BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran adalah salah satu naskah berjangkauan universal yang begitu sering kita utarakan, tuliskan dan yang meski demikian tetap kurang dipahami.[1] Olehnya itu, muncul keperluan untuk menafsirkannya sebab kandungan ayat-ayat didalam Alquran masih membutuhkan penjelasan.
Untuk memahami Alquran yang sangat esensial, mengingat bahwa Alquran merupakan wahyu yang bersifat sonoral (diturunkan dalam bentuk suara). Firman pertama, teks suci yang diwahyukan Jibril kepada Nabi diibaratkan seperti suara samudera dan malaikat mengisi seluruh cakrawala langit.[2] Namun demikian, Alquran memang butuh penjelasan yang sejelas-jelasnya agar kita tidak hanya memahami Alquran itu hanya sebagai tulisan dan kitab suci saja. Melainkan kita pahami yang sedalam-dalamnya bahwa Alquran merupakan sumber atau pedoman yang utama dalam hidup kita.
Untuk membicarakan masalah tafsir, maka diperlukan upaya pembahasan yang sangat serius dan teliti. Seseorang yang ingin mengetahui tafsir harus bersungguh-sungguh dan memiliki antusias besar untuk mengkaji khasanah keislaman umum yang tersimpan didalam kitab-kitab klasik, khususnya kitab-kitab tafsir dan hadis.[3] Sehubungan dengan ini, Ibnu Taymiyah berpendapat bahwa Rasulullah telah menjelaskan kepada sahabat seluruh kalimat dan makna-makna yang terkandung dalam Alquran.[4] Oleh karena itu, selayaknyalah kita sebagai ummat Islam yang ingin memahami betul Alquran, setidaknya kita harus menggunakan beberapa metode penafsiran dan untuk itu kita harus kembali melirik dan memperhatikan dari sumber-sumber tafsir itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan dan membatasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian Sumber Tafsir?
2. Apa saja Yang Menjadi Sumber-sumber Tafsir?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sumber Tafsir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sumber diartikan segala sesuatu, baik yang berwujud benda maupun yang berwujud sarana yang menunjang lainnya yang tidak berwujud.[5] Sedangkan kata tafsir secara harfiah (etimologis), tafsir berarti الإيضاح (menjelaskan) dan التبيين (menerangkan[6]seperti dalam firman Allah SWT:
ولايأتونك بمثل إلا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا (الفرقان : 58)
Dalam ayat tersebut “tafsîr” bermakna ”tabyîn” dan “tafshîl”, terambil dari kata “al- fasr” yang berarti “al-ibânah” dan “al-kasyf”. Dengan demikian “al-fusr” dapat dimaknai sebagai “الإبانة و كشف المغطى” (menerangkan dan menyibak sesuatu yang tertutup.[7]
Menukil penjelasan sebagian ulama, Amin Suma menjelaskan bahwa, “tafsir” diambil dari kata “التفسرة” dan bukan الفسر“”, yang berarti sebutan bagi sedikit air yang digunakan oleh para dokter untuk mendiagnosa penyakit pasien. Akan halnya seorang dokter –yang dengan sedikit air- mendiagnosa penyakit pasien, maka dengan “tafsir” seorang mufassir mampu menyimak isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Adapun dari sisi gramatika bahasa Arab, maka asal kata “tafsîr” dari “tafsirah” tampak tidak menyalahai aturan mengingat mashdar dari فَعَّلَadalah تفعيل dan تفعـلة seperti yang tampak pada kata تجربة – تجريب – جَرَّبَ- يجرب atau pada kata كَرَّمَ- يكرم- تكريم – تكرمة [8]
Ibnu Mandzhur dalam karyanya Lisân al-‘Arab, menjelaskan arti kata “tafsîr” sebagai berikut :
الفسر : البيان, فسر الشيئ يفسره-بالكسر و يفسره بالضم فسرا. وفسره أبانه. والتفسير مثله. . .الفسر : كشف المغطى و التفسير كشف المراد عن اللفظ المشكل[9]
Dari penjelasan Ibnu Mandzûr tersebut dapat disimpulkan bahwa kata “tafsîr” secara harfiah dapat digunakan baik untuk menjelaskan benda-benda fisik-material (الكشف الحسي) ataupun menjelaskan lafadz dan makna yang memerlukan penalaran (كشف المراد عن اللفظ المشكل). Namun menurut Husein al-Dzahabî, kata “tafsîr” lebih lazim digunakan untuk makna yang kedua.[10]
Selain kata-kata tersebut diatas, terdapat kata lain yang searti dengan kata “التفسير” yaitu kata ”الشرح” (penjelasan/komentar). Sebagian ulama, diantaranya Shubhî al-Shâlih, menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai ”شارح الكتاب” (penyarah al-Qur’an), ketika menyatakan bahwa tafsir al-Qur’an telah tumbuh sejak masa awal kenabian, dan beliau adalah orang yang pertama yang memberikan syarah untuk kitab Allah swt.[11]
Adapun secara terminologis terdapat berbagai rumusan ‘ulama yang otoritatif dalam bidang ini, di antaranya adalah :
- Muhammad ibn ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî :
علم يبحث فيه عن القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية[12]
- Muhammad Badr al-Dîn al-Zarkasyî (745-794 H/1344-1391M) :
علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه[13]
Dari beberapa makna harfiah kata “tafsîr” dan rumusan makna terminologis yang dipaparkan diatas, pengertian tafsir menurut penulis adalah sebuah kerja intelektual sebagai penjelasan lebih lanjut dan terperinci tentang nash-nash (teks) Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. baik yang menyangkut dilâlah (pesan, makna ataupun petunjuk), hukum maupun hikmah yang terkandung didalamnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah swt. sebatas kemampuan manusia.
B. Sumber-sumber Tafsir
Dalam memahami isi kandungan ayat-ayat didalam Alquran, butuh berbagai pengetahuan yang dalam terutama dari segi sumber-sumber tafsir itu sendiri. Untuk mengetahui tafsir Alquran yang dalam hal ini penulis mengangkat tiga poin yang yang menjadi sumber-sumber tafsir. Diantaranya sebagai berikut:[14]
1. Wahyu
Wahyu (al-wahy) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu tersembunyi dan cepat.[15] Wahyu secara semantik berarti isyarat yang sangat cepat (termasuk, bisikan dalam hati dan ilham), surat, tulisan dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui. Secara terminologi adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dan diyakini bahwa pengetahuan itu datang dan berasal dari Allah, baik melalui perantaraan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan.[16] Olehnya itu, kita bisa menarik benang merah bahwa wahyu adalah menunjukkan informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu tanpa diketahui oleh orang lain dan dapat kita pastikan bahwa wahyu tidak sama dengan ilham.
Berdasarkan para ulama, salah satu sumber tafsir pada masa Rasulullah Saw. adalah wahyu dan para ulamapun tidak ada yang memperselisihkan. Namun, kata ini mempunyai dua arti, pertama berarti al-iha dan kedua al-muha bih. Al-iha menurut pengertian bahasa adalah memberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat. Sedangkan menurut istilah adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tapi meyakinkan kepada Nabi/Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Allah. Sedangkan Al-muha bih adalah yang diwahyukan, yakni Alquran dan hadis/sunnah Nabi, tetapi dari segi makna/jiwanya datang dari Tuhan.[17]
Sehubungan dengan pembahasan tentang sumber tafsir, baik Alquran maupun hadis-hadis (wahyu kategori kedua), keduanya dapat dijadikan sebagai sumber. Hal ini ditunjukkan antara lain dalam hadis dari Mas’ud yang menyatakan:[18]
Ketika ayat ini diturunkan, al-lazina amanu wa lam yalbisu imanahum bizhulm (orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dan kezaliman. Qs. Al-Anam [6]: 82), banyak orang-orang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah saw.: “ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” Nabi menjawab: “Kezaliman disini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh, inna al-syirk lazhumun azim (sesungguhnya kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar. Qs. Luqman [31]: 13), jadi yang dimaksud disini adalah kemusyrikan.”
Kemudian hadis dari Jabi’ibn ‘Abdullah yang menyatakan:
Seorang Yahudi datang kepada Nabi saw. lalu berkata: “Wahai Muhammad, beritakan kepadaku tentang bintang-bintang yang dilihat Yusuf sujud kepadanya, apa saja namanya.” Maka Nabi tidak menjawab sedikitpun sampai Jibril datang kepadanya, lalu ia memberitahukan kepadanya, kemudian Nabi mengirim utusan kepada orang Yahudi itu kemudian bertanya: “Apakah engkau beriman jika aku memberitahukkan kepadamu?” ia menjawab: “ya….”[19]
Hadis dari Jabi’ tersebut, jelas berkaitan dengan firman Allah yang menyatakan: “…Wahai ayahanda, sesungguhnya aku melihat sebelas bintang, matahari dan bulan dalam mimpi, mereka bersujud kepadaku.”[20]
Hadis pertama menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menfsirkan Qs. Al-An’am (6): 82 dengan Qs. Luqman (31): 13, atau dengan kata lain Rasulullah saw. telah menafsirkan Alquran itu sendiri. Hadis kedua menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menafsirkan Qs. Yusuf (12): 4 dengan wahyu yang dibawa Jibril kepadanya berkenaan dengan nama-nama bintang yang ditanyakan orang Yahudi itu; artinya Rasulullah saw. telah menafsirkan Alquran dengan wahyu yang hakekatnya secara makna memang dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri. Dari sini sudah dapat dipahami adanya perbedaan antara Alquran dengan wahyu.
Alquran secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu yang ketiga seperti yang tertera dalam Alquran surah al-Syura/42: 51. Artinya, Alquran tidak mengandung wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa Alquran adalah bentuk wahyu yang paling tinggi. Dalam Q.s. al-Syu’ara/26: 192-196 Allah berfirman:
Terjemahannya;
Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dibawa turun al-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab yang terdahulu.[21]
2. Al-Ra’yu (logika)
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminology tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi ar-ra’yi (disebut juga tafsir addirayah) – sebagaimana didefinisikan Adz-Dzahabi- adalah tafsir yang penjelasannya diambil dari ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang telah ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikh mansukh.[22]
Banyak hal dalam Alquran yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh penjelasannya, baik dalam Alquran maupun dari hadis yang bersumber dari wahyu. Dalam kaitan ini, apabila didapatkan suatu hadis tafsir yang secara implisit tidak mengisyaratkan adanya penjelasan dari kedua hal tersebut, maka hal ini mengandung arti bahwa tafsir itu adalah hasil ijtihad Nabi saw. Hal ini dilakukan Nabi, karena beliau ditugaskan dan diberi otoritas untuk menjelaskan kandungan isi Alquran.[23] Selanjutanya, menurut Abd Muin Salim bahwa potensi pengetahuan yang dimiliki sahabat dalam menafsirkan Alquran dengan ra’yunya adalah:
a. Penggunaan fenomena social yang menjadi latar belakang dan sebab turunnya ayat.
b. Kemampuan dan pengetahuan kebahasaan.
c. Pengertian kealamaan.
d. Kemampuan Intelegensia.
Berkenaan dengan sumber-sumber tafsir yang telah diuraikan di atas, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kebolehannya untuk dijadikan sebagai sumber tafsir. Perbedaan pendapat muncul sehubungan apa yang dikutip dari tabi’in. akan tetapi kebanyakan ahli tafsir cenderung menggunakannya di dalam menafsirkan suatu ayat, karena mereka banyak mendapatkan penafsiran ayat dari para sahabat.[24]
Tafsir bi ar-rayi muncul sebagai sebuah “corak” penafsiran belakangan setelah munculnya tafsir bi al-ma’tsur walaupun sebelumnya ra’yi dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Alquran. Apalagi kalau kita melihat bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.[25] Namun, Pembagian tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima ada dua, yaitu; (Mahmudah/Maqbulah) yang tidak dapat diterima (Madzmumah/Mardudah) tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah) apabila menghindari hal-hal berikut:
1. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata). [26]
3. Menafsirkan al-Qur'an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatuitubaik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
5. Menafsirkan al-Qur'an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung dalil. Contoh Kitab Tafsir bi al-Ra’yi Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H.) Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H.) Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Takwil, karya an-Nasafi (w. 701 H.)
Diantara para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan Alquran, disamping menggunakan hadis-hadis Nabi, juga menggunakan hasil pikiran mereka masing-masing; mereka berijtihad dalam menetapkan maksud suatu ayat. Hal ini mereka lakukan karena mereka telah mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab, mengetahui tentang sebab-sebab suatu ayat yang diturunkan, mengetahui adat istiadat Arab Jahiliah dan tentang cerita-cerita Israiliyah dan sebagainya.[27]
Para ulama berbeda pendapat mengenai variable terakhir ini. Disisi lain menolak keras dan di lain pihak menerima dengan berbagai syarat yang diajukan. Namun terakhir ada juga yang menerima tanpa ada syarat sama sekali.
Ulama yang menolak tafsir bi al-rayi antara lain ialah: Ibn Taimiyah, yang menyatakan bahwa tafsir dengan menggunakan akal semata adalah termasuk tafsir yang harus dijauhi. Ibn Katsir menyatakan bahwa tafsir bi al ra’y yang dipahami oleh ulama Salaf adalah suatu metode penafsiran yang musykil, sebab yang dimaksudkan adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan dan argument yang kuat.
Meskipun sebagaian ulama menolak eksistensi tafsir bi al-ra’y, tetapi mayoritas ulama, terutama ulama tafsir kontemporer menerimanya. Syekh Muhamammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’y sebagai salah satu metode memahami al-Qur’an dapat di telorir, sebab antara akal dan wahyu tidak mungkin bertententangan. Penggunaan akal secara bebas dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dimungkingkan sepanjang tidak membawa kemudaratan dan sesuai dengan roh syari’at. Demikian pula Imam Al-Fakhr Al-Razi mendukung tafsir bi al-ra’y, terbukti dalam kitab tafsirnya banyak menggunakan pemikiran filsafat, teologi dan ilmu kealaman.
Penolakan sebagian ulama pada tafsir al-ra’y didasarkan pada alasan tertentu, dan alasan itu disandarkan pada berbagai argument nas, antara lain:
a) Firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2): 169:
“dan ,mereka mengatakan kepada Allah apa yang kamu tidak ketahui.”
b) Sabda Nabi Muhammad saw.
“Barang siapa yang berkata terhadap al-Qur’an berdasarkan pendapatnya, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka”. (HR. Al-Turmizi dari Ibnu Abbas).”[28]
c) Pendapat para sahabat dan tabi’in yang menyatakan bahwa sesungguhnya menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan pendapat pribadi adalah semata-mata perbuatan yang tercela. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ra bahwa,”perkataan yang paling jelek adalah pembicaraan tentang al-Qur’an sesuai dengan pendapat pribadi atau tanpa ilmu pengetahuan.”
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang dilarang oleh Nabi Muhammad saw, para sahabat dan tabi’in, serta ulama yang menolak tafsir bi al-ra’y adalah menafsirkan al-Qur’an tanpa bekal ilmu pengetahuan yang memadai.
3. Israiliyat.
Kata Israiliyat” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “Israiliyat” yang merupakan kata yang nisbahkan pada kata Israil berasal dari bahasa Ibrani, “Isra” berarti hamba dan”Il” berarti Tuhan.[29] Dalam Alquran nama “Israil” dipakai sebagai nama bagi Nabi Yaqub yang kepada beliau bangsa Yahudi dinisbahkan, dalam hal ini mereka disebut bani Isra’il.
Secara terminologi, ‘Isra’iliyat” merupakan semua cerita lama yang masuk kedalam tafsir yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani. Bahkan sebagian ulama telah memperluas makna “Isra’iliyat” dengan cerita yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik yang bersumber dari Yahudi maupun yang bersumber dari orang lain, baik menyangkut agama mereka maupun tidak.[30] Selanjutanya didalam Alquran menegaskan bahwa “Israiliyat” ialah berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum muslimin banyak mengambil cerita dari “Israiliyaat”, sebab Nabi Muhammad saw. sendiri pernah berkata: “Bila dikisahkan kepadamu tentang ahli kitab, janganlah dibenarkan dan janganpula dianggap dusta”. Maksudnya ialah supaya kaum muslimin menyelidiki lebih dahulu tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli kitab. Setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai kebenaran.[31]
Formulasi tentang “Isra’iliyat” itu terus berkembang sesuai dengan pemikiran manusia. Bahkan dikalangan para ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa” Isra’iliyat” merupakan informasi-informasi yang tidak ada dasarnya sama sekali dan hanya sekedar manipulasi yang dilancarkan oleh musu-musu Islam yang diselundupkan pada tafsir untuk merusak akidah ummat Islam dari dalam.[32]
Merujuk para sahabat kepada ahli kitab dilakukan kepada mereka yang masuk Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain sebagainya, demi kesempurnaaan kisah Nabi-nabi dan bangsa-bangsanya sebelum Muhammad. Mengenai hal ini, al-Syirbasi menyatakan bahwa sebagian ahli tafsir suka berlama-lama menyebutkan kisah-kisah kenabian dan bangsa yang telah silam bersumber dari ahli kitab (Isra’iliat). Padahal pada hal yang sama, Alquran hanya menyebutkan kisah itu secara ringkas dan global saja, karena Alquran menginginkan sebuah ibarat, pelajaran dan perhatian kepada sunnatullah yang berkenaan dengan kehidupan social manusia, dan ingin menggambarkan pengaruh serta akibat perbuatan baik dan buruk dengan menampilkan kisah tersebut.
Dari beberapa pendapat para mufassir, tidaklah mengisyaratkan adanya larangan atau keharusan dalam mempergunakan keterangan-keterangan Isra’iliat sebagai sumber tafsir. Artinya, boleh bila tidak bertentangan dengan Alquran, sunnah dan ra’yu (Logika). Ibnu Abbas, misalnya meriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, tafsir al-raqim dalam Q.s Al-Kahfi (18) : 9 dan tafsir sidrah al-muntaha dalam Qs. Al-Najm (53): 14. Demikian pula ‘Abdullah Ibn Amr diriwayatkan mengemukakan naskah-naskah dari ahli kitab dalam perang Yarmuk dan mengambil riwayat dari naskah tersebut dalam menafsirkan Alquran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Sumber tafsir dapat diartikan sebagai segala sesuatu, baik yang berwujud benda maupun yang berwujud sarana dan sebuah kerja intelektual sebagai penjelasan lebih lanjut dan terperinci tentang nash-nash (teks) Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. baik yang menyangkut dilâlah (pesan, makna ataupun petunjuk), hukum maupun hikmah yang terkandung didalamnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah swt. sebatas kemampuan manusia.
b. Dalam memahami isi kandungan ayat-ayat didalam Alquran, butuh berbagai pengetahuan yang dalam terutama dari segi sumber-sumber tafsir itu sendiri. Maka penulis mengambil tiga poin yang menjadi sumber tafsir yaitu sebagai berikut:
a. Wahyu
b. Ra’yu (Logika)
c. Israili’yat.
DAFTAR PUSTAKA
Akroun Mohammed, Kajian Kontemporer Al-Quran . Cet. I; Bandung: Pustaka, 1418 H-1998 M.
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir. Cet. I;Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahan. Jakarta: CV Daru Sunnah, 2007.
Muhammad Abdrrahim Muhammad, Tafsir Nabawi. Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Izzan, Ahmad, Ulumul Quran. Cet, III; Bandung: Kelmpok Humaniora, 2009.
Taymiyah, Ibnu, Muqaddimah Fi Ushul al-Tafsir. Cet. II; Beirut: Muassah al-Risalah, 1972.
Wahid, Marzuki, Studi Al-Quran Kotempore. Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2005.
Wajdi Muhammad Farid, Dairah Al-Ma’arif, Beirut, 1964
Al-qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-quran. Cet, III; Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2008.
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Quran, Bag. I Cet. IV; Surabaya: Bina Ilmu, 1993.
SUMBER-SUMBER TAFSIR
Makalah
Disampaikan Pada Seminar Kelas Mata Kuliah Tafsir Alquran: Metodologi
Semister II Kelompok PQH II Program Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar
Oleh:
RUSYAID
80100209113
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. M. RUSYDI KHALID, M. A.
Dr. H. DANIAL DJALALUDDIN, M. Th.I.
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2010
[1] Mohammed Akroun, Kajian Kontemporer Al-Quran (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1418 H-1998 M), h. 44.
[2] Marzuki Wahid, Studi Al-Quran Kotempore (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h. 34.
[3] Muhammad Abdrrahim Muhammad, Tafsir Nabawi (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 34.
[4] Ibnu Taymiyah, Muqaddimah Fi Ushul al-Tafsir (Cet. II; Beirut: Muassah al-Risalah, 1972), h. 35.
[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet I. Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 565.
[6] Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘ulûm al-Qur’ân (Beirut :tt,tp), jilid II, h. 4.
[7]Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Cet. III, Jilid I,al-Qâhirah: Maktabat al-Wahbah, 1416), h. 15.
[8] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2 (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 15-16.
[9] Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, II/110.
[10]Husein al-Dzahabi, Tafsir…..Jilid 1, h. 15.
[11] Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu… h. 16-17.
[12] Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqâny, Manâhil al-‘Irfân…Jilid 2, h. 4.
[13]Muhammad Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 147-149.
[15] Syaikh Manna Al-qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-quran (Cet, III; Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2008), h. 34.
[16] Ahmad Izzan, Ulumul Quran (Cet, III; Bandung: Kelmpok Humaniora, 2009), h. 42.
[18] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya. Lihat Manna al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Alquran, terj. Muzakkir (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusantara, 1992), h.2.
[22] Ilmu Tafsir, h. 151.
[26]Umar Sihab, Kontekstual Alquran ( Cet. IV; Jakarta: PT Penamadani, 2005), h. 259.
[27] Ibid, h. 234.
[28] Ibid, h. 354.
[29] Muhammad Farid Wajdi, Dairah Al-Ma’arif (Beirut, 1964), h. 14.
[30] Muhammad Husaun Al-Zahabi, Al-Israiliyat Fi At-tafir wa Al-Hadis, edisi trej. Oleh Didin Hafidhuddin (Bogor: P Pustaka Litera Antara Nusa, 1993), h. 9.
[32] Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar