PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pemisah antara yang hak dan yang batil demi kebahagiaan hidup manusia di dunia maupun diakhirat. Realitas sejarah memaparkan bahwa sampai hari ini urgensi al-Qur’an masih menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia, bahkan tidak henti-hentinya menjadi inspirator, pemandu dan pemadu berbagai gerakan ummat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan ummat ini.[1]
Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur’an harus dipahami, dihayati, dan diamalkan, oleh manusia yang beriman kepada petunjuk itu. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur’an, bahkan sahabat-sahabat nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan makna kosa katanya. Tidak jarang, mereka berbeda pendapat atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.[2] Oleh karena itu, Rasulullah mengemban tugas untuk menjelaskan (mubayyin).
Di zaman Rasulullah masih hidup, ummat Islam tidak banyak menemukan kesulitan dalam memahami “petunjuk” guna mengarungi kehidupannya, sebab mengarungi kehidupannya, sebab mana kala mereka menemukan kesulitan dalam satu ayat, misalnya mereka langsung bertanya kepada Rasulullah. Kemudian beliau menjelaskan kandungan maksud ayat tersebut. Akan tetapi sepeninggal Rasulullah, ummat Islam banyak menemukan kesulitan, karena meskipun mereka mengerti bahasa arab al-Qur’an terkadang mengandung isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orang-orang arab. Oleh sebab itu, mereka pun membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti itu.
Langkah pertama yang mereka ambil ialah menengok pada hadits Rasulullah. Karena mereka berkeyakinan bahwa beliaulah satu-satunya orang yang paling banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah. Disamping itu, mereka mengambil langkah-langkah dengan cara menafsirkan satu ayat dengan ayat lainnya dan gaya penafsiran. Langkah selanjutnya mereka tempuh ialah menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta memahami konteks posisi ayat tersebut. Dan manakala mereka tidak menemukan jawaban dalam keterangan Nabi (hadits) atau sahabat, yang memahami betul konteks posisi ayat itu, mereka terpaksa melakukan ijtihad dan lantas berpegang pada ijtihad dan lantas berpegang pada pendapatnya sendiri.[3] Setelah berakhir masa para sahabat maka muncul kelompok yang dikenal dengan tabi’in kelompok yang bersama dengan para sahabat (abad II hijriah). Berangkat dari latar belakang penulis akan membahas mengenai penafsiran al-Qur’an pada abad II hijriah (tabi’in).
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah, penulis merumuskan dua permasalahan yaitu:
a. Bagaimana perkembangan penafsiran al-Qur’an pada abad II hijriah?
b. Bagaimana manhaj penafsiran al-Qur’an pada masa abad II hijriah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Perkembangan Penafsiran Pada Masa Abad II Hijriah.
Sejarah penafsiran ini, diawali pada masa Rasulullah Saw. Ketika masih hidup sering kali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat untuk itu, mereka dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah SAW. Secara garis besar, ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu:
a.Al-Qur’an itu sendiri, terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global disatu tempat, dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
b.Disaat Rasulullah SAW masih hidup, para sahabat dapat bertanya langsung kepada beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami, atau mereka berselisih paham tentangnya.[4]
c.Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memhami mekna perkataan dan mengetahui aspek kebahasannya. Tafsir yang bersal dari para sahabat, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut menurut jumhur ulama karena disandarkan pada rasulullah, terutama pada masalah asbabul Nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi, maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkanpada Rasulullah SAW.[5]
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an antara lain: Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair . pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.[6]
Setelah generasi sahabat, datanglah generasi Tabi’in (penafsir al-Qur’an pada masa abad II hijriah) yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga utama sebagai pusat pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau mazhab tersendiri.[7] Menurut Ibn Taimiyah, , orang-orang Makkah memiliki pengetahuan mendalam tentang tafsir. Mereka adalah para Sahabat, seperti Ibn ‘Abbas,Mujahid, ‘Atha` bin Abi Rayyan dan ‘Ikrimah maula ibn ‘Abbas. Di Kufah, mufassir Sahabat yang terkemuka antara lain adalah Abdullah ibn Mas’ud, sedangkan yang di Madinah adalah murid-murid Zaid ibn Aslam, termasuk di antaranya Malik Ibn Anas.[8]
Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadis, namun masing-masing madrasah dari guru-guru mereka sendiri. Penafsiran pada masa ini mengambil sumber dari al-Qur’an, sunnah, Sahabat, dan tabi’in atau dikenal dengan tafsir bil ma’tsur. Karakter tafsir di zaman ini adalah sebagai berikut:
1) Masuknya Israiliyat sebab banyaknya ahlul kitab dari kaum Yahudi dan Kristen yang masuk Islam.
2) Ditransmisikan melalui jalur riwayat.
3) Munculnya corak mazhab tertentu dalam tafsir.
4) Banyaknya perbedaan antar tabi’in mengenai tafsir yang diriwayatkan dari sahabat, namun perbedaan tersebut masih dalam koridor tanawwu‘ dan bukan tadlâd. Walaupun demikian, jumlah perbedaan tafsir di periode tabi’in lebih sedikit dibanding perbedaan yang terjadi akhir-akhir ini.
Faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut antara lain:
1) Setiap mufassir mengartikan maksud sebuah ayat dengan redaksi yang berbeda akan tetapi merujuk pada satu person.
2) Para mufassir menyebutkan sebagian contoh yang terkandung dalam kata umum untuk permisalan.
3) Kata yang punya beberapa artian, baik karena bersinonim atau memang mempunyai dua kemungkinan artian, seperti dlamîr.
4) Penafsiran dengan kata yang berdekatan maknanya, akan tetapi tidak bersinonim.
5) Terdapat dua kiraat dalam satu ayat.[9]
Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi tersendiri, namun belum sistematis hingga masa dipisahkannya antara hadis dan tafsir menjadi kitab tersendiri.[10]
Menjelang abad II Hijriah penafsiran mengenai tafsiran bi Ra’yi belum mendapatkan legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak penggunaan “corak” tafsir ini mengumakakan argumentasi-argumentasi berikut ini:
a. Menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Padahal, Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ اِنَّ السَّمْعَ والْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أوْلَىئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganj awabnya. (Q.S. al-Isra’ [17]: 36).
b.Yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanyalah Nabi.
وَأَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذَّكْرَلِتُبَيِّنَ لِلنَّا سِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. al-Nahl [16]: 44).
c.Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَالَ فِيْ اْلقُرْأَنِ بِرَأْيِهِ أَوْبِمَالَايَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya:
Siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, maka penafsirannya dianggap walaupun secara kebetulan hasil penafsirannya itu benar.
d.Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran al-Qur’an.[11]
Sedangkan ulama yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut:
a. Di dalam al-qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan al-Qur’an. Misalnya dalam surah Muhammad ayat 24.
b. Seandainya tafsir bi ar-Ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa ummatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
c. Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan al-Qur’an dengan rayi’nya. Seandainya tafsir bi ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
d. Rasulullah pernah berdoa untuk Ibn Abbas. Doa itu brbunyi:
اَللَّهُمَّ فَقِّهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلَمْهُ التَّأْوِيْلِ
Artinya:
Ya Allah berilah pemahaman agama kepada Ibn Abbas dan ajarilah ia takwil.
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menuqil riwayat saja, tentunya pengkhususan doa di atas untuk Ibn Abbas tidak bermakna apa-apa. Dengan demikian, maka takwil yang dimaksud dalam doa itu adalah sesuatu di luar penukilan, yaitu itihad dan pemikiran.[12]
Pada masa tabi’in tetap konsisten dengan metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.[13]
Thabaqat ketiga kaum Muslimin melanjutkan pengembangan tafsir dari kaum Tabi’in. Mereka mengumpulkan segala penafsiran para pendahulunya, kemudian dituangkan dalam kitab-kitab tafsir karya mereka, seperti yang dilakukan oleh Sufyan Ibn ‘Uyainah dan Waqi’ Ibn al-Jarrah.[14] Mereka menjadi pembuka jalan bagi Ibn Jarir al-Thabary penulis kitab Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an yang metode penafsirannya diikuti oleh sebagian besar ahli tafsir pada masa-masa berikutnya.[15]
Gabungan ketiga sumber penafsiran itu, yaitu penafsiran periode pertama, penafsiran Nabi Muhammad SAW, penafsiran periode kedua, penafsiran para Sahabat, dan penafsiran periode ketiga, penafsiran para Tabi’in, dinamai Tafsir bil al-Ma’tsur.[16]
B.Manhaj Penafsiran Al-Qur’an Pada Masa Abad II Hijrah.
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka yang dikenal dengan tafsir bil al-Ma’tsur. Dalam Tafsir bi Matsur pada Masa Abad II Hijriah ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bil al-Ma’tsur yaitu:
a. Al-Qur’an yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap al-Qur’an sendiri. Misalnya, penafsiran kata muttaqin pada surah al-Imran ayat 133:[17]
وَسَرِعُوْاِلَي مَغْفِرَةً مِنْ رَّبِّكُمْ وَجَنِّةٍ عَرْضُهَاالسِّمَوَاتِ وَالْاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
Artinya:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.[18]
Penafsiran kata muttaqin dalam ayat di atas, dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun maupun diwaktu sempit, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahn orang lain.[19]
Demikian juga dalam penafsiran kata al-khaititil abyadhi dalam surah al-Baqarah ayat 187:
وَكُل وَاشْرَبُوْاحَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الَابْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الَاسْوَدِمِنَ الْفَجْرِ
Artinya:
Kata “minal fajri” adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat “al-Kahitil abyadhi”.[21]
b. Otoritas hadis Nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an. Misalnya, penafsiran Nabi terhadap kata ‘Az-Zulm’ pada surah al-An’am ayat 6 dengan penafsiran syirik, dan pengertian ungkapan al-Quwwah dengan ar-Ramy (panah) pada firman Allah:[22]
وَاَعِدُّوْالَهُمْ مَّااسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِّبَطِ الْخَيْلِ تُرْ هِبُوْنَ بِهِ
Artinya:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu).[23]
c. Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang benyak mengetahui al-Qur’an. Misalnya, penafsiran ibnu Abbas (w.68/687) terhadap kandungan surah An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.[24]
d. Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap yang bertemu langsung dengan sahabat.[25]Mujahid dengan beberapa sarjana segenerasinya memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur'an yang dijadikan sebagai pijakan penafsiran metaforis terhadap teks keagamaan. Salah satu contohnya adalah penafsiran Mujahid terhadap al-Baqarah 65: wa-laqad _alimtumu llazina _tadaw minkum fis-sabti fa-qulna lahum kunu qiradatan khasi'in (dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabat, lalu kami berfirman kepada mereka, "jadilah kamu kera yang hina").
Frasa "jadilah engkau kera yang hina" oleh Mujahid tidak diartikan secara fisik bahwa orang berubah wujud menjadi kera, akan tetapi hanya perilakunya. Hal ini disebabkan "kalimat tersebut merupakan permisalan, matsal, yang dipakai oleh Tuhan, seperti halnya dalam al-Jumu'ah (62) ayat 5: matsal alla_ina hummilu t-tawrata tsumma lam yahmiluha kamatsalil-himari yahmilu asfara (perumpamaan orang-orang yang dipikulkan taurat kepadanya, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal.[26]
Tidak di peroleh alasan yang memadai mengenai tafsiran tabi’in yang dijadikan sebagai salah satu sumber tafsir bi al-Ma’tsur. Pada hal dalam penafsiran Al-Qur’an, mereka tidak hanya berdasarkan kepada riwayat yang diterimanya dari sahabat, tetapi juga terkadang memasukkan ide-idenya. Dengan kata lain, terkadang pun mereka melakukan ijtihad dan memberi interpretasi terhadap Al-Qur’an. Disamping itu, mereka berbeda dengan sahabat, tidak mendengar langsung dari Nabi dan tidak menyaksikan langsung situasi dan kondisi ketika Al-Qur’an turun. Oleh karena itu, otoritas mereka sebagai sumber penafsiran Al-Qur’an bi al-Ma’tsur masih diperdebatkan para ulama. Diantara ulama yang menolak otoritas mereka , Abu hanifah berujar, “Apa yang datang dari Rasulullah harus diterima; apa yang datang dari tabi’in, (kita perlu menyikapinya), mereka adalah laki-laki dan kami laki-laki. Namun, mayorita ulama seperti Ad-dahhak bin al-Muzahim (w. 118/736), Abu Al-Aliyyah Ar-Rayyah, Hasan Absri (w. 110/728), dan ikrimah menerima otoritas mereka karena umumnya mereka mendengar langsung dari sahabat.[27] Di dalam tafsir bil matsur terjadi beberapa perbedaan.
Perbedaan yang terjadi di dalam tafsir Bil Ma`tsur dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi:
a. Berbeda lafazh, bukan Makna.
a. Berbeda lafazh, bukan Makna.
Hal seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Wa Qadla Rabbuka Alla Ta’buduu Illa Iyyaah [Dan Tuhanmnu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia].” (Q.s., al-Isra`:23) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Qadla adalah Amara (memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya adalah Washsha (berwasiat).” Ar-Rabi’ bin Anas berkata, “Maknanya adalah Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan
b.berbeda lafaz dan makna
b.berbeda lafaz dan makna
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa masing-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat,[175] Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (Q.s.,al-A’raf:175-176) Ibn Mas’ud berkata, “Ia [orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Yaman.” Menurut riwayat lain darinya, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Balqa`.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat,[175] Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (Q.s.,al-A’raf:175-176) Ibn Mas’ud berkata, “Ia [orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Yaman.” Menurut riwayat lain darinya, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Balqa`.
Sinkronisasi terhadap pendapat-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan pertentangan (kontradiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan. Contoh lainnya, firman-Nya, “Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman)” (Q.s.,an-Naba`:34) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Dihaaqa adalah penuh.” Mujahid berkata, “Maknanya adalah berurutan (teratur).” ‘Ikrimah berkata, “Maknanya adalah bening.”
Pada hakikatnya, antara pendapat-pendapat ini tidak terdapat pertentangan sebab ayat tersebut mencakupi semuanya sehingga diarahkan kepada semuanya dan masing-masing pendapat merupakan jenis dari makna tersebut.
Pada hakikatnya, antara pendapat-pendapat ini tidak terdapat pertentangan sebab ayat tersebut mencakupi semuanya sehingga diarahkan kepada semuanya dan masing-masing pendapat merupakan jenis dari makna tersebut.
Ketiga, Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat tidak dapat mencakupi kedua makna tersebut secara bersama-sama karena terjadi kontradisi di antara keduanya. Karena itu, maknanya harus diarahkan kepada pendapat yang paling kuat dari keduanya, baik melalui petunjuk redaksinya atau lainnya.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.s.,an-Nahl:115) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap bangkai dan ‘Aadin [tidak pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut riwayat yang lain, “Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin, penguasa) dan tidak berbuat maksiat di dalam perjalanannya.”
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.s.,an-Nahl:115) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap bangkai dan ‘Aadin [tidak pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut riwayat yang lain, “Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin, penguasa) dan tidak berbuat maksiat di dalam perjalanannya.”
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama sebab dalil tidak mengarah kepada makna kedua dalam ayat tersebut sedangkan yang dimaksud dengan kehalalan hal-hal yang disebutkan disitu adalah melawan kondisi darurat (sehingga tidak diharamkan karena khawatir jiwa binasa-red.,) sedangkan di dalam kondisi membangkang terhadap imam (Pemimpin), dalam kondisi bepergian yang diharamkan dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan).
Contoh lainnya adalah firman-Nya, “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang memegang ikatan nikah…” (Q.S.,al-Baqarah:237)
Contoh lainnya adalah firman-Nya, “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang memegang ikatan nikah…” (Q.S.,al-Baqarah:237)
‘Ali bin Abi Thalib RA mengatakan bahwa makna “orang memegang ikatan nikah” adalah suami. Ibn ‘Abbas RA berkata, “Maknanya adalah Wali.” Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama (suami) sebab maknanya menunjukkan ke arah itu, juga karena telah diriwayatkan sebuah hadits dari Nabi mengenainya.[28]
III
KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Perkembangan penafsiran al-Qur’an pada masa abad II hijriah merupakan penafsiran masa Tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga utama sebagai pusat pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau mazhab tersendiri. Menurut Ibn Taimiyah, ,orang-orang Makkah memiliki pengetahuan mendalam tentang tafsir. Mereka adalah para Sahabat, seperti Ibn ‘Abbas,Mujahid, ‘Atha` bin Abi Rayyan dan ‘Ikrimah maula ibn ‘Abbas. Di Kufah, mufassir Sahabat yang terkemuka antara lain adalah Abdullah ibn Mas’ud, sedangkan yang di Madinah adalah murid-murid Zaid ibn Aslam, termasuk di antaranya Malik Ibn Anas.
b. Manhaj penafsiran pada masa abad II hijriah menggunakan manhaj bil Matsur dengan merujuk pada empat otoritas sumber penafsiran: al-Qur’an, Hadis, ijtihad para sahabat, ijtihad para tabi’in.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, oleh Ahmad Akrom, Jakarta: Raja Press 1992,
Al-Dzahabi,Muhammad Husein, al-Tafsir wa Al-Mufassirin, Juz I, Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976.
Al-Shiddieqy, Muhammad Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, Cet.XIV; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.
Bin Jarir al-Tabari, Muhammad, Jami’ al-Bayan fi’ Ta’wil al-Qur’an, tahqiq: Ahmad Syakir jilid III, Cet. I; Muassah al-Risalah, 2000.
Fahruddin, Achmad, Dkk, Al-Qur’an Digital/Versi 2.0, 2004 .
Manna Khalil al-Qattan, Syaikh, Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, Terj. Muzakir As, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. II; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj, Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Muhamad al-Surati, Tahir, Islam Abad ( t.th).
Prilakusuma, Angga, Makalah: Telaah Kritis Aplikasi Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur’an.
Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990.
Zainul hasan Rifai, Al-Qur’an; kisah Israiliyat dalam penafsiran Al-Qur’an, tertulis dalam Al-Hikmah; Jurnal Studi-Studi Islam, No. 13; Bandung: Yayasan Muthahhari, 1994
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an , Bandung,: Mizan: 1992
MANHAJ TAFSIR PADA MASA ABAD II
(TABI’IN)
Makalah
Disampaikan Pada Seminar Mata Kuliah Manhaj al-Mufassirin
Semester III Kelompok Qur’an Hadits 2 Program Pascasarjana
UIN Alauddin Makassar
OLEH:
ABDUL GAFUR AMIN
NIM: 80100209071
Dosen Pemandu:
Dr. H. Mustamin M Arsyad, M. A.
Dr. H. Baharuddin HS, M. Ag.
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2010
[1] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung,: Mizan: 1992), h. 83
[2] Ibid, h. 75
[3] Zainul hasan Rifai, Al-Qur’an; Kisah Israiliyat dalam Penafsiran Al-Qur’an, tertulis dalam Al-Hikmah; Jurnal Studi-Studi Islam (No. 13; Bandung: Yayasan Muthahhari, 1994), h. 6.
[4]Mashuri Sirajuddin Iqbal, A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Cet. X; Bandung: Penerbit Angkasa, 1993), h. 104.
[6]Muhammad al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir (Cet.XIV; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 213.
[7]Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, Terj. Muzakir As, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Cet. II; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), h. 474..
[8]Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa Al-Mufassirin, Juz I (Mesir: Dar al-Maktub al-Wahab, 1976), h.102.
[9]Angga Prilakusuma, Makalah: Telaah Kritis Aplikasi Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur’an, h. 12-13.
[10]Syaikh Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, Terj. Muzakir As, Op Cit, h. 477. , Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. II; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006.
[11]Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),, h. 221-222.
[13]Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj, Aunur Rafiq El-Mazni (Cet. 1; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 428.
[14]Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990), hal. 384.
[16]Syaikh Manna Khalil al-Qattan, Op Cit, h. 477.
[17] Al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, oleh Ahmad Akrom (Jakarta: Raja Press 1992, h. 43.
[18] Achmad Fahruddin, Dkk, Al-Qur’an Digital/Versi 2.0 (2004), h. Al-imran 133.
[19] Al-Aridh, Op Cit, h. 43.
[21]Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi’ Ta’wil al-Qur’an, tahqiq: Ahmad Syakir jilid III (Cet. I; Muassah al-Risalah, 2000), h. 502.
[22]Al-Aridh, Op Cit, h. 43.
[23] Achmad Fahruddin, Dkk, Op Cit, h. al-Anfal 60.
[28]Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Ushuul Fi at-Tafsiir, h.30-31, http://www.alsofwah.or.id/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar