnu
al-Zubair akan menyuruh mereka melakukan baiat kepadanya apabila mereka datang
ke Mekkah. Maka gemparlah orang-orang Syam. Mereka memprotes hal itu, dan
menanyakan kepada ‘Abd al-Malik, Apakah anda melarang kami untuk pergi
beribadah ke mekkah, sedang, ibadah haji itu hukumnya wajib bagi kami”? jawab
‘Abd al-Malik, “ini Ibnu Syihab al-Zuhri, ia meriwayatkan hadis sebagaimana
hadis diatas.
Masjid
Baitul Maqdis ini bagi kalian sama masjidil Haram, sedangkan al-Shakhra
(batu) itu, yang dalam suatu riwayat pernah dipakai pijakan kaki Rasulullah Saw
pada waktu isra ke langit bagi kalian seperti Ka’bah. ‘Abd al-Malik juga
membangun kubbah di atas al-Shakhra tadi, dan ditutup dengan kelambu sutera,
serta menugaskan orang-orang untuk merawatnya. Dan orang-orang pun melakukan
tawaf di situ seperti tawaf di Ka’bah. Maka dengan begitu Abd al-Malik telah
menetapkan hari-hari gemilang bagi dinasti Bani Umayyah.[19]
Tetapi
apakah kedudukan al-Zuhri sedemikian itu sehingga ia memalsukan hadis-hadis dan
mengatakannya bahwa hal itu dari nabi Saw? Apakah ia dan ‘Abd al-Malik bin
Marwan mampu meniadakan ibadah haji ke Mekkah dan menggantinya dengan haji ke
Qudus (Jerussalem)?[20]
Tak ada fakta sejarah yang mendukung tuduhan Goldziher tersebut. Sehingga M. M.
Azami menanggapi pernyataan Goldziher tersebut.
c.
Joseph Schacht, Wencsinck dan Kritik hadis
Musa
bin Uqbah (w. 141 H) adalah mantan hamba sahaya yang menulis kitab tentang
kisah-kisah perang Nabi Saw (al-maghazi). Kitab ini dipuji oleh para
tokoh dan ahli. Namun saat ini kitab ini tidak dapat dijumpai, kecuali hanya
merupakan cuplikan-cuplikan yang terdapat dalam kitab-kitab lain. Dan kemudian
Schatcht menulis sebuah makalah tentang al-maghazi dimana ia mengkritik
hadis pilihan. Dalam makalah ini kita bisa melihat metode yang digunakan
Schatcht dalam mengkritik hadis sebagai tambahan dari metode dari para ahli
hadis. Schatcht mengajak untuk kembali kepada “kritik yang mendalam” dalam
mengkaji hadis. Ia juga mengaku sudah sampai kepada kesimpulan berikut:
“Bagian
penting dari sejarah hidup Nabi Saw pada periode Madinah-seperti terdapat dalam
tulisan-tulisan produk paruh kedua dari abad kedua hijriah-sebenarnya hal ini
ditulis pada masa belakangan sekali. Sebab kira-kira setengah abad setelah Nabi
Saw wafat, orang-orang sudah tidak memiliki lagi ingatan tentang Nabinya,
sekedar gambaran yang samar. Namun segala upaya telah dicurahkan untuk menutupi
kekurangan-kekurangan itu. Materinya dibuat sedemikian rupa dan dibuat seperti
hadis dengan menambahi sanad. Hal ini terjadi pada abad kedua hijriah.[21]
Lebih
lanjut Schatcht menjelaskan bahwa beberapa hadis dalam kitab al-maghazi,
dikritiknya salah satunya hadis nomor enam pada kitab tersebut, hadis ini
berusaha untuk mempengaruhi keadaan demi kepentingan dinasti Abbasiyah yang
sedang berkuasa. Hal itu dengan menceritakan leluhur mereka yang berperang
melawan Nabi Saw dan kemudian ditahan oleh orang-orang Islam, serta diwajibkan
membayar tebusan. Demikian pula pada
hadis nomor 8, 9 dan 10 pada kitab al-maghazi.[22]
Selain
itu Schacht juga menuduh bahwa banyak terdapat hadis-hadis palsu yang ditulis
pada masa antara Malik dan penulis-penulis klasik, yaitu penulis al-kutub
al-Sittah (enam kitab hadis). Kata Schacht “Dalam riwayat hadis, Malik
telah menambah penafsiran berasal dari dirinya sendiri, yaitu dalam kata-kata “bai”
(berjualan), “mulamasah” (berjualan dengan jalan sentuhan), dan “munabadzah”
(menjual dengan cara lemparan)…
Tetapi
penafsiran itu lalu menjadi bagian hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim.
Contoh
lain tentang adanya pemalsuan hadis
menurut Schacht yaitu bahwa ia berkata: “Pada mulanya memang sudah ada suatu
amalan atau pekerjaan, kemudian dibikinkan hadis yang dianggap berasal dari
Nabi Saw atau sahabat Nabi Saw. Dan hal ini dijelaskan dalam kitab al-Mudawwanah
(IV:28) dimana Ibnu Qasim membenarkan teori penduduk Madinah. Kata Ibnu Qasim
“Hadis yang sampai kepada kita ini, seandainya disertai amalan sehingga hal itu
diketahui sampai dari sumbernya, niscaya patut dijadikan pegangan. Tetapi hadis
itu seperti hadis-hadis lain yang tidak disertai amalan. (Disini Ibnu Qasim
menuturkan beberapa hadis Nabi Saw dan pendapat para sahabat), dimana suatu
amalan tidak akan dijadikan patokan tanpa hadis-hadis itu. Sedangkan
orang-orang-umumnya-dan juga para sahabat menggunakan hadis-hadis lain. Maka
hadis tadi tidak dinilai palsu namun juga tidak diamalkan. Sebab hadis yang
diamalkan adalah hadis yang disertai dengan pengalaman….Dan kemudian Schacht
mengomentari “Dan begitulah orang-orang Madinah menentang hadis yang tidak
disertai dengan amalan”.[23]
Demikian
pula menurut Wensick bahwa dalam beberapa dekade sesudah Nabi Saw wafat,
terjadi perkembangan dalam pemikiran dan pekerjaaan. Perkembangan ini
mengilhami tokoh-tokoh spiritual untuk menjelaskan tentang semangat Islam yang
terdapat dalam hadis-hadis Nabi Saw. Antara lain-dan yang secara umum hal itu
lebih penting-hadis tentang akidah dan syahadat, dan hadis tentang “Islam
ditegakkan di atas lima pilar”. Menurutnya bahwa dua hadis tersebut dibuat oleh
para sahabat sesudah Nabi Saw wafat sebagai bukti Nabi Saw tidak pernah
mempunyai suatu ungkapan khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang
memeluk Islam. Ketika orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang Kristen di
Syam dan mereka mengetahui orang Kristen mempunyai ungkapan khusus, mereka lalu
merasakan perlunya membikin ungkapan atau kalimat seperti itu. Maka mereka pun
mencetuskan semangat Islam dalam bentuk dua hadis tersebut. Karena hadis itu
berisi dua kalimat syahadat, maka hal itu tidak mungkin dari Nabi Saw. Dan
inilah yang menjadi salah satu senjata orientalis untuk mengkritik otentisitas
hadis.
C. Analisis M .M
Azami terhadap Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Profesor Wensinck
Dari
pernyataan Goldziher tentang hadis pergi haji ketiga masjid tak ada fakta
sejarah yang membuktikan bahwa al-Zuhri dan Abd al-Malik meniadakan haji.
Ahli-ahli sejarah berbeda pendapat kelahiran al-Zuhri antara tahun 50 H sampai
58 H. Ia juga tidak pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan. Sedangkan
orang-orang Bani Umayyah pada tahun 68 H berada di Makkah, dalam musim haji.[24]
Dari
data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘Abd al-Malik bin Marwan tidak
mungkin mempunyai pikiran untuk membangun Qubbah al-Shukhra-sebagai
pengganti Ka’bah-kecuali sesudah tahun 68 H. Sumber-sumber sejarah pun juga
menentukan bahwa pembangunan Qubbah al-Shukhra baru dimulai pada tahun
69 H.
Dan
ini agaknya waktu yang tidak tepat di mana ‘Abd al-Malik membenarkan idenya
dengan hadis al-Zuhri. Pada waktu itu al-Zuhri berumur 10 sampa1 18 tahun.
Rasanya tidak logis apabila seorang anak semuda sudah populer di kalangan
ilmuwan di luar lingkungannya sendiri, sehingga mereka tunduk hanya karena ia
mampu meniadakan kewajiban ibadah haji yang sudah diterangkan beratus-ratus
kali baik dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi, dan pada masa itu banyak
para sahabat dan tabi’in yang senior dan pastinya mereka akan mengecam Abd
al-Malik. Bahkan Al-Ya’qubi sendiri menuturkan sejak tahun 72 H dan sesudahnya
pelaksanaan haji diatur oleh Bani Umayyah ‘Abd al-Malik sendiri pada tahun 75 H
pergi beribadah haji, sedangkan pembangunan Qubbah al-Shukhra baru
selesai pada tahun 72 H dan pada tahun 72 H pula Makkah di bawah kekuasaan Bani
Umayyah.
Selanjutnya,
kata-kata al-Zuhri itu sebenarnya tidak menunjukkan sama sekali tentang adanya
upaya untuk meniadakan haji dan juga tidak menunjukkan bahwa Qubbah
al-Shukhra merupakan tempat suci, demikian pula tawaf disekitarnya bukan
berarti hal itu perbuatan baik. Kata-kata al-Zuhri hanya memberikan kedudukan
kepada masjid al-Aqsa itu sebagai kiblat pertama umat Islam dan tempat isra’
Nabi. Di samping itu, al-Zuhri bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan
tersebut namun ada 19 periwayat lain yang dipercaya meriwayatkannya. Jadi kalau
hadis tersebut dianggap palsu, maka dengan logika apa kita hanya menuduh
al-Zuhri saja yang memalsukan hadis itu? Kenapa periwayat lain tidak dituduh
sebagai pemalsu juga.[25]
Dan itulah salah satu contoh kritikan-kritikan Goldziher terhadap hadis-hadis
Nabi Saw.
Untuk
menanggapi beberapa anggapan yang dilontarkan Joseph Schacht di atas, berikut
ini akan dipaparkan cacatan kritis sebagai counter dan analisis dengan
menyuguhkan beberapa argument.
Pada
hadis nomor 6 pada kitab al-Maghazi Schacht berpendapat bahwa hadis ini
selain mengkhususkan pada ditahannya Abbas juga merupakan bentuk loyalitas
terhadap keluarga Abbasiyah, Abbas bin Abd al-Muthalib adalah paman Nabi dan
kedudukan paman orang timur juga sudah diketahui secara sempurna. Mungkin saja
Nabi Saw mengampuninya tapi Nabi Saw menolak dan bersabda “Demi Allah, kalian
jangan membiarkan uang satu dirham pun”. Jadi kalau demikian, Rasulullah tidak
menaruh rasa kasihan terhadap Abbas. Oleh karena itu Schacht hadis ini
mengandung unsur-unsur loyalitas kepada keluarga Abbasiyah bertentangan dengan
akal sehat. Selain itu apabila hadis ini merupakan hasil lamunan yang dibikin
pada masa dinasti Abbasiyah untuk kepentingan kekuasaan mereka, kenapa mereka
tidak membalikkan peristiwa itu sendiri? Kenapa mereka tidak memikirkan untuk
memutihkan lembaran sejarah leluhurnya? Paling tidak kalimat “Tidak, Demi
Allah, kalian jangan membiarkan (Meninggalkan) uang satu dirham pun”. Dapat
buang sehingga orang-orang tidak menyangka bahwa Abbas-leluhur
khalifah-khalifah Abbasiyah-itu terpaksa membayar dengan dirham terakhir untuk
menebus dirinya.
Apabila
permasalahan seperti yang dituduhkan Schacht bahwa hadis tersebut dibuat pada
masa Abbasiyah untuk menetang keluarga Alawiyin, maka kenapa hal ini tidak
dibikin pada abad pertama saja, dimana pertentangan antara keluarga Alawiyin
dan Umawiyin sedang mencapai klimaks?, oleh karena itu, ini patut dipertanyakan
untuk menerima tuduhan bahwa hadis tersebut muncul pada penuh kedua dari abad
kedua dan tidak sebelumnya.[26]
Kesimpulan
dari teori Prof.Schacht ini adalah baik kelompok aliran-aliran fiqh klasik
maupun kelompok ahli-ahli hadis, keduanya sama-sama pemalsu hadis. Karenanya,
sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof Schacht mengatakan: we
shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered
authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun hadis Nabi yang
berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai hadis shahih.
Untuk
membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khususnya Prof. Schacht,
yang meneliti dari aspek sejarah, maka M. M. Azami menghancurkan teori Schacht
ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah hadis. Azami melakukan
penelitian khusus tentang hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah
klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu
Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah sahabat Nabi Saw. Naskah Suhail
ini berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti perawi hadis itu sampai kepada
generasi suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk
jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah
perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar
dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara
teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.[27]
Azami
berkesimpulan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada
saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinnya
sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis,
kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka
buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan
Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks
(matan) hadis tersebut.
Sebagai
contoh, Azami mengemukakan hadis yang artinya di mana Nabi Saw. Bersabda: “Apabila
salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah ia mencuci
tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada di mana”. Hadis
ini dalam naskah Suhail bin Abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada
jenjang pertama (generasi sahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu: Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hurairah
sendiri kemudian meriwayatkan hadis tersebut kepada 13 orang tabi’in (generasi
kedua). 13 orang tabi’in ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru negeri
Islam. 8 orang tetap tinggal di Madianah, seorang tinggal di kufah, 2 orang
tinggal di Basharah, seorang tinggal di Yaman, dan seorang lagi tinggal di
Syam. Tiga belas Tabi’in ini kemudian meriwayatkan lagi kepada generasi
berikutnya (generasi ketiga= Tabi’ Tabi’in), dan jumlah mereka menjadi= tidak
kurang dari 16 orang. Mereka tinggal di madinah (6 orang), Bashrah (4 orang),
Kufah (2 orang), Makkah (1 orang), Yaman (1 Orang), Khurasan (1 orang), dan
Himsy-Syam (1 orang). Maka mustahil 15 orang yang domisilinya terpencar-pencar
di tujuh kota yang berjauhan itu pernah berkumpul pada satu saat untuk
bersama-sama mambuat hadis palsu yang redaksinya sama, atau mustahil pula, bila
mereka secara sendiri-sendiri di kediamannya masing-masing membuat hadis, dan
kemudian diketahui bahwa redaksi hadis tersebut secara kebetulan sama 16 orang
rawi di atas adalah hanya dari jalur Abu Hurairah. Apabila jumlah rawi itu
ditambah dengan rawi-rawi dari empat jalur lainnya, yaitu Ibn Umar, Jubair,
Aisyah, dan Ali, mak jumlah perawi itu akan menjadi lebih banyak.[28]
Dengan
demikian apa yang dikembangkan oleh Prof. Schacht dengan teorinya Projecting
Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis itu baru terbentuk belakangan dan
merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum,
adalah tidak benar, hal ini sudah dibuktikan oleh Azami dengan penelitiannya
bahwa sanad hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw melalui
jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Hal ini membuktikan juga bahwa
hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para qadhi, tetapi
merupakan perbuatan atau ucapan yang dating dari Rasulullah Saw sebagai seorang
Nabi dan panutan umat Islam.
Pendapat
Wensinck tentang dua kalimat syahadat yang merupakan bagian dari tasyahud yang
dibaca pada akhir setiap dua raka’at dalam shalat. Jadi kalau dua kalimat
syahadat muncul setelah wafatnya Nabi Saw, maka hal ini tidak mungkin karena
al-Qur’an berpuluh-puluh kali mrnyuruh mengerjakan shalat, demikian pula dengan
hadis. Shalat dilaksanakan secara berjamaah dan al-Qur’an juga menjelaskan
demikian. Jadi apabila demikian halnya, maka penyelidikan dan penelitian
Wensick adalah omong kosong belaka, kecuali jika ia juga berteori bahwa azan
itu merupakan ibadah yang dibikin pada masa belakangan yang meniru orang-orang
Kristen Bizantium.[29]
Dan
inilah yang dilakukan oleh para orientalis untuk mengkritik hadis Nabi Saw,
namun dilain pihak, hal ini semakin memperlihatkan bahwa hadis bukan karya
manusia, melainkan pedoman buat manusia yang tidak lepas dari kontrol Tuhan.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan di atas,
maka penulis mengemukakan beberapa kesimpulan yaitu:
1.
Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932.
Beliau banyak menghabiskan waktunya untuk meneliti hadis dengan ditandai
banyaknya karya yang dihasilakan. Di samping itu beliau juga sebagai guru besar
pada Universitas King Abdul Aziz (sekarang Universitas Umm al-Qura).
2.
Goldziher mengkritik hadis Nabi yang terkait dengan hadis pergi
haji ke tiga masjid, menurut Goldziher, Abd. al-Malik bin Marwan merasda
khawatir apabila orang-orang Syam yang pergi haji ke Mekkah itu melakukan baiat
kepada ‘Abdullah bin Zubair. Karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat
melakukan haji di Qubbah al Shakhra di Qudus (Jerussalem) sebagai ganti
dari pergi haji ke Mekkah.ia juga mengeluarkan keputusan bahwa tawaf
(berkeliling) di sekitar al-Shakhra tadi sama nilainya dengan tawaf di sekitar
Ka’bah. Untuk tujuan politis ini, ia mempercayai ahli hadis al-Zuhri untuk
membuat hadis sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Saw, dan mengedarkannya
dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat dipahami bahwa ada tiga mesjid yang
dapat dipakai untuk beribadah haji yaitu mesjid di Mekkah, masjid di Madinah,
dan Mesjid di Qudus. Dan Joseph Schacht menuduh bahwa banyak terdapat
hadis-hadis palsu yang ditulis pada masa antara Malik dan penulis-penulis
klasik, yaitu al-kutub al-Sittah (enam kitab hadis).
3.
Tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis terbantahkan dengan
tidak dapat dibuktikan oleh sejarah. Sehingga apa yang dituduhkan oleh
orientalis adalah sebuah upaya untuk menuduh Nabi Saw untuk melakukan kreasi
sendiri untuk menciptakan hadis.
DAFTAR
PUSTAKA
Azami, M. M, hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj.
Ali Mustafa Yaquf, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
--------, Studies in Early Hadits Literature,
Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978.
Brown, Daniel, Islam Menyoal Relevansi Dalam Modern, terj.
Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Cet. I, Bandung: Mizan, 2000.
Darmalaksana, Wahyudin, Hadis dimata Orientalis telaah atas
pandangan Ignaz Goldziher Joseph Schacht, t. cet., Bandung: Benang Merah
Press, 2004.
Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M.
Sterm, London: 1971.
Juynboll, G.H.A. The Authenticity of the Traditions Literature:
Discussion in Modern Egyp Leiden: E.J. Brill, 1969.
Rahman, Fatur, Ikhtisar Mushthalah al-Hadits, Cet. I, Bandung:
PT.al-Ma’rifat, 1974.
Suryadi, “Rekontruksi metodologi Pemahaman Hadist Nabi,” dalam ESENSIA
Jurnal Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits, Yogyakarta: Jurusan Tafsir hadis IAIN
Sunan Kalijaga, 2001.
[1]
Suryadi, “Rekontruksi metodologi Pemahaman Hadist Nabi,” dalam ESENSIA
Jurnal Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits (Yogyakarta: Jurusan Tafsir hadis
IAIN Sunan Kalijaga, 2001,), h. 95.
[2]
M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) h. 777.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.,
h. 7-9.
[6]
Q.S. al-Hijr/15: 9.
[7]
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971), h. 181.
[8]
Daniel Brown, Islam Menyoal Relevansi Dalam Modern, terj. Jaziar
Radianti dan Entin Sriani Muslim, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2000), h. 111.
[9]
M.M. Azami, op. cit, h. 3. Lihat pula dalam Sa’ad al-Murshafi, al-Mustasyriqun
wa al-Sunnah, (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islami kerja bareng Muassasah
al-Rayyan), h. 37.
[10]
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, op. cit., h. 183.
[11] Ibid.,
h. 183-184.
[12] Ibid.,
h. 186.
[13] Ibid.
[14] G.
H. A. Juynbool, The Authenticity of The Traditions Literature: Discussion in
Modern Egyp (Leiden: E.J. Brill, 1969), h. 100.
[15]
Ignaz Goldziher, Muslim…op. cit., h. 186.
[16] Ibid.,
h. 182.
[17] Ibid.,
187-188.
[18]
Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht, (t.cet., Bandung: Benang Merah Press, 2004),
h. 126.
[19]
M.M. Azami, op. cit., h. 608-609.
[20] Ibid.,
h. 610.
[21] Ibid.,
h. 615-616.
[22]
Lihat., M. M. Azami, Ibid., h. 616-617.
[23] Ibid.,
h. 606.
[25]
Lihat., Ibid., h. 610-611.
[26] Ibid.,
h. 620.
[27] M.
M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana,
American Trust Publication, 1978, h. 222-223.
[28] Ibid.,
h. 227.
[29] Ibid.,
h. 614.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar