HADITS dan
SUNNAH
(Tinjauan
Aksiologis)
MAKALAH
Disampaikan pada seminar kelas mata kuliah
ULUMUL HADITS
Oleh,
ABIDIN
A. GAFUR
NIM. 80100209007
Dosen Pemandu :
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah.
Prof.
Dr. H. Ambo Asse, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
masa awal Islam khususnya setelah agama Islam mengalami perkembangan yang
sangat pesat pada periode setelah hijrah di Madinah (Yastrib),
persoalan-persoalan keberagamaan maupun sosial umat senantiasa berpedoman pada
petunjuk al-Quran sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
Sebagai
rujukan utama terhadap berbagai persoalan keumatan, al-Quran yang bersifat
universal dan komprehensif diyakini telah mengakomodasi segala hal menyangkut
kehidupan makhluk manusia. Oleh karena sifatnya yang sangat umum tersebut, maka
rasulullah Muhammad saw. sebagai penerima mandat bertanggungjawab untuk
menjelaskan kandungannya agar dapat dipahami oleh para pengikut/penganut agama
Islam. Kita ketahui bahwa banyak sekali keterangan-keterangan dalam ayat-ayat al-Quran,
hanya bisa dipahami jika mendapatkan keterangan lanjutan dari nabi Muhammad saw.
Di sisi lain, ada peristiwa/kejadian yang tidak mendapatkan keterangan dari
nash al-Quran secara implisit sehingga membutuhkan penjelasan atau keterangan
tersendiri dari rasulullah saw. sebagai pemilik otoritas tunggal menyampaikan
syariat kepada umat manusia.
M.
Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa, menurut al-Quran nabi Muhammad diutus oleh
Allah untuk semua umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Itu berarti,
kehadiran beliau membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Namun demikian, keberadaan beliau dibatasi
oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, hadis sebagai sumber utama kedua setelah
al-Quran, dipandang mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal dan lokal.[1]
Sikap
yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam kaitannya dengan kebutuhan akan
keterangan dari nabi adalah “Menerima ketetapan rasul saw. dengan penuh
kesadaran dan kerelaan tanpa sedikitpun rasa enggan dan pembangkangan, baik
pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan
iman seseorang”.[2]
Menyangkut hadis atau sunnah, para ulama telah menyepakati bahwa
kedudukannya merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran. Bahkan banyak
ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan keberadaannya. Sehingga jika ada orang atau
sekelompok orang yang menolak keberadaan hadis/sunnah maka dapat dikategorikan
juga menolak keberadaan al-Quran.
Dalam
perkembangan hidup beragama tidak dapat disangkal bahwa masih ada pendapat
perorangan maupun kelompok tertentu yang menolak keabsahan hadis atau sunnah
sebagai sumber hukum. “Dalam sejarah dan bahkan sampai saat ini, ada sekelompok
kecil orang-orang yang mengaku diri mereka sebagai orang Islam, tetapi menolak
hadis atau sunnah Rasulullah sebagai sumber ajaran Islam. Mereka dikenal
sebagai orang-orang yang berpaham inkarus-sunnah”.[3]
Berangkat dari kenyataan ini, para
ulama dan cendekiawan muslim yang konsern dengan permasalahan tersebut
melakukan kajian ontologis untuk
menemukan cara menjelaskan hakikat keberadaan hadis atau sunnah.
Dalam
kaidah ilmu pengetahuan ada tiga komponen yang merupakan tiang penyangga dalam
membangun suatu ilmu pengetahuan. Ketiga komponen itu adalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
Makalah
ini akan membahas hadis dan sunnah dari sudut pandang aksiologis, yakni
bagaimana hadis atau sunnah dapat diterima sebagai sumber ajaran Islam kedua
setelah al-Quran yang dapat memberi kemanfaatan dalam kehidupan manusia
khususnya umat Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan
dibahas secara lebih rinci tentang ;
1. Bagaimana otoritas nabi Muhammad saw.
2. Bagaimana kedudukan dan fungsi hadis.
3. Apakah yang
dimaksud Inkarus al-Sunnah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Otoritas nabi Muhammad saw.
Kedudukan
nabi Muhammad saw. di mata umatnya adalah sosok yang sempurna. Beliau adalah
pemimpin spiritual sekaligus sosial. Panglima yang pemberani, hakim yang tegas
dan adil, kepala rumah tangga yang penyayang. Para pakar bersepakat dengan
menggunakan berbagai tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung
yang pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan.
Demikianlah
kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero, Worship and the Heros
in History dengan menggunakan tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will
Durant dalam The Story of Civilization on the World dengan tolok ukur hasil
karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Budha, and Christ, dengan tolok ukur
keberanian moral, Nazme Luke dalam Muhammad al-Rasul wa al-Risalah dengan tolok
ukur metode pembuktian ajaran, serta Mikhael Hart dalam bukunya tentang seratus
tokoh dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan tolok ukur pengaruh
serta sederetan pakar lainnya. Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari
kehidupan dan kehidupan Muhammad (saw.), hanya mempunyai rasa hormat saja
kepada nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga meyakini bahwa beliau adalah
salah seorang Nabi terbesar dari Sang Pencipta, demikian Annie Besant menulis
dalam The Life and Teachings of Muhammad.[4]
Demikian
pandangan tokoh orientalis yang mengakui ketinggian pribadi dan keunggulan
prestasi nabi Muhammad saw. Penilaian yang sangat obyektif berdasarkan hasil
observasi keilmuan yang mendalam. Pandangan tersebut semakin memberi keyakinan
kepada umat Islam akan kedudukan nabi Muhammad saw. Demikian halnya penegasan
Allah swt. dalam surah al-Kahfi (18) : 110 :
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î) (
. . . . ÇÊÊÉÈ
Terjemahnya: “Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, . . . .”[5]
Beliau adalah manusia seperti manusia
yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam
sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan
kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian. Seperti halnya
permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi
ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa
tafsir al-Quran, “Yang sama dengan manusia lainnya adalah basyariyah bukan pada insaniyah.”
[6]
Dengan berbagai
kelebihan yang dimiliki, nabi Muhammad saw. diberi wewenang (otoritas)
berkaitan dengan tugas kerasulan yang diembannya. Hal ini bukanlah kehendak
beliau pribadi tetapi merupakan pengejawantahan dari kehendak Sang pemberi
mandat Allah swt. yang melukiskan kedudukan rasul-Nya sebagai :
1. Menjelaskan Kitabullah.
Nabi
Muhammad saw. bertugas untuk menjelaskan makna kandungan al-Quran yang sangat
dalam dan global atau li al-bayan (menjelaskan)
sebagaimana firman Allah swt. dalam surah An-Nahl (16) : 44 :
. . .
3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Terjemahnya: “Dan
Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.”
[7]
Misalnya
dalam al-Quran dijelaskan tentang kewajiban mengerjakan salat bagi setiap orang
mukallaf. Namun menyangkut waktu dan bagaimana kewajiban itu dilaksanakan,
Rasulullah dalam hal ini menjelaskan syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya
bagi setiap orang sesuai dengan keadaannya.[8]
Tentu
saja penjelasan terhadap isi al-Quran itu bukanlah sekedar membaca al-Quran.
Tetapi lebih jauh dari itu yakni memberikan penjelasan praktis terhadap banyak
ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum.
2. Rasulullah
sebagai Teladan Baik (Uswah al-Hasanah).
Nabi Muhammad saw. dalam setiap laku dan
perbuatannya merupakan sosok yang patut untuk dijadikan suri teladan (uswah al-hasanah) bagi umat Islam. Hal
ini dipertegas oleh firman Allah dalam surah al-Ahzab (33) : 21 ;
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& . . . . × puZ|¡ym ÇËÊÈ
Terjemahnya: “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu . . . .” [9]
Keteladanan terhadap beliau dapat dilakukan oleh setiap
manusia, karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki
oleh manusia lainnya. Dari sifat-sifat agung dan menyeluruh yang dimilikinya,
Allah swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
3. Rasulullah saw. wajib ditaati.
Rasulullah saw. adalah untusan Allah pembawa risalah
kebenaran. Hal ini menjadi dasar bagi setiap umat Islam untuk mematuhi beliau
dalam segala aspek kehidupan. Sunnah, meskipun berasal dari pribadi beliau
tetapi sesungguhnya semua itu berdasarkan petunjuk dari Allah swt. Sebagaimana ditegaskan
melalui firman-Nya dalam surah an-Nisa (4) : 80 ;
`¨B ÆìÏÜã tAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( . . . . ÇÑÉÈ
Terjemahnya: “Barang
siapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah . . . .”
[10]
4. Rasulullah berwenang Membuat Suatu Aturan.
Firman
Allah swt. dalam surah al-A’raf (7) : 157 ;
tÏ@Ïtäur
ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ..... ÇÊÎÐÈ
Terjemahnya: “ . . . dan (nabi) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk, . . . .” [11]
Dengan
demikian jelaslah bahwa Allah swt. telah memberikan wewenang dan kedudukan yang
mulia kepada nabi Muhammad saw. dimana seluruh aspek hidup dan kepribadian
beliau, keputusan dan ketetapan beliau memiliki otoritas yang mengikat sehingga
wajib diikuti dan dipatuhi oleh setiap individu dan masyarakat muslim.
B. Kedudukan
dan Fungsi Sunnah.
Umat
Islam khususnya para sahabat di masa rasulullah saw. masih hidup mengambil
hukum-hukum syariat dari al-Quran. Dalam hal itu, pada umumnya al-Quran membawa
keterangan-keterangan yang bersifat mujmal, sehingga banyak hukum yang
tidak dapat dijalankan tanpa syarah dari nabi Muhammad saw. Jumhur (mayoritas)
ulama telah sepakat bahwa dasar hukum Islam adalah al-Quran dan sunnah. Dari
segi urutan tingkatan dasar Islam ini, sunnah menjadi dasar hukum Islam kedua
setelah al-Quran, karena beberapa alasan;
1.
Sunnah sebagai
penjelas terhadap al-Quran. Kedudukan penjelas berada satu tingkat di bawah
pihak yang dijelaskan. Teks al-Quran sebagai pokok asal, sedang sunnah sebagai
penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya.
2. Mayoritas
sunnah relatif kebenarannya (zhanniy
ats-tsubut). Sehingga derajatnya lebih rendah dari al-Quran yang berfaedah qath’i ats-tsubut. [12]
Demikian hubungan
antara al-Quran dan sunnah yang merupakan dua sumber hukum yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya bersumber dari wahyu Allah swt. hanya proses penyampaian
dan periwayatannya yang berbeda.
Sedangkan
berkaitan dengan fungsi hadis, meskipun ada sedikit perbedaan pandangan, para
ulama secara garis besar merinci ada empat makna penjelasan (bayan) hadis terhadap al-Quran yaitu bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tasyri’
dan bayan nasakh. [13]
1. Bayan
Taqrir. Dalam hal ini posisi hadis sebagai penguat (taqrir) atau memperkuat keterangan al-Quran (ta’kid). Seperti hadits berikut :
بُنِيَ الْإِسْلَامُ
عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ
رَمَضَانَ
Artinya: “Islam didirikan atas lima perkara: menyaksikan
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah,
mendirikan salat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan”.[14]
Hadis
di atas memperkuat keterangan perintah salat, zakat, dan puasa dalam al-Qur’an
surah Al-Baqarah: 83 dan 183 dan perintah haji pada surah Ali ‘Imran: 97.
2. Bayan
Tafsir. Fungsi hadis terbanyak pada umumnya adalah sebagai penjelas (tafsir) terhadap
al-Quran.[15]
Fungsi ini meliputi tiga hal,
yaitu :
a. Tafshil
Al-Mujmal. Hadis yang menjelaskan secara terperinci tentang ayat-ayat al-Quran
yang bersifat global (mujmal), baik
menyangkut
masalah ibadah maupun hukum. Misalnya
hadis tentang penjelasan perintah shalat :
....صلوا
كما رأيتموني أصلي...
Artinya: “Salatlah sebagaimana engkau melihat aku
salat”.[16]
Hadis tersebut menjelaskan bagaimana
salat itu dilaksanakan secara benar.
b. Takhshish
Al-Amm. Hadis mengkhususkan ayat-ayat al-Quran yang umum.[17] Misalnya ayat-ayat tentang waris sebagaimana
firman Allah dalam surah an-Nisaa (4): 11:
ÞOä3Ϲqã
ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 . . . . ÇÊÊÈ
Terjemahnya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; . . . .” [18]
Ayat tersebut bersifat umum, kemudian
dikhususkan (takhshish) dengan hadis nabi
yang melarang mewarisi harta peninggalan para nabi, orang yang berlainan agama,
dan pembunuh. Yaitu sabda nabi saw. :
القاتل لا
يرث
Artinya: “Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta
pusaka). (HR. At-Tirmidzi)[19]
c. Taqyid
Al-Muthlaq. Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat al-Quran, artinya al-Quran
keterangannya secara mutlak, kemudian di-takhshish
dengan hadis yang khusus.[20] Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah
(5) : 38 :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& .
. . . ÇÌÑÈ
Terjemahnya: “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya . . . .”
[21]
Keumuman makna ayat tentang ketentuan
hukum potong tangan dijelaskan oleh hadis mengenai batasannya yakni sampai
pergelangan tangan.
3. Bayan Naskhi. Hadis menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam al-Quran.[22]
Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surah al-Baqarah (2) : 180 :
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Terjemahnya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu
bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.” [23]
ayat
tersebut di-nasakh dengan hadis nabi
yang berbunyi :
. . . إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ
حَقَّهُ وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah memberikan
hak kepada setiap yang mempunyai hak
dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris.” (HR. An-Nasa’i).[24]
4. Bayan Tasyri’i. hadis menciptakan hukum
syariat (tasyri’) yang belum
dijelaskan oleh al-Quran.[25]
Misalnya keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya menerangkan secara
tersirat surah An-Nisa’ (4): 29
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
. . . .
ÇËÒÈ
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” [26]
Sunnah
sebagai sumber hukum kedua selalu berintegrasi dengan al-Quran. Beragama tidak
akan sempurna tanpa sunnah. Para sahabat menerima langsung penjelasan nabi
tentang syari’ah yang terkandung dalam al-Quran baik dengan perkataan,
perbuatan, dan ketetapan beliau yang disebut sunnah. Demikian juga umat Islam
sesudahnya, tidak mungkin dapat memahami hakikat al-Quran, kecuali harus
kembali kepada sunnah. Oleh karena itu, umat Islam sejak dahulu sampai sekarang,
sepakat bahwa sunnah rasul merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran dan
tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri dari ketentuan tersebut.
Imam
Ahmad bin Hambal berkata: “Mencari hukum dalam al-Quran, haruslah melalui
hadis. Mereka yang mencukupi dengan al-Quran saja, tidak memerlukan pertolongan
hadis/sunnah dalam memahamkan ayat, dalam mengetahui syariatnya, sesatlah
perjalanannya dan tidak akan sampai kepada tujuan yang dikehendaki.” [27]
C. Inkar al-Sunnah.
Pada
zaman nabi saw. umat Islam sepakat bahwa
sunnah merupakan salah satu sumber
ajaran Islam di samping al-Quran. Belum ada bukti sejarah yang menjelaskan
bahwa pada zaman nabi saw. ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Demikian halnya pada masa khulafa’
al-Rasyidun dan Bani Umayyah. Barulah pada awal masa Abbasiyah, muncul
secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah. Mereka dikenal sebagai kelompok inkar al-sunnah.[28]
Kata
“Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab: Ankara – yunkiru – inkaaran
- yang mempunyai beberapa arti
di antaranya: “Tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati,
bodoh atau tidak mengetahui sesuatu, dan menolak apa yang tidak tergambarkan
dalam hati.” [29]
Secara
etimologis, Ingkar diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima
sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh
faktor ketidaktahuannya atau faktor lain, misalnya karena gengsi, kesombongan,
keyakinan dan lain-lain.[30]
Sedangkan
menurut istilah, ada beberapa definisi Ingkar al-Sunnah yang sifatnya
sangat sederhana pembatasannya diantaranya sebagai berikut :
1. Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang
menolak hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah al-Quran.
2. Suatu paham yang timbul pada sebagian
minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shahih baik
sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara
totalitas mutawatir maupun ahad
atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.[31]
Dari definisi yang dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa Ingkar al-Sunnah adalah pendapat perorangan atau
paham kelompok yang tidak menerima keberadaan sunnah nabi sebagai sumber hukum
Islam.
Sejarah
perkembangan Ingkar al-Sunnah terjadi dalam dua masa, yaitu masa klasik
dan masa modern. Pertama, Ingkar al-Sunnah klasik terjadi
pada masa imam asy-Syafi’i, dimana beliau didatangi oleh sekelompok orang dari
kaum Mu’tazilah dan Zindiq untuk berdiskusi dan berdebat dengan berbagai
argumentasi yang mereka ajukan, namun berhasil ditangkis oleh asy-Syafi’i dengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan
rasional.
Kesimpulannya,
ingkar al-sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat Islam yang
dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte-sekte dalam
Islam, kemudian diikuti oleh para pendukungnya, dengan cara saling mencaci para
sahabat dan melemparkan hadis palsu. Ingkar al-sunnah klasik hanya
terdapat di Bashrah Irak karena ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam
syari’ah Islam.[32]
Kedua,
Ingkar al-Sunnah
Modern – lahir kembali pada abad modern di India sekitar abad ke-19 M/13 H.
Sayyid Ahmad Khan sebagai penggagas sedang Ciragh Ali, Mirza Ghulam Ahmad dan
lain-lainnya sebagai pelanjut ide-ide Abu al-Hudzail sebagai pemikiran Ingkar
al-Sunnah tersebut. Maka timbullah kelompok-kelompok sempalan al-Qur’aniyyun seperti Ahl ad-Dzikr wa al-Quran didirikan oleh
Abdullah, Ummat Muslimah didirikan
oleh Ahmad Ad-Din, Thulu’ al-Islam yang
didirikan oleh Ghulam Ahmad Parwes dan Gerakan
Ta’mir Insaniyat yang didirikan oleh Abdul Khaliq Malwadah.[33]
Sebab
utama yang melatarbelakangi timbulnya Ingkar al-Sunnah modern adalah
akibat pengaruh kolonialisme di dunia Islam, dengan melakukan upaya
pendangkalan ilmu agama, penyimpangan aqidah melalui pimpinan-pimpinan umat
Islam.
Di
Mesir paham ingkar al-sunnah diawali dari tulisan Dr. Taufiq Shidqi,
kemudian diikuti antara lain oleh Ahmad Amin, dan Mahmud Abu Rayyah. Mesir nampak
lebih subur dinamika kontroversi sunnah, karena kondisi kebebasan berpikir
serta pengaruh buku-buku orientalis. Sedangkan di Malaysia, paham Ingkar al-Sunnah
dimotori Kasim Ahmad, dan di Indonesia – oleh Abdul Rahman dan Achmad Sutarto
serta pengikut-pengikutnya antara lain Nazwar Syamsu (Padang Sumbar), Dalimi
Lubis dan H. Sanwani (Pasar Rumput Jaksel).[34]
Propaganda
paham Inkar al-Sunnah dilakukan oleh para penganutnya melalui berbagai
cara. Ada yang melalui media pengajian (ta’lim)
tetapi lebih banyak lagi melalui karya tulis dalam bentuk buku maupun
artikel-artikel majalah. Bahkan saat sekarang ini, jaringan mereka sudah
merambah dunia maya (internet) yang menyebabkan lahan penyebarannya pun menjadi
lebih luas dan tak terkendali.
Alasan-alasan
yang dikemukakan tentang pengingkaran sunnah oleh orang di zaman sekarang,
menurut Musthafa Husni al-Siba’i adalah :
1. Semua
persoalan agama telah tercakup, terinci dan dijelaskan di dalam al-Quran
sehingga tidak diperlukan lagi keterangan di luar al-Quran, sebagaimana firman
Allah swt. dalam surah al-An’am ayat 38.
2. Menurut
janji Allah swt. bahwa hanya al-Quran yang dijaga kemurniannya, sedangkan hadis
tidak, sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Hijr : 9
3. Andaikata
al-Sunnah itu dijadikan rujukan ajaran Islam, niscaya nabi Muhammad saw.
menyuruh membukukannya semenjak dini agar terhindar dari kesalahan hafalan dan perubahan.
4. Informasi
ajaran agama harus didasarkan pada dalil yang pasti (qath’i) sebagaimana firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah ayat
1-2 dan surah al-Fathir ayat 31. Jika al-Quran bercampur dengan al-hadis maka
menjadikan dasar agama itu zanni.[35]
Berdasarkan
argumentasi yang mereka kemukakan kita dapat menarik kesimpulan bahwa jumlah
penganut paham Ingkar al-Sunnah ini sangat sedikit dan alasan penolakan
mereka terhadap sunnah, disebabkan karena ketidakpahaman mereka akan fungsi
as-sunnah sehingga mereka kurang memperhatikan kedudukan sunnah Rasul.
Kalau
kita amati dari 10 (sepuluh) pokok-pokok ajaran Ingkar al-Sunnah, terdapat
hubungan yang menautkan antara paham ini dengan munculnya beberapa
aliran-aliran sempalan di tanah air dengan tokoh-tokohnya seperti Lia
Aminuddin, Ahmad Musaddeq dan lain-lain. Orang-orang yang mengaku sebagai
utusan tuhan tersebut mengindikasikan bahwa mereka mengingkari keberadaan
Rasulullah saw. sebagai nabi dan rasul terakhir (khaatamun-nabiyyin wal
mursaliin).
Kelompok
pengingkar al-Sunnah ini terbagi
dua, satu kelompok menerima hadis mutawatir sebagai hujah sebab statusnya qath’i dan satu kelompok lagi menolak
seluruh hadis, karena hadis menurut mereka berstatus zhanni, dengan demikian hadis tidak dapat dijadikan hujah.[36]
Untuk
memperkuat argumentasi mereka dalam menolak keberadaan al-sunnah, mereka
mendasarinya dengan dalil-dalil naqli yakni
mengutip ayat-ayat al-Quran bahkan mengambil hadis nabi saw. serta mengemukakan
dalil aqli. Di antaranya sebagaimana
dinyatakan oleh Kasim Ahmad, pengingkar al-sunnah dari Malaysia, dengan
mengutip pernyataan Juynboll, pertumbuhan hadis tampaknya dimulai dari
cerita-cerita tentang nabi, puji-pujian terhadap Ali dan Abu Bakar, serta
tuntunan tentang halal-haram.[37]
Kalau
kita amati alasan-alasan yang mereka kemukakan, sesungguhnya mengandung
kelemahan-kelemahan yang sangat jelas disebabkan tidak sempurnanya pemahaman
mereka terhadap kandungan al-Quran. Bahkan dalil hadis yang mereka jadikan
dasar adalah hadis yang dianggap oleh para pakar sebagai hadis lemah sehingga
tidak bisa dijadikan hujah.
Kita
harus senantiasa mewaspadai gerakan para pengingkar al-sunnah tersebut. Karena
seiring dengan perkembangan IPTEK, maka cara-cara mereka dalam menyebarluaskan
pahamnya juga semakin berkembang. Dalam sejarah, ulama yang pertama-tama diberi
kehormatan sebagai ”pembela/penolong
sunnah” adalah al-Syafi’i, karena kegigihannya dalam menerangkan kedudukan
kesumberan sunnah menurut al-Quran dan membela sunnah dari para pengingkarnya. Saat
ini kita semua bertanggungjawab untuk melawan segala upaya yang mereka lakukan.
Akhirnya
sebagai muslim kita berkeyakinan bahwa apa yang dikatakan oleh penganut paham inkar al-sunnah adalah dusta. Sebab
berdasarkan petunjuk ayat-ayat al-Quran, jelaslah bahwa al-Quran dan sunnah nabi
Muhammad saw. keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam. Sehingga siapa saja
yang tidak berpedoman kepada keduanya (Al-Qur’an
dan Sunnah) maka orang tersebut berarti sesat dalam hidupnya. Demikian
antara lain pernyataan yang disampaikan oleh imam mazhab Ahmad bin Hambal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Nabi Muhammad saw. dalam kedudukannya sebagai
rasul (utusan Allah) memiliki otoritas untuk menjelaskan kandungan yang
tersirat dari ayat-ayat al-Quran yang diturunkan kepadanya. Selain itu beliau adalah
suri teladan terbaik (uswah al-hasanah)
dalam segala aspek kehidupan manusia.
2. Sunnah/Hadis
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran. Ini telah menjadi kesepakatan para ulama dan diyakini
oleh seluruh umat Islam. Di sisi lain kedudukan sunnah adalah menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Quran yang sifatnya global (zhanni) serta menetapkan hukum-hukum kehidupan yang belum dirinci
secara jelas oleh ayat-ayat al-Quran.
3. Paham Inkar
as-sunnah adalah paham yang tidak mengakui keberadaan Hadis/Sunnah sebagai
dasar hukum kedua setelah al-Quran. Paham ini mulai muncul pada masa Abbasiyah
dan terus berkembang samapi sekarang meskipun dengan jumlah pengikut yang
sangat sedikit namun tetap harus diwaspadai karena keberadaannya dapat
menghancurkan keyakinan umat terhadap kerasulan Muhammad saw.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, dalam Ekabakti
E-Hadis [CD ROM], SILMI Production, 2008
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Al-Jumanatul ‘Ali, 2005
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994
---------- Metodologi Penelitian Hadis. Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1992
---------- Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. I; Jakarta: Amzah,
2008
Ma’luf. Al-Munjid Fi Lugah wal I’lam. Cet. 38,
2000
Mudasir. Ilmu Hadis. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2005
An-Nasa’i, Imam. Sunan An-Nasa’i. dalam Mausu’ah
al-Hadits an-Nabawiy [CD ROM], Islamspirit.com.
Nata, Abudin. Al-Qur’an dan Hadits. Dirasah Islamiyah. Cet.
VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. 19; Bandung: Mizan, 1994
---------- Wawasan Al-Qur’an. Cet. VII; Bandung: Mizan, 1998
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits. Cet. Ke-11; Jakarta: Bulan Bintang, 1993
At-Tirmidzy, Imam. Sunan At-Tirmidzy. dalam Mausu’ah
al-Hadits an-Nabawiy [CD ROM], Islamspirit.com.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Cet. II; Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2003.
[1]M.
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual
dan Kontekstual (Cet. I: Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), h. 4
[2]Quraish
Shihab, Membumikan al-Quran; fungsi dan
peran wahyu dalam kehidupan masyarakat (Cet. 19; Bandung: Mizan, 1994), h. 121
[3]Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Cet. 1; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9
[4]M.Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran (Cet.VII ;
Bandung: Mizan, 1998), h. 50
[5]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung:
CV. Penerbit J-ART, 2005), h. 304
[6]M.Quraish
Shihab, op. cit., h. 53
[7]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 264
[8]Abudin Nata, Al-Quran
dan Hadits ;Dirasah Islamiyah (Cet. VI; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), h. 64
[9]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 420
[12]Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. I :
Jakarta: Amzah, 2008), h. 22 – 23
[13]Ibid., h. 16. Lihat juga, Mudasir, Ilmu Hadis (Cet.I: Bandung: Pustaka
Setia, 2005). h. 76 – 86.
[14]Muhammad
bin Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari,
dalam Ekabakti E-hadith [CD ROM],
SILMI Production, 2008, hadis no. 4243
[15]Abdul
Majid Khon, Op. cit., h. 17
[16]Al-Bukhari,
Op.Cit., t.no.
[17]Abdul
Majid Khon, Op. Cit., h. 17
[18]Departemen
Agama RI, Op. Cit., h. 78
[19]Imam
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzy.dalam Mausu’ah al-Hadits an-Nabawiy [CD ROM],
Islamspirit.com. hadis no. 2192
[20]Abdul
Majid Khon, Op. Cit., h. 18
[21]Departemen
Agama RI, Op. Cit., h. 18
[22]H.Mudasir,
Op. Cit., h. 85
[23]Departemen
Agama RI, Op. Cit., 114
[24]Imam
An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i. dalam Mausu’ah al-Hadits an-Nabawiy [CD ROM],
Islamspirit.com. hadis no.
[25]Abdul
Majid Khon. Op. Cit., h. 27
[26]Departemen
Agama RI, Op. Cit., h. 83
[27]M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Cet. Ke-11:
Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 177
[28]M.
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut
Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Cet.I: Jakarta: Gema Insani Press,
1995), h. 14
[29]Ma’luf:
Al Munjid Fi Lugah wal I’lam (Cet.
38: 2000), h. 836
[30]Abdul
Majid Khon, Op. Cit., h. 28
[35]Muh.
Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis dan
Metodologis (Cet.II: Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), h. 18-19
[36]M.
Syuhudi Ismail, Op. Cit., h. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar