Daftar Pustaka

Sabtu, 26 Februari 2011

فواتح السور FAWATIH AL-SUWAR


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah Swt dan ia adalah kitab yang yang selalu dipelihara (Q.S. al-Hijr/15: 9).
Dengan jaminan ayat tersebut, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Qur’an saat ini tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah Saw dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat.
      Al-Qur’an juga menjadi bukti kebenaran Rasulullah Saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap.[1] Pertama, menantan mereka untuk siapapun yang meragukannya untuk menyusun semacam al-Qur’an secara keseluruhan (Q.S. al-Tur/52: 34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam al-Qur’an (Q.S. Hud/11: 13). Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam al-Qur’an (Q.S. Yunus/10: 38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah saja dari al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah/2: 23). Dalam hal ini Allah Swt menegaskan dalam FirmanNya pada Q.S. al-Isra’/17: 88;
88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al- Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
      Walaupun al-Qur’an menjadi bukti kebenaran Rasulullah Saw, tapi fungsi utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia. Sebagai petunjuk, Rasulullah Saw mendapat tugas untuk menjelaskan maksud dari ayat-ayat Allah Swt yang terkandung dalam al-Qur’an (Q.S. al-Nahl/16: 44). Namun harus digaris bawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Rasulullah Saw tentang arti ayat-ayat al-Qur’an tidak banyak yang kita ketahui, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otensitasya, tetapi juga karena Rasulullah Saw sendiri tidak menafsirkan semua ayat al-Qur’an.[2]
      Dari segi materi, terlihat bahwa ada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Swt atau oleh Rasulullah Saw bila beliau menerima penjelasan dari Allah Swt.[3] Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Ali ‘Imran/3:7 yang membagi ayat-ayat al-Qur’an kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar)[4] dan bahwa:
07. Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.[5]
      Termasuk dalam hal ini adalah huruf-huruf hijaiyah yang menjadi ayat-ayat pembuka surah-setelah basmalah-pada sebagian surah dalam al-Qur’an yang sering dikenal dengan istilah fawatih al-suwar. Tentang fawatih al-suwar ini, ada yang berusaha menafsirkan makna huruf-huruf tersebut, namun sebagian besar menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt yang mengetahui.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, inilah kemudian yang akan dibahas dalam makalah ini dengan mengulas permasalahan pokok mengenai:
1.      Pengertian dan macam-macam bentuk fawatih al-suwar.
2.      Pandangan Ulama terhadap fawatih al-suwar.
 
فواتح السور
FAWATIH AL-SUWAR
A.    PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM BENTUK FAWATIH AL-SUWAR
     Al-Qur’anul karim merupakan kitab suci yang keautentikannya dijamin oleh Allah, dan ia merupakan kitab yang senantiasa dipelihara hingga hari kiamat. Hal itu ditegaskan oleh Allah dan firman-Nya:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S. al-Hijr/15:9)
     Demikianlah Allah menjamin keautentikan Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk- makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Demikian jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarkannya sebagai al-Qur’an tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw.
Apabila kita membaca al-Qur’an yang diturunkan kepada manusia secara global, akan kita dapati bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu  ada yang bersifat muhkan dan ada juga yang mutasyabihat.[6] Boleh jadi kita mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an adalah muhkam, dan kita pun dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an mutasyabihat. Hal ini berlandaskan kepada Surah Hud ayat 1 (untuk muhkam) dan pada Surah Az Zumar ayat 23 (untuk mutasyabihat).
Fawatih Suwari adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surah, ia merupakan bagian dari ayat Mutasyabihat. Karena ia bersifat mujmal, mu’awwal, dan musykil. Di dalam al-Qur’an terdapat huruf-huruf awalan dalam pembuka surah dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan kemahatahuan-Nya, sehingga kita terpanggil untuk menggali ayat-ayat tersebut. Dengan adanya suatu keyakinan bahwa semakin dikaji ayat al-Qur’an itu, maka semakin luas pengetahuan kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan. perkembangan ilmu tafsir yang kita lihat hingga sekarang ini.[7]
Di sini hanya dikemukakan deskripsi tentang fawatih suwari sebagai salah satu kajian tafsir, dengan mengemukakan macam-macam bentuk serta pendapat ulama tentang hal tersebut.
1.           Macam-macam bentuk Fawatih Al-Suwar
Setelah basmalah, pada permulaan dua puluh Sembilan surah di dalam al-Qur’an terdapat satu atau sekelompok huruf hijaiyah yang biasanya dibaca sebagai huruf-huruf terpisah atau berdiri sendiri. Sejumlah nama lazimya digunakan untuk merujuk kepada huruf-huruf tersebut, seperti fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surah), awail al-suwar (permulaan-permulaan surah), al-huruf al-muqatta’ah/at (huruf-huruf potong/terpisah), dan sebagainya. Sementara sebutan yang lazim digunakan sarjana Barat ketika merujuk pada huruf-huruf tersebut adalah “huruf-huruf misterius”.[8]
      Meskipun penulis tidak menemukan penjelasan definitif tentang arti fawatih al-suwar dari berbagai referensi yang ada, namun fawatih al-suwar secara khusus[9] yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah huruf-huruf hijaiyah yang menempati awal surah-setelah basmalah-yang biasanya dibaca sebagai huruf-huruf terpisah, yang terdapat pada dua puluh sembilan surah dalam al-Qur’an.
      Potongan huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada sejumlah surah al-Qur’an, ada kalanya hanya muncul sekali-secara tunggal atau dalam kombinasi dan sebelum surah-surah yang tersendiri, tetapi juga terdapat kombinasi-kombinasi lain yang muncul sebelum beberapa surah, dan surah-surah yang memiliki huruf-huruf kombinasi yang sama berada dalam satu kelompok.[10]  Namun secara garis besarnya ada lima bentuk awalan yang dimulai oleh fawatih al-suwar tersebut, yang dapat dilihat dalam al-Qur’an, yakni:
Ada lima bentuk awalan yang dapat dilihat  dalam al-Qur’an. Hal ini dikaji secara khusus dalam usaha mengetahui hikmahnya. Awalan surah tersebut adalah:
1.         Awalan surah yang terdiri dari satu huruf, ini terdapat pada tiga surah.
a.       Surah Shad (Q.S. 38)                                                                               ص. والقران ذى الذكرى  
b.      Surah Qaaf (Q.S. 50)                                                                                         ق. القران المجيد
c.       Surah al-Qalam (Q.S. 68)ن. والقلم وما يسطرون                                                                                                                                                        
2.    Awalan surah yang terdiri dari dua huruf, ini terdapat pada sepuluh surah:
a.       Surah al- Mukmin (Q.S. 40) حمّ
b.      Surah Fushshilat (Q.S.41)ّ حم
c.       Surah Asy Syura (Q.S. 41)ّ      حم
d.      Surah Az Zukhruf (Q.S. 43)  حمّ
e.       Surah Ad Dukhan (Q.S. 44)  حمّ
f.       Surah Al Jatsyiah (Q.S. 45)حمّ
g.      Surah Al Ahqaf (Q.S. 46) حمّ
h.      Surah Thaha (Q.S.20)طه
i.        Surah An Maml (Q.S. 27)   طس
j.        Surah Yasin (Q.S. 36) يس
Tujuh dari sepuluh sepuluh di atas dinamakan hawwaamiim.[11]
3.         Awalan surah yang terdiri dari tiga huruf, ini terdapat pada tiga belas surah:
Enam surah diawali Alif Lam Mim الم
a.       Surah al- Baqarah (Q.S.2)
b.      Surah al- Imran (Q.S. 3)
c.       Surah al- Ankabit (Q.S. 29)
d.      Surah Ar Rum (Q.S. 30)
e.       Surah al- Lukman (Q.S. 31)
f.       Surah as Sajadah (Q.S. 32)
Lima Surah diawali dengan Alif Lam Ro الر
a.       Surah Yunus (Q.S. 10)
b.      Surah Hud (Q.S. 11)
c.       Surah Yusuf (Q.S. 12)
d.      surah Surah Ibrahim (Q.S. 14)
e.       Surah al-Hijr (Q.S. 15)
Dua surah yang diawali dengan Tha Sin Mim  طسم
a.       Surah As Syu’araa (Q.S. 26)
b.      Surah al- Qashash (Q.S. 28)
4.         Awalan surah yang terdiri dari empat huruf, ini terdapat pada dua tempat, yaitu:
a.       Surah al-A’raf (Q.S.7)المص
b.      Surah Ar Ra’du (Q.S. 13) المر
5.         Awalan Awalan surah yang terdiri dari lima huruf, ini hanya terdapat pada Surah Maryam (Q.S. 19) [12] .كهيعص
Dua puluh Sembilan (29) surah yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah tersebut, dua puluh tujuh (27) di antaranya turun di Mekah sebelum Rasulullsh Saw hijrah dan dua (2) surah turun di Medinah.[13] Adapun huruf yang paling banyak digunakan adalah; Alif dan Lam, kemudian Mim, dan seterusnya secara berurutan huruf Ha, Ra, Sin, Ta, Sad, Ha, dan Ya’, ‘Ain dan Qaf, dan akhirnya Kaf dan Nun.[14] 
       Setelah huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan-pembukaan surah ini dengan tanpa berulang, berjumlah 14 huruf atau separuh dari jumlah keseluruhan huruf hijaiyah. Karena itu, para mufassir berkata bahwa pembukaan-pembukaan tersebut untuk menunjukkan kepada bangsa Arab akan kelemahan mereka. Meskipun al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf hijaiyah yang mereka kenal, yang sebagiannya dating dalam bentuk satu hurf dan lainnya dalam bentuk yang tersusun dari beberapa huruf, namun mereka tidak mampu membuat kitab yang dapat menandinginya. Hal ini menunjukkan kelemahan mereka di hadapan al-Qur’an.[15] 
Huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam al-Qur’an tersebut adalah juga jaminan keotentikan dan keutuhan al-Qur’an sebagaimana diterima oleh Rasulullah Saw.[16] Demikian pendapat Rasyad Khalifah Sebagaimana yang dikutip oleh DR. Mustafa Ahmad yang tertuang dalam membumikan al-Qur’an karya M. Quraish Shihab. Lebih lanjut dikatakan bahwa,
Tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh al-Qur’an. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm All(a)h Al-R (a)hm(a)n Al-R(a)him. (huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab). Huruf ق (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 39x19. Huruf-huruf kaf’, ha’, ya’, ‘ayn, shad, dalam surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42x19. Huruf ن (nun) yang memulai surah Al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7x19. Kedua huruf ي  (ya’) danس  )sin) pada surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15x19. Kedua huruf ط (tha’) dan ــه (ha’) pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19x18. Huruf-huruf ح(ha) dan م (mim) yang terdapat pada keseluhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha’mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114x19, yakni masing-masing berjumlah 2.166.[17]
Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat al-Qur’an, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan al-Qur’an. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian itu akan menjadi kacau. Angka 19, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah tersebut, juga diambil dari pernyataan al-Qur’an sendiri, yakni yang termuat dalam Q.S. 74: 30[18] yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran al-Qur’an.[19] 
      Apabila kita mengklasifikasikan huruf-huruf yang terdapat dalam fawatih al-suwar, maka akan kita dapati bahwa susunannya tidak saja terdiri dari separuh huruf hijaiyah, bahkan juga meliputi setiap jenis huruf, yakni:
a.       Di antara kelompok huruf-huruf halq (yang suaranya keluar dari kerongkongan), terdapat huruf: ــه، ع، ح  
b.      Di antara kelompok huruf-huruf mahmusah (yang suaranya seperti bisikan), terdapat huruf: س، ــه ، ك ، ص، ح
c.       Di antara kelompok huruf-huruf mahjurah (yang suaranya dikeraskan), terdapat huruf:  ت، ي، ق، ط، ر، ع، ل، م، ــه 
d.      Di antara huruf-huruf syafahi (suaranya di bibir), terdapat huruf: م 
e.       Di antara huruf-huruf qalqalah (suaranya bergerak apabila dimatikan), terdapat huruf: ق ط



B.     PANDANGAN ULAMA TENTANG FAWATIH AL-SUWAR
Ketika akan membicarakan fenomena potongan huruf-huruf hijaiyah yang terdapat dalam al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa tidak ditemukan orang Arab yang mengenal ataupun menggunakan gaya bahasa seperti itu dalam permulaan ucapan mereka. Begitu juga, kita tidak menemukan satu makna pun bagi huruf-huruf tersebut selain penyebutannya dalam huruf-huruf hijaiyah. Bahkan tak ditemukan satu pun hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah Saw mengenai tafsir huruf-huruf tersebut yang dapat dijadikan pegangan.[20] Barangkali inilah yang menjadi pemicu banyaknya pendapat para ulama dan perbedaan sudut pandang di antara mereka tentang penafsiran huruf-huruf tersebut.
      Secara ringkas, pendapat para ulama dapat dikemukakan ke dalam 3 sudut pandang utama, yakni:
1.      Penafsiran yang memandang huruf-huruf tersebut masuk ke dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah SWT.
2.      Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu sebagai singkatan untuk kata-kata atau kalimat tertentu.
3.      Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu bukan merupakan singkatan, tetapi mengajukan sejumlah kemungkinan tentang penafsiran maknanya[21] - sebagaimana akan dijelaskan nantinya.
Pandangan kelompok pertama yang diwakili oleh para ulama salaf, dalam menyikapi huruf-huruf hijaiyah yang terletak pada awal surah sebagai ayat-ayat mutasyabihat, berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut telah tersusun sejak azali sedemikian rupa, melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkan yang seperti al-Qur’an.[22] Karena kehati-hatiannya, mereka tidak berani memberi penafsiran terhadap huruf-huruf itu, dan berkeyakinan bahwa Allah Swt sendiri yang mengetahui tafsirnya. Hal ini menjadi suatu kewajaran yang berlaku bagi ulama salaf karena mereka dalam hal teologi pun menolak untuk terlibat dalam pembahasan tentang hal-hal yang menurut mereka tidak dapat dilampaui oleh akal manusia.[23]
      Al-Sya’bi (w.104 atau 105 H.)- sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi al-Shiddieqy- menegaskan bahwa; “Huruf awalan itu adalah rahasia al-Qur’an”.[24] Dasar argumentasinya adalah karena hal tersebut dipertegas oleh perkataan Abu Bakar al-Shiddiq, bahwa:
فى كل كتاب سر وسره فى القران أوائل السور
“Di tiap-tiap kitab, ada rahasianya. Rahasia dalam al-Qur’an, ialah permulaan-permulaan surat.”[25]
Ali bin abi Thalib juga pernah berkata:
ان لكل كتاب صفوة وصفوة هذا الكتاب حروف التهجي
“Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab ada saripatinya, saripati al-Qur’an ini ialah huruf-huruf hijaiyah”.[26]
      Demikian pula ahli-ahli hadis menukilkan dari Ibnu Mas’ud (w. 32 H./6523 M.) dan empat Khulafa al-Rasyidin, bahwa mereka berkata:
إن هذه الحروف علم مستور وسرّ محجوب استأثره الله به
“Sesungguhnya huruf-huruf ini, adalah ilmu yang tersembunyi dan rahasia yang terdinding, yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya”.[27]
      Karenanya, ulama-ulama yang memaknakan fawatih al-suwar ini, tidak berani memberikan pendapat secara pasti, mereka hanya menyerahkan penafsirannya yang hakiki kepada Allah Swt.
      Kelompok kedua, yang memandang huruf-huruf hijaiyah pada fawatih al-suwar itu unjuk sebagai singkatan untuk kata-kata atau kalimat tertentu, mengajukan penafsiran yang bervariasi tentang kepanjangan huruf-huruf tersebut.
Ibnu Abbas (w. 68 H.), misalnya, diriwayatkan dari padanya bahwa ia berpendapat tentang    الم, Alif menunjuk kepada ana, lam menunjuk kepada Allah dan Mim menunjuk kepada A’lam (u) sehingga maknanya   انا الله أعلم  )Aku adalah Allah lebih mengetahui), adapun   المص adalah dari  انا الله افصّل  (Aku adalah Allah akan menjelaskan segala sesuatu), dan tentang الر     bermakna انا الله أرى  (Aku adalah Allah, Aku melihat).[28]
      Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa tentang كهيعص ia berkata: الكاف dari كريم  (Yang Maha Mulia), الهاء dari هاد  (Memberi Petunjuk), الياء dari حكيم (Yang Maha Bijaksana), العين dari عليم (Yang Maha Mengetahui) dan الصّاد dari صادق  (Yang Maha Benar).[29] Diriwayatkan pula daripadanya bahwa ia berkata: ن، حم، الر adalah huruf-huruf terpisah dari الرحمن.[30]
      Al-Suyuti menerangkan pula-sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi al-Shiddieqy, bahwa sebahagian dari huruf-huruf tersebut adalah nama Allah, seperti: ق,  طسم, .المص  [31]  Demikian pula dari Salim Abd Ibn Abdillah, ia berkata:حم، الم    dan ن dan seumpamanya adalah nama Allah Swt yang dipisah-pisah.[32]
      Kelompok ketiga, berpendapat bahwa “huruf-huruf potong” yang terdapat pada permulaan sejumlah surah al-Qur’an itu bukanlah singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat tertentu. Tetapi sehubungan dengan makna huruf-huruf tersebut, kelompok ini juga mengajukan kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang bervariasi.
Huruf-huruf itu merupakan huruf-huruf misterius yang secara tidak jelas merujuk kepada nama-nama nabi, nama-nama bagi al-Qur’an, dan mana-nama bagi surah yang memuatnya, seperti الم   adalah nama bagi surah al-Baqarah, كهيعص adalah nama bagi surah Maryam, ن adalah nama surah al-Qalam, dan seterusnya. Pendapat ini dipilih oleh kebanyakan ulama kalam, dan sekelompok ulama bahasa, dan dibenarkan oleh Syekh Thusi serta dikuatkan oleh al-Tabari (224-310 H.).[33]
Ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf tersebut merupakan tanda-tanda mistik dengan makna simbolik yang didasarkan pada nilai-nilai numeric alphabet Semitik-Utara, misalnya: الم (1+30+40=71); المص )1+30+40+60=131); الر (1+30+200=menun231); المر (1+30+40+200=271), dan lain-lain, dimana angka-angka ini menunjukkan usia umat Nabi Muhammad Saw.[34] Pendapat ini selanjutnya dikomentari oleh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M.) dalam tafsir al-Manarnya sebagaimana yang dikutip oleh Baqir Hakim- bahwa: “Pendapat yang paling lemah mengenai huruf-huruf ini dan yang paling tidak masuk akal adalah bahwa jumlah hitungan angkanya mengisyaratkan umur ini atau yang serupa dengan itu”.[35]
      Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa jika huruf-huruf awalan itu dikumpulkan dengan mengesampingkan perulangannya, maka akan menjadi suatu kalimat yang berbunyi:
 صرط على حق نمسكه(Jalan yang ditempuh Ali adalah kebenaran yang kita pegangi).[36] Tampaknya pemahaman ini bertujuan untuk memperkuat dakwaan mereka bahwa Ali sebagai imam mereka. Karena itu pula, sebagian ulama Sunni membantahnya dengan menyusun kalimat yang mengandung pengertian yang memihak kepada Sunni dari huruf-huruf yang sama, menjadi: صحّ طريقك مع السنّة   (Telah benar jalanmu bersama sunnah).[37]
      Pendapat lain mengemukakan bahwa huruf-huruf itu merupakan tanbih, media untuk membangkitkan perhatian Rasulullah Saw kepada apa yang disampaikan kepadanya di kala beliau dalam keadaaan sibuk misalnya. Demikian yang diungkapkan oleh Khuwaibi.[38] Atau untuk mempesonakan bagi yang mendengarkannya (kaum musyrikin mekah dan ahli kitab di madinah) sehingga lebih menaruh perhatian kepada Risalah Allah Swt yang disampaikan Rasulullah Saw.- Sebagaimana yang diungkapkan Rasyid Ridha.[39] Pendapat ini pula yang diungkapkan  oleh Fakhruddin al-Razy (543-606 H.) dan al-Zamakhsyari (467-538 H.).[40]
      Penafsiran-penafsiran yang muncul belakangan mengenai masalah ini dapat dikatakan belum keluar dari gagasan-gagasan klasik tersebut. Al-Suyuthi,- sebagaimana dikutip oleh Taufik Adnan Amal-setelah mendiskusikan berbagai pandangan tentang makna fawatih al-suwari ini, menyimpulkan bahwa fawatih al-suwar ini adalah huruf-huruf atau symbol-simbol misterius yang makna hakikinya hanya diketahui oleh Allah Swt.[41] Jadi, al-Suyuthi pada prinsipnya mengikuti sudut pandang kelompok pertama; dan pendapat semacam ini masih tetap dipegang teguh sejumlah mufassir modern.
M. Quraish Shihab, dalam kitab tafsirnya “Al-Misbah”menyatakan bahwa fawatih al-suwar ini merupakan isyarat bahwa kitab suci al-Qur’an ini menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan orang-orang Arab, namun demikian mereka tidak mampu membuat sesuatu yang serupa.[42] Fawatih al-Suwar ini juga menggugah perhatian orang yang mendengarnya, di samping sebagai salah satu bukti kemukjizatan al-Qur’an.[43] Sehubungan dengan hal ini, Yusuf al-Qardhawi-sebagaimana dikutip oleh M.Quraish Shihab-dalam tafsirnya atas surah al-Ra’d menulis bahwa memang bacaan huruf-huruf tersebut mempunyai langgam tersendiri yang dapat berpengaruh, bahkan menurut al-Qardhawi, beberapa orang temannya menyampaikan kepadanya bahwa sementara pakar dari Barat dalam bidang musik memeluk Islam setelah mendengar huruf-huruf tersebut dan bahwa sebagian di antara mereka menemukan sesuatu yang janggal pada beberapa surah yang dimulai dengan huruf fonetis itu, tetapi kemudian mengetahui bahwa kejanggalan itu lahir dari cara membacanya yang keliru. Dia tidak membacanya secara terputus-putus tetapi membacanya secara terpadu. Al-Qardhawi juga menyebutkan bahwa dia memperoleh informasi dari beberapa temannya yang mengelolah Rumah Sakit “Akbar” di Panama City, Amerika, bahwa al-Qur’an mempunyai pengaruh positif terhadap oang-orang sakit, baik muslim maupun non muslim, baik yang mengerti bahasa Arab maupun tidak.[44] Dari fenomena ini terlihat bagaimana al-Qur’an menunjukkan kemukjizatannya dapat mempengaruhi psikis seseorang yang mendengarnya.
      Salah satu pendapat terbaru adalah yang dikemukakan Rasyad Khalifah-sebagaimana yang dikutip M.Quraish Shihab-bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam surah-surahnya. Dalam surah al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif, kemudian lam dan mim. Demikian juga pada surah-surah yang lainnya, masing-masing sesuai dengan huruf-huruf yang disebut pada awalnya, kecuali surah Yasin. Kedua huruf yang dipilih pada surah tersebut adalah huruf paling sedikit digunakan oleh kata-kata surah itu. Ini karena huruf ya’ (ي) dalam susunan alphabet Arab berada sesudah huruf sin (س) sehingga kedua huruf itu mengisyaratkan huruf yang terbanyak, tetapi yang paling sedikit.[45] Tentunya perlu penelitian yang seksama sebelum membenarkan teori ini.
      Mencermati berbagai pandangan para ulama ataupun mufassirin dalam memaknakan fawatih al-suwar yang mengawali ke 29 surah ini dan juga mencermati ke-29 surah yang diawali dengan fawatih al-suwari ini pada umumnya ayat-ayatnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang turun sebelum Nabi hijrah ke Medinah-hanya 2 surah yang turun di medinah (Q.S. al-Baqarah/2) dan Q.S. Ali-Imran/3), dimana kehidupan nabi bersentuhan langsung dengan kehidupan kaum musyrikin atau kaum kafir Quraisy yang dalam sejarah menentang risalah yang dibawa nabi dan sekaligus meragukan kebenarannya. Kedua, ke 29 surah ini pada umumnya mengusung tema pokok tentang ketauhidan dan argumentasi akan kebenaran al-Qur’an bagi mereka yang meragukan al-Qur’an sekaligus tantangan bagi kaum musyrikin untuk membuat semisal al-Qur’an memang meragukannya. Ketiga, huruf-huruf hijaiyah yang mengawali ke 29 surah al-Qur’an ini adalah berjumlah 14 huruf-dengan mengabaikan perulangannya-, separuh dari jumlah huruf ejaan hijaiyah, dan angka 29 surah merupakan jumlah huruf hijaiyah (jika dimasukkan huruf hamzah), dan mewakili setiap jenis huruf. Keempat, Dari ke 29 surah tersebut itu pula didapati bahwa pada ayat-ayat awal setelah fawatih al-suwari ini pada umumnya merujuk kepada al-Kitab, al-Qur’an atau wahyu, hanya 3 surah yang tidak memiliki rujukan semacam ini (Q.S. Maryam/19, al-‘Ankabut/29, al-Rum/30.
      Dari beberapa indikasi tersebut maka penulis lebih condong kepada pendapat bahwa fawatih al-suwar ini dimaksudkan untuk menjadi salah satu bukti akan keotentikan, kebenaran dan kemukjizatan al-Qur’an sekaligus untuk menunjukkan kelemahan kaum musyrikin di hadapan al-Qur’an, oleh karena al-Qur’an yang diturunkan dengan memakai huruf-huruf dan bahasa yang mereka kenal bahkan mereka pergunakan sehari-hari akan tetapi mereka tidak mampu-bahkan tidak akan pernah mampu sampai kapanpun-untuk membuat semisal al-Qur’an.
      Berbagai gagasan tafsir tersebut di atas, baik gagasan dasar yang diletakkan para mufassir klasik maupun mufassir modern, meski  sangat variatif, namun gagasan-gagasan tersebut sama sekali tidak keluar dari konsepsi dasar bahwa huruf-huruf tersebut merupakan bagian dari al-Qur’an yang diterima Rasulullah Saw.
      Namun tidak demikian  halnya bagi para sarjana Barat yang mulai berupaya mengungkap tabir misteri huruf-huruf tersebut. Theodore Noeldeke dapat dipandang sebagai sarjana Barat pertama yang mengajukan gagasan spekulatif mengenai huruf-huruf tersebut. Sebagaimana yang dikutip oleh Taufik Adnan Amal, menurut Noeldeke, huruf-huruf tersebut tidak berasal dari Rasulullah, namun lebih mencerminkan inisial atau monogram pemilik-pemilik naskah al-Qur’an yang digunakan Zayd Ibn Tsabit ketika pertma kali mengumpulkan al-Qur’an. Misalnya; الر inisial dari Zubayr bin Awwam, المر dari al-Mughirah, طه dari Thalhah Ibn Ubaydillah, حم  dan ن dari Abd al-Rahman bin Auf, huruf tengah dari kelompok كهيعص merupakan singkatan dari kata Ibn, sedangkan dua huruf terakhir adalah singkatan dari al-Ash; dan lain-lain.[46] Gagasan ini selanjutnya didukung dan dikembangkan oleh Hirschfeld,[47] Gagasan Noeldeke ini tidak saja sangat spekulatif tapi juga jauh menyimpang dari kebenaran.
      Terlepas dari pandangan Noeldeke dan para sarjana Barat lainnya, terdapat konsepsi dasar bagi kaum muslimin meskipun mereka melakukan penafsiran yang beragam terhadap fawatih al-suwari ini, adalah mereka tidak berbeda bahwa huruf-huruf tersebut merupakan bagian dari al-Qur’an, wahyu yang dibawa Rasulullah Saw. Mereka kemudian berbeda pendapat    dalam menempatkannnya sebagai sebuah ayat yang tersendiri dalam surah-surah tersebut-sebagaimana halnya basmalah. Hal ini kemudian berimplikasi pada perbedaan penghitungan tentang jumlah ayat dalam al-Qur’an. Orang-orang Medinah menghitung 6214 ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, orang-orang Mekah menghitung sejumlah 6219 ayat; orang-orang Kufah sejumlah 6263 ayat; orang-orang Bashrah sejumlah 6204 ayat; dan orang-orang Siria (Syam) sejumlah 6225, ayat. Tetapi dalam mushaf Usmani edisi standar Mesir, yang menjadi panutan sebagian besar dunia Islam dewasa ini, ayat al-Qur’an seluruhnya dihitung 6236 ayat.[48] Berbagai perbedaan dalam penghitungan ayat ini tentunya tidak mengimplikasikan perbedaan kandungan al-Qur’an untuk setiap sistem penghitungannya.
      Imam al-Zamakhsyari (467-538 H.) mengatakan-sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam kitabnya “al-Itqan”- bahwa ayat adalah isim ‘alam (suatu istilah) yang bersifat tauqifi, yang tidak ada qiyas di dalamnya. Karenanya, mereka menganggap الم sebagai sebuah ayat dalam al-Qur’an, demikian pula dengan المص. Tetapi mereka tidak menganggap المر dan   الر sebagai ayat. Mereka juga menganggap حم sebagai sebuah ayat tersendiri dalam surah, demikian juga  طهdan يس, tetapi tidak menganggap طس sebagai ayat.[49] Begitu pula apa yang dikemukakan oleh Masyfuk Zuhdi, bahwa para ulama menghitung المص satu ayat, tetapi mereka tidak menghitung المر satu ayat. Demikian juga mereka menghitung يس satu ayat, tetapi mereka tidak menghitung طس sebagai ayat. Mereka juga menghitung حمعسق dua ayat, tetapi mereka tidak menghitung كهيعص dua ayat, padahal serupa.[50]
      Al-Suyuthi menyatakan bahwa di antara dalil yang menunjukkan bahwa hal itu tauqifi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya melalui jalan periwayatan ‘Ashim bin Abi al-Nujud, dari Zir, dari Ibnu mas’ud, ia berkata:
اقرأني رسول الله صلى الله عليه وسلم سورة من الثلاثين من ال حم قال يعنى الأحقاف وقال كانت السورة اذا كانت اكثر من الثلاثين اية سمّيت الثلاثين
“Rasulullah Saw telah membacakan surat kepadaku dari ats-Tsalaatsiin, dari alif lam Ha Mim. Ia (Ibnu Mas’ud) berkata: yaitu surat al-Ahqaf. Dan berkata: dahulu jika ada surat yang ayatnya lebih dari tiga puluh dinamakan ats-Tsalaatsin…[51]
Begitu pula hadis yang dikemukakan oleh Ibnu Araby, bahwa:
ذكر النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم أن الفاتحة سبع ايات وسورة الملك ثلاثون اية
“Nabi Saw pernah menyebutkan bahwa surat al-Fatihah itu tujuh ayat dan surat al-Mulk itu tiga puluh ayat”.[52]
      Sementara sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa menentukan ayat itu berdasarkan dua sifat yaitu tauqifi dan qiyas atau ijtihad, karena ketentuan suatu ayat adalah terletak pada fasilahnya.[53]
Perbedaan penghitungan ayat, selain dikarenakan perbedaan dalam penetapan basmalah sebagai ayat atau bukan dan fawatih al-suwar sebagai ayat-ayat terpisah atau tersendiri, pada hakekatnya juga disebabkan oleh perbedaan dalam menentukan apakah rima telah menandakan berakhirnya suatu ayat atau masih berlanjut, atau dengan kata lain, perbedaan dalam penetapan ra’sul ayah (kepala ayat) dan fashilah. Hal ini terjadi akibat adanya kenyataan bahwa rima di dalam al-Qur’an sebagian besarnya dihasilkan lewat penggunaan bentuk-bentuk atau akhiran-akhiran gramatikal yang sama.[54] Demikian pula tanda wakaf sebagai tempat berhenti, ada yang menganggap pemberhentian itu bukanlah koma, tetapi memang benar-benar berhenti.[55]
      Dalam beberapa surah, yang pada umunya merupakan surah-surah panjang, ayatnya panjang dan menggugah; sementara dalam surah-surah pendek, ayatnya pendek, tetapi padat dan mengena.[56] Memang terdapat pengecualian terhadap generalisasi semacam ini- misalnya Q.S. al-Syu’ra/26 yang terhitung panjang, memiliki 200 ayat pendek, sementara Q.S. al-Bayyinah/98 yang terhitung pendek, berisi 8 ayat panjang- tetapi secara keseluruhan itulah gambaran umum ayat-ayat al-Qur’an.

KESIMPULAN
      Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa:
1.      Fawatih al-suwar adalah huruf-huruf hijaiyah yang dibaca sendiri-sendiri sesuai dengan hurufnya, yang menempati awal surah dari 29 surah yang terdapat dalam al-Qur’an. Ada 13 bentuk fawatih al-suwar yakni: كهيعص، طسم، المص، المر، الر، الم، يس، حم، طس، طه،ص، ن، ق yang terbagi atas 5 macam: (a). awalan yang terdiri atas satu huruf, terdapat pada 3 surah; Q.S. 38,50,68; (b). Awalan yang terdiri dari dua huruf, terdapat pada 10 surah; Q.S. 20,27,36,40, sampai dengan 46. (c) Awalan yang terdiri dari 3 huruf, terdapat pada 13 surah; Q.S. 2,3,29,30,31,32,10,11,12,14,15,26,28. (d). Awalan yang terdiri dari 4 huruf terdapat pada 2 surah; Q.S. 7 dan 13 (e). Awalan yang terdiri dari 5 huruf terdapat pada 1 surah; Q.S. 19.
2.      Terdapat berbagai pandangan ulama tentang fawatih al-suwar tersebut, namun secara garis besar dapat dilihat dari 3 sudut pandang utama yakni; (a) Ulama salaf dan para mufassir pada umumnya menganggap fawatih al-suwar ini termasuk dalam ayat-ayat mutasyabihat, yang makna hakikinya hanya diketahui oleh Allah Swt. Dan menjadi bukti kebenaran dan kemukjizatan al-Qur’an, (b) Pandangan yang memaknakan fawatih al-suwar sebagai singkatan dari kata-kata atau kalimat tertentu, seperti Ibnu Abbas yang menafsirkan sebagai singkatan dari sifat-sifat Allah, (c). Pandangan yang menafsirkan bukan sebagai singkatan untuk kata-kata atau kalimat tertentu, namun dengan penafsiran yang beragam, seperti untuk nama nabi, nama surah, nama al-Qur’an bahkan menyusunnya sebagai sebuah kalimat yang tendensius. Beragamnya penafsiran tersebut, namun tetap pada konsensus dasar bahwa fawatih al-suwar adalah bagian dari al-Qur’an, wahyu yang dibawa Rasulullah Saw meski terdapat perbedaan dalam menempatkannya sebagai ayat yang terpisah atau tersendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Karim
Al-Abyari, Ibrahim, Tarikh al-Qur’an, diterjemahkan oleh Hj.St. Amanah dengan judul Sejarah Al-Qur’an, Cet. I, Semarang: Dina Utama, 1993.
Ali, H. A. Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, tc., Yogyakarta:    Mizan, 1993.
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, tc., Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001.
Anwar, Abu, Ulumul Qur’an: Sebuah Pengantar, Cet. III; Jakarta: Amzah, 2009.
Bell, Richard, Bell’s Introduction to The Qur’an, diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal dengan judul Pengantar Studi Al-Qur’an, Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan terjemahnya, Cet. X; Bandung: CV, Diponegoro, 2004.
Hakim, Muhammad Baqir, Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Nashirul Haq, et. Al. dengan judul Ulumul Quran, Cet. III; Jakarta: Al-Huda, 2006.
Hidayat, Rachmat Taufiq, Khazanah Istilah al-Qur’an, Cet. V, Bandung: Mizan, 1995.
Iqbal, Mashuri Sirojuddin, dan A.Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, tc., Bandung: Angkasa, t,th.
Al-Qattan, manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an,  diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Cet.X; Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007.
Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Ilmu-ilmu Alqur’an: Media-Media Pokok dalam menafsirkan al-Qur’an, Cet.II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998.
-------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, Cet. IX, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat., Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994.
------------------, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet. VII, Jakarta: Lentera hati, 2007.
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Farikh Marzuki Ammar, et.al. dengan judul, Samudera Ulumul Qur’an, tc., Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, t.th.
-------------------, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Editor Indiva dengan judul, Studi Al-Qur’an Komprehensif: Membahas al-Qur’an Secara Lengkap dan Mendalam, Cet. I, Solo: Indiva, 2008.
Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an, Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Ulumul Quran, tc., Surabaya: Bina Ilmu, 1980.    
      


[1] Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat. (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994), h. 27.
[2] Lihat: Ibid., h. 76.
[3] Lihat: Ibid., h. 78.
[4] Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih, terdapat beberapa defenisi, yang terpenting di antaranya sebagai berikut: (1) Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah Swt. (2). Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah. (3) Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk  kepada ayat-ayat lain. Lihat: Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul, Studi Ilmu-Ilmu  Qur’an (Cet. X; Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 305-306.
[5] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2004), h. 39.
                [6] Pengertian muhkam adalah ayat yang terang maknanya serta lafaznya yang diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan cepat dipahami. Dan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), yang mu’awwal (memerlukan takwil) dan yang musykil (sukar dipahami). Lihat pada Al-Itqan, 11, hlm.5.
[7] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar (Cet III., Jakarta: Amzah, 2009), h. 89.
[8] Lihat: Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (tc., Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), h. 216.
[9] Pembukaan-pembukaan surah al-Qur’an secara umum meliputi: (a) Pembukaan surah dengan lafal “pujian”, pada 14 surah; Lima surah dimulai dengan tahmid, yakni Q.S. 1,6,18,34,35; Tujuh surah dimulai dengan tasbih dalam bentuk masdar, fiil madhi dan fiil mudhari’, yakni dalam Q.S. 17,57,59,61,62,64,87; dan dua surah diawali dengan “tabaraka”, yakni Q.S. 25, 67; (b). Pembukaan surah dengan lafal “seruan”, terdapat pada 10 surah, Satu surah dengan ungkapan “ya ayyahal-muzzammil”, Yakni Q.S. 73; satu surah dengan ungkapan “Ya ayyuhal-Muddassir” Yakni Q.S. 74; tiga surah dengan ungkapan “Ya ayyuhan-Nabiyyu, yakni Q.S. 83, 66, 86, dua surah dengan ungkapan ‘Ya ayyuihaa-Nas’, yakni Q.S. 4, 22: tiga surah dengan ungkapan Ya ayyuhal-ladzina Amanu, Yakni Q.S. 5, 49,60; (c).Pembukaan surah dengan jumlah khabariyyah (kalimat berita), terdapat pada 23 surah dalam bentuk fi’il madhiy, fi’il mudhariy, dan lainnya yakni; Q.S. 8,9,16,21,23,24,39,47,48,54,55,58,69,70,71,75,80,90,97,98,101,102, dan 108; (d). Pembukaan surah dengan “huruf sumpah”; terdapat pada lima belas surah yakni; Q.S. 37,51,52,53,77,79,85,89,91,92,93,95,100, dan 103; (e). Pembukaan surah dengan “kalimat syarat” terdapat pada tujuh surah, yakni; Q.S. 56,63,81,82,84,99, dan 110; (f). pembukaan surah dengan “kalimat  perintah”, terdapat pada enam surah, yakni; Q.S. 72,96,109,112,113, dan 114; (g). Pembukaan surah dengan “kalimat pertanyaan”, terdapat pada enam surah, yakni; Q.S 45,78,88,94,105, dan 107; (h).Pembukaan surah dengan lafal ‘kutukan’, terdapat tiga surah, yakni; Q.S.83,104, dan 111; (i). Pembukaan surah dengan lafal “karena” (ta’lil),terdapat pada satu surah huruf-huruf potong”, terdapat pada, yakni Q.S. 106.(j). Pembukaan surah dengan “huruf-huruf potong”, terdapat pada 29 surah, yakni; Q.S. 38,50,68,20,27,36,40,41,42,43,44,45,46,2,3,29,30,31,32,10,11,12,14,15,26,28,7,13, dan 19. Lihat Racmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an (Cet. V, Bandung: Mizan, 1995), h. 176-178.
[10] Lihat: Richard Bell, Bell’s Introduction to The Qur’an, diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal dengan judul Pengantar Studi Al-Qur’an (Cet. II; Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 97.
[11] Hawwaamiim (jamak dari haa minm), surah-surah yang diawali dengan ha dan mim. Lihat pada H. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta, bulan Bintang, 1995, hlm. 124.
[12] Abu Anwar, Op. Cit., h. 91.
[13] Lihat; T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Alqur’an: Media-Media Pokok dalam Menafsirkan Alqur’an (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998), h. 124.
[14] Lihat: Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 188.
[15] Lihat: Ibid.
[16] Lihat: M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 22.
[17] Ibid.
[18] Q.S. al-Mudassir ayat 30, yang artinya “Diatasnya ada Sembilan belas (malaikat penjaga)”, Departemen Agama RI., Op. Cit., h.460.
[19] Lihat: M. Quraish Shihab, Loc. Cit.
[20] Lihat: Muhammad Baqir Hakim, Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Nashirul Haq, et. al. dengan judul Ulumul Qur’an (Cet. III; Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 652.
[21] Lihat: Taufik Adnan Amal, Op.Cit., h. 217.
[22] Lihat: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Op. Cit., h. 127.
[23] Lihat: H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam (tc., Yogyakarta: Mizan, 1993), h. 27.
[24] T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Loc. Cit.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid., h. 128.
[28] Lihat: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Op. Cit., h. 131. Lihat pula: Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit., h 189. Baca pula: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir (Cet. IX, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), h. 59-60.
[29] Lihat: Ibid., h. 60.
[30] Lihat: Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit., h. 189-190.
[31] T.M Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu al-Qur’an, Op. Cit., h. 60.
[32] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit., h. 190. Baca pula: Ibrahim al-Abyari, Tarikh al-Qur’an, diterjemahkan oleh Hj. St. Amanah dengan judul Sejarah Al-Qur’an (Cet. I, Semarang: Dina Utama, 1993), h. 136-137.
[33] Lihat: Baqir Hakim, Op. Cit., h. 655.
[34] Lihat: Taufik Adnan Amal, Op. Cit., h. 219.
[35] Baqir Hakim, Op. Cit., h. 661.
[36] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit., h. 192.
[37] Ibid., h. 192-193.
[38] Lihat: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Op. Cit., h. 134.
[39] Lihat: Taufik Adnan Amal. Loc. Cit., Lihat pula: Abu Anwar, Op. Cit., h. 95.
[40] Baca Lebih lanjut pada: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Op. Cit., h. 134-135.
[41] Lihat: Taufik Adnan Amal, Op. Cit., h. 219.
[42] Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 12 (Cet.VII, Jakarta: Lentera hati, 2007), h. 282.
[43] Lihat: Ibid., h. 374.
[44] Lihat: Ibid, Vol. 6, h. 547.
[45] Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 1. Op. Cit., h. 86.
[46] Baca selengkapnya pada: Taufik Adnan Amal, Op. Cit., h. 250-256.
[47] Hirscfeld mengembangkan lebih jauh tentang inisial ini dengan menguraikan bahwa: ال adalah kata sandang tertentu, م adalah inisial untuk Mughirah,ص  untuk Hafshah, ر untuk Zubayr, ك untuk Abu bakar al-Shiddiq, ــه untuk Abu Hurairah, ن untuk Usman bin Affan, ط untuk Thalhah bin Ubaidillah, س untuk Sa’d bin Abi Waqqash, ح untuk Hudzaifah, ع untuk Umar bin Khattab atau Ali bin Abi Thalib, atau Ibn Abbas atau Aisyah, dan ق untuk Qasim ibn Rabi’ah. Lihat: Ibid, h. 251.
[48] Lihat: Ibid., h. 221.
[49] Lihat: Jalaluddin al-suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Editor Indiva dengan judul, Studi Al-Qur’an Komprehensif: Membahas al-Qur’an Secara Lengkap dan Mendalam, Jilid I (Cet. I, Solo: Indiva, 2008), h. 275.
[50] Lihat: Masyfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an (tc., Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 138.
[51] Jalaluddin al-Suyuthi, Loc. Cit.
[52] Ibid.
[53] Fasilah ialah istilah yang diberikan kepada lafaz yang mengakhiri ayat, mempunyai nilai dan kesempurnaan makna dan pengaruh dalam susunan kalam. Lihat: Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A.Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (tc., Bandung: Angkasa, t,th.), h. 58
[54] Lihat: Taufik Adnan Amal, Loc. Cit.
[55] Lihat: Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Farikh Marzuqi Ammar, et. al. dengan judul, Samudera Ulumul Qur’an, Jilid I (tc., Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, t,th.), h. 333.

[56] Lihat: Taufik Adnan Amal, Loc. Cit.

Tidak ada komentar: