Daftar Pustaka

Sabtu, 13 Oktober 2012

Tokoh Hadis Kontemporer (Muh. Mustafa Azami)



TOKOH HADIS KONTEMPORER
(MUHAMMAD MUSTAFA AZAMI)


UIN
 







REVISI MAKALAH

Disampaikan dalam Forum Seminar Mata Kuliah
Ulumul Hadis
Semester I  Tahun Akademik 2010


Oleh;
ABDUL GANI
NIM. 80100209004


Dosen Pemandu;
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdianah,
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag.


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
M A K A S S A R
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an dijadikan penjelas bagi manusia tentang apapun baik berupa hukum, ibadah maupun  muamalah yang belum jelas dalam al-Qur’an. Hadis yang kitalihat hari ini tidak lepas dari peran para ulama hadis dalam menyampaikan dan menjelaskan  maksud dan tujuan hadis melalui berbagai penelitian keilmuan.
Hingga saat ini, hadis Nabi tidak henti-hentinya dikaji dan dipelajari secara serius, bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri tapi oleh para islamisis dan orientalis pun juga tertarik terhadap kajian tersebut. Hal ini terjadi karena eksistensi hadis pada kenyataannya semakin mengundang banyak problematika dikalangan orientalis yang serius mengkaji hadis. Problematika tersebut dirasa semakin kompleks, ketika eksistensi hadis itu sendiri dalam banyak aspeknya berbeda dengan al-Qur’an, dimana al-Qur’an sebagai sumber otoritas pertama diriwayatkan secara mutawatir (qot’i al-Wurud), sedangkan hadis sebagai sumber otoritas kedua diriwayatkan tidak secara mutawatir (dhoni al-Wurud), karena secara historisitas penulisan ataupun pengkodifikasiannya relatif sangat jauh dari masa hidup Nabi.[1] Dari sinilah kemudian timbul penilaian-penilaian miring yang sengaja menstereotipkan keberadaan hadis di mata umat Islam.
Peranan para ulama hadis dalam menggeluti ilmu hadis tidak lepas dari ilmu-ilmu hadis yang mendukung mereka menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh hadis. Bukan hanya itu serangan-serangan dari orientalis barat terhadap hadis setidaknya memaksa para tokoh hadis hari ini melakukan penelitian dan membuktikan bahwa hadis nabi adalah benar.
Mustafa Azami adalah salah satu tokoh hadis kontemporer yang banyak meluangkan waktunya untuk menggeluti ilmu hadis yang ditandai dengan banyak karya yang berguna dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu karyanya adalah Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya yang membahas beberapa kritikan para orientalis terhadap hadis Nabi baik dari segi matan maupun sanadnya.
Ignaz Goldziher, orientalis yang telah melakukan kajian yang intens terhadap hadis. Metode yang digunakan Goldziher adalah historis-fenomenologis yang hanya ditujukan terhadap unsur matan hadis (teks), yang cakupannya adalah aspek politik, sains, maupun sosio kultural, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan unsur sanad sampai kepada Nabi. Hal ini disebabkan oleh Goldziher yang secara tegas memang tidak menerima metode kritik sanad sebagai metode ilmiah. Kondisi yang demikian berbeda dengan para Muhaddisin umumnya menganggap bahwa kritik sanad lebih urgen dari pada kritik matan, sedangkan Ignaz dan sejarawan pada umumnya mementingkan kritik terhadap teks/matan, sebab Ignaz dan Sejarawan bergerak dengan asumsi bahwa sumber informasi tidak selamanya benar. Terhadap dari berbagai kelemahan kajian terhadap hadis yang telah dilakukan oleh Ignaz maupun orientalis, yang pasti, hal ini telah membawa nuansa baru dan cakrawala baru yang memperkaya khazanah kajian hadis Nabi.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka penulis akan mengemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimana riwayat hidup M.M.Azami?
2.    Bagaimana karya-karya M.M. Azami?
3.    Bagaimana kritikan para orientalis terhadap hadis Nabi?
4.    Bagaimana tanggapan M.M. Azami terhadap kritikan para orientalis?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Riwayat Hidup Muhammad Mustafa Azami
Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932. Ayahnya pencinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai belajar hadis. Tamat dari sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di Collage of Science di Deoband, sebuah perguruan tinggi terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam dan tamat tahun 1952. Kemudian Azami melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, Universitas al-Azhar, Cairo dan tamat tahun 1955 dengan memperoleh ijazah al-‘Alimiyah. Tahun itu juga beliau kembali ke tanah airnya, India.[2]
Tahun 1956 Azami diangkat menjadi dosen bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 beliau diangkat sebagai sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-kutub al-qatriyah). Tahun 1964 Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris sampai meraih gelar Ph.D. Tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early Hadits Literature. Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Mekkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana jurusan Syari’ah dan studi islam Universitas King Abdul Aziz (sekarang Universitas Umm al-Qura). Beliau bersama al Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.[3]
Tahun 1973 beliau berpindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas King Saud. Dan di Universitas ini Ali Mustafa Yakub bertemu dengan Azami sebagai murid dan guru, dimana setelah tamat ia mendapat amanah dari Azami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi ilmiah Azami melejit ketika pada tahun 1980 beliau memenangkan hadiah Internasional Raja Faisal untuk studi islam dari lembaga hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh. Azami sebagai guru besar hadis dan ilmu hadis pada Universitas King Saud, Riyadh.[4] Dan berawal dari riwayat hidupnya yang banyak menekuni ilmu hadis sehingga karya-karyanya banyak digunakan hingga saat ini.
B.  Garis Besar Isi Buku Muhammad Mustafa Azami “Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya”
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya adalah salah satu karya M. M. Azami yang fenomenal dan banyak dibahas, karena buku ini membahas tentang kritikan para orientalis mengenai hadis Nabi.
Secara garis besar buku ini terdiri dari delapan bab, dan delapan lampiran. Pada bab I buku ini membahas tentang pengertian dan kedudukan hadis nabawi dalam Islam, kehidupan muslim, baik di dunia dan di akhirat, dimana hal itu tidak terlepas dari hadis nabawi.
Pada bab II membahas tentang kegiatan pendidikan di Jazirah Arab pada masa jahiliyah dan permulaan Islam. Pada bab III membahas sekitar larangan dan izin penulisan hadis dari nabi Saw dijelaskan pula bahwa larangan tersebut hanya berlaku apabila penulisan hadis dilakukan secara bersama-sama dengan penulisan al-qur’an.Atau bahwa hadis yang melarang penulisan hadis masa berlakunya (mansukh).
Pada bab IV membahas tentang tulisan-tulisan hadis yang dilakukan oleh sahabat. Demikian pula tulisan para tabi’in tentang hadis-hadis yang berasal dari para sahabat, tulisan dari para tabi’in sendiri, serta tulisan-tulisan para tabi’ut tabi’in (generasi sesudah tabi’in) tentang hadis yang mereka terima dari tabi’in.
Pada bab V dibahas tahammul al-“ilm atau cara penyebaran hadis atau cara belajar dan mengajarkan hadis secara umum. Serta menjelaskan metode yang dipakai dalam mempelajari hadis pada saat itu. Pada bab ini juga menjelaskan gambaran tentang sejauh mana perhatian kaum muslimin dapat berkhidmah terhadap yang hadis Nabi dari satu segi, dan menyebarkan buku-buku disisi lain.
Pada bab VI membahas kitab hadis ditinjau dari segi bentuk dan alat tulisannya. Juga membahas tentang adanya pencurian hadis atau tambahan tulisan yang dilakukan oleh orang lain, bukan pengarangnya, serta masalah-masalah lain yang masih berkaitan.
Pada bab VII membahas permasalahan sanad hadis dan kesalahpahaman sementara orang tentang hal tersebut. Demikian pula tentang menilai sistem sanad dari segi ilmiahnya serta pembuktian bahwa sanad hadis sudah ada sejak masa nabi Saw.
Pada bab VIII menjelaskan tentang sejauh mana hadis nabawi itu dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya.[5] Dan pada bab inilah orientalis memberikan kritikan tajam terhadap hadis Nabi.
C.  Materi Hadis dan Tanggapan para Orientalis terhadap hadis
1.    Materi Hadis
Metode ahli-ahli hadis dinilai lemah oleh orang-orang orientalis dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena itu mereka menolak metode itu dan membikin metode sendiri yang kemudian dikenal dengan “metode kritik matan hadis”. Dan akan ditengahkan tiga tulisan tokoh-tokoh orientalis abad ini yaitu Ignaz Goldziher, Wensinck dan Joseph Schacht.
Salah satu materi hadis yang dikritik oleh orientalis adalah hadis tentang “Pergi ke tiga masjid” yaitu:
لاَ تَشَدُّواالرِّحاَلِ إلاَّ الِىَ ثلاثة مساجدَ. المسجد الحرامِ والمسجدي ومسجد بيبِ المَقْدِسِ
Terjemahnya: Janganlah kalian mengecangkan tali kendaraan-maksudnya: jangan kalian pergi-kecuali menuju tiga mesjid. Masjidil haram, masjidku, dan Baitul Maqdis.


2.    Tanggapan para Orientalis terhadap matan hadis
a.    Kritik Orientalis terhadap hadis Nabi
Diskursus tentang otentisitas hadis merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial dalam studi hadis. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an yang telah mendapatkan “garasi” akan keterpeliharaanya, sebagai mana firman Allah Swt dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[6]  Maka secara normatif-theologis, hadis tidak mendapatkan “garasi” akan keterpeliharaannya dari Allah Swt.
Ignaz Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan hadis. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadis pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern”(1856)[7]  dan Sir William Munir dengan karyanya life of manoment,[8]  namun dalam beberapa hal ini, Goldziher mampu memberikan penilaian atau pun celaan seputar eksistensi dan validitas hadis tersebut.
Dalam bukunya, Muslim Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang pemeliharaan hadis tertulis (Kitaba al-Hadits) secara umum. Dia mengatakan bahwa kaum muslimin klasik telah beranggapan bahwa hadis adalah ajaran lisan yang penulisannya dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an, yang menurut Goldziher, penulisannya wajib dilakukan. Beberapa cacatan atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasinya hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi.[9] Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadis yang membolehkan penulisan (proses pengkodifikasian) lebih banyak dari pada penalaran hadis yang lebih mengandalkan pada hapalan. Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan adanya penulisan hadis melalui periwayatan Abu Hurairah “tidak ada seorang pun yang hafal lebih banyak hadis selain aku, namun Abdullah Bin ‘Ash telah menuliskannya sedangkan aku tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin Anas pernah mengajar murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para pendengar menghafalnya dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannnya. Di samping itu, masih banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis oleh Goldziher untuk menguatkan data tentang penulisan hadis ini.[10]
Pergulatan Pemikiran (ghazwu al-fikri) yang berkisar pada wilayah boleh tidaknya penulisan hadis, merangsang Ignaz Goldziher untuk berkomentar, bahwasanya pelarangan itu merupakan akibat yang dibiaskan dari prasangka-prasangka yang muncul kemudian. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kamu menulis dariku kecuali al-Qur’an, dan barang siapa menuliskannya hendaknya dia menghapuskannya.”[11] Selain itu juga karena kekhawatiran akan mensakralkan tulisan, sehingga kata Goldziher, mereka lebih cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan, sebagaimana yang dilakukan oleh agama-agama terdahulu yang mengabaikan ungkapan Tuhan tetapi justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.[12]
Nampaknya Iqnaz Goldziher sengaja mengutip banyak bukti periwayatan yang melegitimasi pelarangan ataupun pembolehan penulisan hadis. Terlepas apakah periwayatan-periwayatan tersebut mutawatir atau tidak, namun harus diakui bahwa orientalis, khususnya Ignaz Goldziher, sangat hebat dalam menelusuri data-data yang telah ada. Berikut data-data historis yang juga mendukung pelarangan penulisan hadis, yaitu abad ke-3 H. (masa Imam Bukhari dan Muslim). Abu Ali al-Basri sangat memuji orang yang menghapal dan mengutuk orang yang menulis, karena menulis buku tidak akan bebas dari bahaya api, bahaya tikus, bahaya air dan bahaya pencuri yang akan mengambilnya. Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abu Sa’ad Abdul Rahman Bin Dost pada abad ke-4 H. kemudian pada abad ke-6, penulisan hadis ini direkomendasikan oleh sejarawan terkemuka dari Damaskus, yaitu Abu al-Qasim Ibnu Asakir yang wafat pada tahun 521 H.[13]
Kedua, Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.[14]
Ketiga, Ignaz Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt, beranggapan bahwa tradisi penulisan hadis sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama.[15] Namun ternyata pemahaman yang keliru tersebut masih juga mendapat dukungan dari sebagian kaum Muslimin sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang telah ada. Menurut Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa terlepas dari kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti yang menunjukkan bahwa Muhammad Saw mencatat riwayat-riwayat selain al-Qur’an serta tidak ada bukti bahwa penulisan hadis itu sudah terjadi sejak awal Islam.[16]
Keempat, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadis dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadis disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.[17]
Goldziher dan Schacht seringkali tidak melakukan checking yang mendalam atas bahan-bahan kesejarahan yang mendalam yang mereka pakai dalam pembuktian, seperti penelitian otensitas hadis melalui kitab-kitab fiqih ataupun tanpa dilibatkannya al-Qur’an sebagai referensi lain dalam meneliti hadis.[18]
b.   Kritikan Goldziher terhadap hadis “Pergi ke Tiga Masjid”
Terkait dengan matan hadis diatas tentang pergi haji ketiga masjid, menurut Glodziher, Abd. al-Malik bin Marwan merasa khawatir apabila orang-orang Syam yang pergi haji ke  Mekkah itu melakukan baiat kepada ‘Abdullah bin Zubair. Karena itu berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubbah al Shakhra di Qudus (Jerussalem) sebagai ganti dari pergi haji ke Mekkah. Ia juga mengeluarkan keputusan bahwa tawaf (berkeliling) di sekitar al-Shakhra tadi sama nilainya dengan tawaf di sekitar Ka’bah. Untuk tujuan politis ini, ia mempercayai ahli hadis al-Zuhri untuk membuat hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Saw, dan mengedarkannya dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat dipahami bahwa ada tiga mesjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji yaitu masjid di Mekkah, mesjid di Madinah, dan mesjid di Qudus.
Goldziher juga menuduh Abd ‘al-Malik meniadakan ibadah haji atau setidak-tidaknya berusaha meniadakan ibadah haji. Sebagai argument tuduhannya ini ia menukilkan keterangan al Ya’qubi dalam kitabnya al-Tarikh, sebagai berikut:
‘Abd al-Malik melarang orang-orang Syam untuk melakukan ibadah haji. Hal itu Ibnu al-Zubair akan menyuruh mereka melakukan baiat kepadanya apabila mereka datang ke Mekkah. Maka gemparlah orang-orang Syam. Mereka memprotes hal itu, dan menanyakan kepada ‘Abd al-Malik, Apakah anda melarang kami untuk pergi beribadah ke mekkah, sedang, ibadah haji itu hukumnya wajib bagi kami”? jawab ‘Abd al-Malik, “ini Ibnu Syihab al-Zuhri, ia meriwayatkan hadis sebagaimana hadis diatas.
Masjid Baitul Maqdis ini bagi kalian sama masjidil Haram, sedangkan al-Shakhra (batu) itu, yang dalam suatu riwayat pernah dipakai pijakan kaki Rasulullah Saw pada waktu isra ke langit bagi kalian seperti Ka’bah. ‘Abd al-Malik juga membangun kubbah di atas al-Shakhra tadi, dan ditutup dengan kelambu sutera, serta menugaskan orang-orang untuk merawatnya. Dan orang-orang pun melakukan tawaf di situ seperti tawaf di Ka’bah. Maka dengan begitu Abd al-Malik telah menetapkan hari-hari gemilang bagi dinasti Bani Umayyah.[19]
Tetapi apakah kedudukan al-Zuhri sedemikian itu sehingga ia memalsukan hadis-hadis dan mengatakannya bahwa hal itu dari nabi Saw? Apakah ia dan ‘Abd al-Malik bin Marwan mampu meniadakan ibadah haji ke Mekkah dan menggantinya dengan haji ke Qudus (Jerussalem)?[20] Tak ada fakta sejarah yang mendukung tuduhan Goldziher tersebut. Sehingga M. M. Azami menanggapi pernyataan Goldziher tersebut.
c.    Joseph Schacht, Wencsinck dan Kritik hadis
Musa bin Uqbah (w. 141 H) adalah mantan hamba sahaya yang menulis kitab tentang kisah-kisah perang Nabi Saw (al-maghazi). Kitab ini dipuji oleh para tokoh dan ahli. Namun saat ini kitab ini tidak dapat dijumpai, kecuali hanya merupakan cuplikan-cuplikan yang terdapat dalam kitab-kitab lain. Dan kemudian Schatcht menulis sebuah makalah tentang al-maghazi dimana ia mengkritik hadis pilihan. Dalam makalah ini kita bisa melihat metode yang digunakan Schatcht dalam mengkritik hadis sebagai tambahan dari metode dari para ahli hadis. Schatcht mengajak untuk kembali kepada “kritik yang mendalam” dalam mengkaji hadis. Ia juga mengaku sudah sampai kepada kesimpulan berikut:
“Bagian penting dari sejarah hidup Nabi Saw pada periode Madinah-seperti terdapat dalam tulisan-tulisan produk paruh kedua dari abad kedua hijriah-sebenarnya hal ini ditulis pada masa belakangan sekali. Sebab kira-kira setengah abad setelah Nabi Saw wafat, orang-orang sudah tidak memiliki lagi ingatan tentang Nabinya, sekedar gambaran yang samar. Namun segala upaya telah dicurahkan untuk menutupi kekurangan-kekurangan itu. Materinya dibuat sedemikian rupa dan dibuat seperti hadis dengan menambahi sanad. Hal ini terjadi pada abad kedua hijriah.[21]
Lebih lanjut Schatcht menjelaskan bahwa beberapa hadis dalam kitab al-maghazi, dikritiknya salah satunya hadis nomor enam pada kitab tersebut, hadis ini berusaha untuk mempengaruhi keadaan demi kepentingan dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa. Hal itu dengan menceritakan leluhur mereka yang berperang melawan Nabi Saw dan kemudian ditahan oleh orang-orang Islam, serta diwajibkan membayar tebusan.  Demikian pula pada hadis nomor 8, 9 dan 10 pada kitab al-maghazi.[22]
Selain itu Schacht juga menuduh bahwa banyak terdapat hadis-hadis palsu yang ditulis pada masa antara Malik dan penulis-penulis klasik, yaitu penulis al-kutub al-Sittah (enam kitab hadis). Kata Schacht “Dalam riwayat hadis, Malik telah menambah penafsiran berasal dari dirinya sendiri, yaitu dalam kata-kata “bai” (berjualan), “mulamasah” (berjualan dengan jalan sentuhan), dan “munabadzah” (menjual dengan cara lemparan)…
Tetapi penafsiran itu lalu menjadi bagian hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Contoh lain tentang   adanya pemalsuan hadis menurut Schacht yaitu bahwa ia berkata: “Pada mulanya memang sudah ada suatu amalan atau pekerjaan, kemudian dibikinkan hadis yang dianggap berasal dari Nabi Saw atau sahabat Nabi Saw. Dan hal ini dijelaskan dalam kitab al-Mudawwanah (IV:28) dimana Ibnu Qasim membenarkan teori penduduk Madinah. Kata Ibnu Qasim “Hadis yang sampai kepada kita ini, seandainya disertai amalan sehingga hal itu diketahui sampai dari sumbernya, niscaya patut dijadikan pegangan. Tetapi hadis itu seperti hadis-hadis lain yang tidak disertai amalan. (Disini Ibnu Qasim menuturkan beberapa hadis Nabi Saw dan pendapat para sahabat), dimana suatu amalan tidak akan dijadikan patokan tanpa hadis-hadis itu. Sedangkan orang-orang-umumnya-dan juga para sahabat menggunakan hadis-hadis lain. Maka hadis tadi tidak dinilai palsu namun juga tidak diamalkan. Sebab hadis yang diamalkan adalah hadis yang disertai dengan pengalaman….Dan kemudian Schacht mengomentari “Dan begitulah orang-orang Madinah menentang hadis yang tidak disertai dengan amalan”.[23]
Demikian pula menurut Wensick bahwa dalam beberapa dekade sesudah Nabi Saw wafat, terjadi perkembangan dalam pemikiran dan pekerjaaan. Perkembangan ini mengilhami tokoh-tokoh spiritual untuk menjelaskan tentang semangat Islam yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi Saw. Antara lain-dan yang secara umum hal itu lebih penting-hadis tentang akidah dan syahadat, dan hadis tentang “Islam ditegakkan di atas lima pilar”. Menurutnya bahwa dua hadis tersebut dibuat oleh para sahabat sesudah Nabi Saw wafat sebagai bukti Nabi Saw tidak pernah mempunyai suatu ungkapan khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang memeluk Islam. Ketika orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang Kristen di Syam dan mereka mengetahui orang Kristen mempunyai ungkapan khusus, mereka lalu merasakan perlunya membikin ungkapan atau kalimat seperti itu. Maka mereka pun mencetuskan semangat Islam dalam bentuk dua hadis tersebut. Karena hadis itu berisi dua kalimat syahadat, maka hal itu tidak mungkin dari Nabi Saw. Dan inilah yang menjadi salah satu senjata orientalis untuk mengkritik otentisitas hadis.
C.  Analisis M .M Azami terhadap Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Profesor Wensinck
Dari pernyataan Goldziher tentang hadis pergi haji ketiga masjid tak ada fakta sejarah yang membuktikan bahwa al-Zuhri dan Abd al-Malik meniadakan haji. Ahli-ahli sejarah berbeda pendapat kelahiran al-Zuhri antara tahun 50 H sampai 58 H. Ia juga tidak pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan. Sedangkan orang-orang Bani Umayyah pada tahun 68 H berada di Makkah, dalam musim haji.[24]
Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘Abd al-Malik bin Marwan tidak mungkin mempunyai pikiran untuk membangun Qubbah al-Shukhra-sebagai pengganti Ka’bah-kecuali sesudah tahun 68 H. Sumber-sumber sejarah pun juga menentukan bahwa pembangunan Qubbah al-Shukhra baru dimulai pada tahun 69 H.
Dan ini agaknya waktu yang tidak tepat di mana ‘Abd al-Malik membenarkan idenya dengan hadis al-Zuhri. Pada waktu itu al-Zuhri berumur 10 sampa1 18 tahun. Rasanya tidak logis apabila seorang anak semuda sudah populer di kalangan ilmuwan di luar lingkungannya sendiri, sehingga mereka tunduk hanya karena ia mampu meniadakan kewajiban ibadah haji yang sudah diterangkan beratus-ratus kali baik dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi, dan pada masa itu banyak para sahabat dan tabi’in yang senior dan pastinya mereka akan mengecam Abd al-Malik. Bahkan Al-Ya’qubi sendiri menuturkan sejak tahun 72 H dan sesudahnya pelaksanaan haji diatur oleh Bani Umayyah ‘Abd al-Malik sendiri pada tahun 75 H pergi beribadah haji, sedangkan pembangunan Qubbah al-Shukhra baru selesai pada tahun 72 H dan pada tahun 72 H pula Makkah di bawah kekuasaan Bani Umayyah.
Selanjutnya, kata-kata al-Zuhri itu sebenarnya tidak menunjukkan sama sekali tentang adanya upaya untuk meniadakan haji dan juga tidak menunjukkan bahwa Qubbah al-Shukhra merupakan tempat suci, demikian pula tawaf disekitarnya bukan berarti hal itu perbuatan baik. Kata-kata al-Zuhri hanya memberikan kedudukan kepada masjid al-Aqsa itu sebagai kiblat pertama umat Islam dan tempat isra’ Nabi. Di samping itu, al-Zuhri bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan tersebut namun ada 19 periwayat lain yang dipercaya meriwayatkannya. Jadi kalau hadis tersebut dianggap palsu, maka dengan logika apa kita hanya menuduh al-Zuhri saja yang memalsukan hadis itu? Kenapa periwayat lain tidak dituduh sebagai pemalsu juga.[25] Dan itulah salah satu contoh kritikan-kritikan Goldziher terhadap hadis-hadis Nabi Saw.
Untuk menanggapi beberapa anggapan yang dilontarkan Joseph Schacht di atas, berikut ini akan dipaparkan cacatan kritis sebagai counter dan analisis dengan menyuguhkan beberapa argument.
Pada hadis nomor 6 pada kitab al-Maghazi Schacht berpendapat bahwa hadis ini selain mengkhususkan pada ditahannya Abbas juga merupakan bentuk loyalitas terhadap keluarga Abbasiyah, Abbas bin Abd al-Muthalib adalah paman Nabi dan kedudukan paman orang timur juga sudah diketahui secara sempurna. Mungkin saja Nabi Saw mengampuninya tapi Nabi Saw menolak dan bersabda “Demi Allah, kalian jangan membiarkan uang satu dirham pun”. Jadi kalau demikian, Rasulullah tidak menaruh rasa kasihan terhadap Abbas. Oleh karena itu Schacht hadis ini mengandung unsur-unsur loyalitas kepada keluarga Abbasiyah bertentangan dengan akal sehat. Selain itu apabila hadis ini merupakan hasil lamunan yang dibikin pada masa dinasti Abbasiyah untuk kepentingan kekuasaan mereka, kenapa mereka tidak membalikkan peristiwa itu sendiri? Kenapa mereka tidak memikirkan untuk memutihkan lembaran sejarah leluhurnya? Paling tidak kalimat “Tidak, Demi Allah, kalian jangan membiarkan (Meninggalkan) uang satu dirham pun”. Dapat buang sehingga orang-orang tidak menyangka bahwa Abbas-leluhur khalifah-khalifah Abbasiyah-itu terpaksa membayar dengan dirham terakhir untuk menebus dirinya.
Apabila permasalahan seperti yang dituduhkan Schacht bahwa hadis tersebut dibuat pada masa Abbasiyah untuk menetang keluarga Alawiyin, maka kenapa hal ini tidak dibikin pada abad pertama saja, dimana pertentangan antara keluarga Alawiyin dan Umawiyin sedang mencapai klimaks?, oleh karena itu, ini patut dipertanyakan untuk menerima tuduhan bahwa hadis tersebut muncul pada penuh kedua dari abad kedua dan tidak sebelumnya.[26]
Kesimpulan dari teori Prof.Schacht ini adalah baik kelompok aliran-aliran fiqh klasik maupun kelompok ahli-ahli hadis, keduanya sama-sama pemalsu hadis. Karenanya, sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof Schacht mengatakan: we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai hadis shahih.
Untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khususnya Prof. Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M. M. Azami menghancurkan teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah sahabat Nabi Saw. Naskah Suhail ini berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti perawi hadis itu sampai kepada generasi suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.[27]
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinnya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) hadis tersebut.
Sebagai contoh, Azami mengemukakan hadis yang artinya di mana Nabi Saw. Bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada di mana”. Hadis ini dalam naskah Suhail bin Abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang pertama (generasi sahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu: Abu Hurairah, Ibnu Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hurairah sendiri kemudian meriwayatkan hadis tersebut kepada 13 orang tabi’in (generasi kedua). 13 orang tabi’in ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam. 8 orang tetap tinggal di Madianah, seorang tinggal di kufah, 2 orang tinggal di Basharah, seorang tinggal di Yaman, dan seorang lagi tinggal di Syam. Tiga belas Tabi’in ini kemudian meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya (generasi ketiga= Tabi’ Tabi’in), dan jumlah mereka menjadi= tidak kurang dari 16 orang. Mereka tinggal di madinah (6 orang), Bashrah (4 orang), Kufah (2 orang), Makkah (1 orang), Yaman (1 Orang), Khurasan (1 orang), dan Himsy-Syam (1 orang). Maka mustahil 15 orang yang domisilinya terpencar-pencar di tujuh kota yang berjauhan itu pernah berkumpul pada satu saat untuk bersama-sama mambuat hadis palsu yang redaksinya sama, atau mustahil pula, bila mereka secara sendiri-sendiri di kediamannya masing-masing membuat hadis, dan kemudian diketahui bahwa redaksi hadis tersebut secara kebetulan sama 16 orang rawi di atas adalah hanya dari jalur Abu Hurairah. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan rawi-rawi dari empat jalur lainnya, yaitu Ibn Umar, Jubair, Aisyah, dan Ali, mak jumlah perawi itu akan menjadi lebih banyak.[28]
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Prof. Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah tidak benar, hal ini sudah dibuktikan oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Hal ini membuktikan juga bahwa hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para qadhi, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang dating dari Rasulullah Saw sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
Pendapat Wensinck tentang dua kalimat syahadat yang merupakan bagian dari tasyahud yang dibaca pada akhir setiap dua raka’at dalam shalat. Jadi kalau dua kalimat syahadat muncul setelah wafatnya Nabi Saw, maka hal ini tidak mungkin karena al-Qur’an berpuluh-puluh kali mrnyuruh mengerjakan shalat, demikian pula dengan hadis. Shalat dilaksanakan secara berjamaah dan al-Qur’an juga menjelaskan demikian. Jadi apabila demikian halnya, maka penyelidikan dan penelitian Wensick adalah omong kosong belaka, kecuali jika ia juga berteori bahwa azan itu merupakan ibadah yang dibikin pada masa belakangan yang meniru orang-orang Kristen Bizantium.[29]
Dan inilah yang dilakukan oleh para orientalis untuk mengkritik hadis Nabi Saw, namun dilain pihak, hal ini semakin memperlihatkan bahwa hadis bukan karya manusia, melainkan pedoman buat manusia yang tidak lepas dari kontrol Tuhan.



BAB III
KESIMPULAN
            Berdasarkan dari pembahasan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa kesimpulan yaitu:
1.    Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932. Beliau banyak menghabiskan waktunya untuk meneliti hadis dengan ditandai banyaknya karya yang dihasilakan. Di samping itu beliau juga sebagai guru besar pada Universitas King Abdul Aziz (sekarang Universitas Umm al-Qura).
2.    Goldziher mengkritik hadis Nabi yang terkait dengan hadis pergi haji ke tiga masjid, menurut Goldziher, Abd. al-Malik bin Marwan merasda khawatir apabila orang-orang Syam yang pergi haji ke Mekkah itu melakukan baiat kepada ‘Abdullah bin Zubair. Karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubbah al Shakhra di Qudus (Jerussalem) sebagai ganti dari pergi haji ke Mekkah.ia juga mengeluarkan keputusan bahwa tawaf (berkeliling) di sekitar al-Shakhra tadi sama nilainya dengan tawaf di sekitar Ka’bah. Untuk tujuan politis ini, ia mempercayai ahli hadis al-Zuhri untuk membuat hadis sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Saw, dan mengedarkannya dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat dipahami bahwa ada tiga mesjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji yaitu mesjid di Mekkah, masjid di Madinah, dan Mesjid di Qudus. Dan Joseph Schacht menuduh bahwa banyak terdapat hadis-hadis palsu yang ditulis pada masa antara Malik dan penulis-penulis klasik, yaitu al-kutub al-Sittah (enam kitab hadis).
3.    Tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis terbantahkan dengan tidak dapat dibuktikan oleh sejarah. Sehingga apa yang dituduhkan oleh orientalis adalah sebuah upaya untuk menuduh Nabi Saw untuk melakukan kreasi sendiri untuk menciptakan hadis.





DAFTAR PUSTAKA
Azami, M. M, hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaquf, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
--------, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978.
Brown, Daniel, Islam Menyoal Relevansi Dalam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Cet. I, Bandung: Mizan, 2000.
Darmalaksana, Wahyudin, Hadis dimata Orientalis telaah atas pandangan Ignaz Goldziher Joseph Schacht, t. cet., Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm, London: 1971.
Juynboll, G.H.A. The Authenticity of the Traditions Literature: Discussion in Modern Egyp Leiden: E.J. Brill, 1969.
Rahman, Fatur, Ikhtisar Mushthalah al-Hadits, Cet. I, Bandung: PT.al-Ma’rifat, 1974.
Suryadi, “Rekontruksi metodologi Pemahaman Hadist Nabi,” dalam ESENSIA Jurnal Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits, Yogyakarta: Jurusan Tafsir hadis IAIN Sunan Kalijaga, 2001.


[1] Suryadi, “Rekontruksi metodologi Pemahaman Hadist Nabi,” dalam ESENSIA Jurnal Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits (Yogyakarta: Jurusan Tafsir hadis IAIN Sunan Kalijaga, 2001,), h. 95.
[2] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) h. 777.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid., h. 7-9.
[6] Q.S. al-Hijr/15: 9.
[7] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber  dan S.M. Sterm (London: 1971), h. 181.
[8] Daniel Brown, Islam Menyoal Relevansi Dalam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2000), h. 111.
[9] M.M. Azami, op. cit, h. 3. Lihat pula dalam Sa’ad al-Murshafi, al-Mustasyriqun wa al-Sunnah, (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islami kerja bareng Muassasah al-Rayyan), h. 37.
[10] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, op. cit., h. 183.
[11] Ibid., h. 183-184.
[12] Ibid., h. 186.
[13] Ibid.
[14] G. H. A. Juynbool, The Authenticity of The Traditions Literature: Discussion in Modern Egyp (Leiden: E.J. Brill, 1969), h. 100.
[15] Ignaz Goldziher, Muslim…op. cit., h. 186.
[16] Ibid., h. 182.
[17] Ibid., 187-188.
[18] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, (t.cet., Bandung: Benang Merah Press, 2004), h. 126.
[19] M.M. Azami, op. cit., h. 608-609.
[20] Ibid., h. 610.
[21] Ibid., h. 615-616.
[22] Lihat., M. M. Azami, Ibid., h. 616-617.
[23] Ibid., h. 606.
[24] Ibid., h. 617.
[25] Lihat., Ibid., h. 610-611.
[26] Ibid., h. 620.
[27] M. M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978, h. 222-223.
[28] Ibid., h. 227.
[29] Ibid., h. 614.

Tidak ada komentar: