Daftar Pustaka

Selasa, 22 Februari 2011

PAHALA AMALAN YANG ABADI DITINJAU DALAM ASPEK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (HADIS ABU HURAIRAH)


I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Rasulullah SAW, pernah berpesan, “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara”(HR. Al-Bukhari).[1] Hadis ini menunjukkan bahwa dalam dunia pendidikan agama Islam kita dituntun untuk lebih banyak memikirkan masa depan akhirat kita dibandingkan dengan perhatian kita kepada kemewahan dunia yang bersifat sementara. Tentunya yang dimaksud dengan memikirkan masa depan akhirat adalah dengan membuat bekal persiapan agar kita selamat di dunia dan di akhirat kelak. Salah satu upaya bisa kita tempuh adalah memperbanyak amal saleh dengan penuh keikhlasan.
            Salah satu bukti bahwa ke-Mahapemurah-an Allah SWT adalah bahwa Dia memberikan pahala yang berlipat ganda bagi hamba-Nya yang melakukan kebaikan namun ketika hamba-Nya berbuat maksiat maka hanya diganjar sesuai dosa yang dilakukan, sebagaimana yang Dia firmankan, “Barangsiapa membawa amal baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa yang membawa jahat maka tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. al-An’am: 160).[2] Namun kemurahan Allah ini tidak banyak membuat manusia sadar untuk berlomba-lomba berbuat baik dan meninggalkan kemaksiatan.
            Nikmat umur yang dikaruniakan Allah SWT kepada kita adalah kesempatan untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya, sebelum datangnya masa dimana kita tidak mampu lagi berbuat banyak mesti sangat ingin melakukannya. Kematian merupakan peristiwa yang akan menghentikan segala aktifitas manusia baik aktifitas yang mendatangkan pahala maupun yang mendatangkan dosa.
            Namun, muncul pertanyaannya apakah terhentinya aktifitas manusia juga berarti terhentinya pula seseorang untuk mendapatkan pahala atau dosa?.
            Berangkat dari permasalahan di atas, bahwa dalam dunia pendidikan Islam mengajarkan bahwa manusia ketika mati maka terputus amalannya namun ada amalan-amalan yang pahalanya terus mengalir, penulis akan membahas dalam makalah ini tentang amalan-amlan yang terus mengalir.
B.     Rumusan masalah
Dari permasalah diatas, penulis merumuskan beberapa masalah:
1.   Bagaimana  kualitas  hadis tentang amalan yang pahalanya terus mengalir?.
2.   Bagaimana syarah hadis ditinjau dari perspektif pendidikan Islam?.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kualitas Hadis
            Sebelum penulis menentukan kualitas hadits tesebut maka perlu diadakan naqlu sanad dan naqlu matan. Namun sebelumnya harus diadakan Takhrij hadis terlebih dahulu. Dalam takhrij hadis tersebut, Dalam penelusuran dalam kitab mu’jam al-mufarras penulis menggunakan  kata al-ilmu dalam matan hadis ini, maka didapat dalam (sunan ibnu Majah: Kitab al-Mukaddimah no. 20 ).[3]
      Matan hadits tersebut berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبِ بْنِ عَطِيَّةَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا مَرْزُوقُ بْنُ أَبِي الْهُذَيْلِ حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Wahb bin 'Athiyyah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Marzuq bin Abu Hudzail berkata, telah menceritakan kepadaku Az Zuhri berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Abdullah Al Aghar dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan dan Al Qur`an yang ia wariskan, atau masjid yang ia bangun, atau rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, atau sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya dimasa sehat dan masa hidupnya, semuanya akan mengiringinya setelah meninggal."[4]
Hadits ini, penulis tidak menemukan satu hadis pun yang mempunyai kesamaan lafaz matan baik secara lafzhi  maupun maknawi, sehingga penulis berkesimpulan bahwa hadis tersebut tergolong hadis ahad yang gharib.
1.      Kritik  Sanad
Penelitian tentang kualitas dan persambungan sanad hadis yang maksud berfokus pada jalur Ibnu Majah melalui Muhammad bin Yahya.
NO
Nama
Perawi
Lambang Periwayatan

1
 Imam ibn Majah
VIII
Haddasana

2
Muhammad bin Yahya
VII
Haddasana

3
Muhammad bin wahab bin Athiyah
VI
Haddasana

4
Al-Walid bin Muslim
V
Haddasana

5
Marzuq bin abi al-Hudzail
IV
Haddasana

6 
Al-Zuhriy
III
Haddasana

7
Abu Abdillah al-Agarra
II
An

8
Abu Hurairah
I
An









Biografi singkat:
a.    Abu Hurairah
Abu Hurairah adalah sahabat Nabi saw yang terkenal sebagai murid setia Nabi saw. Nama lengkapnya diperselisihkan para ahli hadis, sedangkan nama lain laqabnya ada sekitar 20. Namun terkenal adalah sebutan Abd Rahman bin Sakhr al-Dawsi, al-Syam dengan gelar Abu al-Aswad. Kemudian Nabi saw menggantinya Abu Hurairah.[5]
Beliau memeluk Islam sekitar tahun ke-7 H (pada tahun peperangan khaibar), maka sejak itulah beliau selalu dekat dengan Nabi saw. Kedekatan ini sangat mempengaruhi pribadi abu Hurairah sehingga ia sangat akyif dan produktif dalam meriwayatkan hadis-hadis.
Abu Hurairah menetap di masjid samping rumah Nabi saw. Beliau termasuk ahl al-Shuffa, sahabat yang miskin dan penuh dengan kesederhanaan, selalu menemani Nabi saw hamper di setiaap saat, sehingga sangat banyak hadis yang diriwayatkannya.
Al-Asqalani dan al-Sahbuniy menyatakan bahwa hadis-hadis Abu Hurairah yang diterima langsung dari nabi berjumlah sekitar 5374 hadis,[6] sehingga beliau termasuk sahabat Nabi yang paling banyak hafal hadis, tidak sahabat lain yang menyamainya dari segi jumlah.
b.      Imam Ibnu Majah
Ibnu Majah adalah nama nenek moyang yang berasal dari kota Qazwin, salah satu kota di Iran. Nama lengkap imam hadis ini ialah Abu Abdillah bin Yazid Ibnu Majah. Beliau dilahirkan di Qazwin pada tahun 207 H (824M).
Sebagaimana halnya para muhaddisin dalam mencari hadis-hadis memerlukan perantauan-perantauan ilmiah, maka beliau pun berkeliling di beberapa negeri, untuk menemui dan berguru hadis kepada ulama hadis.
Dari tempat perantuannya itu, beliau bertemu murid-murid Imam Malik dan al-Laits, dan dari mereka inilah beliau memperoleh hadis. Beliau wafat hari selasa, bulan Ramadhan, tahun 273 H (887).[7]
Adapun yang rijal lain al-Hadis yang lain hanya pemakalah uraikan secara singkat yaitu adil dan dhabitnya saja. Para periwayat pada sanad ini:
c.       Abdu Abdillah al-Garra
Nama sebanarnya Abu Abdillah Salman Maula Juhaina al-Agarra beliau tergolong tdiqah.[8]
d.   Al-Zuhriy
            Nama lengkapnya Abu Bakr Muhamad bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab al-Zuhriy. Beliau disepakati kemuliannya.[9]
e.    Marzuq bin al-Hudzail
            Nama lengkapnya Abu Bakr Marzuq bin Abi al-Hudzail. Beliau termasuk Layn al-Hadits.
f.    AL-Walid bin Muslim
            Nama lengkapnya Abu al-Abbas al-Walid bin Muslim al-Qurasyi al-Dimasyqi[10]. Beliau termasuk Tsiqah  tetapi Katsir Tadlis[11].
g.   Muahammad bin Wahab bin Athiyah
            Beliau adalah Abu Abdillah Mauhammad bin Wahab bin Athiyyah bin Mu’bad. Beliau dikategorikan Tsiqah Hafizh.[12]
Dengan penjelasan dengan penjelasan tentang para periwayat hadis maka hadis di atas tergolong hadis marfu dan muttasil. Para periwayat yang melalui jalur Ibnu Majah ini pun tidak diketemukan cacat atau aib yang berarti sehingga bisa dikategorikan sebagai Shahih al-Sanad.
2.   Kritik Matan
            Dalam meneliti dan menganalisa matan hadis, maka penulis membandingkan dengan nash-nash yang lain, baik itu dengan ayat al-Qur’an yang posisinya lebih tinggi maupun hadis-hadis shahih yang sederajat. Namun tidak ada pertentangan maksud ayat dengan hadis yang diangkat. Dan begitu juga dengan hadis-hadis shahih lainnya sehingga bisa disimpulkan bahwa hadis ini termasuk Shahil al-Matan. Karena matan hadis ini shahih, maka bisa dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan keputusan syar’i.
B.     Syarah Hadis Ditinjau Dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Matan Hadis:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبِ بْنِ عَطِيَّةَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا مَرْزُوقُ بْنُ أَبِي الْهُذَيْلِ حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Wahb bin 'Athiyyah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Marzuq bin Abu Hudzail berkata, telah menceritakan kepadaku Az Zuhri berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Abdullah Al Aghar dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan dan Al Qur`an yang ia wariskan, atau masjid yang ia bangun, atau rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, atau sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya dimasa sehat dan masa hidupnya, semuanya akan mengiringinya setelah meninggal.

Pengertian/makna kosa kata dan frase:
1.      يلحق, asal katanya adalah لحق yang artinya menyusl atau mendapatkan dan bisa juga berarti mengikuti.[13]
2.       نشره علم, maksudnya ilmu yang diajarkan dan disebarkanluaskan.
3.      ولداصالحاتركة, artinya anak yang salih yang ditinggalkan.
4.      ورثه مصفا, artinya mushaf al-Qur’an yang dia wariskan ke orang lain sehingga dibaca dan dimanfaatkan.
5.      بيتالابين السبل, artinya rumah yang dia bangun untuk para Ibnu Sabil yaitu diantaranya para musafir.[14]
Tekhnik interpretasi penafsiran matan Hadis tersebut:
1.      Interprasi tekstual
Hadis ini menjelaskan bahwa setelah seseorang telah meninggal dunia maka orang tersebut masih mendapatkan pahala yang terus mengalir kepadanya dengan beberapa amalan yang dicontohkan, antara lain:
a.       Ilmu yang dia ajarkan dan dia sebarkan, yaitu ilmu yang bermanfaat yang dia miliki lalu ilmu itu diajarkan atau disebarkan kepada orang lain semasa hidupnya. Sepanjang ilmu itu diamalkan orang lain maka orang yang mengajarkannnya masih terus mendapatkan pahala.
b.      Anak shaleh yang dia tinggalkan, yaitu anak yang berkat pendidikan yang diberikan kepadanya tumbuh menjadi anak yang shaleh. Ini adalah bentuk penghargaan Allah SWT kepada para orang tua yang telah berusaha keras mendidik dan membimbing anaknya di jalan yang benar.
c.       Mushaf yang diwariskan, yaitu mushaf yang pernah diwariskan kepada orang lain yang dengannya orang lain bisa membaca al-Qur’an . Inipun bisa menjadikan pahala senantiasa mengalir.
d.      Mesjid yang dibangun, yaitu bahwa orang yang selama di dunia gemar melakukan kebajikan teruta dalam pembangunan sarana peribadan seperti mesjid maka sarana ini bisa menjadi lading amal yang tak akan putus selama tempat peribadatan tersebut masih terus diperggunakan.
e.       Rumah yang dia bangun untuk Ibnu Sabil, yaitu ini adalah gambaran akan kepedulian social kita terutam bagi orang-orang yang membutuhkan. Para musafir biasanya sangat membutuhkan tempat peristirahatan juga tempat untuk menginap dalam perjalanan mereka, maka barangsiapa yang menyediakan fasilitas ini tanpa memberatkan mereka maka ini akan mendapatkan pahala yang  besar bahkan pahala akan terus mengalir.
f.       Sungai yang dialirkan. Hal ini juga bukti kepedulian sosial akan kepentingan bersama. Air yang merupakan kebutuhan vital manusia jika tidak dikelola dengan baik maka dampaknya akan dirasakan sendiri oleh manusia. Sehingga seyogyanya senantiasa dijaga ketersediaan dan kelestariannya. Orang yang berusaha untuk mengadaan dan memelihara fasilitas ini dijanjikan pahala oleh Allah bahkan pahala senantiasa mengalir.
g.      Sedekah yang dikeluarkan dari hartanya ketika masih dalam keadaan sehat selama hidupnya. Sedekah, infaq, dan semacamnya juga merupakan ibadah sosial yang sangat diannjurkan oleh Allah SWT.
2.      Interpretasi intertekstual
Dalam tinjaun intertekstual, ada beberapa dalil baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun  hadis Nabi yang berkaitan dengan hadis di atas, antara lain: surah al-Najm: 39-40.
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
Artinya:   39. Dan sesungguhnya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
                 40. dan sesungguhnya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).[15]
            Menurut penjelasan beberapa ulama diatas tidak berarti manusia tertutup peluangnya untuk mendapatkan manfaat orang lain.
3.      Interpretasi Kontekstual
            Jika hadis di atas dilihat dan diinterpretasikan secara kontekstual maka penulis menilai bahwa hadis ini bisa diinterpretasikan lebih luas yaitu dengan tidak membatasi hanya pada hal-hal yang tersebutkan dalam matan hadis namun bisa diqiyaskan dengan hal-hal lain yang mempunyai nilai substansi yang sama atau mirip dengan hal-hal yang telah disampaikan dalam hadis tersebut.
            Beberapa hal yang di kontekstualkan lebih luas di antaranya; ilmu yang diajarkan dan disebarkan, ini bisa meliputi buku-buku yang ditulis, rekaman kaset atau media visual lainnya. Mushaf yang diwariskan bisa diqiyaskan dengan buku-buku yang diwaqafkan, alat-alat dan fasilitas ibadah lainnya, seperti sajadah, karpet, dan lainnya. Rumah untuk Ibnu sabil bisa diperluas untuk kaum muhtajin lainnya, seperti panti asuhan, panti jompo, rumah penampungan anak terlantar, dan sebagainya. Sungai yang dialirkan bisa dimaknai dengan segala sarana dan prasarana yang bermanfaat bagi masyarakat, misalnya pembangunan jembatan penyeberangan, saluran air, sumur, wc umum dan lain sebagainya.
            Terdapat sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ulama pada masalah sejauh mana amal itu bisa bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal. Sebagian berpendapat orang yang telah wafat tidak ada lagi hubungan dirinya dengan amalnya. Mereka berpijak pada dalil al-Qur’an yang juga telah disebutkan diatas yaitu
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
Artinya: 39. Dan sesungguhnya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
                 40. dan sesungguhnya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).[16]

            Dari ayat diatas, mereka menganggap bahwa apa yang di dapatkan oleh seseorang hanya berdasarkan apa yang telah dia usahakan.
            Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa masih ada kemungkinan seseorang untuk bisa mendapatkan pahala meskipun dia sudah wafat, namun tidak secara umum semua amal orang yang hidup bisa diberikan kepada orang yang sudah wafat. Kelompok ulama inipun berdasarkan pendapatnya yang salah satu hadis yang dibahas dalam makalah ini.
            Sedangkan ulama lagi berpendapat bahwa semua amalan orang yang hidup bisa dikirimkan pahalanya kepada orang yang sudah meninggal. Golongan ini berdasarkan dengan hadis dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab bahwa rasulullah saw  bersabda:
انماالآعمال البنيات وانالكل امرئ مانوي..........
Artinya: bahwa segala amal itu tergantung niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkan atasnya…[17].
            Dari ketiga pendapat di atas, penulis sependapat dengan kedua bahwasanya sesorang yang sudah wafat masih memungkinkan untuk mendapatkan pahala namun hanya amalan-amalan tertentu yang memang disebutkan dalam hadis-hadis Nabi.
            Berdasarkan dari syarah hadits tersebut, maka penulis menemukan beberapa muatan pendidikan antara lain:
1.      Guru dalam mengajarkan ilmunya bukan hanya mendapatkan hasilnya pada saat hidup namun juga pada saat sudah meninggal selama ilmu itu masih dimanfaatkan orang lain.
2.   Peserta didik ketika dibentuk menjadi  anak salih maka guru dan orang tuanya akan selalu dan senantiasa mendapatkan pahalanya atas usaha dalam mendidiknya walaupun dia sudah meninggal selama peserta didik mendoakan guru dan orang tuanya.
3.      Guru dalam memberikan suri dan tauladan yang baik kepada peserta didik, maka dia akan mendapatkan pahala selama peserta didik mencontohi ahlakul karimah pendidik.
4.      Hadis ini mengajarkan kepada pendidik uttuk menuntun, membimbing, serta mendidik peserta didik menjadi manusia yang berjiwa sosial.


III
PENUTUP
Kesimpulan:
a.       Hadis riwayat Abu Hurairah Tentang amal jari’ah tergolong marfu’ dan muttashil. Para periwayat yang melalui Imam Ibnu Majah tidak ditemukan cacat atau aib yang berat sehingga dikategorikan shahih al-Sanad wal-matan, maka bisa dijadikan sebagai hujjah.
b.      Syarah hadis ini ditinjau dari konteks pendidikan Islam:
1.      Guru dalam mengajarkan ilmunya bukan hanya mendapatkan hasilnya pada saat hidup namun juga pada saat sudah meninggal selama ilmu itu masih dimanfaatkan orang lain.
2.   Peserta didik ketika dibentuk menjadi anak salih maka guru dan orang tuanya akan selalu dan senantiasa mendapatkan pahalanya atas usaha dalam mendidiknya walaupun dia sudah meninggal selama peserta didik mendoakan guru dan orang tuanya.
3.   Guru dalam memberikan suri dan tauladan yang baik kepada peserta didik, maka dia akan mendapatkan pahala selama peserta didik mencontohi ahlakul karimah pendidik.
4.   Hadis ini mengajarkan kepada pendidik uttuk menuntun, membimbing, serta mendidik peserta didik menjadi manusia yang berjiwa social.


DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Ed. 11, Cet. IV; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Bin Abd al-Rahman al-Shabuniy, Abu Hamid, Sirah Min Sifat al-Shahabat Juz I, Cet. III; Riyadh: Dar ibnu Huzaimah, 1415.
Daqiqi’ied , Ibnu, Syarhu Matn al-Arba’in al-Nawawiyah, penerjemah:  Abu Umar Abdillah al-Syarif, Syarah Hadis Arba’in , solo: At-Tibyan, tth.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya Bandung: Pustaka al-Syamil, 2005.
Fahruddin, Ahmad, Al-Qur’an Digital/Versi 2. 0, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Nashiruddin al-Albani, Muhammad, Shahih At-Targhib Wa At-Tarhi/, Penerjemah: Izzuddin Karlmi, Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Cet. X; Bandung: al-Maarif, tth
Ubay al-Hajjaj, Yusuf al-Mazi, Jamal al-Din, Tahdzibu al-Kamal fi Asma’ al-Rijal Juz III Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992.
Wensinck A. J., Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadits al-Nabawiy  Juz VI, Leiden: E. J. Brill, 1969.






PAHALA AMALAN YANG ABADI DITINJAU DALAM ASPEK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(HADIS ABU HURAIRAH)
                                                                               




Makalah
Disampaikan Pada Seminar Mata Kuliah Hadis Tarbawi
Semester III Kelompok Qur’an Hadits 2 Program Pascasarjana
 UIN Alauddin Makassar

OLEH:
ABDUL GAFUR AMIN
NIM: 80100209071

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah.
      Prof. Dr. H. Abustani Ilyas, M. Ag.



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2011





[1] Ibnu Daqiqi’ied, Syarhu Matn al-Arba’in al-Nawawiyah, penerjemah:  Abu Umar Abdillah al-Syarif, Syarah Hadis Arba’in (solo: At-Tibyan, tth), h. 185.
[2]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Pustaka al-Syamil, 2005), h. 150.
                     




[3] A. J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadits al-Nabawiy  Juz VI (Leiden: E. J. Brill, 1969), h. 323.
[4]Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih At-Targhib Wa At-Tarhi/, Penerjemah: Izzuddin Karlmi (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007), h. 176.
                        5 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Ed. 11, Cet. IV; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 83.
[6] Abu Hamid bin Abd al-Rahman al-Shabuniy, Sirah Min Sifat al-Shahabat Juz I (Cet. III; Riyadh: Dar ibnu Huzaimah, 1415), h. 127.
[7] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Cet. X; Bandung: al-Maarif, tth), h. 384-385.
[8] Jamal al-Din Ubay al-Hajjaj Yusuf al-Mazi, Tahdzibu al-Kamal fi Asma’ al-Rijal Juz III (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), h. 236-237.
[9] Ibid,Juz IV, h. 354.
[10] Ibn Hajar al-Asqalani, Op Cit, h. 248.
[11] Jamal al-Din ubay al-Hajjaj Yusuf al-Mazi, Op Cit, h. 324.
[12] Ibid, h. 278.
[13] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1259.
[14] Ibid, h. 112.
[15] Ahmad Fahruddin, dkk, Al-Qur’an Digital/Versi 2. 0 (2004), h. al-Najm 39-40.
[16] Ibid, h. al-Najm 30-40
[17] Ibnu Daqiqi ‘ied, Loc Cit, h. 27.

Tidak ada komentar: