Daftar Pustaka

Sabtu, 26 Februari 2011

Ulumul Al-Qur'an


ULUMUL QUR’AN

A.Pengertian ulumul Qur’an.
Secara bahasa ulum Al-Qur’an adalah ilmu (pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan AL-Qur’an. Secara istilah para  Ulama memberikan redaksi yang berbeda-beda, sebagaimana berikut :
1.       Manna Al-Qaththan: ulum Al-Qur’an adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari sisi informasia tentang asbab an-nuzul, kodifikasi, dan tertb Al-Quran, ayat-ayat yang diturunkan di mekkah dan ayat-ayat yang diturunkan di madinah, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
2.       Az-Zarqani: ulum Al-Qur’an adalah beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur”an, dari sisi turun, urutan penulisan, cara membaca, kemukjizatan, nasikh mansukh, dan penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, serta hal-hal lain.
3.       Abu Syahbah: ulum Al-Qur’an adalah sebuah ilmu yang memiliki objek pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur”an, mulai proses penurunan, urutan penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih, sampai pembasan-pembahasan lain.
B.Sejarah kemunculan istilah ulum Al-Qur’an:
a.  Asy-Suyuti dalam pengantarnya kitab Al-Itqan: ulum Al-Qur’an muncul pada abad VI H, oleh Abu Al-Farj bin Al-Jauzi.
b. Az-Zarqani: ulum Al-Qur’an muncul pada awal abad V H melalui Al-Hufi dalam karyanya yang berjudul Al-Qur’an Burhan fi’ulum Al-Qur’an.
c. Abu Syahbah: Ulum Al-Qur’an muncul pada tahun 425 H (V H), dengan ditulisnya kitab Al-Mabani fi Nazhm Al-Ma’ani.
d. Subhi Ash-Shalih: Ulum Al-Qur’an sudah muncul semenjak abad III H, yaitu ketika Ibn Al-Marzuban menulis kitab yang berjudul Al-Hawi fi Ulum Al-Quran.     
C. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an:
1. fase sebelum kodifikasi. Fase ini sudah ada benih munculnya ulum  Al-Qur’an. Sebagaimana di      ceritakan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, ada kebiasaan untuk tidak berpindah kepada ayat lain, sebelum benar-benar  dapat memahami dan mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya. Tampaknya,  itulah sebabnya mengapa Ibnu Umar memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghafal surah Al-Baqarah. Salah satu riwayat yang membuktikan adanya penjelasan kepada para sahabat menyangkut penfsiran Al-Qur’an yaitu riwayat yang disampaikan oleh At-Tirmidzi dan Hibban, didalam sahihnya, dari ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “yang dimaksud dengan shalat wustha adalah shalat ashar.
2. fase kodifikasi. Fase dimana ulum Al-quran dikodifikasi yang perkembangannya melalui beberapa tahapan mulai abad II H, abad III H, abad VI H, abad V H, VI H, abad VII H, abad VIII H, abad IX dan X H, dan abad XIV H.
A. Pengertian Al-Qur’an.
                Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari sisi: derivasi (isytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia merupakan kata sifat atau kejadian. Para ulama dalam melafalkannya menggunakan hamzah berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
1.       Sebagaian dari mereka, diantaranya Al-lihyani, berkata bahwa kata “Al-Qur’an” merupakan kata jadian dari kata dasar “qara’a (membaca) sebagaimana kata rujhan dan gufran. Kata jadian ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi kita. Penamaan ini masuk ke dalam kategori “tasmiyah al-Maf’ul bi al-Masdar” (penamaan isim maf’ul dengan isim masdhar). Mereka merujuk firman Allah pada surat Al-Qiyamah (75) ayat 17-18:
         فاذاقرأنه فا تبع قرانه ان علينا جمعه وقرآنه.  
{ القيا مة: 17–18}
Artinya:
“sesungguhnya atas tanggungan kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai). Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu” (QS. Al-Qiyamah: 17-18).
2.       Sebagian dari mereka, diantaranya Al-Zujaj, menjelaskan bahwa kata “Al-Qur’an” merupakan kata sifat yang berasal dari kata dasar “al-qar'” (القرأ)  yang artinya menghimpun. Kata sifat ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, karena kitab itu ini menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan. Atau karena kitab ini menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.
Para ulama dalam melafalkannya tidak menggunakan hamzah berbeda pendapat menjadi dua kelompok:
1.       Sebagian dari mereka, di antaranya adalah Al-Asya’ari, mengatakan bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata kerja “qarana” (menyertakan) karena Al-Qur’an menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf.
2.       Al-farra menjelaskan bahwa kata “Al-Qur’an”  diambil dari kata dasar “qara’in” (penguat) karena Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat yang saling menguatkan dan terdapat kemiripan antara satu ayat dan ayat-ayat lainnya.
Pengertian Al-Qur’an secara terminology (istilah) menurut para ulama:
1.       Menurut Manna Al-Qaththan: Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan membacanya memperoleh pahala.
2.       Menurut Al-Jurjani: Al-Qur’an adalah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW yang ditulis di dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawattir tanpa keraguan.
3.       Menurut Abu Syahbah: Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan baik lafazh maupun maknanya kepada nabi terakhir, Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mutawattir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan(akan kesesuannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad), yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surah An-nas.
4.       Menurut kalangan pakar ushul fiqhi, fiqhi, dan bahasa arab: Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawattir dan yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai akhir surah An-Nas.
B. Proses turunnya Al-Qur’an
                Proses turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga tahap:
1.       Al-Qur’an turun secara sekaligus dai Allah ke lauh mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan penting tentang segala ketentuan dan kepastian Allah.
2.       Al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia).
3.       Al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesnuai dengan kebutuhan. Adakalnya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surah.
C. Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-berangsur:
        1.  Memantapkan hati Nabi
2.  Menentang dan melemahkan para penentang Al-Qur’an
3.  Memudahkan untuk dihafal dan dipahami.
4.  Mengikuti setiap kejadian.
5.  Membuktikan dengan kepastian bahwa Al-Qur’an turun dari Allah yang Maha Bijaksana.
D. Proses Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an).
                Dikalangan ulama, terminologi Pengumpulan Al-Qur’an (jam’ Al-Qur’an) memiliki dua konotasi: konotasi penghafalan dan konotasi penulisannya secara keseluruhan:
1.       Proses penghafalan al-Qur’an
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi. Oleh karena itu, begitu wahyu dating, nabi lansung menghafal dan memahaminya. Dengan demikian, nabi adalah orang yang paling pertama menghafal al-Qur’an. Tindakan nabi sekaligus merupakan suri teladan yang diikuti para sahabatnya. Imam al-Bukhari mencatat sekitar tujuh orang sahabat nabi yang dikenal dengan hafalan al-Qur’annya. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qal, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As-Sakan, dan Abu ad-Darda.
2.       Proses penulisan Al-Qur’an
a.       Pada masa Nabi
Kerinduan nabi terhadap wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekertaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu bakar, Umar, Ustman, Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan al-Qur’an pada masa nabi sangat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
b.      Pada masa Khulafafau Al-Rasyidin
a.       Pada masa Abu Bakar Assiddiq
Abu Abdillah al-Muhasibi berkata dalam kitabnya, fahm As-Sunan,”penulisan Al-Qur’an bukanlah  sesuatu yang baru. Sebab Rasulullah SAW pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Qur’an berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu”. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah perang yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para murtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 700 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan semakin hilangya para penghafal al-Qur’an, sehingga kelestarian al-qur’an ikut terancam, Umar mengintruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan di dalam hafalan maupun tulisan.
b.      Pada masa Ustma bin Affan
Hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari, tentang alasan yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Qur’an menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qiraat al-Qur’an terdapat dalam salinan-salinan al-Qur’an yang ada pada masa Usman bin Affan di berbagai wilayah. Di kisahkan kepada kita bahwa selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan aserbajian, perselisihan tentang bacaan al-Qur’an muncul dikalangan tentara muslim, yang sebagiannya direkrut dari siria dan sebagian lagi dari irak. Perselisihan ini cukup serius hingga menyebabkan pimpinan tentara muslim, hudzaifah, melaporkannya kepada khalifah usman bin Affan dan mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut. Khalifah lalu berembuk dengan para sahabat senior Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit, ikut bergabung tiga anggota keluarga mekkah terpandang: Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abd Ar-Rahman bin Harits. Satu prinsip yang harus diikuti ketika terjadi perbedaan qiraat maka dialek yang dipakai adalah dialek suku Quraisyh. Keseluruhan Al-Qur’an direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada di tangan Hafsah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi al-Qur’an selesai digarap. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif (abash) al-Qur’an, yang sering disebut mushaf ustmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan kepusat-pusat utama daerah Islam.
 
c.       Penyempurnaan Penulisan Al-Qur’an setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah ustman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah benyak orang orang non arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H) dan Hajjaf bin ysuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H). Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelai dari Persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf Utsmani pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf lebih mudah.
 Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh generasi setiap penerus sampai abad III H (atau akhir abad IX M). ketika proses penyempurnaan naskah Al-Qur’an selesai dilakukan. Tercatatlah pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kai meletakkan tanda titik pa da mushaf ustmani. Ketiga orang itu adalah Abu Al-Aswad Ad-Da’uli, Yahya bin Ya’mar, dan Nashr bin Ashim Al-Laits. Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, Al-Raum, dan al-Isymam adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu Abdurrahman.
A.Pengertian Rasm Al-Qur’an
Rasm al-Qur’an atau rasm ustmani adalah tata cara penulisan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa Khalifah Ustman bin Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf usmani, yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits.
Para ulama meringkas kaidaf-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu:
1.       Al-hadz (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf).
2.       Al-Jiyadah (penambahan).
3.       Al-Hamzah.
4.       Badal (penggantian)
5.       Washal (penyambungan dan pemisahan).
6.       Kata yang dapat dibaca dua.
A.Pengertian Asbabul Nuzul.
a. menurut etimologi adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.
                b. Menurut terminology:
     a. Menurut Az-Zarqani: Asbabul nuzul adalah khusus atau sesuatu , yang terjadi serta ada    hubungannya dengan turunnya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas.
b. Menurut As-Shabuni: Asbabul An-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
c. Menurut Subhi Shaluh: Asbabul An-Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respon atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum di saat peristiwa itu terjadi.
d. Menurut Manna Al-Qaththan: Asbabul An-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang  menyebabkan turunnya Al-Qur’an berkenaan dengannnya waktu peristiwa itu terjadinya,  baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.
B. Urgensi dan Kegunaan Asbabul An-nuzul :
                a. Membantu memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat Al-Qur’an.
                b. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
                c. Menghkhususkan hokum yang terkandung dalam ayat al-Qur’an.
                d. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-qur’an turun.
                e. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan  wahyu ke dalam hati yang mendengarkannya.
C. Cara Mengethui  Riwayat Asbabul An.Nuzul:
                Asababul An-Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada saman Rasulullah SAW. Oleh karena itu tidak boleh ada jalan lain untuk mengethuinya selain berdasarkan periwayatan yang benar dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat al-Qur’an.
D. Macam-Macam Asbabul An-Nuzul:
     a. Dilihat dari sudut pandang redaksi-redaksi yang digunakan dalam riwayat Asbabul An-Nuzul:
          1. Sharih (visionable/jelas).
          2. Muhtamilah impossible/kemungkinan.
     b. Dilihat dari sudut pandang berbilangnya Asbabul An-Nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk satu asbab an-nuzul:
          1. Berbilangya asbabul an-nuzul untuk satu ayat. (ta’addud al-sabab wa Nazil al-wahid).
          2. Variasi ayat untuk sebab (Ta’addul al-Nazil Wa as-sabab al-wahid).
E. Kaidah “Al-Ibrah”
                Mayoritas ulama berpendapat bahwa pertinmabangan untuk lafazh al-Qur’an adala keumumam lafazh dan bukan kekhususan sebab (al-ibrah bi umum al-lafzhi la bi khusus  as-sabab). As-Suyuthi ,memberikan alasan bahwa itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, antara lain, ketika ayat Zihar dalam kasus ibn shakhar, ayat li’an dalm perkara hilal ibn umayyah, dan ayat qadzaf dalam kasus tuduhan terhadap aisyah, penyelesaian terhadap kasus tersebut juga diterapkan terhadap peristiwa lainnya.
                Di sisi  lain ada juga ulama berpendapat bahwa ungkapan satu lafazhh al-qur’an harus dipandang dari segi khususan sebab bukan dari segi keumuman lafazh ( al-Ibrah bi khusus as-sabab la bi’umum al-lafazh). Jadi cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan sebuah ayat diturunkan. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun akan mendapat penyelesaian yang sama, hali itu bukan diambil dari pemahaman ayat itu, melainkan dari dalil lain yaitu qiyas, apabila memang memenuhi syarat qiyas.
A. Pengetian Munasabah:
                a. Seacara etimologi: Al-Musyakalah (keserupaan) dan Al-Muraqabah (kedekatan).
                b. Secara terminology:
                    a. Menurut Az-Zarkasyi: munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Takkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu menerimanya.
                    b.  Menurut Manna Al-Qaththan: Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat atau antarayat pada beberapa ayat, atau antarsurat (di dalam Al-qur’an).
                    c.   Menurut ibn Al-Arabi: Munasabah adalah keteriatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-seolah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
                    d. Menurut Al-Biqa’i: Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-qur’an, baik ayat dengan ayat atau surah dengan surah.
B. Cara mengetahui Munasabah:
                a. Harus di perhatikan tujuan pembahasan suatu surah yang menjadi objek pencarian.
                b. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surah.
                c. Menetukan tingkatan-tingkatan uaraian-uraian itu apakah ada hubungannya atau tidak.
                d. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasannya dengan benar dan tidak berlebihan.
C. Macam-Macam Munasabah:
                a. munasabah antar surah dengan surah sebelumnya.
                b. Munasabah antarnama surah dan tujuan turunnya.
                c. Munasabah antarbagian suatu ayat.
                d. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan.
                e. Munasabah antarsuatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya.
                f.  Munasabah antarfashilah(pemisah) dan isi ayat.
                g. Munasabah antar awal surah dengan akhir surah yang sama.
                h. Munasabah antar penutup suatu surah dengan awal surah berikutnya.
D. Urgensi dan kegunanaannya mempelajari Munasabah:
                a. Dapat mengembangkan sementara anggapan orang-orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian  dengan bagian lainnya.
                b. Mengethuai persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an.
                c. Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat yang satu dengan yang lainnya serta persesuaian ayat/surah yang satu dengan yang lainnya.
                d. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
                               

Penulis


Abdul Gafur Amin

Tidak ada komentar: