Revisi Makalah
TAFSIR WA TAKWIL
MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Oleh:
AHMAD NAJIB
NIM: 80100209013
Dosen Pemandu:
Prof. Drs. H. M. Rafi’i Yunus, MA., Ph.D
Dr. H. Baharuddin HS, M.Ag
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim,
Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur'an merupakan mukjizat
Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di
dalamnya terkandung ajaran ajaran dan petunjuk bagi umat manusia dan umat Islam
pada khususnya dalam mencapai
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan ungkapan
Al-Qur’an tidaklah sama, kalangan orang
awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian
ayat-ayatnya secara global. Sedangkan
kalangan cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan makna-makna
yang menarik. Oleh karena itu diantara dua kelompok ini akan terdapat aneka ragam dan tingkatan pemahaman terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan
perhatian besar dari umat Islam melalui pengkajian terutama dalam menafsirkan
dan mentakwilkannya.
Pada masa Rasulullsh SAW., para sahabat beliau langsung
menananyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas/yang belum mereka pahami terhadap kandungan Al-Qur’an kepada
Rasulullah. Maka setelah wafatnya mereka harus melakukan suatu ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, Ibnu Mas’ud dan sahabat-sahabat nabi yang lainnya. Hal ini kemudian
menimbulkan keanekaragaman penafsiran, tidak terkecuali para sahabat nabi yang
secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya serta memahami
secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya. Tidak jarang berbeda
pendapat dalam memahami maksud firman-firman Allah SWT. yang mereka dengar atau
mereka baca.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal
yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan makalah ini, yaitu ;
1. Pengertian tafsir
dan takwil persamaan dan perbedaannya
2. Kelahiran dan
perkembangan tafsir
3. Macam-macam
tafsir berdasarkan sumber dan metodenya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir dan Takwil
1. Pengertian
Tafsir
Tafsir, secara bahasa
mengikuti wazan taf’il, berasal dari
akar kata al-afsar yang berarti
menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu”
dan “nasar-yansuru”. Dikatakan “fasara –yafsirun” dan yafsuru, fasran” dan fassarahu” artinya “abanahu”
(menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang
tertutup.[1]
Al-Jarjuni berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.[2]
Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas Dari kandungan makna
al-idhah (menjelaskan), al-bayan
(menerangkan), al-kasyf
(mengungkapkan), al-izhar
(menampakkan) dan al-ibanah
(menjelaskan).[3]
Adapun pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama
mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda-beda, diantaranya
1.
Menurut Abu
Hayyan: Tafsir ialah ilmu yang
mebahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an tentang
petunjuk-petunjuknya, hokum-hukumnya baik ketika berdiri maupun sendiri maupun
ketika tersusun dan makna-makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[4]
2.
Menurut az-Zarkasyi: Tafsir adalah ilmu untuk
memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. , menjelaskan
makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[5]
3.
Menurut
al-kilabi: Tafsir adalah menjelaskan
Al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash,
isyarat atau tujuannya.[6]
4.
Menurut
Ali al-Hasan: Tafsir adalah ilmu yang membahas Al-Qur’an dari aspek
penunjukannya pada makud Allah SWT. Berdasarkan kemampuan manusia.[7]
Berdasarkan beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para
ulama tafsir di atas, maka dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pada dasarnya
tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad dalam mengkaji
Al-Qur’an untuk menyingkap nilai-nilai yang terdapat didalamnya.
2.
Pengertian Takwil
Takwil menurut
bahasa berasal dari kata “aul” ( الأول ) yang berarti kembali. Seorang mufassir adalah seorang yang mengartikan sebuah ayat
dalam arti yang lain/arti yang mirip. Sebagian ulama ada yang
berpendapat bahwa takwil adalah muradif
(sinonim) dari kata tafsir.[8]
Menurut Manna Khalil al-Qattan dikatakan : “ آل
إليه أولا ومالا “ artinya kembali kepadanya . “ أو
كلاما تأويلا“ artinya memikirkan,
memperkirakan dan menafsirkannya. Atas
dasar ini maka takwil kalam dalam istilah mempunyai dua makna:
Pertama: Takwil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakllimin (pembicara, orang pertama)
mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam
dikembalikan. Dan kalam itu kembali dan merujuk kepada makna hakikinya yang
merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud..
Kedua: Takwil kalam dalam arti
menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibnu
Jarir at-Tabari dalam tafsirnya dengan kata-kata : Pendapat tentang “takwil” firman Alllah ini .........begini dan begitu dan
kata-kata: “ahli takwil” berbeda
pendapat tentang ayat ini.” Jadi yang dimaksud kata takwil disini adalah
tafsir.[9]
Takwil secara leksikal bermakna
memulangkan atau mengembalikan lafaz dari makna lahiriyah (eksoterik) kepada
makna yang dimungkinkan dengan syarat makna yang dimungkinkan tersebut selaras
dan sejalan dengan al-Qur'an dan Hadis[10].
Dzhabi dalam al-tafsir wa al-Mufassirun menulis
bahwa takwil merupakan ambilan dari awal dan bermakna ruju'. Âla asy-Syai,
Ya'ulu Awlan wa Maalan; ruju' wa awwala asy-syai: rajja'ahu.[11]
Alusi dalam Ruhul Ma'âni berkata bahwa takwil
adalah isyarah qudsi dan makrifat-makrifat ketuhanan dimana para salik berusaha
menggali endapan redaksi dan melepaskan dahaga jiwa para arif dari awan-awan
ghaib yang menyelimuti.[12]
Menurut Para ulama mutaqaddimin
takwil artinya tafsir. Karena itu bila dikatakan tafsir Al-Qur’an atau takwil
Al-Qur’an, maka pengertiannya sama.
Namun sekolompok ulama berpendapat bahwa antara tafsir dan takwil mempunyai
perbedaan yang jelas, dan hal ini telah populer dikalangan ulama Mutaakhirin.[13]
Perbedaan-perbedaan antara keduanya
itu menurut sebagian ulama antara lain:
1.
Tafsir
berbeda dengan takwil, perbedaannya adalah pada ayat-ayat yang menyangkut soal
umum dan khusus, pengertian tafsir lebih umum daripada takwil, karena takwil
berkenaan dengan ayat-ayat khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabih. Jadi
mentakwilakan ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyabih itu termasuk tafsir, tetapi
tidak setiap penafsiran ayat tersebut disebut takwil.
2.
Tafsir
adalah penjelasan lebih lanjut bagi takwil dan dalam tafsir sejauh terdapat
dalil-dalil yang dapat menguatkan penafsiran boleh dinyatakan “demikianlah yang
dikehendaki oleh Allah SWT”., sedangkan takwil hanya menguatkan salah satu
makna dari sejumlah kemungkinan makna yang dimiliki ayat (lafal) dan tidak
boleh mengatakan “demikianlah yang dikehendaki oleh Allah SWT.”
3.
Tafsir
menerangkan makna lafal (ayat) melalui
pendekatan riwayat, sedangkan takwil melalui pendekatan dirayah (kemampuan
ilmu) dan berpikir rasional.
4.
Tafsir
menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (bil ibarah),
sedangkan takwil adalah dari yang tersirat (bil isyarah).[14]
Dalam “Manahilul
Irfan Fi Ulumi Al-Qur’an” dijelaskan antara lain adalah takwil dalam istilah mufassirin pengertiannya
diperselisihkan[15].
Bahkan ada yang berpendapat bahwa takwil itu sinonim dengan tafsir, karena
dilihat dari dari segi tujuan keduanya tidak berbeda, yaitu menjelaskan makna-makna ayat Al-Qur’an[16].
B.
Kelahiran dan Perkembangan Tafsir
- Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Penafsiran terhadap Al-Qur’an dan penjelasan tentang
makna-makna serta ungkapan-ungkapannya telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW.
Beliau adalah guru pertama yang mengajarkan Al-Qur’an, menjelaskan maksudnya,
dan menguraikan ungkapan-ungkapan yang sulit.[17]
Rasulullah SAW. beserta
para sahabatnya mentradisikan, menguraikan dan menafsirkan Al-Qur’an
sesaat setelah turunnya. Tradisi itu berlangsung sampai beliau wafat..[18]
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an pada masa ini
perpegang pada :
1.
Al-Qur’anul
Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global disuatu tempat dijelaskan
secara terperinci ditempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam
bentuk mutlaq atau umum namun kemudian
disusul oleh ayat lain yang membatasi atau menghususkannya.
2.
Hadis Nabi
SAW. mengingat belaiulah yang bertugas untuk menjelaskan Al-Qur’an. Karena itu
wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan
dalam memahami sesuatu ayat.
3.
Pemahaman
dan Ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur’an
dan tidak pula mendapatkan sesuatu yang berhubungan dengan hal itu dari
Rasulullah SAW., mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan
nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai
bahasa Arab, memahamainya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek kebalagaan
yang ada didalamnya.[19]
Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan
Al-Qur’an adalah para Khlafaurrasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubaiy bin
Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin
Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin Ash dan Aisyah[20].
2.
Tafsir Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal
dalam lapangan tafsir ,maka sebagaian tokoh tabi’in yang menjadi murid dan
belajar kepada merekapun terkenal di bidang tafsir. Dalam hal sumber tafsir,
para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya
disamping ijtihad dan pertimbangan nalar sendiri.[21]
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak
jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari
mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di
antaranya:
1.
Madrasah
Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti
Mujahid bin Jabr, Said bin Jabir, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Thawus Al-Yamany
dan ‘Atha’ bin Abi Rabah.
2.
Madrasah
Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti
Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradli.
3.
Madrasah
Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah
Al-Qamah bin Qais, Hasan Al-Basry dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.[22]
Tafsir
yang disepakati oleh para tabi’in bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi
perbedaan di antara mereka maka pendapat tersebut tidak bisa dijadikan dalil
atas pendapat yang lainnya.[23]
- Tafsir Pada Masa tabi' tabi'in
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 3
Hijriah atau zaman sesudah zaman Tabi'in. di zaman inilah munculnya para
imam-imam mazhab dalam fiqh. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini
mulai mencantumkan nama guru tempat mereka mengambil hadits yang sanadnya
sampai ke Rasulullah SAW. Penulis tafsir yang terkenal di zaman ini antaranya
Al-Waqidi (wafat 207), sesudah itu ibnu Jarir Ath-thabarri (wafat 310 )[24]
4.
Tafsir Pada Masa Abad 4 H.- 12 H.
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 4
Hijriah atau zaman sesudah zaman salaf. Metode penafsiran yang digunakan pada
masa ini tidak hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in
saja tetapi telah mulai bekerja menyelidiki dan membuat perbandingan penafsiran
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, di mana logika dan ilmu
filsafat telah dipelajari. Buku tafsir di periode awal seperti nikwal 'uyun
oleh Al-mawardi, bahrul ulum oleh samrqandi, tafsir al-bughawi dan lain-lain.
Pada zaman ini banyak sekali melahirkan buku tafsir dengan berbagai gaya
penafsiran seperti gaya sastra bahasa, gaya kisah-kisah, gaya filsafat, gaya
teologi, gaya penafsiran ilmiah, gaya fiqih atau hukum, gaya tasawuf dan
lain-lain.[25]
5.
Tafsir Pada Zaman Modern (abad 12 H. – 14H.)
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini sastra
budaya kemasyarakatan yang mencakup berbagai hal kemasyarakatan seperti unsur
kesehatan dan kejiwaan. Kebanyakan tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk
ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar. Di antara tokoh di zaman ini Syaikh
Muhammad 'Abduh, Abu A'la Al-Maududi, Sayid Qutb dan lain-lain.[26]
C.
Macam-macam Tafsir berdasarkan Sumbernya
Pembagian Tafsir
dalam hal ini terbagi kepada :
1.
Tafsir bil
Matsur yang lazim juga disebut dengan bi –riwayah dan an-naql ialah rangkaian
keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai
penjelasan maksud dari firman Allah
SWT., yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah
atau penafsiran Al-Qur’an menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat.[27]
2.
Tafsir bil
Ra’yu atau dirayah sebagaimana
didefinisikan oleh Adz-Dzahabi ialah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan
metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti
Asbabun nuzul dan nasikh mansukh.[28]
3.
Tafsir
Isyari ialah penafsiran Al-Qur’an yang berlainan menurut Zahir ayat karena
adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama,
atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah SWT., yaitu orang-orang
yang berkepribadian yang luhur dan telah terlatih jiwanya, dan mereka yang
diberi sinar oleh Allah SWT. sehinga dapat menjangkau rahasia-rahasia
Al-Qur’an, pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan
ilham Ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara
pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat Al-Qur’an.[29]
D.
Macam-macam Tafsir berdasarkan Metodenya
Di
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para ulama Tafsir menempuh berbagai
metode yaitu:
1.
Metode
Tahlili
Metode Tahlili adalah
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya
, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan,
kaitan antar pemisah (munasabat) dengan bantuan Asbabun Nuzul, riwayat-riwayat
yang berasal dari Nabi SAW., sahabat dan
tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat
dan surat per surat.
2.
Metode
Ijmali
Metode Ijmali adalah
menafsirkan Al-Qur’an secara global, dengan metode ini mufassir berupaya
menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat sehingga mudah dipahami oleh semua orang, mulai dari
orang yang berpengetahuan sekedarnya sampai kepada orang yang berpengetahuan
luas.
3.
Metode
Muqaran
Metode Muqaran
adalah menjelaskan ayat-ayat Al-qur’an
dengan merujuk kepada penejelasan-penjelasan mufassir. Langkah-langkah yang
ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah :
a.
Mengumpulkan
sejumlah ayat Al-Qu’ran
b.
Mengemukakan
penjelasan para mufassir, baik dari kalangan salaf atau kalangan khalaf , baik
tafsirnya bercorak bil matsur atau bil ra’yi , atau membandingkan kecenderungan
tafsir mereka masing-masing
c.
Menjelaskan
siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi –secara subyektif- oleh
mazhab tertentu; Siapa diantara mereka
yang penafsirannya diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya
dan lain sebagainya.
4.
Metode
Maudhu’i
Metode Maudhu’i
ialah metode penafsiran berdasarkan pada pada tema-tama tertentu. Prosedur
metode ini adalah sebagai berikut:
a.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik)
b.
Menghimpun
ayat yan berkaitan dengan maslah tersebut
c.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan mana turunnya,disertai pengetahuan tentang Asbabun nuzul.
d.
Memahami
korelasi ayat-ayat dalam suratnya masing-masing
e.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna
f.
Melengkapi
pembahasan dengan hadis –hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
g.
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara ayat yang umum dan
yang khusus, mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam suatu muara tanpa perbedaan
atau pemaksaan.[30]
Dalam rangka menafsrikan ayat-ayat Al-Qur’an secara
prinsip diperlukan Ilmu Tafsir. Ilmu yang dimaksud itu, secara prinsip pula
menerangkan tentang Nusul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, Asbabun
nuzulnya, tertib Makiyyah dan Madaniyahnya, muhkam mutasyabihahnya, naskh dan
mansukhnya, dan lain sebagainya.[31]
Sesugguhnya manusia (Mufassir) bebas melakukan
penafsiran. Namun dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang
mendalam, menyentuh dan menyeluruh ditemukan banyak syarat. Secara umum oleh
Muhammad Quraish Shihab disebutkan:
1.
Pengetahuan
bahasa Arab dalam berbagai bidang
2.
Pengetahuan
tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarah turunnya, hadis-hadis nabi dan ushul fiqih
3.
Pengetahuan
tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan
4.
Pengetahuan
tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[32]
Bagi
mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas tidak dibenarkan untuk
menafsirkan Al-Qur’an.[33]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uriaan yang telah dikemukakan pada
bab-bab sebelumnya, penulis menyimpulkan :
1.
Tafsir
adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad dalam mengkaji
Al-Qur’an untuk menyingkap nilai-nilai yang terdapat didalamnya. Sedangkan
Takwil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakllimin (pembicara, orang pertama) mengembalikan
perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan
kalam itu kembali dan merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi
sebenarnya yang dimaksud. Dan dalam hal ini ada ulama yang membedakan adapula yang menyamakan arti tafsir dan
takwil .
2.
Kelahiran
dan Perkembangan Tafsir dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Dan Sahabat,
kemudian pada masa tabi’in sampai kepada
zaman modern dan masing –masing mempunyai metode dan corak yang berbeda.
3.
Tafsir jika dilihat berdasarkan sumbernya maka akan
terbagi menjadi tiga yaitu : Tafsir bil Matsur, Tafsir Bil Ra’yi dan Tafsir
Isyari . Sedangkan Tafsir jika dilihat berdasarkan metodenya akan terbagi
menjadi empat metode yaitu: Metode
Tahlili, Metode Ijmali, Metode muqaran
dan Metode Maudhu’i.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Abu. Ulumul
Quran Sebuah Pengantar. Cet.II;tt:Sinar Grafika Offset, 2005
Anwar, Rosihan . Ilmu
Tafsir , ,Cet.III;Bandung:Pustaka
Setia, 2005
http://abatihawa.blogspot.com/2008/07/oleh-teungku-junaidi-ibrahim.htmlal-Hasan, Ali . al-Manar, Cet. I; Beirut: Darul
al-Fikr al-Arabi, 1998
Al-Jarjuni, At-Ta’rifat,
Athpthaba’ah wa an-Nasyr wa At-Tauzi, Jeddah, tt.,
Husain Dzhabi, Muh. al-Tafsir wa al-Mufassirun,
jil. 1,
Nawawi, Rifat Syauqi dan Muhammad Ali Hasan. Pengantar Ilmu Tafsir Jakarta: Bulan Bintang , 1998
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. At-tibyaan fii Uluumil Qur’an., terj. Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an Cet.I; Bandung :
CV. Pustaka Setia, 1999
Ash-Shiddiqi, M. Hasbi .Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang , 1990
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , Bandung : Mizan , 1993
Syarif Jurjani, Sayid al-Ta'rifat
Thabathaba’i, Muhammad Husain. Al-Qur’an
fi Al-Islam.,terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an ,
edisi Two in one Cet.I;Bandung: Mizan , 2009
al-Qattan, Manna Khalil Mabahis
fi ulumil Qur’an., terj. Mudzakir AS, Studi
Ilmu-ilmu Al-AQur’an . Cet.III ;Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1996
[1] MannaKhalil al-Qattan, Mabahis
fi ulumil Qur’an., terj. Mudzakir AS, Studi
Ilmu-ilmu Al-AQur’an (Cet.III ;Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1996),
h.455
[2]Al-Jarjuni, At-Ta’rifat,
Athpthaba’ah wa an-Nasyr wa At-Tauzi, Jeddah, tt., h. 63 dikutip dalam
Rosihan Anwar , Ilmu Tahsir, (Cet.III;Bandung:Pustaka
Setia, 2005), h. 141
[3] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir
, , (Cet.III;Bandung:Pustaka Setia,
2005), h. 141
[4] Manna Khalil al-Qattan, op.cit.,h.
456.
[5]Ibid .
[6]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an., dikutip dalam Rosihan Anwar, Ilmu Tahsir, (Cet.III;Bandung:Pustaka
Setia, 2005), h. 141.
[7]Ali al-Hasan, al-Manar, (Cet. I; Beirut: Darul al-Fikr al-Arabi1998),
h. 11.
[8] Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan
fii Uluumil Qur’an., terj. Aminuddin, Studi
Ilmu Al-Qur’an (Cet.I; Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), h. 245
[9] MannaKhalil al-Qattan, Mabahis
fi ulumil Qur’an.,op.cit. h. 457-458.
[10] Sayid Syarif Jurjani, al-Ta'rifat, hal. 43
[11] Muh. Husain Dzhabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jil. 1, hal.
3
[12] Lory Pierre, Les
Commentoires Du Coran, terjemahan Persia, Ta'wilat al-Qur'an az Didgah-e
Abdurrazaq Kasyani, tr. Zainab Pudine Aqai, hal 65.
[13]Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan
fii Uluumil Qur’an., op.cit ., h.
246
[14]M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang , 1990), h. 185.
[15] Rif’at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta:
Bulan Bintang , 1998), h. 139; dikutip dalam Abu Anwar, Ulumul
Qu’ran Sebuah Pengantar (Cet. II; tt.:Sinar
Grafika Offset, 2005), h. 99.
[16] Abu Anwar, Ulumul Quran
Sebuah Pengantar. (Cet.II;tt:Sinar Grafika Offset, 2005), h. 100
[17]Muhammad Husain Thabathaba’I, Al-Qur’an
fi Al-Islam.,terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an ,
edisi Two in one(Cet.I;Bandung: Mizan , 2009), h. 103.
[18]Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, op.
cit.,h. 165
[19] MannaKhalil al-Qattan, Mabahis
fi ulumil Qur’an.,op.cit. h. 469-472.
[20] Ibid.
[21] Ibid., h. 473
[22] http://fastion.multiply.com/journal/item/9/
(31Desember 2009)
[23] Ibid.
[27]Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan
fii Uluumil Qur’an., op.cit., h. 248
[28] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, op.
cit.,h. 151
[29]Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan
fii Uluumil Qur’an., op.cit., h. 284.
[30]Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, op.
cit.,h. 159-161
[31] Abu Anwar, Ulumul Quran
Sebuah Pengantar. ,op.cit, h. 101
[32] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat , (Bandung : Mizan , 1993), .h. 77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar