IMAM AL-GAZALI
(Pengembaran Intelektual dan pergolatan batin menuju kehidupan sufistik, konsep ma’rifat, mendamaikan syariat dan tasawuf, serta pengaruhnya di dunia Islam)
Oleh Abdul Gafur Amin
A.Latar belakang
Al-Gazali dikenal sebagai tokoh terbesar dalam sejarah Islam. Memiliki salah satu keistimewaan. Penelitian, pembahasan dan pemikirannya yamg sangat luas dan mendalam pada masalah pendidikan. Ia juga seorang ahli sufi bahwa ajaran tasawuf adalah mengarahkan pikiran pada orang-orang shaleh, banyak beribadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT, dengan sesama manusia mahluk lainnya serta ingin selalu mendekatkan diri dengan Sang Pencipta bagi seluruh alam yang pada dasarnya setiap manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk membangun hubungan yang harmonis dengan tuhannya dan selalu berusaha untuk selalu dan senantiasa dengan rabbnya.
Allah SWT menciptakan manusia di bekali dengan nilai-nilai ke-Tuhanan dan fitrah insaniyah atau potensi antara lain:
1. Jasmani: untuk membersihkan jasmani ilmu yang berperan adalah fiqh thaharah.
2. Akal: untuk meluruskan, menyehatkan kemampuan akal untuk berpikir secara sistematis dalam melahirkan konsep-konsep, ide-ide yang mengarah kepada kebenaran, maka ilmu yang berperan adalah filsafat.
3. Rohani: untuk membersihkan rohani (hati) agar menjadi hening, peka, maka ilmu yang berperan adalah tasawuf.[1]
Ketiga potensi tersebut perlu diasah, kelola dan diberdayakan supaya teraktualisasi sehingga terciptalah hidup dan hubungan yang harmonis, berimbang dan bahagia, serta terciptanya tujuan hidup. Ajaran tasawuf. ajaran tasawuf adalah suatu sistem yang harus ditempuh dengan jalan selalu mendekatkan diri dengan Allah (ibadah), maka tidak dibenarkan meninggalkan syariat, sedangkan tarekat adalah jalan menuju hakekat, maka tiada tasawuf tanpa syariat, syariat yang benar akan mengantarkan menuju tasawuf melalui maqam-maqam yang dilakoni secara sistematis, terencana dan terarah sehingga sampai kesuatu tujuan yaitu melalui beberapa tingkatan dalam ilmu tasawuf di kenal dengan syariat, tarekat, hakekat dan ma’rifat. Oleh karena itu, maka penulis akan menguraikan beberapa hal tentang kehidupan Al-Gazali sebagai seorang ulama yang dapat memurnikan ajaran Islam kembali kefitrahnya.
B.Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pemakalah memberikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengembaran intelektual imam Al-Ghasali dan pergolakan batin menuju kehidupan yang sufistik?
2. Apa konsep ma’rifat, syarat-syarat dan tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang sufi?
3. Bagaimana mendamaikan syariat dan tasawuf serta pengaruhnya dalam Dunia Islam?
II
A.Pengembaraan intelektual Imam Al-Gazali dan pergolakan menuju kehidupan sufistik
Pada masa kecilnya Ia mempelajari ilmu fiqhi di negeri sendiri pada syekh Ahmad bin Muhammad Al-Rasikani, kemudian belajar pada imam Ali Nazar Al-Ismaili di negeri jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri, maka ia berangkat ke nishabur dan belajar pada imam Al-Haromain. Disinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahua pokok pada masa itu ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab syafi’i. Karena kecerdasannya itulah imam Al-Haromain mengatakan Al-Gazali itu adalah lautan tak bertepi.[2] Dari sini kita memahami bahwa imam Al-Gazali sewaktu kecilnya sudah diisi dengan ilmu-ilmu syariat atau ilmu dasar dan diakui oleh gurunya sendiri tentang kecerdasannya yang merupakan cikal bakal menjadi seorang ulama yang terkenal.
Gurunya yang paling besar Al-Juwaini, seorang teolog Asyariah yang terkemuka saat itu. Al-Juwaini memprakarsai muridnya yang brilian ini kedalam studi kalam, filsafat, dan logika. Perkenalannya dengan teori dan praktik mistikisme adalah berkat jasa Al-Farmadzi (w.1084) seorang sufi terkemuka saat itu.[3] Jadi Al-Gazali tidak hanya mempelajari, mendalami ilmu secara spesifik atau hanya satu ilmu akan tetapi mengarungi beberapa ilmu dalam mengembara mencari kebenaran diatas kebenaran.
Nasib al-Ghazali telah menarik langkah yang mentukan sebagai hasil pertemua dengan Nidham Al-Mulk, Wajir Sultan Malik Syah. Pertemuan ini membuat wajir yang dokriner itu terbakar oleh semangat yang kuat untuk mempertahankan ortodoksi sunni, dan akibatnya ia menyerang hererodoksi syiah (Ismailiyyah) kekhalifaan fatimiyah sainganya di kairo. Yang terakhir telah dengan begitu berhasil menggunakan senjata propaganda dan menghilangkan polemik di seluruh dunia muslim sehingga orang-orang saljuk merasa berkewajiban menjawab tantangan ini. Maka dengan tujuan inilah Nidham Al-Mulk mendirikan sekolah-sekolah atau seminar-seminar teologi yang di beri nama sesuai dengan namanya di seluruh bagian timur kerajaan yaitu studi fiqh syafi’i dan teologi Asyari’ah umtuk dituntut secara aktif.[4]
Selama kurang lebih lima tahun Al-Gazali sebagai kepala sekolah nidhamiyah misyaitun bagdad setelah kematian gurunya Al-Juwaini pada tahun 1085. Al-Gazali. juga memberikan kuliah dalam bidang hukum dan teologi dengan kesuksesannya yang besar dan sangat berarti bagi dunia Islam.
Selama waktu tertimpa oleh keraguan tentang kegunaan pekerjaanya. Akhirnya ia mengalami penyakit yang tak bisa diobati dengan obat lahiriah, maka pekerjaannya itu kemudian ditinggalknnya pada tahun 484 H. Untuk menuju damsyik, dan dikota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun dengan tasawufnya sebagai jalan hidupnya.[5]
Sejak kepindahan ke damsyik dan dalam masa ini ia menulis buku-bukunya yang terkenal antara lain Ihya Ulumuddin, Al-Mungizumil Dhalal, Tahafatul Falasifah, Mantik, Fiqh, dan Ushu Fiqh, Tafsir, Ahlak dan Adat Kesopanan.
Dan kemudian di pindah ke palestina untuk melanjutkan pengembaraannya suci mekkah dan selanjutnya ke madinah untuk menziarahi makam Nabi setelah lebih dahulu ia berziarah kemakam Nabi Ibrahim pada saat menunaikan ibadah hajji.
Dengan demikian kurang lebih sepuluh tahun dalam petualangannya dinegeri syam, baitul makdis dan hijaz maka Al-Gazali kembali ke naizabur atas desakan Fakhrul Muluk, anak Nazhamul Muluk untk mengajar di madrasah kota nizhamiyyah dan tidak diketahui pasti berapa tahun ia mengajar di kota itu.
Banyak ilmu yang dipelajarinya dan dalam perantaunnya mencari ilmu itu, Ia tidak lupa terjun kedalam renungan tasawuf, merenung dan memikirkan rahasia alam dan rahasia hidup. Dari renungan dan pemikirannya itu didapatinya pegangan utama dalam hidup beragama, yaitu hidup dengan ilmu dan amal. Buah penanya yang mengagungkan pada zamannya sehingga Al-Gazali mendapatkan Gelar Hujjatul Islam ( pembela Islam ) dan Zainuddin (Hiasan Agama).[6]
B.Konsep Ma’rifat, Syarat-syarat dan Tahapan-tahapan yang Harus Dilalui Seorang Sufi.
1. Pengertian Ma’rifat.
Ma’rifat berasal dari kata عرف يعرف berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Jika dikaitkan dengan tasawuf, maka istilah ma’rifat berarti mengenal Allah ketika sufi yang mencapai tingkat maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan defenisinya oleh beberapa ulama tasawuf, antara lain:[7]
a. Mustafa Zahri mengutip pendapat ulama tasawuf: Ma’rifat adalah ketetapan hati (Dalam mempercayai hadirnya) wujud wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.
b. Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiri megutip pendapat Abu Ththoyyib Al-Samiriy: Ma’rifat membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
c. Imam Al-Gazali: Ma’rifat dalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturannya.[8]
Pendapat di atas semuanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seseorang sufi dengan Allah. Tetapi tidak semua orang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada tingkat ma’rifat. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzu Nun Al-Mishri yang mengatakan ada beberapa tanda yang dimiliki oleh sufi bila sudah sampai pada tingkat ma’rifat, antra lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan prilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata menurut ajaran tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.[9]
Seorang sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa: “ma’rifat yang dimiliki sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Tujuan utama ajaran tasawuf adalah mencapai penghayatan ma’rifat pada Dzatullah. Ma’rifat dalam tasawuf adalah penghayatan atau pengamalan jiwa. Karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukan pikiran atau panca indera, tetapi hati atau kalbu. Dalam ajaran tasawuf hati atau kalbu merupakan organ yang amat penting karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada alam gaib dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifat pada Dzatullah”.
Al-Gazali berkata: “Kemuliaan dan kelebihan manusia yang mengatasi segala mahluk lainnya adalah kesiapannya ma’rifat pada Allah yang di dunia merupakan keindahan kesempurnaan dan kebanggaan diakhir merupakan harta dan simpanannya, alat untuk mencapai penghayatan adalah kalbu atau hati, hati pula yang membuka tabir untuk menghayati alam gaib yang berada disisi Allah. Adapun anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, hati akan diterima Allah apabila bersih dari selain Allah hati itu akan terdinding dari Allah apabila tertimbun selain Allah, hati yang mencari Tuhan, hati pula yang diperintahkan untuk beribadah padanya serta mendekatkan dirinya, berbahagialah bila hatinya bersih, dan celakalah bila hatinya kotor dan sesat, bila manusia kenal kepadanya pasti kenal akan Tuhannya sebaliknya tidak mengenal hatinya pasti tak kenal akan tuhannya”.[10]
Dari ungkapan imam Al-Gazali tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa manusia pada hakekatnya berasal dari Tuhan Allah yang satu dan kembali kepada Allah yang satu yaitu sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surah Al-Ikhlas ayat 1:
قل هو الله احد
Terjemahannya:
“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah yang Mha Esa”.[11]
2. Syarat-syarat Ma’rifat
Bila seseorang ingin mencapai kondisi Ma’rifatullah[12], maka diperlukan syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. Harus memiliki nilai, dan tekad serta keyakinan ingin bertemu dengan Allah.
2. Pembersihan jiwa melalui takhali dan tahalli.[13]
3. Senantiasa mensyukuri nikmat Allah.
4. Dalam situasi apapun dia selalu mengingat Allah.
5. Harus dapat mengenal diri pribadinya.
6. Harus mengenal sifat-sifat Allah.
7. Menyukai tafakkur.
8. Mengenal segala sesuatu di dunia ini, senantiasa dikembalikan pada sumbernya yang Sang Penciptanya.
3.Tahapan-tahapan yang harus dilalui Sufi (Maqam)
Perjalanan dari fase ke fase berikutnya adalah perjalanan yang berat dan sulit, karena diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang disebut Mujahadah. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriah hal-hal yang bersifat pelaksanaan syariat dan muamalat maupun aspek batiniah atau hakekat, mempertinggi mutu pengetahuan dan mengamalkannya, melenyapkan sifat-sifat yang tidak baik dan mengisinya dengan sifat-sifat yang baik/terpuji.
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah[14]:
a. Taubat, menurut sufi, yang menyebabkan seorang jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan karena itu apabila seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada-Nnya ia harus membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat.
b. Az-Zuhud, zuhud dalam dunia sufi adalah segala kehidupan materil adalah sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Sesorang calon sufi harus lebih dulu zuhud, mengabaikan kehidupan yang bersifat duniawi.
c. Al-Wara’, wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Tetapi sufi memiliki pengertian lain, mereka mengartikan wara’ meninggalkan hal-hal yang jelas baik yang menyangkut makanan, pakaian, dan lain-lain. Ibrahim bin Adham: Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang masih diragukan.
d. Al-Faqr , al-faqr berbeda diantara para sufi tetapi, bagiamana konotasi yang diberikan sufi, pesan yang tersirat didalamnya agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negativ yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Sufi merasa lebih baik tidak punya apa-apa atau merasa cukup apa adanya.
e. Al-Sabar, sabar adalah konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah, berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan. Sabar erat kaitannya pada pengendalian diri, sikap, emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan mengendalikan nafsunya maka sikap dan daya sabar akan tercipta.
f. Tawakkal, tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melakukan usaha. Tidak boleh bersikap aposteriori terhadap rencana yang telah disusun tetapi harus bersikap menyerahkan kepada Allah, berusaha dan berencana tapi Tuhanlah yang menentukan segalanya.
g. Ar-Rida’, Dzu nun Al-Misri, rida’ adalah menerima tawakkal dengan kerelaan hati, tanda-tanda orang yang rida’ mempercayakan hasil usahanya sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora dikala turunnya petaka.
D. Mendamaikan Syariat dan Tasawuf serta Pengaruhnya dalam Dunia Islam.
Syariat adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya[15], dan segala yang diajarkan oleh Rasul. Para pakar modern banyak yang berbeda pendapat tentang hubungan antara sufisme dengan ajaran Islam. Sebagian berpendapat bahwa: sufisme adalah perkembangan eksotik, dan sebagian jejaknya merupakan unsur dari sumber asing atau yang lain misalnya mereka dianggap mewarisi asketisme (kepertapaan) sementara yang lain menentang pandangan tersebut, bagi mereka sufisme adalah peristiwa yang sepenuhnya Islami, bahkan mereka mengatakan bahwa kehidupan bersahaja seperti yang dijalankan kaum sufi adalah meniru kehidupan Rasulullah dan sahabatnya[16].
Al-Sarraj (w. 568), Al-Kalabadzi (w. 390), Abu Nuim (w. 430) dan Al-Qusyairi (w. 165) mereka mengatakan: sufisme merupakan ekspresi murni tentang rohani ajaran Islam dan merupakan perwujudan teramat sempurna dari nilai-nilai rohaniah.[17].
Untuk menjalin keselarasan pengamalan tasawuf dengan syariat telah dicetuskan dan menjadi kprihatinan ulama-ulama sufi sebelumnya, namun baru Al-Gazali yang secara konkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya konsepsi Al-Gazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengamalan sufisme dengan syariat dalam bukunya yang monumental “Ihya Ulumuddin”.
Dari susunan Ihya’ Ulumuddin tergambar pokok-pokok pikiran Al-Gazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf yakni: Sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah terlebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuen menjalankan syariat secara tekun dan sempurna. Karena dalam hal syariat seperti misalnya shalat, puasa, dan lain-lainnya, didalam Ihya’ diterangkan tinggkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam Ihya’ dibedakan tingkat orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syariat dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lakukan wiridan dalam menjalankan zikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu khasyaf atau penghayatan makrifat. Kemudian untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agama dan spiritual yang mistik ini harus awas godaan nafsu dan penyakit-penyakit yang sering menyerang dan mengotori hati, dan yang berkaitan dengan panca indera dan anggota badan, dan bagaimana mengatasinya. Jadi sebagai bangunan untuk jadi sarana penyelarasan hubungan syarat dan tasawuf Ihya’ Ulum Al-Din merupakan karya monumental yang cukup lengkap dan teliti serta sistematis. Maka wajarlah bahwa baik lantaran pengaruh dan juga pemikir sufisme yang brilian, dan juga karyanya yang agung ini (Ihya’), tasawuf akhirnya mendapat hati dari pihak ahlu syariat dan diterima sebagai bagian dari sistem agama ilmu keislaman yang amat dibanggakan oleh ummat Islam pada umumnya. Bahkan tasawuf kemudian menyebar dan merakyat ke seluruh pelosok alam Islami, dan mewarnai pengamalan Islam keseluruh pelosok alam Islam yang berlangsung berabad-abad, sejak abad ketiga belas hingga dewasa ini.[18].
Syariat dan tasawuf unsur sebagai unsure integral tasawuf itu sendiri, maka tidak ada tsawuf tanpa syariat[19]. Al-Qusyairi mengatakan:
“Tidak ada maqam atau ahwal yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan berbuat baik seperti diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah wajib”[20].
Kecintaan kepada tasawuf hendaknya tidak mengabaikan syariat bahkan semakin tinggi ilmu tasawuf semakin mendalam pula kewaraanya, kepatuhan dan ketaatannya serta kecintaannya terhadap Allah bukan sebaliknya. Kesalahan mendasar dalam ajaran kaum sufi adalah sikap kurang mementingkan syariat seolah-olah shalat, puasa dan berbagai bentuk ibadah mahdah hanyalah untuk orang awam. Seseorang yang sudah mencapai maqam yang paling tinggi dalam tasawuf tidak perlu lagi syariat. Padahal seharusnya makin tinggi maqam seseorang semakin keraslah kesetiaanya terhadap ajaran-ajaran syariat, kewajiban menjalankan perintah-perintah syariat mengikat siapapun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat tertinggi, tidak ada satu maqam pun yang dapat bebas dari kewajiban syariat.
Pengaruh yang sangat mendasar ketika Al-Gazali menjadikan syariat sebagai landasan utama dalam hidup tasawuf yang mengikat para sufi sampai pada maqam tertinggi maka terbukalah rahasia-rahasia dari perbuatannya seperti shalat dan semua gerakannya bukan sebaliknya.
III
Kesimpulan.
Dari uraian yang telah diutarakan, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Gasali dalam proses pengembarannya mencari kebenaran mempelajari berbagai disiplin ilmu. Dan setelah itu diangkat sebagai kepala sekolah Nidhamiyah misyatun bagdad dan mengajar. Dalam proses ini dia tertimpa keraguan tentang kegunaan pekerjaan akhirnya ia mengalami penyakit yang tak bisa diobati dengan obat lahiriyah, maka pekerjaannya ditinggalkan untuk membaca, merenung, dan menulis kurang lebih dua tahun dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.
2. Konsep ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturannya. Syarat-syarat yang dilalui: harus memiliki nilai dan tekad serta keyakinan ingin bertemu dengan Allah, pembersihan jiwa, senantiasa mensyukuri nikmat Allah, dalam situasi apapun dia selalu mengigat Allah, harus dapat mengenal dirinya, harus mengenal sifat-sifat Allah, menyukai tafakkur, dan mengenal segala sesuatu di dunia ini, senantiasa dikembalikan pada sumbernya yang sang penciptanya. Tahapan-tahapan/maqam yang dilalui: Taubat, al-Zuhud, al-Wara, al-Faqr, al-Sabar, Tawakkal, dan al-Rida
3. Pemikiran al-Gasali dalam mendamaikan syariat dengan tasawuf mengatakan bahwa sebelum mempeljari dan mengamalkan ajaran tasawuf terlebih dahulu memperdalam pengetahuan tentang syariat, ibadah mahdah dan yang lainnya, sebagai jalan untuk menuju ketingkat maqamengan sendirinya akan terbuka hijab dinding antara dia dengan zat-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nisabury, Al-Qusyairi, Al-Risalatul Al-Qusyairiyyah Fi Ilmu Tasawuf, di terjemahkan oleh Muhammad Lukman Hakim, Risalah Al-Qusyariyah Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)
Ansari, Muhammad Abd Haq, Antara Sufisme dan Syariah (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993)
Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf ( (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2001)
Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf (Bandung: Mizan, 2002)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surbaya: Al-Hidayat, 1989)
Fakhri, Madjid, Sejarah Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Kalsum, Ummu, Ilmu tasawuf (Makassar, 2003)
Mustofa, A, Akhlak Tasawuf (Cet.II; Bandung: Pustaka Setia, 1999)
---------------, Filsafat Islam (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Nasution, Harun , Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang, 1999) . Asmaran As, Ilmu Pengantar Studi tasawuf, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). Dan Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Di Dunia Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Permadi, K, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997)
[2]Lihat Mustofa, Filsafat Islam (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 215.
[3]Lihat Madjid fakhri, Sejarah Filsafat Islam,(Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 304-305.
[4]Ibid, h, 63.
[5]Ibid. h. 63.
[6] Ibid, h. 64.
[8]Lihat, Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 115.
[9]Lihat A. Mustofa, Op cit, h. 257.
[10]Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 122-123.
[11]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surbaya: Al-Hidayat, 1989), h. 1118.
[12]Lihat K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 18-19.
[13]Takhali adalah membersihkan atau mengosongkan diri dari dosa dan sifat-sifat tercela sedangkan tahalli adalah mengisi atau menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan Allah, selanjutnya, Romdon, Tasawuf Dan Aliran Kebatilan, (Cet. II; Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1993), h. 32-33.
[14]Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h. 65-66. Lihat juga Asmaran As, Ilmu Pengantar Studi tasawuf, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 109-131. Dan Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Di Dunia Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 49-97.
[15]Lihat Muhammad Abd Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 103.
[16]Ibid, h. 85-87.
[17]Ibid, h. 87.
[18]Lihat Simuh, Op cit, h. 168-170.
[19]Lihat Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf,(Bandung: Mizan, 2002), h. 218.
[20]Lihat Imam Al-Qusyairi Al-Nisabury, Al-Risalatul Al-Qusyairiyyah Fi Ilmu Tasawuf, di terjemahkan oleh Muhammad Lukman Hakim, Risalah Al-Qusyariyah Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar