Daftar Pustaka

Sabtu, 13 Oktober 2012

Tokoh Kontemporer Hadits (Syek Nashiruddin Al-Bani)



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Islam adalah agama wahyu yang menyatakan dirinya sebagai rahmatan lil alamin, dan ajarannya shālih li kulli zamān wa makān. Agama ini, didakwahkan oleh Nabi saw sebagai rasul Allah yang termulia. Agama Islam dalam sejarah perjalaannya, sudah berusia kurang lebih empat belas abad. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu, Islam telah dipahami oleh penganutnya yang memiliki latar belakang sosial, kultural, politik, pendidikan, kecenderungan, kecerdasan, disiplin, aliran dan sebagainya yang berbeda-beda. Berbagai keragaman latar belakang yang dimiliki para penganutnya, pada gilirannya melahirkan pakar-pakar Islam dalam berbagai bidang. Para pakar itu, ada yang memiliki reputasi berskala lokal untuk daerahnya, nasional untuk negaranya, dan internasional untuk berbagai bangsa.
Dalam pada itu, Islam aktual antara lain disebabkan tampilnya pakar-pakar dari dalam dunia Islam itu sendiri yang tersebar berbagai penjuru dunia,dari luar Indonesia Al-Albani misalnya. termasuk di Indonesia, dan salah satu pakar Islam kenamaan di negara ini adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (selanjutnya cukup disebut Hasbi).
1
 
Hasbi adalah seorang ulama besar dan pemikir yang memiliki kredibilitas tinggi, serta kapasitas intelektualnya diakui oleh dunia internasional. Ia ahli dan  pakar dalam berbagai bidang ilmu keislaman terutama dalam bidang tafsir, hadis, dan fikih.
Howard M. Federspiel menyatakan bahwa Hasbi adalah seorang ilmuwan pertama yang terkenal di IAIN pada tahun 1950 dan tahun 1960-an. Banyak hasil karyanya yang berhubungan dengan penjelasan tentang ilmu- Alquran dan hadis, serta hukum Islam (fikih).[1] Jadi, dapat dipahami bahwa Hasbi telah memiliki jasa yang sangat besar terhadap dunia ilmu-ilmu keislaman terutama dalam ketiga bidang tersebut.
Mengkaji seorang tokoh seperti Hasbi yang dikenal sebagai pakar dalam berbagai bidang, tentu memiliki arti penting dan siginifikan. Lebih menarik lagi bila kepakaran Hasbi tersebut dapat disoroti melalui takaran yang akurat. Sehingga akan dapat dilihat di sisi mana ia menonjol, apakah ia menonjol dalam bidang tafsir, hadis, atau fikih.

B.     Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang diatas, maka penulis merumuskan beberapa masalah dalam pembahasan ini, sebagai berikut:
1.      Bagaimana profil Muhamad Nashirudin al-Albani, buku dan metodologinya?
2.      Bagaimana profil Hasbi ash-Shidiqy, karya-karyanya serta pemikiranya?









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Profil Nasiruddin Al-Albani
1.      Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh bin adam Najati, nama julukanya “al-Albani” disandarkan kepada negeri kelahiranya Albania[2]nama kunyahnya adalah abu Abdirahman.[3]
Al-Bani dilahirkan pada tahun 1333 H bertepatan pada tahun(1914 M) di kota Ashqodar (Asyqudarah/Shkodra), ibu kota lama repbublik Albania. Ia tumbuh dan berkembang  di tengah keluarga  miskin yang jauh dari kekayaan, akan tetapi terkenal akan  ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama).[1] Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul).setelah al-albani menyelesaikan studinya ia kembali ketanah kelahiranya al-Albania untuk mendedikasikan ilmunya untuk agama dan tanah airnya.[4]
  Ia wafat pada hari Jumat malam, 21 Jumada Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999, di Yordania.
2.      Karir Akademik, guru-guru dan muridnya
Ketika Raja Ahmet Zogu naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Ia sekeluarga pun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari Bahasa Arab. Ia masuk madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh ulama. Ia mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, selain mempelajari pula sebagian fiqih madzhab, yakni madzhab Hanafi, dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari ketrampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga ia menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencariannya.
Pada umur dua puluh tahun, al-Albani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali. Kegiatan Syeikh Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit."[5]
Namun, Syeikh al-Albani justru semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan azh-Zhahiriyah di sana (Damaskus), di samping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena sibuknya, ia sampai-sampai menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu sholat zhuhur, ia justru pulang setelah sholat isya’. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Disamping itu beliau juga rutin memberikan ceramah dan kajian- kajian keislaman baik dalam masalah aqidah, fiqh maupun hadits, hingga kemudian beliau diminta oleh pihak Jami’ah Islamiyah madinah untuk mengajar dikampus tersebut, setelah kurang lebih tiga tahun beliau pindah ke yordania yang tidak lama kemudian beliau balik lagi ke madinah.
Walaupun banyak yang kagum kepadanya bukan berarti tidak ada aral melingtang dihadapanya, dari kritikan sampai harus tinggal didalam jeruji besi telah beliau alami bahkan hingga berulang dua kali beliau harus tinggal dibui , akan tetapi hal itu tidak membuat beliau surut dalam menegakkan kebenaran.[6]
Adapun diantara guru-guru beliau adalah sebagai berikut:
a.       Syaikhnya yang pertama adalah ayahnya, al-Haj Nuh al-Najati, yang telah menyelesaikan belajar Syariah di Istanbul dan kembali ke Albania sebagai seorang ulama Hanafiyah. Dibawah bimbingan ayahnya inilah al-Albani belajar qur’an, tajwid dan Bahasa Arab, dan juga fiqh Hanafiyah.
b.      Kemudian belajar Fiqh Hanafiyyah lebih lanjut dan Bahasa Arab dari Syaikh Sa’id al-Burhani.
c.       Al-Albani memiliki ijazah hadits dari allamah syaikh Muhamad Raghib at-Tabagh yang kepadanya beliau mempelajari ilmu hadits, dan mendapatkan hak untuk menyampaikan hadits darinya.
d.      Al-Albani memiliki ijazah tingkat lanjut dari Syaikh Bahjatu al-Baytar ( ijazah serupa juga dimiliki murid Syaikh al-Albani, yaitu Syaikh Ali Hasan Al-Halabi)
e.       Al-Albani juga mengikuti pelajaran dari Imam Abdul Fattah dan Syaikh Taufiq al-Barzah.[7]
Adapun tentang Murid-Murid beliau sangatlah banyak, penulis hanya akan menyebutkan beberapa muridnya, diant ranya: Syaikh Hamdi ibn Abdul Majid ibn Ismail al-Salafy, Syaikh Abdur Rahman ‘Abdul Khaliq, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, Ustadz Khoirun Wa’il, Syaikh Muhammad ‘id Abbasy, Syaikh Muhammad Ibrahim Syakrah, Syaikh Abdur Rahman Shamad, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I, Syaikh Zuhair Syawisy, Syaikh ‘Ali Hasan Syawisy, Syaikh Muhammad jamil Zainu, Syaikh Abdur Rahman al-Albani, Syaikh Ali Hasan.[8]
3.      Kitab- kitab karya al-Albani
Kesungguhan Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani selama kurang lebih enam puluh tahun dalam menekuni ilmu hadits dan ilmu ke-islaman lainya telah membuahkan karya-karya besar dan monumental, dalam bidang aqidah, fiqih, manhaj dan lainya. Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul.[9] Adapun karya-karyanya yang sudah dicetak antara lain
a.       Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
b.      Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
c.       Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
d.      Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah
e.       At-Tawasul wa anwa’uhu
f.       Ahkam Al-Jana’iz wabida’uha
Adapun untuk karyanya yang belum dicetak anyaralain :
a.       Al-Ayatu wa al-Haditsu fi Dzami al-Bid’ah
b.      Ahadits al-Isra’ wa Al-Mi’raj
c.       Ahadits at-Tahari wa al-Bina’ ‘ala al-Yakin fi al-Salat
d.      Ahkam al-Rikaz
e.       Al-Hadits al-Maudhuah fi Umahat al-Kutub al-Fiqghiyah
Adapun karya beliau yang hilang adalah Mukhtashar Shahih Muslim
Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawabanjawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat. Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami’ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj Salafush Shalih (sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.[10]

B.     Profil Kitab Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah.
1.      Identifikasi Kitab.
Kitab karya Syaikh Nashirudin al-Albani yang akan dibahas ini berjudul Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah.buku ini cetakan kedua diterbitkan oleh Maktabah Dar al-Ma’arif li Nasyri’ wa Tauzi’ tahun 1420/ 2000 sebanyak lima jilid. Walaupun kitab ini juga diterbitkan oleh al-maktab al-islamy damaskus dan Maktabah al-Ma’arif Riyadh.adapun untuk rincian tentang Bab-Bab bisa dilihat langsung pada buku tersebut.[11]
2.      Manhaj Nashirudin al-Albani dalam kitab Silsilahnya.
a.       Latar Belakang Penulisan Kitab.
Adapun yang mendorong al-Albani untuk meneliti hadits dan konsentrasi didalamnya berawal dari ketertarikanya pada tulisan Sayyid Rasyid Ridha yang dimuat dalam majalah al-Manar yang membahas tentang Kitab Ihya’ Ulumuddin serta memberikan kritikan didalamnya. Baik dari sisi tasawuf ataupun tentang hadits-hadits dhaif.[12] Tidak ketinggalan juga buku yang sama membahas tentang kitab Ihya’ yang berjudul al-Mugni ‘an Hamli Asfar fi Takhrij ma lil Ihya’ minal Akhbar karya Abu Fadl Zainuddin al-Iroqi.
b.      Sumber-sumber Tulisan
Adapun beberapa sumber tulisan yang sangat berperan dalam penyusunan kita al-Albani sebagaimana yang dituliskan dalam muqodimahnya[13] yaitu:
1)      Kitab al-Maqosid al-Hasanat fi Bayan Katsir min Hadits al-Musyatharat ‘ala al-Sinah karya al-Sakhawy
2)      Kitab Nasb al-Rayyah li Ahadits al-Hidayyah karya al-Hafidz al-Zaila’iy
3)      Kitab al-Mugni ‘an Hamli Asfar fi Takhrij ma lil Ihya’ minal Akhbar karya Abu Fadl Zainuddin al-Iroqi.
4)      Kitab al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’ al-Kabir karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani.
5)      Kitab Takhrij Ahadits al-Kasyaf, dan Takhrij  Ahadits al-Syifa’ karya al-Suyuti.
c.       Sistematika Penulisan.
Dengan mencermati judul buku al-Albani yang berjudul  Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah,maka dapat dilihat bahwa sitematika pembahasanya mencakup dua pokok, yakni hadits- hadits dhoif (lemah) dan hadits-hadits Maudhu’ (palsu).
Adapun sistematika penulisan kitab Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah, adalah sebagai berikut:
1)      Tidak menggunakan metode abjat sesuai urutan abjat, tetapi ditulis apa adanya sesuai apa yang dianggap perlu.
2)      Penyusunan hanya didasarkan pada nomor urut hadits.
3)      Dalam penulisan bab juga tidak mengikuti sistematika Bab.
4)      Menuliskan matan hadits tampa menyebutkan rentetan sanadnya.
5)      Mentakhrij hadits dan menjelaskan sumber hadits tersebut.
6)      Menyebutkan satu hadits, kemudian menjelaskan kedhaifanya atau kemaudhuanya dan menghukumi hadits tersebut. Misalnya hadits ini dhaif atau hadits ini maudhu’.
7)      Menyebutkan periwayat yang bermasalah, dan menjelaskan sebab-sebab kedhaifan/ kemaudhuanya berdasarkan pemahaman kririkus hadits, serta memberikan keputusan pada periwayat tersebut.
8)      Beliau juga mengangkat dua hadits yang derajatnya lemah menjadi shahihkarena ada factor yang dapat menguatkanya.[14]
C.    T. M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
1.      Riwayat Hidup dan Karyanya
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10 Maret 1904,[15] dan wafat pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta dan dimakamkan di Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan.[16]
Ibunya bernama Tengku Amrah, puteri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi. Ayahnya bernama al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad Su’ud yang menduduki jabatan Qadhi Chik setelah mertuanya wafat. Tengku Muhammad Husen berasal dari anggota rumpun Tengku Chik di Simeuluk Samalanga, yang garis keturunannya sampai pada Ab­ Bakr al-Shidd³q.[17]
Pada usia delapan tahun, Hasbi telah khatam Alquran. Satu tahun berikutnya, ia belajar qir±’ah, tajw³d, dasar-dasar tafsir dan fikih pada ayahnya sendiri. Kontrolir Lhokseumawe meminta kepada ayah Hasbi agar Hasbi dimasukkan ke sekolah gubernuran, tetapi ditolaknya, sebab khawatir anaknya akan dipengaruhi pikiran Nasrani. Sebagaimana halnya ia menolak Hasbi dicacar, karena takut dimasukkan air kafir, dan Hasbi baru dicacar setelah ia dewasa.[18]
Ayah Hasbi menganjurkannya agar menjadi ulama, karena itu Hasbi dikirim belajar dari dayah satu kedayah yang lain  Selama delapan tahun (1912-1920), sampai akhirnya beliau memperoleh Syhadah untuk mendirikan dayah sendiri. Walaupun selanjutnya beliau harus meninggalkan kota kelahiranya dengan tujuan Surabaya untuk memperdalam ilmu bahasa di al-Irsyad.[19]
Dalam aktifitas sosial kemasyarakatan, Hasbi berjuang melalui bidang pendidikan, organisasi, dan tulisan. Di bidang pendidikan, ia berkiprah mulai dari guru Ibtidaiyah sampai menjadi guru besar.[20] Beliau juga senantiasa berpesan agar setiap guru dapat meningkatkan mutu pendidikan.[21] Selanjutnya, sejak tahun 1951 sampai wafatnya (1975), ia menetap dan mengabdi pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pada tahun 1339/1920, Hasbi memulai aktivitas organisasi, yaitu dengan bergabung dalam pergerakan Islam Menjadi Satoe yang didirikan oleh Syaikh al-Kal±liy di Lhokseumawe. Pada tahun 1350/1931, ia mendirikan cabang Jong Islamieten Bond di Lhokseumawe. Pada tahun 1352/1933, ia menjadi pengurus organisasi Nadil Islahil Islami (Kelompok Pembaruan Islam) dan merangkap wakil redaktur Soeara Atjeh. Pada tahun 1357/1938-1362/1943, ia menjabat Ketua Cabang Muhammadiyah Kutaraja. Selanjutnya, pada tahun 1362/1943-1365/1946, ia menjabat Konsul (Ketua Wilayah) Muhammadiyah Daerah Aceh.[22]
Hasbi memulai aktivitas menulis sejak tahun 1930. Tulisan yang pertama diterbitkan berjudul Penoetoep Moeloet dan yang terakhir Pedoman Haji (1975). Dalam bidang tafsir, Hasbi dapat dilihat melalui karyanya, antara lain Tasīr al-Nūr dan Tafsīr al-Bayān, serta berbagai ilmu tafsir (‘ulūm al-Qur’ān). Dalam bidang hadis, antara lain ; 2002 Mutiara Hadis, dan berbagai ilmu hadis (‘ulūm al-hadīś). Dalam bidang fikih, antara lain ; Pedoman Shalat, Hukum-hukum Fiqh islam, Kuliah Ibadah dan buku-buku ushul fikih lainnya, dimana karya-karnya beliau dalam ketiga bidang tersebut, banyak beredar di masyarakat luas dewasa ini.
Seluruh karya tulisnya terdiri atas tujuh puluh tiga judul buku dan lebih dari empat puluh sembilan artikel. Ketujuh puluh tiga judul buku tersebut yaitu 6 tafsir, 8 hadits, 36 fikih, 5 tauhid/kalam, dan 17 pemikiran Islam umum.[23]
Dari jumlah tulisan dan pembidangan ilmu seperti dikemukakan si atas, dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan Hasbi hampir mencakup seluruh disiplin ilmu keislaman tradisional, dengan kecenderungan lebih besar dalam bidang fikih (hukum Islam).
2.      Gagasan Pembaruan Pemikiran
Instrumen yang dipergunakan oleh generasi-generasi muslim di masa lampau, sehingga teladan Nabi dapat kian berkembang menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia, adalah aktifitas pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab. Pemikiran rasional yang disebut ra’y atau “pemikiran yang dipertimbangkan sendiri” ini menghasilkan banyak sekali ide-ide di bidang hukum, religius dan moral pada kira-kira abad pertama dan penggal pertama abad kedua Hijriah.[24]
Kurun waktu tersebut merupakan masa umat Islam yang paling produktif sepanjang sejarahnya, yang juga disebut periode klasik, hingga paruh kedua abad ke-20 masih merupakan sesuatu yang krusial untuk dihidupkan kembali. Terutama aktifitas pemikiran yang seolah terbungkam oleh anggapan umum bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan menganggap apa yang dihasilkan pada masa itu tetap relevan sepanjang zaman. Timbullah sikap fanatik dan berpegang pada salah satu mazhab secara teguh.
Hasbi yang sadar akan kenyataan itu, dan meskipun sejak kecil ia dididik dalam mazhab Syafi’i dari dayah yang satu ke dayah yang lain, melepaskan diri dari borgol mazhab dan berjuang mengibarkan panji-panji kaum pembaru. Gagasannya yang cukup menantang adalah mengenai fiqh yang berkepribadian Indonesia. Dalam hal ini menyangkut masalah hukum Islam yang dimaksudkan agar sesuai dengan karakter budaya masyarakat Indonesia.[25]
Hasbi mengatakan, ditilik pada sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari masa ke masa menunjukkan bahwa di setiap saat ijtihad diperlukan dan di setiap saat pula peranan mujtahid selaku pembina hukum Islam sangat besar artinya di tengah-tengah masyarakat yang selalu tumbuh dan berkembang. Tanpa keduanya, dari waktu ke waktu, hukum Islam akan membeku, tidak mampu membina masyarakat ke arah yang lebih maju.[26]
Pembaruan pemikiran tentang Islam adalah hal yang harus dikerjakan terus menerus agar tidak ketinggalan zaman. Akan tetapi Hasbi menekankan makna pembaruan bukanlah dengan meninggalkan nash. Pembaruan ialah memperbarui barang lama yang telah usang dengan mengembalikannya seperti keadaan semula. Oleh karena berlalunya masa, maka hukum Islam produk terdahulu telah dilekati kiambang dan lumut. Tugas pembaru hukum ialah menghilangkan kiambang dan lumut yang telah menutupi kemurniannya, bukan untuk merombak atau menghancurkannya.[27]
Namun pembaruan hukum Islam itu tidak dapat dilakukan jika para ulama dan umat Islam pada umumnya bersikap skeptis dan jumud. Akan tetapi, dalam bersikap progresif dan dinamis, sikap hati-hati tetap merupakan keharusan. Oleh karenanya, tidaklah semua orang dibenarkan berijtihad. Orang yang boleh berijtihad harus memiliki syarat berpribadi kokoh dan jujur serta mempunyai kecakapan dan kemampuan ilmiah tertentu, sehingga memungkinkan yang bersangkutan beristinbath menurut garis-garis yang benar dan representatif mewakili syara’.[28]
Para mujtahid selain menggali hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang belum ada penetapan hukumnya (nash), juga harus mampu membuat fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya, guna memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum di setiap waktu dan tempat. Hukum yang tidak terinci dan qath’i dibenarkan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Juga dibenarkan untuk dilakukan perubahan, penghapusan atau penggantian terhadap sesuatu hukum yang telah ditetapkan (hasil ijtihad ulama) sebelumnya, selama tidak berlawanan dengan nash yang qath’i dan tidak pula bertentangan dengan masalah yang telah diijma’i.[29]
Mengenai kasus Indonesia, Hasbi menilai bahwa keberadaan fiqh di kalangan masyarakat muslim Indonesia sudah sangat memprihatinkan, seakan lesu darah. Ibarat kitab tua yang sudah dimakan rengat, dibuang sayang tetapi tidak dapat dibaca lagi. Bagi sebagian masyarakat, fiqh dianggap sebagai barang antik yang hanya layak untuk dipajang di museum saja. Keadaan ini telah mengantarkan masyarakat Indonesia lebih suka mencari hukum lain ketimbang fiqh.[30]
Selain itu, salah satu sebab fiqh tidak mendapat sambutan di kalangan muslimin Indonesia, ialah karena ada bagian-bagian fiqh yang berdasarkan ‘Urf di Timur Tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga dalam hukum adat. Akan tetapi bagian-bagian fiqh yang terasa asing itu dipaksakan juga berlaku atas dasar taqlid.[31]
Menurut Hasbi, agar fiqh mendapat dukungan dan memasyarakat di kalangan umat Islam Indonesia, maka dalam mengkaji fiqh para ulama harus suka mencari pendapat yang lebih sesuai dengan watak dan tabiat bangsa Indonesia dan cocok dengan alam pikiran masa kini. Untuk itu, ia mengemukakan tiga alasan yang menjadi dasar pemikirannya tentang mungkinnya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia.
Pertama, Hasbi meluruskan pemahaman mengenai syari’at dan fiqh. Syari’at adalah hukum in abstrakto, bersifat universal dan abadi, sedangkan fiqh adalah hukum in concreto yang bersifat lokal dan bisa mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Kedua, bahwa watak hukum Islam (fiqh) adalah dinamis dan kenyal. Fiqh yang benar adalah fiqh yang dapat menampung segala perubahan dan tasyri’ Islami diatur dengan cara yang begitu rupa sehingga ia sanggup memenuhi kehendak zaman. Di samping itu, hukum baru bisa berjalan dengan baik jika sesuai dengan rasa kesadaran hukum dari masyarakat pendukung hukum itu. Ketiga, sejalan dengan keragaman masyarakat yang masing-masing terus bergerak dan berubah, maka iradah manusia pun tidak pula statis dan monoton. Karena itu ijtihad harus selalu dilakukan tanpa henti. Ijtihad adalah tiang utama dalam pembinaan hukum Islam. Karena itu, menjadi satu kewajiban bagi ulama (pewaris Nabi), selalu melakukan ijtihad demi pembaruan dan pembinaan hukum Islam. Jika ijtihad[32] tidak dilakukan, maka hukum menjadi tertinggal, sedangkan masyarakat terus melaju berkembang. Akibatnya, banyak peristiwa hukum yang tidak tertampung dalam fiqh.[33] Hal itu berarti fiqh akan ditinggalkan umat Islam Indonesia. Dengan ijtihad, menjamin syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan bangsa, berlaku untuk segala zaman dan tempat.
Hasbi berkeyakinan bahwa, jika fiqh yang berkepribadian Indonesia terwujud, bukan saja akan menghilangkan sikap mendua hati dalam menerima fiqh sebagi alat pemutus hukum di kalangan umat Islam Indonesia, tetapi juga memberikan kontribusi bagi pembinaan hukum nasional Indonesia.
Sebagai mujtahid, Hasbi banyak mengeluarkan pendapatnya dalam bidang hukum. Contohnya, dapat dikemukakan antara lain, mengenai Musabaqah Tilawatil Qur’an, jabat tangan antara laki-laki dan perempuan dan shalat Jum’at...[34]
Dalam masalah-masalah ini, Hasbi berbeda dengan rekan-rekannya sesama kaum pembaru. Tentang melombakan ayat-ayat al-Qur’an dengan berlagu, dengan maksud-maksud duniawi dan maddi, adalah bid’ah idlafiyah. Alasannya, bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan hal itu, walaupun ada sejumlah sahabat yang memiliki suara merdu. Karena tidak ingin mengulangi kebiasaan Arab sebelum Islam yang melombakan syair-syair yang mereka buat di pasar ‘Ukas. Di samping itu, memperlombakan ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak efek negatif dari pada efek positif, terutama di kalangan peserta (qari’, qari’ah, daerah) dan pihak pelaksana.
Mengenai jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan yang diharamkan berdasar fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah ditolak oleh Hasbi. Alasannya karena, fatwa itu didasarkan atas qiyas. Menurut Hasbi, mengharamkan sesuatu harus berdasar dalil nash yang qath’i, tidak boleh dengan qiyas. Sedangkan nash yang qath’i (al-Qur’an dan Hadits) yang mengharamkan jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan tidak ada. Mengqiyaskan jabat tangan dengan pandang memandang adalah tidak tepat. Karena itu hukum haram yang dijatuhkan bagi jabat tangan antara laki-laki dan perempuan tidak didukung oleh dalil yang pasti.
Dalam hal sholat Jum’at, Hasbi mengatakan, pada hari Jum’at tidak ada shalat Dhuhur empat rakaat karena sudah diganti oleh shalat Jum’at dua rakaat. Karena itu, orang yang tidak mengikuti jamaah Jum’at, baik seluruh atau sebagiannya, atau orang yang berhalangan berjama’ah di masjid karena sakit atau sebab lain, demikian juga perempuan yang tidak hadir berjamaa’ah di masjid harus bersembahyang Jum’at baik bersama-sama atau sendiri-sendiri. Tidak boleh sembahyang Dhuhur pada siang hari Jum’at. Berjama’ah dan khutbah bukan rukun atau syarat sahnya shalat Jum’at.[35]
Jadi kewajiban Jum’at bersifat individu, yang dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah. Karena itu, berjama’ah dan khutbah bukanlah merupakan rukun Jum’at.
Dari pemikiran- pemikar inilah sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa hasbi pakar dalam bidang Hukum Islam, walaupun banyak juga yang mengatakan bahwa hasbi juga pakar dalam bidang tafsir, hadits juga ilmu kalam.[36] walaupun bila ditinjau dari akademis dia lebih pakar dalam bidang houum akan tetapi juga tidak bias dinafikan akan kedalaman ilmunya pada bidang lain misalnya ilmu tafsir dan Hadits .



BAB III
KESIMPULAN

1.      Al-Albani bernama lengkap Muhamad Nashirudin bin Nuh bin Adam Najati, Al-Albani adalah nama julukanya yang disandarkan pada tanah kelahiranya, beliau dilahirkan dikota Asy Qudarah tahun 1914 M, al-Albani mempunyai banyak guru dan yang paling pertama dan paling berperan terhadap dirinya adalah ayahnya yang juga sekaligus gurunya.begitu pula beliau mempunyai banyak murid diantaranya Syaikh Muqbil bin Hadial-Wad’I, al-Albani juga mempunyai banyak karya ilmiyah diantaran ya kitab Silisilah al-Ahadits ash Shahihah dan Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah, yang dalam bukunya albani menyebutkan tentang latar belakang penyusunan kitab tersebut, sumber-sumber tulisan, dan sistematika penulisanya. Al-Albani meninggal pada hari jum’at malam sabtu tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
2.      T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10 Maret 1904, dan wafat pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta dan dimakamkan di Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan. Hasbi mempunyai banyak karya tulis diantaranya Penoetoep Moeloet para ilmuan berbeda pendapat tentang kepakaran al-Hasbi apakah bidang Fiqh atau Hadits walaupun bila ditinjau dari akademis dia lebih pakar dalam bidang hokum akan tetapi juga tidak bias dinafikan akan kedalaman ilmunya pada bidang lain misalnya ilmu tafsir dan Hadits. Dengan gagasannya mengenai perlu dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia, menunjukkan bahwa bagi Hasbi, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Gagasan ini, mulai menyentak kebekuan berpikir dan sikap taqlid di kalangan umat Islam Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Albani, Muhammad  Nashirudin.  Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah. Jil I, II, III, IV, V ( Cet. II, Riyadh; Maktabah al-Ma’arif li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000)

Ash-Shiddieqy,  Muhammad Hasbi. , Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan oleh Para Pembina Hukum Islam, Pidato Promotor, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Oktober 1975.

Ash-Shiddieqy,  Muhammad Hasbi.  Beberapa Permasalahan Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1975)

Ash-Shiddieqy,  Muhammad Hasbi.  Pengantar Hukum Islam, (Edisi II, Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997)

Ash-Shiddieqy,  Muhammad Hasbi.  Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi.  Pedoman Shalat (Edisi II, Cet. II; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000)

Al-Qoryuti, Ashim Abdurrahman.  Tarjamah Mujazah li fadhilah al-Muhadits as-Syaikh Abi ‘Abdurahman Muhammad Nashirudin al-Albani wa adhwa’u ala hayatihi al-Ilmiyyah, (Jeddah: Dar al-Madani, t.th)

Bamuallim,  Mubarak BM. Biografi Syaikh al-Albani Mujadid dan ahli Hadits abad ini (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2003)

Federspiel, Howard M. Popular Indonesian Literature of The Qur'an, diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan judul: Kajian Al-Quran di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996)

Rahman,  Fazlur.  Islamic Methodology and History, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin dengan judul “Membuka Pintu Ijtihad” (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1995)

Shiddiqi, Nourouzzaman.  Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)


 
Shiddiqi, Nourouzzaman.  Jeram-jeram Peradaban Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)

Syaibani, Muhammad Ibrahim .  Hayatu al-Albani wa Atsaruha wa Tsanau al-Ulama alaihi, juz I, (Cet. I; t.tp: Maktabah al-Sadawwi, 1997)
                                  
           




















Revisi   Makalah


TOKOH-TOKOH HADITS KONTEMPORER


Dipresentasikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Semester I tahun 2009/2010


Oleh :
YAHYA KOMARUDIN
NIM    80100209137

DOSEN PEMANDU :
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M. Ag
Dr. H. Rosmaniah Hamid



PROGRAM  PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN) ALAUDIN
MAKASSAR 2010


[1]Lihat Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of The Qur'an, diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan judul: Kajian Al-Quran di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h. 104. 
[2] Albania adalah salah satu negeri Balkan yang terletak dieropa.

[3] Mubarak BM.Bamuallim, Biografi Syaikh al-Albani Mujadid dan ahli Hadits abad ini (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2003), h. 13

[4] Ashim Abdurrahman al-Qoryuti, Tarjamah Mujazah li fadhilah al-Muhadits as-Syaikh Abi ‘Abdurahman Muhammad Nashirudin al-Albani wa adhwa’u ala hayatihi al-Ilmiyyah, (Jeddah: Dar al-Madani, t.th), h. 3
[5] Ibid, h. 5
[6] Mubarak BM.Bamuallim, op. cit. h. 13
[7] Lihat Muhammad Ibrahim Syaibani, Hayatu al-Albani wa Atsaruha wa Tsanau al-Ulama alaihi, juz I, (Cet. I; t.tp: Maktabah al-Sadawwi, 1997), h. 65-66

[8] Ibid, h. 94-105

[9] Lihat Umar Abu Bakar, op. cit, h. 123-136.
[10] Ibid
[11] Lihat Muhammad  Nashirudin al-Albani, Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah. Jil I, II, III, IV, V ( Cet. II; Riyadh; Maktabah al-Ma’arif li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000)

[12] Mubarak Bamuallim, op. cit. h. 170

[13] Lihat Muhammad  Nashirudin al-Albani, op. cit. h. 48
[14] Lihat Ibid, h. 5-6

[15]Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),  h.  3.

[16]Lihat ibid., h. 60-61.

[17]Lihat ibid., h. 3 dan 7.

[18]Lihat ibid., h. 13.
[19]Lihat, ibid., h. 15-16.

[20]Jabatan guru besar diperoleh pada tahun 1960 dengan pidato pengukuhan berjudul “Syareat Islam Menjawab Tantangan Zaman”. Lihat ibid., h. 28. Pada tahun 1975, ia mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lihat ibid., h. 16.

[21]Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 219-220.

[22] Lihat ibid.,  h.  220.

[23]Lihat, Nourouzzaman, Jeram, loc. cit.. Selengkapnya, lihat pula Nourouzzaman, Fiqh, op. cit., h.  265-281.

[24]Fazlur Rahman, Islamic Methodology and History, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin dengan judul “Membuka Pintu Ijtihad” (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1995), h. 20.
[25]Orang pertama yang melontarkan gagasan ini ialah Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy pada tahun 1940, lihat, Nourouzzaman, Peran…, op. cit., h. 234.

[26]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan oleh Para Pembina Hukum Islam, Pidato Promotor, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Oktober 1975.

[27]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Beberapa Permasalahan Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1975), h. 38.

[28]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Yang…, loc. cit.; mengenai syarat-syarat ijtihad dan mujtahid, lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Edisi II, Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 95-103.

[29]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
[30]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariat Islam…, op. cit., h. 11.                                        

[31]Lihat, ibid., h. 42-43.
[32]Ijtihad yang dianjurkan Hasbi ialah ijtihad kolektif, bukan perorangan, hal itu akan menghasilkan pendapat yang lebih benar dan menghindari pertengkaran baru, ibid., h. 243.

[33]Lihat, Nourouzzaman Shiddiqy, Jeram…, op. cit., h. 235-243.

[34]Lihat, Nourouzzaman, Fiqh…, op. cit., h. 171-211.
[35]Selengkapnya, lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Edisi II, Cet. II; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 389-403.

[36] Lihat Abdul Azis Dahlan, op. cit., h. 530

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Islam adalah agama wahyu yang menyatakan dirinya sebagai rahmatan lil alamin, dan ajarannya shālih li kulli zamān wa makān. Agama ini, didakwahkan oleh Nabi saw sebagai rasul Allah yang termulia. Agama Islam dalam sejarah perjalaannya, sudah berusia kurang lebih empat belas abad. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu, Islam telah dipahami oleh penganutnya yang memiliki latar belakang sosial, kultural, politik, pendidikan, kecenderungan, kecerdasan, disiplin, aliran dan sebagainya yang berbeda-beda. Berbagai keragaman latar belakang yang dimiliki para penganutnya, pada gilirannya melahirkan pakar-pakar Islam dalam berbagai bidang. Para pakar itu, ada yang memiliki reputasi berskala lokal untuk daerahnya, nasional untuk negaranya, dan internasional untuk berbagai bangsa.
Dalam pada itu, Islam aktual antara lain disebabkan tampilnya pakar-pakar dari dalam dunia Islam itu sendiri yang tersebar berbagai penjuru dunia,dari luar Indonesia Al-Albani misalnya. termasuk di Indonesia, dan salah satu pakar Islam kenamaan di negara ini adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (selanjutnya cukup disebut Hasbi).
1
 
Hasbi adalah seorang ulama besar dan pemikir yang memiliki kredibilitas tinggi, serta kapasitas intelektualnya diakui oleh dunia internasional. Ia ahli dan  pakar dalam berbagai bidang ilmu keislaman terutama dalam bidang tafsir, hadis, dan fikih.
Howard M. Federspiel menyatakan bahwa Hasbi adalah seorang ilmuwan pertama yang terkenal di IAIN pada tahun 1950 dan tahun 1960-an. Banyak hasil karyanya yang berhubungan dengan penjelasan tentang ilmu- Alquran dan hadis, serta hukum Islam (fikih).[1] Jadi, dapat dipahami bahwa Hasbi telah memiliki jasa yang sangat besar terhadap dunia ilmu-ilmu keislaman terutama dalam ketiga bidang tersebut.
Mengkaji seorang tokoh seperti Hasbi yang dikenal sebagai pakar dalam berbagai bidang, tentu memiliki arti penting dan siginifikan. Lebih menarik lagi bila kepakaran Hasbi tersebut dapat disoroti melalui takaran yang akurat. Sehingga akan dapat dilihat di sisi mana ia menonjol, apakah ia menonjol dalam bidang tafsir, hadis, atau fikih.

B.     Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang diatas, maka penulis merumuskan beberapa masalah dalam pembahasan ini, sebagai berikut:
1.      Bagaimana profil Muhamad Nashirudin al-Albani, buku dan metodologinya?
2.      Bagaimana profil Hasbi ash-Shidiqy, karya-karyanya serta pemikiranya?









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Profil Nasiruddin Al-Albani
1.      Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh bin adam Najati, nama julukanya “al-Albani” disandarkan kepada negeri kelahiranya Albania[2]nama kunyahnya adalah abu Abdirahman.[3]
Al-Bani dilahirkan pada tahun 1333 H bertepatan pada tahun(1914 M) di kota Ashqodar (Asyqudarah/Shkodra), ibu kota lama repbublik Albania. Ia tumbuh dan berkembang  di tengah keluarga  miskin yang jauh dari kekayaan, akan tetapi terkenal akan  ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama dan ahli ilmu (ulama).[1] Ayah al-Albani, yaitu al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul).setelah al-albani menyelesaikan studinya ia kembali ketanah kelahiranya al-Albania untuk mendedikasikan ilmunya untuk agama dan tanah airnya.[4]
  Ia wafat pada hari Jumat malam, 21 Jumada Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999, di Yordania.
2.      Karir Akademik, guru-guru dan muridnya
Ketika Raja Ahmet Zogu naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Ia sekeluarga pun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari Bahasa Arab. Ia masuk madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh ulama. Ia mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, selain mempelajari pula sebagian fiqih madzhab, yakni madzhab Hanafi, dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari ketrampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga ia menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencariannya.
Pada umur dua puluh tahun, al-Albani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali. Kegiatan Syeikh Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit."[5]
Namun, Syeikh al-Albani justru semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan azh-Zhahiriyah di sana (Damaskus), di samping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena sibuknya, ia sampai-sampai menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu sholat zhuhur, ia justru pulang setelah sholat isya’. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Disamping itu beliau juga rutin memberikan ceramah dan kajian- kajian keislaman baik dalam masalah aqidah, fiqh maupun hadits, hingga kemudian beliau diminta oleh pihak Jami’ah Islamiyah madinah untuk mengajar dikampus tersebut, setelah kurang lebih tiga tahun beliau pindah ke yordania yang tidak lama kemudian beliau balik lagi ke madinah.
Walaupun banyak yang kagum kepadanya bukan berarti tidak ada aral melingtang dihadapanya, dari kritikan sampai harus tinggal didalam jeruji besi telah beliau alami bahkan hingga berulang dua kali beliau harus tinggal dibui , akan tetapi hal itu tidak membuat beliau surut dalam menegakkan kebenaran.[6]
Adapun diantara guru-guru beliau adalah sebagai berikut:
a.       Syaikhnya yang pertama adalah ayahnya, al-Haj Nuh al-Najati, yang telah menyelesaikan belajar Syariah di Istanbul dan kembali ke Albania sebagai seorang ulama Hanafiyah. Dibawah bimbingan ayahnya inilah al-Albani belajar qur’an, tajwid dan Bahasa Arab, dan juga fiqh Hanafiyah.
b.      Kemudian belajar Fiqh Hanafiyyah lebih lanjut dan Bahasa Arab dari Syaikh Sa’id al-Burhani.
c.       Al-Albani memiliki ijazah hadits dari allamah syaikh Muhamad Raghib at-Tabagh yang kepadanya beliau mempelajari ilmu hadits, dan mendapatkan hak untuk menyampaikan hadits darinya.
d.      Al-Albani memiliki ijazah tingkat lanjut dari Syaikh Bahjatu al-Baytar ( ijazah serupa juga dimiliki murid Syaikh al-Albani, yaitu Syaikh Ali Hasan Al-Halabi)
e.       Al-Albani juga mengikuti pelajaran dari Imam Abdul Fattah dan Syaikh Taufiq al-Barzah.[7]
Adapun tentang Murid-Murid beliau sangatlah banyak, penulis hanya akan menyebutkan beberapa muridnya, diant ranya: Syaikh Hamdi ibn Abdul Majid ibn Ismail al-Salafy, Syaikh Abdur Rahman ‘Abdul Khaliq, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, Ustadz Khoirun Wa’il, Syaikh Muhammad ‘id Abbasy, Syaikh Muhammad Ibrahim Syakrah, Syaikh Abdur Rahman Shamad, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I, Syaikh Zuhair Syawisy, Syaikh ‘Ali Hasan Syawisy, Syaikh Muhammad jamil Zainu, Syaikh Abdur Rahman al-Albani, Syaikh Ali Hasan.[8]
3.      Kitab- kitab karya al-Albani
Kesungguhan Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani selama kurang lebih enam puluh tahun dalam menekuni ilmu hadits dan ilmu ke-islaman lainya telah membuahkan karya-karya besar dan monumental, dalam bidang aqidah, fiqih, manhaj dan lainya. Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul.[9] Adapun karya-karyanya yang sudah dicetak antara lain
a.       Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
b.      Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
c.       Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
d.      Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah
e.       At-Tawasul wa anwa’uhu
f.       Ahkam Al-Jana’iz wabida’uha
Adapun untuk karyanya yang belum dicetak anyaralain :
a.       Al-Ayatu wa al-Haditsu fi Dzami al-Bid’ah
b.      Ahadits al-Isra’ wa Al-Mi’raj
c.       Ahadits at-Tahari wa al-Bina’ ‘ala al-Yakin fi al-Salat
d.      Ahkam al-Rikaz
e.       Al-Hadits al-Maudhuah fi Umahat al-Kutub al-Fiqghiyah
Adapun karya beliau yang hilang adalah Mukhtashar Shahih Muslim
Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawabanjawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat. Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami’ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj Salafush Shalih (sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.[10]

B.     Profil Kitab Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah.
1.      Identifikasi Kitab.
Kitab karya Syaikh Nashirudin al-Albani yang akan dibahas ini berjudul Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah.buku ini cetakan kedua diterbitkan oleh Maktabah Dar al-Ma’arif li Nasyri’ wa Tauzi’ tahun 1420/ 2000 sebanyak lima jilid. Walaupun kitab ini juga diterbitkan oleh al-maktab al-islamy damaskus dan Maktabah al-Ma’arif Riyadh.adapun untuk rincian tentang Bab-Bab bisa dilihat langsung pada buku tersebut.[11]
2.      Manhaj Nashirudin al-Albani dalam kitab Silsilahnya.
a.       Latar Belakang Penulisan Kitab.
Adapun yang mendorong al-Albani untuk meneliti hadits dan konsentrasi didalamnya berawal dari ketertarikanya pada tulisan Sayyid Rasyid Ridha yang dimuat dalam majalah al-Manar yang membahas tentang Kitab Ihya’ Ulumuddin serta memberikan kritikan didalamnya. Baik dari sisi tasawuf ataupun tentang hadits-hadits dhaif.[12] Tidak ketinggalan juga buku yang sama membahas tentang kitab Ihya’ yang berjudul al-Mugni ‘an Hamli Asfar fi Takhrij ma lil Ihya’ minal Akhbar karya Abu Fadl Zainuddin al-Iroqi.
b.      Sumber-sumber Tulisan
Adapun beberapa sumber tulisan yang sangat berperan dalam penyusunan kita al-Albani sebagaimana yang dituliskan dalam muqodimahnya[13] yaitu:
1)      Kitab al-Maqosid al-Hasanat fi Bayan Katsir min Hadits al-Musyatharat ‘ala al-Sinah karya al-Sakhawy
2)      Kitab Nasb al-Rayyah li Ahadits al-Hidayyah karya al-Hafidz al-Zaila’iy
3)      Kitab al-Mugni ‘an Hamli Asfar fi Takhrij ma lil Ihya’ minal Akhbar karya Abu Fadl Zainuddin al-Iroqi.
4)      Kitab al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’ al-Kabir karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani.
5)      Kitab Takhrij Ahadits al-Kasyaf, dan Takhrij  Ahadits al-Syifa’ karya al-Suyuti.
c.       Sistematika Penulisan.
Dengan mencermati judul buku al-Albani yang berjudul  Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah,maka dapat dilihat bahwa sitematika pembahasanya mencakup dua pokok, yakni hadits- hadits dhoif (lemah) dan hadits-hadits Maudhu’ (palsu).
Adapun sistematika penulisan kitab Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah, adalah sebagai berikut:
1)      Tidak menggunakan metode abjat sesuai urutan abjat, tetapi ditulis apa adanya sesuai apa yang dianggap perlu.
2)      Penyusunan hanya didasarkan pada nomor urut hadits.
3)      Dalam penulisan bab juga tidak mengikuti sistematika Bab.
4)      Menuliskan matan hadits tampa menyebutkan rentetan sanadnya.
5)      Mentakhrij hadits dan menjelaskan sumber hadits tersebut.
6)      Menyebutkan satu hadits, kemudian menjelaskan kedhaifanya atau kemaudhuanya dan menghukumi hadits tersebut. Misalnya hadits ini dhaif atau hadits ini maudhu’.
7)      Menyebutkan periwayat yang bermasalah, dan menjelaskan sebab-sebab kedhaifan/ kemaudhuanya berdasarkan pemahaman kririkus hadits, serta memberikan keputusan pada periwayat tersebut.
8)      Beliau juga mengangkat dua hadits yang derajatnya lemah menjadi shahihkarena ada factor yang dapat menguatkanya.[14]
C.    T. M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
1.      Riwayat Hidup dan Karyanya
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10 Maret 1904,[15] dan wafat pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta dan dimakamkan di Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan.[16]
Ibunya bernama Tengku Amrah, puteri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi. Ayahnya bernama al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad Su’ud yang menduduki jabatan Qadhi Chik setelah mertuanya wafat. Tengku Muhammad Husen berasal dari anggota rumpun Tengku Chik di Simeuluk Samalanga, yang garis keturunannya sampai pada Ab­ Bakr al-Shidd³q.[17]
Pada usia delapan tahun, Hasbi telah khatam Alquran. Satu tahun berikutnya, ia belajar qir±’ah, tajw³d, dasar-dasar tafsir dan fikih pada ayahnya sendiri. Kontrolir Lhokseumawe meminta kepada ayah Hasbi agar Hasbi dimasukkan ke sekolah gubernuran, tetapi ditolaknya, sebab khawatir anaknya akan dipengaruhi pikiran Nasrani. Sebagaimana halnya ia menolak Hasbi dicacar, karena takut dimasukkan air kafir, dan Hasbi baru dicacar setelah ia dewasa.[18]
Ayah Hasbi menganjurkannya agar menjadi ulama, karena itu Hasbi dikirim belajar dari dayah satu kedayah yang lain  Selama delapan tahun (1912-1920), sampai akhirnya beliau memperoleh Syhadah untuk mendirikan dayah sendiri. Walaupun selanjutnya beliau harus meninggalkan kota kelahiranya dengan tujuan Surabaya untuk memperdalam ilmu bahasa di al-Irsyad.[19]
Dalam aktifitas sosial kemasyarakatan, Hasbi berjuang melalui bidang pendidikan, organisasi, dan tulisan. Di bidang pendidikan, ia berkiprah mulai dari guru Ibtidaiyah sampai menjadi guru besar.[20] Beliau juga senantiasa berpesan agar setiap guru dapat meningkatkan mutu pendidikan.[21] Selanjutnya, sejak tahun 1951 sampai wafatnya (1975), ia menetap dan mengabdi pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pada tahun 1339/1920, Hasbi memulai aktivitas organisasi, yaitu dengan bergabung dalam pergerakan Islam Menjadi Satoe yang didirikan oleh Syaikh al-Kal±liy di Lhokseumawe. Pada tahun 1350/1931, ia mendirikan cabang Jong Islamieten Bond di Lhokseumawe. Pada tahun 1352/1933, ia menjadi pengurus organisasi Nadil Islahil Islami (Kelompok Pembaruan Islam) dan merangkap wakil redaktur Soeara Atjeh. Pada tahun 1357/1938-1362/1943, ia menjabat Ketua Cabang Muhammadiyah Kutaraja. Selanjutnya, pada tahun 1362/1943-1365/1946, ia menjabat Konsul (Ketua Wilayah) Muhammadiyah Daerah Aceh.[22]
Hasbi memulai aktivitas menulis sejak tahun 1930. Tulisan yang pertama diterbitkan berjudul Penoetoep Moeloet dan yang terakhir Pedoman Haji (1975). Dalam bidang tafsir, Hasbi dapat dilihat melalui karyanya, antara lain Tasīr al-Nūr dan Tafsīr al-Bayān, serta berbagai ilmu tafsir (‘ulūm al-Qur’ān). Dalam bidang hadis, antara lain ; 2002 Mutiara Hadis, dan berbagai ilmu hadis (‘ulūm al-hadīś). Dalam bidang fikih, antara lain ; Pedoman Shalat, Hukum-hukum Fiqh islam, Kuliah Ibadah dan buku-buku ushul fikih lainnya, dimana karya-karnya beliau dalam ketiga bidang tersebut, banyak beredar di masyarakat luas dewasa ini.
Seluruh karya tulisnya terdiri atas tujuh puluh tiga judul buku dan lebih dari empat puluh sembilan artikel. Ketujuh puluh tiga judul buku tersebut yaitu 6 tafsir, 8 hadits, 36 fikih, 5 tauhid/kalam, dan 17 pemikiran Islam umum.[23]
Dari jumlah tulisan dan pembidangan ilmu seperti dikemukakan si atas, dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan Hasbi hampir mencakup seluruh disiplin ilmu keislaman tradisional, dengan kecenderungan lebih besar dalam bidang fikih (hukum Islam).
2.      Gagasan Pembaruan Pemikiran
Instrumen yang dipergunakan oleh generasi-generasi muslim di masa lampau, sehingga teladan Nabi dapat kian berkembang menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia, adalah aktifitas pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab. Pemikiran rasional yang disebut ra’y atau “pemikiran yang dipertimbangkan sendiri” ini menghasilkan banyak sekali ide-ide di bidang hukum, religius dan moral pada kira-kira abad pertama dan penggal pertama abad kedua Hijriah.[24]
Kurun waktu tersebut merupakan masa umat Islam yang paling produktif sepanjang sejarahnya, yang juga disebut periode klasik, hingga paruh kedua abad ke-20 masih merupakan sesuatu yang krusial untuk dihidupkan kembali. Terutama aktifitas pemikiran yang seolah terbungkam oleh anggapan umum bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan menganggap apa yang dihasilkan pada masa itu tetap relevan sepanjang zaman. Timbullah sikap fanatik dan berpegang pada salah satu mazhab secara teguh.
Hasbi yang sadar akan kenyataan itu, dan meskipun sejak kecil ia dididik dalam mazhab Syafi’i dari dayah yang satu ke dayah yang lain, melepaskan diri dari borgol mazhab dan berjuang mengibarkan panji-panji kaum pembaru. Gagasannya yang cukup menantang adalah mengenai fiqh yang berkepribadian Indonesia. Dalam hal ini menyangkut masalah hukum Islam yang dimaksudkan agar sesuai dengan karakter budaya masyarakat Indonesia.[25]
Hasbi mengatakan, ditilik pada sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari masa ke masa menunjukkan bahwa di setiap saat ijtihad diperlukan dan di setiap saat pula peranan mujtahid selaku pembina hukum Islam sangat besar artinya di tengah-tengah masyarakat yang selalu tumbuh dan berkembang. Tanpa keduanya, dari waktu ke waktu, hukum Islam akan membeku, tidak mampu membina masyarakat ke arah yang lebih maju.[26]
Pembaruan pemikiran tentang Islam adalah hal yang harus dikerjakan terus menerus agar tidak ketinggalan zaman. Akan tetapi Hasbi menekankan makna pembaruan bukanlah dengan meninggalkan nash. Pembaruan ialah memperbarui barang lama yang telah usang dengan mengembalikannya seperti keadaan semula. Oleh karena berlalunya masa, maka hukum Islam produk terdahulu telah dilekati kiambang dan lumut. Tugas pembaru hukum ialah menghilangkan kiambang dan lumut yang telah menutupi kemurniannya, bukan untuk merombak atau menghancurkannya.[27]
Namun pembaruan hukum Islam itu tidak dapat dilakukan jika para ulama dan umat Islam pada umumnya bersikap skeptis dan jumud. Akan tetapi, dalam bersikap progresif dan dinamis, sikap hati-hati tetap merupakan keharusan. Oleh karenanya, tidaklah semua orang dibenarkan berijtihad. Orang yang boleh berijtihad harus memiliki syarat berpribadi kokoh dan jujur serta mempunyai kecakapan dan kemampuan ilmiah tertentu, sehingga memungkinkan yang bersangkutan beristinbath menurut garis-garis yang benar dan representatif mewakili syara’.[28]
Para mujtahid selain menggali hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang belum ada penetapan hukumnya (nash), juga harus mampu membuat fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya, guna memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum di setiap waktu dan tempat. Hukum yang tidak terinci dan qath’i dibenarkan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Juga dibenarkan untuk dilakukan perubahan, penghapusan atau penggantian terhadap sesuatu hukum yang telah ditetapkan (hasil ijtihad ulama) sebelumnya, selama tidak berlawanan dengan nash yang qath’i dan tidak pula bertentangan dengan masalah yang telah diijma’i.[29]
Mengenai kasus Indonesia, Hasbi menilai bahwa keberadaan fiqh di kalangan masyarakat muslim Indonesia sudah sangat memprihatinkan, seakan lesu darah. Ibarat kitab tua yang sudah dimakan rengat, dibuang sayang tetapi tidak dapat dibaca lagi. Bagi sebagian masyarakat, fiqh dianggap sebagai barang antik yang hanya layak untuk dipajang di museum saja. Keadaan ini telah mengantarkan masyarakat Indonesia lebih suka mencari hukum lain ketimbang fiqh.[30]
Selain itu, salah satu sebab fiqh tidak mendapat sambutan di kalangan muslimin Indonesia, ialah karena ada bagian-bagian fiqh yang berdasarkan ‘Urf di Timur Tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga dalam hukum adat. Akan tetapi bagian-bagian fiqh yang terasa asing itu dipaksakan juga berlaku atas dasar taqlid.[31]
Menurut Hasbi, agar fiqh mendapat dukungan dan memasyarakat di kalangan umat Islam Indonesia, maka dalam mengkaji fiqh para ulama harus suka mencari pendapat yang lebih sesuai dengan watak dan tabiat bangsa Indonesia dan cocok dengan alam pikiran masa kini. Untuk itu, ia mengemukakan tiga alasan yang menjadi dasar pemikirannya tentang mungkinnya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia.
Pertama, Hasbi meluruskan pemahaman mengenai syari’at dan fiqh. Syari’at adalah hukum in abstrakto, bersifat universal dan abadi, sedangkan fiqh adalah hukum in concreto yang bersifat lokal dan bisa mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Kedua, bahwa watak hukum Islam (fiqh) adalah dinamis dan kenyal. Fiqh yang benar adalah fiqh yang dapat menampung segala perubahan dan tasyri’ Islami diatur dengan cara yang begitu rupa sehingga ia sanggup memenuhi kehendak zaman. Di samping itu, hukum baru bisa berjalan dengan baik jika sesuai dengan rasa kesadaran hukum dari masyarakat pendukung hukum itu. Ketiga, sejalan dengan keragaman masyarakat yang masing-masing terus bergerak dan berubah, maka iradah manusia pun tidak pula statis dan monoton. Karena itu ijtihad harus selalu dilakukan tanpa henti. Ijtihad adalah tiang utama dalam pembinaan hukum Islam. Karena itu, menjadi satu kewajiban bagi ulama (pewaris Nabi), selalu melakukan ijtihad demi pembaruan dan pembinaan hukum Islam. Jika ijtihad[32] tidak dilakukan, maka hukum menjadi tertinggal, sedangkan masyarakat terus melaju berkembang. Akibatnya, banyak peristiwa hukum yang tidak tertampung dalam fiqh.[33] Hal itu berarti fiqh akan ditinggalkan umat Islam Indonesia. Dengan ijtihad, menjamin syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan bangsa, berlaku untuk segala zaman dan tempat.
Hasbi berkeyakinan bahwa, jika fiqh yang berkepribadian Indonesia terwujud, bukan saja akan menghilangkan sikap mendua hati dalam menerima fiqh sebagi alat pemutus hukum di kalangan umat Islam Indonesia, tetapi juga memberikan kontribusi bagi pembinaan hukum nasional Indonesia.
Sebagai mujtahid, Hasbi banyak mengeluarkan pendapatnya dalam bidang hukum. Contohnya, dapat dikemukakan antara lain, mengenai Musabaqah Tilawatil Qur’an, jabat tangan antara laki-laki dan perempuan dan shalat Jum’at...[34]
Dalam masalah-masalah ini, Hasbi berbeda dengan rekan-rekannya sesama kaum pembaru. Tentang melombakan ayat-ayat al-Qur’an dengan berlagu, dengan maksud-maksud duniawi dan maddi, adalah bid’ah idlafiyah. Alasannya, bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan hal itu, walaupun ada sejumlah sahabat yang memiliki suara merdu. Karena tidak ingin mengulangi kebiasaan Arab sebelum Islam yang melombakan syair-syair yang mereka buat di pasar ‘Ukas. Di samping itu, memperlombakan ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak efek negatif dari pada efek positif, terutama di kalangan peserta (qari’, qari’ah, daerah) dan pihak pelaksana.
Mengenai jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan yang diharamkan berdasar fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah ditolak oleh Hasbi. Alasannya karena, fatwa itu didasarkan atas qiyas. Menurut Hasbi, mengharamkan sesuatu harus berdasar dalil nash yang qath’i, tidak boleh dengan qiyas. Sedangkan nash yang qath’i (al-Qur’an dan Hadits) yang mengharamkan jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan tidak ada. Mengqiyaskan jabat tangan dengan pandang memandang adalah tidak tepat. Karena itu hukum haram yang dijatuhkan bagi jabat tangan antara laki-laki dan perempuan tidak didukung oleh dalil yang pasti.
Dalam hal sholat Jum’at, Hasbi mengatakan, pada hari Jum’at tidak ada shalat Dhuhur empat rakaat karena sudah diganti oleh shalat Jum’at dua rakaat. Karena itu, orang yang tidak mengikuti jamaah Jum’at, baik seluruh atau sebagiannya, atau orang yang berhalangan berjama’ah di masjid karena sakit atau sebab lain, demikian juga perempuan yang tidak hadir berjamaa’ah di masjid harus bersembahyang Jum’at baik bersama-sama atau sendiri-sendiri. Tidak boleh sembahyang Dhuhur pada siang hari Jum’at. Berjama’ah dan khutbah bukan rukun atau syarat sahnya shalat Jum’at.[35]
Jadi kewajiban Jum’at bersifat individu, yang dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah. Karena itu, berjama’ah dan khutbah bukanlah merupakan rukun Jum’at.
Dari pemikiran- pemikar inilah sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa hasbi pakar dalam bidang Hukum Islam, walaupun banyak juga yang mengatakan bahwa hasbi juga pakar dalam bidang tafsir, hadits juga ilmu kalam.[36] walaupun bila ditinjau dari akademis dia lebih pakar dalam bidang houum akan tetapi juga tidak bias dinafikan akan kedalaman ilmunya pada bidang lain misalnya ilmu tafsir dan Hadits .



BAB III
KESIMPULAN

1.      Al-Albani bernama lengkap Muhamad Nashirudin bin Nuh bin Adam Najati, Al-Albani adalah nama julukanya yang disandarkan pada tanah kelahiranya, beliau dilahirkan dikota Asy Qudarah tahun 1914 M, al-Albani mempunyai banyak guru dan yang paling pertama dan paling berperan terhadap dirinya adalah ayahnya yang juga sekaligus gurunya.begitu pula beliau mempunyai banyak murid diantaranya Syaikh Muqbil bin Hadial-Wad’I, al-Albani juga mempunyai banyak karya ilmiyah diantaran ya kitab Silisilah al-Ahadits ash Shahihah dan Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah, yang dalam bukunya albani menyebutkan tentang latar belakang penyusunan kitab tersebut, sumber-sumber tulisan, dan sistematika penulisanya. Al-Albani meninggal pada hari jum’at malam sabtu tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
2.      T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10 Maret 1904, dan wafat pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta dan dimakamkan di Pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta Selatan. Hasbi mempunyai banyak karya tulis diantaranya Penoetoep Moeloet para ilmuan berbeda pendapat tentang kepakaran al-Hasbi apakah bidang Fiqh atau Hadits walaupun bila ditinjau dari akademis dia lebih pakar dalam bidang hokum akan tetapi juga tidak bias dinafikan akan kedalaman ilmunya pada bidang lain misalnya ilmu tafsir dan Hadits. Dengan gagasannya mengenai perlu dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia, menunjukkan bahwa bagi Hasbi, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Gagasan ini, mulai menyentak kebekuan berpikir dan sikap taqlid di kalangan umat Islam Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Albani, Muhammad  Nashirudin.  Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah. Jil I, II, III, IV, V ( Cet. II, Riyadh; Maktabah al-Ma’arif li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000)

Ash-Shiddieqy,  Muhammad Hasbi. , Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan oleh Para Pembina Hukum Islam, Pidato Promotor, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Oktober 1975.

Ash-Shiddieqy,  Muhammad Hasbi.  Beberapa Permasalahan Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1975)

Ash-Shiddieqy,  Muhammad Hasbi.  Pengantar Hukum Islam, (Edisi II, Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997)

Ash-Shiddieqy,  Muhammad Hasbi.  Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi.  Pedoman Shalat (Edisi II, Cet. II; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000)

Al-Qoryuti, Ashim Abdurrahman.  Tarjamah Mujazah li fadhilah al-Muhadits as-Syaikh Abi ‘Abdurahman Muhammad Nashirudin al-Albani wa adhwa’u ala hayatihi al-Ilmiyyah, (Jeddah: Dar al-Madani, t.th)

Bamuallim,  Mubarak BM. Biografi Syaikh al-Albani Mujadid dan ahli Hadits abad ini (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2003)

Federspiel, Howard M. Popular Indonesian Literature of The Qur'an, diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan judul: Kajian Al-Quran di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996)

Rahman,  Fazlur.  Islamic Methodology and History, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin dengan judul “Membuka Pintu Ijtihad” (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1995)

Shiddiqi, Nourouzzaman.  Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)


 
Shiddiqi, Nourouzzaman.  Jeram-jeram Peradaban Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)

Syaibani, Muhammad Ibrahim .  Hayatu al-Albani wa Atsaruha wa Tsanau al-Ulama alaihi, juz I, (Cet. I; t.tp: Maktabah al-Sadawwi, 1997)
                                  
           




















Revisi   Makalah


TOKOH-TOKOH HADITS KONTEMPORER


Dipresentasikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Semester I tahun 2009/2010


Oleh :
YAHYA KOMARUDIN
NIM    80100209137

DOSEN PEMANDU :
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M. Ag
Dr. H. Rosmaniah Hamid



PROGRAM  PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN) ALAUDIN
MAKASSAR 2010


[1]Lihat Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of The Qur'an, diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan judul: Kajian Al-Quran di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h. 104. 
[2] Albania adalah salah satu negeri Balkan yang terletak dieropa.

[3] Mubarak BM.Bamuallim, Biografi Syaikh al-Albani Mujadid dan ahli Hadits abad ini (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2003), h. 13

[4] Ashim Abdurrahman al-Qoryuti, Tarjamah Mujazah li fadhilah al-Muhadits as-Syaikh Abi ‘Abdurahman Muhammad Nashirudin al-Albani wa adhwa’u ala hayatihi al-Ilmiyyah, (Jeddah: Dar al-Madani, t.th), h. 3
[5] Ibid, h. 5
[6] Mubarak BM.Bamuallim, op. cit. h. 13
[7] Lihat Muhammad Ibrahim Syaibani, Hayatu al-Albani wa Atsaruha wa Tsanau al-Ulama alaihi, juz I, (Cet. I; t.tp: Maktabah al-Sadawwi, 1997), h. 65-66

[8] Ibid, h. 94-105

[9] Lihat Umar Abu Bakar, op. cit, h. 123-136.
[10] Ibid
[11] Lihat Muhammad  Nashirudin al-Albani, Silsilah Al-Hadits Al-Dhaifah wa al-Maudhuah wa Atsaruha As-Sayyi’ fi al-Umah. Jil I, II, III, IV, V ( Cet. II; Riyadh; Maktabah al-Ma’arif li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000)

[12] Mubarak Bamuallim, op. cit. h. 170

[13] Lihat Muhammad  Nashirudin al-Albani, op. cit. h. 48
[14] Lihat Ibid, h. 5-6

[15]Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),  h.  3.

[16]Lihat ibid., h. 60-61.

[17]Lihat ibid., h. 3 dan 7.

[18]Lihat ibid., h. 13.
[19]Lihat, ibid., h. 15-16.

[20]Jabatan guru besar diperoleh pada tahun 1960 dengan pidato pengukuhan berjudul “Syareat Islam Menjawab Tantangan Zaman”. Lihat ibid., h. 28. Pada tahun 1975, ia mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lihat ibid., h. 16.

[21]Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 219-220.

[22] Lihat ibid.,  h.  220.

[23]Lihat, Nourouzzaman, Jeram, loc. cit.. Selengkapnya, lihat pula Nourouzzaman, Fiqh, op. cit., h.  265-281.

[24]Fazlur Rahman, Islamic Methodology and History, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin dengan judul “Membuka Pintu Ijtihad” (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1995), h. 20.
[25]Orang pertama yang melontarkan gagasan ini ialah Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy pada tahun 1940, lihat, Nourouzzaman, Peran…, op. cit., h. 234.

[26]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan oleh Para Pembina Hukum Islam, Pidato Promotor, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 29 Oktober 1975.

[27]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Beberapa Permasalahan Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1975), h. 38.

[28]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Yang…, loc. cit.; mengenai syarat-syarat ijtihad dan mujtahid, lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Edisi II, Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 95-103.

[29]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
[30]Lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariat Islam…, op. cit., h. 11.                                        

[31]Lihat, ibid., h. 42-43.
[32]Ijtihad yang dianjurkan Hasbi ialah ijtihad kolektif, bukan perorangan, hal itu akan menghasilkan pendapat yang lebih benar dan menghindari pertengkaran baru, ibid., h. 243.

[33]Lihat, Nourouzzaman Shiddiqy, Jeram…, op. cit., h. 235-243.

[34]Lihat, Nourouzzaman, Fiqh…, op. cit., h. 171-211.
[35]Selengkapnya, lihat, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Edisi II, Cet. II; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 389-403.

[36] Lihat Abdul Azis Dahlan, op. cit., h. 530