Daftar Pustaka

Sabtu, 26 Februari 2011

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN (Telaah Ontologis, Epistemologi, dan Aksiolegi)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Filsafat, merupakan suatu bentuk ilmu pengetahuan, yang hanya diciptakan oleh orang-orang Yunani dahulu kala. Karena Tuhan memberi akal, dimana manusia menggunakannya untuk membentuk filsafat.[1]
Ilmu, kelihatannya bertambah lama bertambah maju kemuka, sementara itu, filsafat berjalan lambat sekali. Hal ini adalah karena filsafat lebih banyak memikul beban yang berat dari pada ilmu. Filsafat mempunyai tugas menyelesaikan persoalan-persoalan yang belum terdapat penyelesaiannya dalam lapangan ilmu. Diantara persoalan-persoalan besar, yang harus diselesaikan oleh filsafat adalah dalam penentuan lapangan mana yang baik, mana yang indah, dan mana pula yang buruk. Ia juga mencari sampai kemana pula bebasnya kebebasan.[2]
Salah satu tema pemikiran Islam dewasa ini adalah Islamisasi ilmu pengetahuan dengan berasumsi bahwa ilmu pengetahuan kini dikuasai oleh bangsa Barat yang punya pandangan hidup sekuler, dengan demikian perlu kiranya kita mewaspadai hal tersebut.
Adapun masalah disekitar Islamisasi ilmu pengetahuan kini masih dalam suasana polemik para ahli ; antara ingin memproduksi ilmu pengetahuan yang objektif disatu sisi dan disisi lain. Kecondongan sementara ilmuwan muslim menghendaki agar ilmu pengetahuan lahir dari qalbu Islam yang mengacu Al-Quran dan Sunnah. Dimana pendapat pertama menggunakan pendekatan saintifik, sedangkan kedua menggunakan pendekatan teologi normatif (pendekatan keagamaan).[3]
Maka seorang pendidik Muslim dan orang-orang yang cenderung dengan falsafah pendidikan Islam pertama-tama hendaklah membina pendiriannya berdasarkan kepada pandangan yang terambil dari inti pengajaran Islam, ruhnya, keyakinannya, dan teks-teksnya yang otentik.[4]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pernyataan diatas, maka penulis mengemukakan  permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2.      Bagaimana Telaah Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologinya?
3.      Bagaimana Paradigma Islamisasi?

BAB II
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
(Telaah Ontologis, Epistemologi, dan Aksiolegi)
A.    Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pada masa pembangunan kota Bagdad ini, ilmu yang dinamakan falsafat atau filsafat belumlah muncul, akan tetapi ia muncul kemudian dalam masa tenggang setengah abad sesudah itu. Menurut al-Kindi, seorang ahli filsafat Islam yang pertama, mengatakan bahwa ilmu filsafat, telah berkembang semerbak dalam dunia Islam semenjak abad ke 9 sampai abad ke 12. [5]
Menurut Cicero, penulis Romawi (106-43 SM), orang yang pertama-tama memakai kata-kata filsafat Pythagoras (497 SM), sebagai reaksi terhadap orang-orang cendekiawan pada masanya yang menamakan dirinya "ahli pengetahuan". Jadi, pengetahuan adalah perkara yang kita cari dan kita ambil sebagian darinya tanpa mencakup keseluruhannya.[6]
Islamisasi ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari pandangan dunia dan system keyakinan, daripada mengislamkan disiplin yang telah berkembang dalam sosial, etik dan kultural Barat, maka kaum cendekiawan muslim lebih baik mengarahkan energi mereka untuk menciptakan paradigma-paradigma Islam, karena dengan itulah tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan urgen masyarakat muslim bisa dilaksanakan.[7]
Nasir Mahmud dalam bukunya Epistomologi Studi Islam Kontemporer mengemukakan beberapa proposisi tentang kemungkinan Islamisasi ilmu pengetahuan dilakukan dengan tetap teguh di atas prinsip-prinsip ilmiah sebagai berikut:
1.      Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidaklah netral, melainkan menyandang nilai (value) dan maksud yang luhur.
2.      Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Maka corak ilmu yang dihasilkan akan bercorak system sesuai fenomena yang diteliti.
3.      Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berfikir di sekitar rasio, dan empiris, tetapi juga melibatkan al-Qalb yakni intuisi batin yang suci, rasio empiris mendeskripsikan fakta dan al-Qalb memaknai fakta sehingga analisis dan konklusi sarat makna-makna atau nilai.
4.      Dalam pandangan Islam, realitas itu bukan realitas fisis akan tetapi juga realitas non fisis atau metafisis.[8]
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan digagaskan oleh sejumlah cendekiawan muslim misalnya: Ismail al-Faruqi, Naquib Alatas dan sebagainya. Lahirnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini didasarkan pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan produk modern ini tidak berhasil mengantar manusia pada cita ilmu itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar "Illahy" dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.

B.     Telaah Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologi
Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Pandangan akan adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler, tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ciptaan Allah. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tetapi mempunyai "maksud" dan tujuan". Maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud alam semesta secara transendental berada dalam "idea" Ilahy, secara immanen maksud itu juga diendapkan Tuhan di alam semesta.

Firman Allah QS. Al-Imran (3): 191
tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ

Terjemahan:
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka".[9]

Ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa di alam ini tidak ada sesuatu yang diciptakan Allah dengan batil, melainkan mengandung yang al-Haq (kebenaran). Dalam al-Haq itu mengandung hikmah-hikmah, yang bila diketahui (melalui penyelidikan ilmiah) akan memberikan manfaat bagi kemajuan manusia. Firman Allah QS. Al-Anbiya (21): 16
$tBur $oYø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJåks]÷t/ tûüÎ7Ïè»s9 ÇÊÏÈ
Terjemahan:
"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan main-main".[10]

Dengan demikian, alam ini akan lebih nyata dirasakan manusia bila dikelola manusia yang luhur. Karena itu, Allah pun menyatakan bahwa bumi ini hanya diwariskan kepada hambanya yang shaleh. Frman Allah QS. Al-Anbiya (21): 105:
........ žcr& uÚöF{$# $ygèO̍tƒ yÏŠ$t6Ïã šcqßsÎ=»¢Á9$# ÇÊÉÎÈ
Terjemahan:
"Dan sungguh Telah kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh".[11]

Bila orang anarki yang mengelola alam ini, maka akan menyelewengkan maksud alam yang sesungguhnya, sehingga alam kembali merusak manusia. Keluruhan "maksud" alam dimanifestasikan dalam tabiatnya yang selalu bertasbih kepada Allah.
Dalam epistemology didalam Islam berjalan dari tingkat-tingkat: (a) perenungan (comtemplation) tentang sunatullah sebagaimana dianjurkan didalam Al-Quranul Karim, (b) penginderaan (sensation), (c) pencerapan (perception), (d) konsep (concept), (e) penyajian (representation), (f) timbangan (judgemen), dan (g) penalaran (reasoning). Selanjutnya epistemology di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia (anthropocentric) yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri (autonomours) dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah (theocentric). Sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia, kepada iradat Allah.[12] Epistemologi Islam mengambil titik tolak Islam sebagai subyek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka disatu pihak berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Dilain pihak, berpusat pula pada manusia dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Disini manusia berfungsi sebagai subyek yang mencari kebenaran.
Konsekuensi dari epistemologi diatas maka aksiologi Islamisasi yaitu mengandung nilai rohaniah atau moral yang bersumber dari agama (Islam) sifatnya adalah absolut dan kebenarannya bersifat permanent karena bersumber dari Dzat yang absolut (mutlak) pula yaitu Allah SWT.[13]
Dengan demikian, terciptanya kemakmuran sebagai hasil penggalian dan pengolahan sumber alam (natural resource), bukanlah merupakan tujuan utama atau tujuan akhir kehidupan manusia. Karena yang menjadi tujuan utama adalah mencapai ridha Allah SWT. Ridha Allah diturunkan kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersyukur kepada-Nya. Bersyukur disini berarti memanfaatkan ataumenggunakan segala rezki dan fasilitas yang diberikan-Nya pada fungsinya serta sesuai dengan kehendak-Nya sebagai pemberi dan sumber rezki itu.
Jadi ilmu pengetahuan disini hanyalah berfungsi sebagai alat (instrument) untuk mengolah dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan yang pada akhirnya adalah untuk mencapai ridha-Nya.
Dengan demikian, Islam tidak mengingkari adanya kebebasan manusia untuk menggunkaan ilmunya, dengan syarat bahwa didalam penggunaan itu tidak ada pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Tuhan yang dapat mengakibatkan kemurkaan-Nya. Ilmu pengetahuan itu sendiri adalah bersifat netral sehingga manusia sebagai pemilik ilmu perlu waspada kemana ilmunya harus diarahkan.[14]

C.    Paradigma Islamisasi
Ada beberapa paradigma Islamisasi ilmu pengetahuan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Paradigma Rasionalistik dan Positivistik
Maksud dari aliran filsafat metodologi tersebut (terutama aliran positivisme) tentu bukan pada sisi ontologinya tetapi pada sisi epistemologinya yang diintegrasikan dengan Weltanschauung Islami.[15] Dalam pandangan Islam adalah tauhid. Bila diterapkan pada studi keislaman, rasionalisme dan positivisme yang menganalisis fakta menurut hukum kausalitas hanya digunakan pada analisis deskriptif. Jadi, nilai-nilai "Islam" diterapkan pada kedua metode tersebut didalam studi keislaman, pada sebelum dan sesudah deskripsi. Sebelum analisis deskriptif pertama kali diberikan uraian Weltanschuung Islam dan setelahnya, pemaknaan-pemaknaan yang bermuatan nilai-nilai Islam.
  1. Paradigma Fenomologis
Kalau paradigma rasionalistik dan positivistic, analisis deskriptif tidak diberikan pemaknaan nilai, maka dalam fenomenologi pemaknaan dapat diberikan pada setiap analisis yang dilakukan. Nilai-nilai (dalam hal ini nilai-nilai Islami) dapat diaplikasikan dalam analisis ilmiah yang dilakukan. Dengan demikian produk ilmiah menjadi tidak netral tetapi sudah memihak pada nilai-nilai yang dianut ilmuan yang bersangkutan.
Dalam epistemology fenomologi trasendental, subyek (manusia) "mencari" dengan obyek (realitas) yang diamati, sehingga ada intervensi subyek kedalam obyek yang diteliti. Hal tersebut dicapai melalui kesadarran transcendental. Kesadaran trasendental berperan memaknai dunia yang diamati.
Bagi kaum fenomologi bagaimanapun orang ingin netral dalam produk ilmiahnya, tetapi perlu diketahui bahwa dalam kegiatan ilmiah orang mempunyai kepentingan; mengejar yang obyektif bebas nilai itu menurut metodologi ilmiah adalah ilusi. Suatu penyelidikan ilmiah, bagaimanapun terkait dengan  nilai, karena pengenalan seseorang selalu bersifat "perspektif", bagaimana dan darimana ia mengenal apa yang ia kenal. Dalam kaitan ini, Ismail al-Faruqi juga menjelaskan:
"Ilmuan sosial memperlakukan fakta dengan membiarkan fakta itu berbicara tetapi klaim ini sia-sia. Tidak mungkin lahir persepsi tentang fakta teoritis. Tanpa pemahaman corak dan hubungan aksiologis (pertimbangan nilai) pada fakta itu".[16]

Dari uraian tesebut di atas, dapat diketahui bahwa secara metodologi pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam proses analisis ilmiah deskriptif. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat diorientasikan pada Weltanschuung (pandangan dunia), mendudukkan Weltanschuung pada strata tertinggi, yakni fakta pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh Weltancshuung Islami.
  1. Paradigma Konsultatif
Paradigma ini digunakan dalam penalaran induktif, metode induktif berangkat dari kenyataan-kenyataan empirik. Tetap fakta ilmiah berdasarkan fakta empirik itu tidak berperan untuk menghakimi Al-Quran dan Sunnah. Dalam penalaran induktif, ayat-ayat Al-Quran berperan mempertajam konseptualisasi, memperdalam pemaknaan dan memperkokoh proposisi yang disajikan. Disini ayat Al-Quran berperan untuk tempat mengkonsultasikan temuan-temuan empirik yang diperoleh. Peranan Al-Quran sebagai tempat berkonsultasi, berarti tetap menempatkan Al-Quran pada strata yang tertinggi.
  1. Paradigma Genetik
Paradigma ini bercorak deduktif, yang berangkat dari konsep agama. Kemudian diturunkan menjadi ideology dan seterusnya kekonsep teoritik ilmiah.[17]
Dalam program Islamisasi ilmu pengetahuan al-Faruqi mempunyai lima sasaran yang ingin dicapai :
a.       Menguasai disiplin-disiplin modern
b.      Menguasai khasanah Islam
c.       Menentukan relevansi yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern.
d.      Mencari cara-cara untuk melakukan system kreatif antar khasanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
e.       Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rencana Allah.[18]
Namun program yang dikemukakan al-Faruqi diatas dianggap sebagai sesuatu pandangan yang sangat mencolok dan ambisius, dimana inti program al-Faruqi ini adalah mengislamkan ilmu-ilmu sosial Barat, ilmu Ekonomi, ilmu Politik, Sosiologi, Psikologi dan Antropologi.
Keempat paradigma tersebut diatas merupakan tawaran alternatif, seseorang dapat mencari dan menentukan paradigma lain untuk dikembangkan dalam studi Islam.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis uraikan diatas, dapat diambil suatu kesimpulan :
  1. Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu suatu proses pencarian ilmu tidak hanya berfikir disekitar rasio dan empiris tetapi juga al-Qalb.
  2. Islamisasi pengetahuan secara ontology bahwa dalam realitas alam semesta ada hukum-hukum yang mengatur didalam Islam, tapi hokum tersebut adalah ciptaan Allah. Dan secara epistemology bahwa segala-galanya berpusat kepada Allah. Sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia. Dilain pihak berpusat pada manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan. Dari segi aksiologinya yaitu mengandung nilai rohaniah atau moral yang bersumber dari Islam untuk mencapai ridha Allah.
  3. Pengembangan paradigma Islam dengan cara Islamisasi ilmu pengetahuan itu merupakan langkah pertama dan strategis kearah pembangunan Islam sebagai system gerakan sosial budaya kearah system Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban.  
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad Miska, Epistomologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam,  Cet. I; UI-Press, 1983

Al-Syaibany, Al-Toumy Muhammad Omar, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang

Al-Faruqi Ismail, Mengislamkan Ilmu-ilmu Sosial dalam Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, terjemahan Muchtar Efendi Harahap, Yogyakarta: PLP2M, 1985

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, t.c.; Surabaya: Duta Ilmu, 2002

Hanafi Ahmad, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bulan Bintang, 1990

Hoesin Arifin Oemar, Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta  : Bulan Bintang, 1961

Mahmud Nasir, Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer, 2000

Rosyidi Muhammad dan Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu, Jakarta: Bulan Bintang, 1988

Sardar Zainuddin, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 1998




[1] Oemar Arifin Hoesin, Filsafat Islam, (Cet. I; Jakarta                : Bulan Bintang, 1961), h. 11

[2]  Ibid, h. 7

[3] Nasir Mahmud, Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer, (t.tp. 2000), h. 2

[4] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), h. 56
  
[5]  Oemar Arifin Hoesin, op.cit, h. 15.

[6] Ahmad Hanafi, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 5

[7] Zainuddin Sardar, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam (Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 35

[8] Nasir Mahmud, op. cit., h. 10
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (t.c.; Surabaya: Duta Ilmu, 2002), h. 110
  
[10] Ibid., h. 497
[11] Ibid., h. 508

[12] Miska Muhammad Amin, Epistomologi Isla Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam  (Cet. I; t.t; UI-Press, 1983), h. 11

[13] M. Rosyidi dan Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 54

[14] Ibid., h. 55.

[15] Bila diterapkan pada studi keislman, rasionalisme dan positivisme yang menganalisis fakta menurut hukum realitas hanya digunakan pada analisis deskriptif.
[16] Ismail al-Faruqi, Mengislamkan Ilmu-ilmu Sosial dalam Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, terjemahan Muchtar Efendi Harahap (Yogyakarta: PLP2M, 1985), h. 14  
[17] Nasir Mahmud, op.cit, h. 15

[18] Zainuddin Sardar, op. cit, h. 47
  

Tidak ada komentar: