TAKHRIJ AL-HADIS
MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata Kuliah Ulumul Hadis
Oleh:
AHMAD NAJIB
NIM : 80100209013
Dosen Pemandu :
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Alquran sebagai sumber
ajaran Islam sudah tidak diragukan untuk dikatakan sebagai wahyu, mengingat
proses penerimaan dan penulisannya begitu ketat dan telah terhimpun dalam suatu
mushaf. Namun untuk hadis-hadis nabi timbul beragam permasalahan, diantaranya
apakah suatu yang diangap orang hadis memang benar-benar diucapkan oleh nabi
Muhammad SAW. ? kita tidak bisa dengan semena-mena mengatakan ia benar -benar
ucapan beliau atau bukan tanpa menelitinya kembali.
Sering sekali kita
mendengar atau membaca dalam berbagai karya tulis tentang petuah-petuah atau
perkataan-perkataan ulama yang sudah terlanjur dianggap sebagai hadis, sehingga
sangat disanjung-sanjung dan dijadikan pegangan yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi.
Kepentingan Umat Islam
terhadap akan hadis nabi adalah hal
yang sangat urgen. Demikiaan pula
kepedulian terhadapnya sangat besar. Karena mengingat sunnah mempunyai beberapa
fungsi terhadap alquran sebagai sumber ajaran Islam. Berpegan teguh kepada
keduanya merupakan jalan yang tepat, lurus dan selamat dari kesesatan.
Karena sunnah nabi sangat luas sekali, maka untuk mengarungi dan memahaminya diperlukan
beberapa pentunjuk. Dan ilmu Takhrij hadis adalah salah satu pegangan bagi
orang yang ingin memahami dan mendalami hadis.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal
yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan makalah ini, yaitu ;
1. Pengertian
Takhrij
2. Sejarah dan
latar belakang Takhrij Hadis
3. Metode Takhrij
Hadis
4. Tujuan dan Manfaat
Takhrij Hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Takhrij
Kata al Takhrij menurut pengertian asal bahasanya adalah berkumpulnya dua perkara yang
berlawanan pada susuatu yang satu.[1]
Al Takhrij bermakna pula al istimbath (hal yang mengelurkan); al tadrib (hal melatih atau hal pembiasaan); at taujih (hal memperhadapkan).[2]
Menurut istilah yang biasa dipakai oleh ulama hadis,
kata al Takhrij mempunyai beberapa arti, yakni :
1.
Mengemukakan
hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang
telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2.
Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah
dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang
susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau
temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.
Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan
sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para
mukharrijnya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi
hadis yang mereka riwayatkan).
4.
Mengemukakan
hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis,
yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan
keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.
5.
Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis
pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan
hadis itu secara secara lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian, untuk
kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan. [3]
M. Hasbi Ash Shiddiqy memberikan pengertian Takhrij
antara lain :
1. Mengambil sesuatu hadis dari
sesuatu kitab, lalu mencari sanad yang lain dari sanad penyusun kitab itu.
Orang yang mengerjakan hal ini dinamai Mukharrij dan Mustakhrij
2. Menerangkan bahasa hadis itu
terdapat dalam sesuatu kitab, yang dinukilkan kedalamnya oleh penyusunnya dari
sesuatu kitab lain, seperti kita katakan : Akhrajahu
ul Bukhari = dinukilkan kedalam kitabnya oleh Bukhari (ada tersebut dalam
kitab Bukhari).[4]
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, maka
ada tiga hal yang mendasar dari pengertian tersebut. Yakni; Pertama,
kegiatan penelusuran suatu hadis untuk mengetahui tempat atau sumber-sumber
hadis yang diteliti; Kedua, sumber-sumber pengambilan hadis
itu merupakan sumber-sumber asli, yang dihimpun oleh para pengarang dengan
jalan yang diterima dari guru-gurunya dan lengkap dengan sanadnya sampai kepada
nabi Muhammad SAW. Misalnya kitab Shahih Bukhari dan kitab Shahih Muslim; Ketiga, hadis yang termuat dalam
sumber-sumber asli itu dikemukakan secara lengkap sanad dan matannya.[5]
B.
Sejarah dan latar belakang Takhrij Hadis
Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber
hadis begitu luas sekali, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan
suatu hadis untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab hadis. Ketika semangat
belajar sudah melemah, mereka kesulitan mengetahui tempat-tempat hadis yang
dijadikan sebagai rujukan para penulis dalam ilmu-ilmu syar’i. Maka sebagian
ulama bangkit dan memperlihatkan hadis-hadis yang ada pada sebagian kitab dan
menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab
hadis yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari
yang shahih atas yang dhaif, lalu muncullah apa yang dinamakan dengan kutubu
at-takhrij.[6]
Kitab-kitab hadis yang telah disusun
oleh para ulama periwayat hadis cukup banyak jumlahnya, dan metode penyusunan
kitab-kitab himpunan tersebut ternyata tidak seragam. Masing-masing mukharrij
memiliki metode sendiri-sendiri, baik dalam penyususnan sistematika dan topik
yang dikemukakan oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya
masing-masing. Karenanya tidaklah mengherankan, bila masa sesudah kegiatan penghimpunan
hadis itu, ulama menilai dan membuat kriteria tentang peringkat kualitas
kitab-kitab himpunan hadis tersebut.[7]
Dalam kriteria yang beragam terhadap
hadis-hadis yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut, maka kualitas
hadisnya tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah hadis-hadis yang termuat
dalam berbagai kitab himpunan itu berkualitas shahih atau tidak shahih,
diperlukan kegiatan penelitian. oleh karena itu langkah awal dalam penelitian
hadis adalah takhrij.
C.
Metode Takhrij
Menelusuri hadis tidak semudah menelususri ayat alquran
karena menelusuri ayat alquran cukup dengan sebuah kamus alquran, misalnya
kitab al-mu’jam al- Mufahras li Alfazh
al-Quran al-Karim yang disusun oleh oleh Muhammad Fuad Abd Al Baqi dengan
kitab alquran sebagai rujukan. Berbeda dengan menelusuri hadis, karena terhimpun dalama berbagai kitab sehingga
lebih sulit untuk menelusurinya dan
tidak cukup hanya mempergunakan sebuah kamus dan sebuah kitab hadis sebagai
rujukan, selain itu belum ada sebuah kamus yang dapat memberi petunjuk untuk
mencari hadis yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada .[8]
Oleh karena itu menelusuri hadis dalam kitab -kitab hadis yang telah disusun oleh para ulama hadis untuk mengetahui kejelasan hadis beserta
sumber-sumbernya, ada beberapa metode takhrij yang dapat dipergunakan oleh
mereka yang akan menelusurinya.
Secara umum sesuai dengan cara ulama mengumpulkan
hadis-hadis, maka metode takhrij hadis
disimpulkan dalam lima macam metode:
1.
Takhrij
menurut lafal pertama hadis
2.
Takhrij
menurut lafal-lafal yang terdapat dalam hadis
3.
Takhrij
menurut perawi hadis pertama
4.
Takhrij
menurut tema hadis
5.
Takhrij
menurut klasifikasi jenis hadis [9]
1.
Takhrij Menurut
lafal pertama yang terdapat dalam Hadis
Penggunaan metode ini tergantung dari lafal pertama
matan hadis. Berarti metode ini juga mengkodifikasi yang lafal pertamanya
sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah, seperti hadis-hadis yang huruf
pertamanya alif, ba, ta dan seterusnya.
Suatu keharusan bagi yang akan menggunakan metode ini untuk mengetahui dengan
pasti lafal-lafal pertama dari hadis-hadis yang akan dicarinya. Setelah itu ia
melihat huruf pertamanya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan metode
ini, demikian pula huruf kedua dan
seterusnya. Sebagai contoh hadis yang
berbunyi:
مَنْ غَشَّنَا
فَلَيْسَ مِنَّا
Langkah untuk mencarinya dengan menggunakan metode ini adalah
sebagai berikut:
- Lafal pertamanya dengan membukanya pada bab mim (م )
- Kemudian mencari huruf kedua nun (ن ) setelah mim tersebut.
- Huruf-huruf selanjutnya adalah ghain ( غ ) lalu syin ( ش ) serta nun ( ن )
- Dan begitu seterusnya sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah pada lafal-lafal matan hadis.
Dan diantara kitab-kitab takhrij yang dikarang dengan menggunakan
metode ini adalah al Jami’ al Kabir
karangan Imam Suyuthi dan al jami’ al
Azhar oleh al Manawi[10]
2.
Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat dalam hadis
Adakalanya hadis yang akan diteliti, hanya diketahui
sebagian saja dari matannya. Jika demikian maka takhrij melalui penelusuran
lafal matan lebih mudah dilakukan.
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits An-Nabawi,
berisi Sembilan kitab yang paling
terkenal di antara kitab-kitab hadis, yaitu: Kutubu Sittah, Muwattha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad Darimi. Kitab ini disusun oleh
Dr. A.J. Wensink.[11]
Contoh penelusuran hadis
dengan memakai metode ini :
Umpama saja hadis yang diingat adalah bagian lafal matan yang
berbunyi :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا
Dengan modal lafal munkaran
( منكرا ), maka lafal itu ditelusuri melalui kamus
Al Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits An-Nabawi yang
memuat lafal nakara ( نكر ). Setelah diperoleh, lalu dicari kata munkaran ( منكرا ). Dibagian itu ada
petunjuk bahwa hadis yang dicari memiliki sumber yang cukup banyak dalam
kitab-kitab hadis, yakni
- Shahih Muslim, pada Kitab Iman, nomor hadis 78
- Sunan Abi Daud, pada Kitab Shalat bab 242; dan Kitab Malahin bab 17
- Sunan at-Tumuzi, Kitab Fitan bab 11
- Sunan an-Nasa’i, Kitab Iman, bab 17
- Sunan Ibni Majah, Kitab Iqamah , bab 155 dan Kitab Fitan bab 20
- Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III halam 10, 20, 49 dan 52 .[12]
Apabila akan dilakukan penelitian, maka semua riwayat
yang dikemukakan oleh keenam kitab di atas perlu dikutip secara cermat. Tentu
saja untuk menghindari adanya riwayat yang tidak tercakup, kegiatan takhrij
dengan mengacu kepada lafal-lafal yang lain
yang terdapat dalam matan yang sama perlu dilakukan.
3.
Takhrij menurut perawi hadis pertama
Metode takhrij yang ketiga ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadis,
baik perawi tersebut dari kalangan sahabat bila sanad hadisnya bersambung
kepada nabi (mutashil), atau dari kalangan tabi’in bila hadis itu mursal. Para
penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh setiap perawi pertama, sahabat atau tabi’in. sebagai langkah
awal ialah mengenal terlebih dahulu
perawi pertama setiap hadis yang akan kita takhrij melalui kitab-kitabnya.
Langkah selanjutnya mencari nama perawi pertama tersebut dalam kitab-kitab itu,
dan kemudian mencari hadis yang kita inginkan diantara hadis-hadis yang tertera
dibawah nama perawi pertamanya itu. Bila kita telah menemukannya, maka kita
akan mengetahui pula ulama hadis yang meriwayatkannya[13]
Pada garis besarnya kitab-kitab takhrij yang disusun
berdsarkan metode ketiga ini terbagi dua bagian yaitu:
1.
Kitab-kitab al-Atharaf diantaranya:
a.
Athraaf al-Shahihain,
karangan al-Hafizh Imam Abu Mas’ud Ibrahim bin Muhammad bin ‘Ubaid al-Dimasyqy
wafat tahun 400 H.
b.
Atraaaf al-Shahihain, Karangan al-Hafizh Imam Khalaf bin Hamadun
al-Washithy wafat tahun 401 H.
c.
Athraaf al- Kutub al-Sittah, karangan al-Hafizh
Syamsuddin abu al-Fadhly Muhammad bin Thahir bin Ahmad al-Maqdisi,
dikenal dengan nama ibnu al-Qaysarany wwafat tahun 507 H.
2.
Kitab-kitab
Musnad diantaranya:
a.
Musnad Ahmad bin Hanbal
b.
Musnad Al-Humaidy
c.
Musnad Abi Daud al-Thayaalisi
d.
Musnad al-Bukhari al-Kabir
e.
Al-Musnad al-Kabir ‘Ala al-Rijaal li Muslim bin
al-Hajjaj[14]
4.
Takhrij menurut tema hadis
Takhrij metode ini dipakai jika telah diketahui topik dan objek
pembahasan hadis, maka untuk mentakhrijnya dapat dibantu dengan karya-karya
hadis yang dissusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak
dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As
Sunnah yang disusun oleh Dr. A.J. Wensink yang berisi daftar isi hadis yang
disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini mencakup daftar isi untuk
14 kitab hadis yang terkenal yaitu :
kesembilan macam kitab yang menjadi rukan mu’jam (Kutubu Tis’ah) ditambah lagi dengan Musnad Zaid bin ‘Ali, Musnad Aib Daud at-Tayalisi, Thabaqat ibn Sa’ad , Sirah ibn Hisyam dan Maqazi al-Waqidi. [15]
Data yang dimuat oleh oleh kitab Miftah Kunuz As Sunnah tersebut memang sering tidak lengkap begitu
juga topik yang dikemukakannya. Walaupun begitu kitab kamus tersebut cukup
membantu untuk melakukan kegiatan takhrij hadis berdasarkan topik masalah.
Untuk melengkapi data yang dikemukakan oleh kitab kamus itu, dapat diapakai
sejumlah kitab himpunan hadis yag disusun berdasarkan topik masalah mislanya Muntakhab Kanzil ‘Ummah susunan ‘Ali bin
Hisam ad-Din al-Mutqi, yang kitab rujukannya lebih dari 20 macam
kitab.[16]
5.
Takhrij menurut klasifikasi jenis hadis
Metode yang kelima ini adalah metode yang mengetangahkan
suatu hal yang baru berkenaan dengan upaya para ulama yang telah mnyusun
kumpulan hadis-hadis berdasarkan status hadis. Kitab-kitab sejenis ini sangat
membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti
hadis-hadis Qudsi, hadis-hadis Masyhur,
hadis-hadis Mursal dan
lain-lain. Dengan membuka kitab-kitab hadis- seperti ini berarti kita telah
melakukan takhrij. [17]
Kitab-kitab yang
disusun menurut metode ini diantaranya:
1.
Hadis-Hadis
Mutawatir seperti : al-Azharu
al Mutanatsirah fi al ahbari Mutawatirah karangan Suyuthi
2.
Hadis-hadis
Masyhur seperti: al Maqashidu al-Hasanah
karangan Sakhawi
3.
Hadis-hadis
Qudsi seperti: al Ittihafatu al Saniyyatu fi al Ahaditsu al-Qudsiyyah karangan
al-Madani
4.
Hadis-hadis
Mursal seperti: al Maraasilu karangan Abu Daud [18]
D.
Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis
Takhrij Hadis bertujuan untuk menunjukkan sumber
hadis-hadis yang menerangkan ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut.
Sedangkan manfaat dalm melakukan takhrij hadis banyak sekali. Dengan adanya
takhrij hadis kita dapat sampai kepada perbendaharaan-perbendaharaan Sunnah
Nabi. Karena tanpa keberadaan tkahrij seseorang tiak mungkin akan dapat
mengungkapkannya. Diantara kegunaaan takhrij ialah;
1.
Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadis,
kitab-kitab asal diamana suatu hadis berada beserta ulama yang meriwayatkannya.
2.
Takhrij
dapat menambah perbendaharaan sanad hadis-hadis melalui kitab-kitab yang
ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadis, semakin
banyak pul perbendaharaan sanad yang kita miliki.
3.
Tkahrij
dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membndingkan riwayat-riwayat hadis yang
bayak itu maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut munqathi’ , mudhal dan
lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih,
dhaif dan sebagainya.
4.
Takhrij
memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayat. Terkadang kita dapatkan suatu
hadis dhaif melalui satu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan
dapati riwayat lain yang shahih. Hadis yang shahih itu akan mengangkat hukum
hadis yang dhaif tersebut kederajat yang lebih tinggi.
5.
Dengan takhrij
kita dapat mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadis.
6.
Takhrij
dapat memperjelas perawi hadis yang samar. Karena terkadang kita dapati seorang
perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan
lain-lain. Dengan adanya takhij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama
perawi yang sebenarnya secara lengkap.
7.
Takhrij
dapat memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui
perbandingan diantara sanad-sand.
8.
Takhrij
dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
9.
Takhrij
dapat menghilangkan hukum Syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat
tsiqat) yang terdapat pada suatu hadis melalui perbandingan riwayat.
10.
Takhrij
dapat membedakan hadis yan mudraj ( yang mengalami penyusupan sesuatu) dari
yang lainnya.
11.
Takhrij
dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang
perawi.
12.
Takhrij
dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
13.
Takhrij
dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukakan dengan lafal dan
yang dilakukan dengan makna
14.
Takhrij
dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis. Diantara hadis ada yang timbul
karena perilaku seseorang atau kelompok. Melalui perbandingan sanad-sanad yang
ada maka “asbab wurud” dalam hadis
tersebut akan dapat diketahui dengan
jelas. [19]
Jadi secara singkat, dengan melakukan takhrij hadis maka
kita dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis dan mengumpulkan
berbagai redaksi dari sebuah matan hadis.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan tersebut di atas maka
penulis menarik beberapa kesimpulan yaitu:
- Pengertian Takhrij Hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang didalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan
- Metode penyusunan kitab-kitab himpunan hadis para mukharrij memiliki corak dan metode sendiri-sendiri. . Karenanya masa sesudah kegiatan penghimpunan hadis itu, ulama menilai dan membuat kriteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut. Untuk mengetahui apakah hadis-hadis yang termuat dalam berbagai kitab himpunan itu berkualitas shahih atau tidak shahih, diperlukan kegiatan penelitian. oleh karena itu langkah awal dalam penelitian hadis adalah takhrij.
- Secara umum sesuai dengan cara ulama mengumpulkan hadis-hadis, maka metode takhrij hadis disimpulkan dalam lima macam metode:
a.
Takhrij
menurut lafal pertama hadis
b.
Takhrij
menurut lafal-lafal yang terdapat dalam hadis
c.
Takhrij
menurut perawi hadis pertama
d.
Takhrij
menurut tema hadis
e.
Takhrij
menurut klasifikasi jenis hadis
- Dengan melakukan Takhrij Hadis maka kita dapat memperoleh manfaat yang sangat banyak sekali terutama bagi orang yang ingin menggeluti dan mendalami hadis. Yang secara singkat manfaatnya ialah kita dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis dan mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi .Tharqu Tahriju Hadis Rasulullah
Shallallahu Alihi Wasallam, ter. H.S. Agil Husain Munawwar dan H. Ahmad
Rifqi Muchtar, Metode Takhrij Hadis, Cet.I;
Semarang: Dina Utama, 1994
Ahmad, Arifuddin.
Paradigam Baru Dalam Memahami
Hadis Nabi Cet. I; Jakarta: Inti
Media dan Insan Cemerlang, 2002
Ismail, M. Suhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet.I ;Jakarta: Bulan Bintang ,
1992
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis, Cet.II ;Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2002
Ash Shiddiqy, M.
Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet.10; Jakarta: Bulan Bintng,
1991
Sulaiman PL, H.M. Noor Antologi Ilmu Hadis, Cet.
II; Jakarta: Gaung PersadaPress Jakarta, 2009
Al-Qaththan, Manna’. Mabahis
fii Ulum al-Hadis,terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Cet. IV; Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2009
Wensink, A.J. Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi
al-Hadits An-Nabawi Leiden E,J.
Brill, 1936.
[1]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu
Hadis, (Cet.II ;Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 244
[2] Ibid.
[3] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Cet.I ;Jakarta: Bulan Bintang , 1992), h. 41-42
[4] M. Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Cet.10; Jakarta: Bulan Bintng, 1991)., h. 194.
[5]Arifuddin Ahmad, Paradigam
Baru Dalam Memahami Hadis Nabi (Cet.
I; Jakarta: Inti Media dan Insan Cemerlang, 2002), h. 86
[6] Manna’ Al-Qaththan, Mabahis
fii Ulum al-Hadis,terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Cet. IV; Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2009), h. 189
[7] M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 19
[8]H.M. Noor Sulaiman PL, Antologi
Ilmu Hadis, (Cet. II; Jakarta: Gaung
PersadaPress Jakarta, 2009), h. 158
[9] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Tharqu Tahriju Hadis Rasulullah Shallallahu Alihi Wasallam, ter.
H.S. Agil Husain Munawwar dan H. Ahmad Rifqi Muchtar, Metode Takhrij Hadis, (Cet.I; Semarang: Dina Utama, 1994), h. 15
[10] Ibid, h. 18
[11] Manna’ Al-Qaththan, op. ci.t,
h. 192
[12] A.J. Wensink, Al-Mu’jam
Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits An-Nabawi (Leiden E,J. Brill, 1936) Juz VI, h. 558
[13]Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi , op. cit., h. 78
[15] M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 49
[16] Ibid., h. 49-50
[17]Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi , op. cit., h. 195
[18] Ibid., h. 196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar