AL-MUNASABAH
Fi AL-QUR’AN
(Tinjauan
Kemukjizatan Al-Qur’an dari Segi Bahasa)
Makalah
Dipersentasekan
pada Seminar Mata Kuliah “ulumul qur’an”
Semester
I, kel. I, TA. 2009/2010
Oleh
Abdul Muiz, Lc
nim: 80100209006
Dosen
Pembimbing
Prof. Drs. H. Rafi’I Yunus, MA, Ph.D
Dr. H. Baharuddin, HS, M.Ag
PROGRAM PASCA SARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan secara sistematis dan
teratur, baik dari segi penurunannya, maupun dari segi tata letak tekstualnya
yang tersirat maupun yang tersurat. Oleh karenanya di dalam memahami makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an, diperlukan pula ilmu-ilmu yang telah diatur secara
sistematis oleh para ulama’ yang bergelut dibidang ilmu tafsir.
Al-Qur’an beda dengan kitab-kitab lain, hal ini karena kedudukannya
sebagai kitab suci yang memiliki kemukjizatan yang luar biasa dibanding dengan
kitab-kitab yang lain, secara garis besarnya kumukjizatan Al-Qur’an ini dapat
di bagi menjadi 3 bahagian, yaitu:
1.
Kemukjizatan
bahasa
2.
Kemukjizatan
ilmiah
3.
Kemukjizatan
syar’i[1]
Namun
dalam hal ini penulis hanya ingin meninjau kemukjizatan Al-Qur’an dari segi
bahasa, khususnya korelasi (munasabah) antara surah atau ayat yang satu
dengan surah atau ayat yang lainnya.
Dalam
hal ini untuk menemukan dan memahami munasabah Al-Qur’an tentunya membutuhkan
alat (ilmu) yang khusus telah ditetapakan dan digunakan oleh para ulama’
tafsir, diantara disiplin ilmu yang diperlukan adalah ilmu yang menyangkut
tentang tata bahasa arab, baik dari segi lafziah seperti, Ilmu Nahwu dan
Ilmu Sharf. Maupun dari segi maknawiah, seperti, Ilmu Balaghah, Ilmu
Mantiq, Ilmu Bayan dan Ilmu Badi’. Tanpa menguasai disiplin ilmu tersebut kita tidak
dapat memahami korelasi antara surah atau ayat yang satu dengan surah atau ayat
yang lainnya, hal ini disebabkan karena Al-Qur’an adalah kitab suci yang
ilmiah, yang tentunya membutuhkan metode untuk memahaminya secara ilmiah pula.[2]
B.
Rumusan
Masalah
Beranjak dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka
terbentuklah rumusan masalah yang akan penulis bahas lebih lanjut mengenai :
1.
Bagaimana
tinjauan munasabah menurut etimologi dan munasabah Al-Qur’an secara terminologinya?
2.
Bagaimana
sikap Ulama’ dalam menilai ada atau tidak adanya munasabah dalam Al-Qur’an?
3.
Mengapa
mesti terjadi munasabah Al-Qur’an?
4.
Bagaimana
bentuk munasabah Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Munasabah Menurut Epistimologi dan Munasabah Al-Qur’an Menurut Terminologinya.
1.
Munasabah
secara epistimogi adalah kedekatan, dikatakan si anu munasabah dengan si
fulan artinya ia mendekati atau menyerupai si fulan it.[3]
2.
Munasabah Al-Qur’an secara
terminologi adalah "segi-segi
hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain, dalam satu ayat antara
satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat atau antara satu surah dengan
surah yang lain".[4]
Beranjak dari pengertian diatas kita dapat memhami bahwa ilmu munasabah
Al-Qur’an ini membahas tentang hubungan antar satu ayat dengan ayat yang lain
maupun satu surah dengan serah yang lain secara berentetan, pengetahuan tentang
munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat
Qur’an secara retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya
dan keindahan gaya bahasanya. Hal ini telah di sinyalir dalam Al-Qur’an QS Hud
ayat 1 :
الٓرۚ
كِتَـٰبٌ أُحۡكِمَتۡ ءَايَـٰتُهُ ۥ ثُمَّ فُصِّلَتۡ مِن لَّدُنۡ حَكِيمٍ
خَبِيرٍ
Terjemahannya : “Alif
laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang
Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.”[5]
Ayat
diatas telah menjelaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an telah disusun rapi oleh
Allah secara sistematis baik dari segi textualnya maupun maknawiyahnya.
Bagaikan rantai yang gelangnya tidak bisa di pisah dengan gelang yang lain.
Namun dalam memahami korelasi antar satu ayat dengan ayat
yang lain atau antar surah dengan surah yang lain, tidak terlepas dari ilmu
asbabu nuzul ayat karena peranananya dapat membantu kita dalam mengetahui dan
memahami hubungan makna secara tepat yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Oleh
sebab itu ayat yang tidak dibarengi dengan penjelasan asbabu nuzul, bisa dijelaskan dengan adanya relevansi ayat tersebut dengan
ayat yang lain.[6]
Melihat
dan memahami penjelasan diatas, kita dapat mengerti bahwa korelasi yang terjadi
di dalam Al-Qur’an dengan susunannya yang sistematis adalah bukti kemukjizatan
Al-Qur’an yang tidak bisa di tandingi oleh makhluk manapun, inilah sebabnya
mengapa sampai sekarang, tantangan Al-Qur’an belum terjawab, karena memang
kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa ini sangat sempurna, bahkan
kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa ini tidak terbatas hanya pada
korelasinya saja akan tetapi masih banyak lagi kemukjizatan Al-Qur’an dari segi
bahasa yang lebih menakjubkan lagi, sebab memang ilmu Al-Qur’an tidak memiliki
batasan, sebab ia sangat luas.
B.
Pandangan Para Ulama’ Tentang Ada atau Tidak Adanya
Munasabah Antara Satu Surah/Ayat dengan Surah/Ayat yang Lain.
Terdapat beberapa pendapat atau asumsi para ulama’ dalam
menanggapi ada atau tidak adanya hubungan antara satu surah/ayat dengan satu
surah/ayat yang lain dalam Al-Qur’an, diantaranya :
1.
Segolongan
ulama’ berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu satu dengan yang lainnya tidak
memiiiki korelasi antara ayat-ayat yang lain. Oleh karena ayat-ayat Al-Qur’an satu
dengan yang lainnya di dalam surah-surah Al-Qur’an tidak dijadikan berbab-bab
dan berpasal-pasal dan tidak teratur, oleh karena sering didapati di dalamnya
berisi perintah dan di ayat lain berisi larangan, yang di antaranya sudah di
selingi dengan ayat yang berisi qishas, maka tidak mungkin ada korelasi antara ayat
yang satu dengan ayat yang lainnya. Bahkan mereka berasumsi bahwa yang
memperhubungkan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, adalah suatu
perbuatan mempersulit diri.[7]
Contoh dalam QS
Al-Baqarah ayat 114 dan 115:
وَمَنۡ
أَظۡلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ أَن يُذۡكَرَ فِيہَا ٱسۡمُهُ ۥ
وَسَعَىٰ فِى خَرَابِهَآۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ مَا كَانَ لَهُمۡ أَن يَدۡخُلُوهَآ
إِلَّا خَآٮِٕفِينَۚ لَهُمۡ فِى ٱلدُّنۡيَا خِزۡىٌ۬ وَلَهُمۡ فِى ٱلۡأَخِرَةِ
عَذَابٌ عَظِيمٌ۬ ١١٤
Terjemahannya : “Dan siapakah
yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah
dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak
sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada
Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang
berat”[8]
وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ
وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ
وَٲسِعٌ عَلِيمٌ۬
Terjemahannya : “Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83].
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[9]
Menurut
mereka antara ayat 114 tidak ada kaitannya dengan ayat 115 karena pada ayat 114
dibahas tentang kelakuang kaum quraisy yang menghalangi orang-orang
untuk menyebut nama Allah dan ingin merobohkan rumah Allah. Sedangkan di ayat
115 di jelaskan tentang, perintah menghadap kepada Allah.[10]
2.
Segolongan ulama’
diantaranya Muhammad ‘Izah dan
Dr. shubi al-Shalih, berpendapat bahwa sebahagian besar ayat/surah memiliki relevansi dengan
ayat/surah yang lain[11]
3.
Segolongan besar ulama’ diantaranya Syeikh Bahanuddin Albaqa’i, Syekh
Muhammah Abduh, Said Muhammad Rasyid Ridha, Imam Az-Zarkasy dan banyak lagi
ulama’-ulama’ yang lain yang telah menyusun kitab-kitab ‘Ulumul Qur’an
yang di dalamnya membahas tentang munasabah antara satu surah/ayat dengan
surah/ayat yang lain. Berpendapat bahwa tiap-tiap surah/ayat yang ada didalam
Al-Qur’an memiliki korelasi antara yang satu dengan yang lainnya, hal ini di
karenakan letek tiap-tiap surah/ayat Al-Qur’an itu dari sejak diturunkan sudah
diatur dan ditertibkan oleh Allah swt. Dan Nabi saw. Tinggal memerintahkan
kepada para penulisnya pada waktu ayat-ayat itu diturunkan tentang letak dan
tempatnya tiap-tiap ayat dan surah, maka sudah barang tentu perintah tersebut
itu mengandung arti, bahwa tiap-tiap surah/ayat yang ada di dalam Al-Qur’an itu
memiliki hubungan dengan yang lainnya, mereka juga mengatakan bahwa walaupu
pada lahirnya ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak teratur dan tidak tersusun, tetapi
pada hakekatnya sangat tersusun dan rapi.[12]
Untuk contoh pada pendapat yang ke tiga ini dapat dilihat pada pembahasan
bentuk-bentuk munasabah Al-Qur’an.
Setelah melirik beberapa pandangan para ulama’ tentang munasbah Al-Qur’an
maka sebagai penulis yang mesti menentukan sikap melihat dari berbagai argument
di atas maka penulis lebih condong sependapat pada golongan ke tiga, bahwa
semua surah/ayat yang ada didalam Al-Qur’an memiliki korelasi, relevansi atau
munasabah antara surah/ayat yang lain. Karena melihat berabagai kitab-kitab Uluml
Qur’an yang di dalamnya membahas khusus tentang munasabah Al-Qur’an,
diantaranya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim ibnuz Zubair al-Andalusi an-Nahwi
al-Hafiz, kitabnya berjudul Al-Burhan fi Munasabati tartibi Suwaril
Qur’an. Dan Syaikh Burhanuddin Al-Baqa’I yang kitabnya berjudul Nuzumu
Durar fi Tanasubil Ayat was Suwar.[13]
C.
Faedah atau Hikmah dalam Mengetahui Munasabah Surah-Surah/Ayat-Ayat
dalam Al-Qur’an.
Telah penulis jelaskan terdahulu bahwa salah satu mukjizat terbesar
Al-Qur’an adalah tinjauan bahasanya dan salah satu bentuknya adalah terdapatnya
korelasi antara satu surah/ayat dengan surah/ayat yang lain, untuk lebih
jelasnya lagi penulis akan mengemukakan pandangan para ulama’ tentang faedah
atau hikmah yang dikandung Al-Qur’an dengan adanya munasabah antara surah/ayat
yang ada didalam Al-Qur’an, diantaranya :
1.
Az-Zarkasyi menyebutkan :
manfaatnya ialah menjadikan bagian pembicaraan yang berkaitan dengan sebagian
lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya kukuh dan
bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh.
2.
Qhadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi
menjelaskan : mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat-ayat satu dengan yang
lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan
susunannya teratur merupakan ilmu yang besar.
3.
Syaikh Al-‘Izz bin ‘Abdus Salam : mengatakan munasabah/korelasi adalah ilmu yang baik, tetapi dalam
menetapkan keterkaitan antar kata-kata secara baik it di syaratkan hanya dalam
hal yang awal dengan akhirnya memang bersatu dan berkaitan. Sedang dalam hal
yang mempunyai beberapa sebab berlainan, tidak di syaratkan adanya hubungan
antara yang satu dengan yang lain.
4.
Sebagian mufassir telah
menaruh perhatian besar untuk menjelaskan korelasi antara kalimat dengan kalimat, ayat dengan ayat atau surah
dengan surah, dan mereka telah menyimpulkan segi-segi kesesuaian yang cermat.
Hal itu disebabkan karena sebuah kalimat terkadang merupakan penguat terhadap
kalimat sebelumnya, sebagai penjelasan, tafsiran atau sebagai komentar akhir.[14]
Setelah melihat dan
mencermati penjelasan para ulama’ tentang faedah atau hikmah munasabah
Al-Qur’an, maka penulis dapat memahami bahwa mengetahui munasabah antara
surah/ayat yang satu dengan surah/ayat yang lainnya adalah salah satu jalan
yang sangat urgen dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an, karena dengan
mengetahui hal tersebut maka kita dapat mengetahui maksud yang di kandung oleh
surah/ayat dalam Al-Qur’an. Namun perlu penulis tegaskan bahwa untuk mengetahui
ilmu munasabah tersebut tidak semudah membalik telapak tangan, hal ini
membutuhkan proses yang sangat sulit dan membutuhkan beberapa penguasaan
cabang-cabang ilmu, khususnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ketata bahasaan,
itulah sebabnya mengapa beberapa ulama’ memandang bahwa untuk mengetahui hal
ini sangatlah sulit karena terkadang surah/ayat yang berada dalam suatu
pembahaan bertolak belakang dengan surah/ayat yang lain. Namun ketika kita
kembali kepada tujuan utama Al-Qur’an “litubayyinah innasi” sebagai janji
Allah, maka tidak ada kata sulit untuk memahami makna Al-Qur’an, apabila kita
bersungguh-sungguh untuk menuju kepada tujuan tersebut.
D.
Bentuk-Bentuk Munasabah dalam Al-Qur’an
Dalam pembahasan ini penulis akan menjelasakan dari sisi mana saja
Al-Qur’an memiliki korelasi/munasabah antara yang satu dengan yang lainnya.
Stelah memperhatikan beberapa literatur-literatur/referensi yang ada, maka
penulis dapat membagi munasabah Al-Qur’an itu kepada dua sisi, yaitu munasabah
antara surah dengan surah yang lain dan munasabah antara ayat dengan
ayat yang lain.
1.
Munasabah antara satu surah dengan surah yang lain
Oleh karena
memandang peletakan surah dalam Al-Qur’an adalah masalah pelik yang menjadi
perbedaan antara para ulama’, tentang apakah peletakan surah tersebut tauqifi
ataukah ijtihadi, maka dalam masalah munasabah ini juga terjadi
perbedaan pelik antara para ulama’, yang disebabkan karena masalah peletakan
tempat surah tadi. Namun karena penulis melihat sebagian besar ulama’ memandang
bahwa peletakan tempat surah tersebut adalah tauqifi, maka penulis juga
tentunya merajihkan pendapat bahwasanya susunan surah dalam Al-Qur’an memiiki
munasabah atau korelasi antara satu surah dengan surah sebelumnya dan surah
sesudahnya. Dalam hal ini penulis akan memaparkan beberapa contoh yang di ambil
dari beberapa kitab-kitab yang membahas tentang permasalahan tersebut.
Untuk lebih
memudahkan
para pembaca, maka penulis akan memberikan contoh yang dimulai dengan surah
yang pertama dan seterusnya.
a.
Munasabah
antara surah Al-Fatihah dengan surah Al-Baqarah :
1)
QS
Al-Fatihah
بِسۡمِ
ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ (١) ٱلۡحَمۡدُ
لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٢) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ (٣)
Terjemahannya : “Dengan menyebut
nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1) Segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam (2) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (3)…”[15]
2)
QS
Al-Baqarah
الٓمٓ (١) ذَٲلِكَ ٱلۡڪِتَـٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدً۬ى
لِّلۡمُتَّقِينَ ( ٢) ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ يُنفِقُونَ (٣ )
Terjemahannya
: “Alif laam miin (1) Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (2) (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami anugerahkan kepada mereka (3)…[16]
Untuk
mengetahui korelasi antara kedua surah tersebut, maka hal yang terpenting yang
harus kita perhatikan adalah kandungan yang di miliki oleh kedua surah
tersebut. Pada surah Al-Fatihah dijelaskan bahwa surah ini mengandung
masalah perintahkan untuk beriman kepada Allah, hal ini dapat dilihat
pada kandungan makna ayat-ayatnya, ketika Allah memerintahkan kita untuk
bertahmid atas kekuasaan Allah yang meliputi alam semesta di dunia bahkan di
akhirat kelak. Kemudian munasabahnya dengan surah setelahnya (surah Al-Baqarh)
yang didalam juga mengandung perintah kepada keimanan, hal ini dapat
dilihat pada ayat kedua ketika Allah menjelaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an
yang didalamnya tidaklah terdapat keraguan sedikitpun, inidikasi ini secara
tidak lansung mengajak kita untuk meyakini atau mengimani Al-Qur’an, begitupun
ayat-ayat lain yang di kandung di dalamnya yang memberikan informasi kepada
kita tentang hal ihwal keimanan, khususnya beriman kepada yang ghaib, tentang
hari akhirat dan banyak lagi perintah yang menyangkut iman di dalam surah ini.[17]
b.
Munasabah
antara QS Al-Baqarah dengan QS Ali ‘Imran
1)
QS
Al-Baqarah
Telah kami jelaskan diatas tentang sebahagian kandungan surah ini , namun surah ini, selain membahas tentang keimanan juga membahas tentang
hal ihwal orang-orang yang kufur di jalan Allah.
2)
QS
Ali ‘Imran
الٓمٓ (١)
ٱللَّهُ
لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَىُّ ٱلۡقَيُّومُ (٢)
نَزَّلَ
عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقً۬ا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَأَنزَلَ
ٱلتَّوۡرَٮٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ (٣)
Terjemahannya
: “Alif laam miim (1) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus
makhluk-Nya (2) Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan
Injil (3)…”[18]
Dalam surah
ini mengandung beberapa masalah, diantaranya : keimanan, ibadah, mu’amalah,
akhlak, dan sebagainya. Munasabahnya dengan surah sebelumnya adalah kalau pada
surah Al-Baqarah perintah untuk beriman, namun belum terlalu di pertegas pada
surah sebelumnya. Pada surah ini Allah lebih mempertegas perintah untuk beriman
kepadaNYA, hal ini Nampak ketika Allah lebih mempertajam perintah iman itu
kepada ketauhidan, dan membatah tentang kepercayaan nashrani tentang ketuhanan
Nabi Isa. Begitupun pada surah
sebelumnya sebahagian besar membahas tentang urusan ukhrawi (akhirat).
Namun pada surah ini selain Allah membahas masalah akhirat (ibadah) Allah juga
menjelaskan masalah-masalah mu’amalat, hal ini jelas ketika Allah menjelaskan
masalah hukum jual beli.[19]
Demikianlah
sekilas contoh munasabah antara satu surah dengan surah yang lain, namun untuk
lebih jelasnya permbahasan ini bisa kita dapatkan secara detail di dalam kitab
“Nazmu Al-Durar fi Tanaasubil Ayat wa Suwar” yang disusun oleh Imam
Burhanuddin abi Hasan Ibrahim bin Umar Al-Baqa’i.
2.
Munasabah antara satu ayat dengan ayat yang lain (sebelum dan
sesudahnya)
Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dan
sesudahnya, dalam arti hubungan yang menyatukan, sperti perbandingan atau
perimbangan antara sifat orang mukmin dengan sifat orang musyrik, antara
ancaman dengan janji untuk mereka, begitupun penyebutan ayat-ayat rahmat
setelah ayat-ayat azab, ayat-ayat yang berisi anjuran sesudah ayat-ayat berisi
ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemaha sucian Tuhan sesudah ayat-ayat tentang alam
dan bahkan terkadang munasabah itu terletak pada perhatiannya terhadap lawan
bicara, contoh firman Allah swt. QS Al-Ghasyiyah ayat 17-20 :
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ
ڪَيۡفَ خُلِقَتۡ (١٧)
وَإِلَى
ٱلسَّمَآءِ ڪَيۡفَ رُفِعَتۡ (١٨) وَإِلَى ٱلۡجِبَالِ كَيۡفَ نُصِبَتۡ
(١٩)
وَإِلَى
ٱلۡأَرۡضِ كَيۡفَ سُطِحَتۡ (٢٠)
Terjemahannya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana ia diciptakan (17) dan langit bagaimana ia ditinggikan (18) dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan (19) dan bumi bagaimana ia dihamparkan
(20)[20]
Diatas telah
kami paparkan 4 ayat, yang ketika kita melihat secata sepintas, maka keempat
ayat ini sama sekali tidak memiliki korelasi antara ayat yang satu dengan yang
lainnya, namun setelah kita mencermatinya secara sistematis, dengan memahami
ayat-ayat tersebut dengan pendekatan keilmuan maka ayat-ayat tersebut akan
memunculkan munasabah antara satu dengan
yang lainnya. Pada ayat 17 di sebutkan tentang perintah untuk memperhatikan
atau meneliti bagaimana unta itu diciptakan, kemudian ayat selanjutnya di
jelaskan tentang bagaiamana langit di tinggikan, pada ayat selanjutnya lagi di
sebutkan tentang bagaiamana gunung-gunung ditegakkan, dan pada ayat selanjutnya
dijelaskan bagaiamana bumi ini di hamparkan. dalam ayat-ayat diatas terkandung
masalah penghubungan antara unta, langit, gunung dan bumi. Munasabahnya
adalah ketika kita memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku pada kalangan
lawan bicara yang tinggal di padang pasir, yang kehidupan mereka bergantung
pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya namun keadaan itupun tidak akan
berlansung tanpa adanya air yang dapat menumbuhkan rumput di tempat gembalaan
unta-unta mereka, tentunya keadaan ini terjadi bila turunnya hujan dan inilah
sebab mengapa mereka selalu menengadahkan wajahnya ke langit, yang kemudian
mereka juga membutuhkan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang
lebih baik kecuali gunung-gunung. Mereka juga memerlukan rerumputan begitupan
air, sehingga keadaan mereka selalu berpindah-pindah dari daerah ke daerah yang
lain. Maka, apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat diatas, hati
mereka terasa menyatu dengan
apa yang mereka saksikan sendiri
yang tidak bisa lepas dari benak mereka.[21]
Contoh lain pada QS Al-Qiyamah
ayat 20-21 :
كَلَّا
بَلۡ تُحِبُّونَ ٱلۡعَاجِلَةَ (٢٠) وَتَذَرُونَ ٱلۡأَخِرَةَ (٢١)
Terjemahannya : “Sekali-kali janganlah demikian.
Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia (20) dan
meninggalkan (kehidupan) akhirat (21).[22]
Antara ayat diatas jelas ada korelasinya sebab Allah
menamakan dunia ini dengan “Al-‘Ajilah” mengandung pengertian bahwa hidup di
dunia ini cepat/pendek, sesuai dengan nabi, cepat-cepat menyambut wahyu dan
membacanya dengan menggerakan lidahnya. Seakan-akan Allah memperingatkan
kepadanya, perhatikan apa yang di wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
terpengaruh seperti orang lain, bersikap tergesa-gesa di dalam hidup mereka
yang singkat itu.[23]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Membahas munasabah Al-Qur’an
tentunya tidak terlepas dari pemabahsan kemukjizatan Al-Qur’an dari segi
bahasa. Hal ini melihat bahwa membahas masalah korelasi antar surah/ayat di dalam
Al-Qura’an tidak terlepas dari fungsional bahasa yang berperan penting dalam memahaminya. Oleh
sebab itu ilmu-ilmu yang menjadi alat dalam memahami korelasi tersebut,
mestilah dimiliki bagi orang yang ingin memahami betul sejauh mana korelasi
tersebut terbentuk.
2.
Pembahasan ini kami rumuskan dalam 3
bentuk catatan :
a.
Pada dasarnya para ulama’ sepakat
adanya korelasi antara ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain, walaupun letak
perbedaanya hanya terdapat pada segi kuantitas hubungan tersebut, dalam artian
sebagian ulama’ berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat dalam Al-Qur’an memiliki
korelasi dan sebagian ulam’ diantaranya mengatakan bahwa hanya sebahagian ayat
dengan ayat lain yang memiliki korelasi.
b.
Adanya korelasi anara surah dengan
surah yang lain, para ulama’ agak berbeda pendapat dalam memandang hal ini, hal
ini di latar belakangi karena dalam penetapan tempat surah di dalam Al-Qur’an
terjadi perbedaan pendapat pula, sebahagian mereka menganggap bahwa peletekan
surah dalam Al_Qur’an bukanlah Tauqifi akan tetapi ia disusun menurut Ijtidi.
Begitupun sebaliknya sebahagian yang lain menganggap bahwa susunan surah
dalam Al-Qur’an adalah bentuk Tauqifi secara lansung dari Rasulullah.
c.
Ketika penulis melihat keagungan
Al-Qur’an dan kemukjizatannya, penulis yakin bahwa semua isi Al-Qur’an telah
disusun secara sistematis oleh Allah, bahkan sebelum Al-Qur’an itu di turunkan
ke bumi ini. Oleh sebab itu korelasi yang terbentuk antar surah/ayat dengan
surah/ayat yang lain tentu memiliki hubungan yang sangat erat, penulis hanya
melihat masalah yang terjadi adalah sejauh mana kita memahami Al-Qur’an itu
sendiri.
3.
Pada dasarnya Al-Qur’an seluruhnya
memiiki hubungan yang erat antara satu (huruf, kalimat, ayat, surah dan selainnya)
dengan lainnya. Hanya saja munasabah yang paling sulit untuk kita kaji adalah
munasabah antara surah/ayat dengan surah/ayat yang lainnya. Karena munasabah
antara huruf atau kalimat yang ada di dalam Al-Qur’an sudah jelas memiliki
korelasi, karena ia terbentuk dalam satu maudhu’ atau pembahasan.Wallahu
A’lam Bis-Shawab
DAFTAR PUSTAKA
Al Biqa’i. Burhanuddin abi Hasan Ibrahim bin Umar, Nazmu
Ad-Daurar fi Tanaasubil Ayat wa Suwar. Cairo: Dar. Kitab Al-Islami; 1480
H/1885 M
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung:
PT Syaamil Cipta Media; 2004
Adz-Dzahabi. Muhammad Husein, Al-Ittija-hatul
Munharifah fi Tafsiril Qur’anil Karim, alih bahasa Hamim Ilyas dan
MachnunHusein, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, Cet.II,
Jakarta: Rajawali; 1991
Kholil. Moenawar, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, Cet.VI, Solo:
CV Ramadhani; 1985
Musa. M. Yusuf, Al-Qur’an wal Falsafah, Alih
bahasa, Ahmad Daudy, Al-Qur’an dan Filsafat, Cet.I, Jakarta: PT Bulan Bintang; 1988
Al-Qattan, Manna Khalil, Mbahats Fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa oleh Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.Cet.I, Bogor: PT Pustaka
Litera AntarNusa; 1992
------------------------------, Mbahats Fi ‘Ulumil
Qur’an. Cet.XI, Cairo: Maktabah Al-Wahbah; 2000
Ash Shiddieqy. T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an/Tafsir, Cet.VIII, Jakarta: Bulan Bintang; 1980
Ash Shobouni, Syaikh Muhammadi Ali, Al-Tibyan fi
Ulumil Qur’an. Alih bahasa, Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an
Praktis, Cet.I, Jakarta: Pustaka Amani; 1988
Asy Syirbashi. Ahmad, Sirah fi Tafsiril Qur’an. Alih
bahasa Pustaka Firdaus, Sejarah Tafsir Qur’an, Cet.I, Jakarta: Pustaka
Firdaus; 1985
Az Zarkasyi. Al Imama Badruddin Muhammad bin Abdullah, Alburhan
fi Ulumil Qur’an, Cairo: Dar At-Turats
Zuhdi. Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an, Cet.I,
Surabaya: PT Bina Ilmu; 1980
[1]Al-Qattan, Manna Khalil, Mbahats Fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa oleh Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Bogor: PT Pustaka Litera
AntarNusa, 1992), h.377-390
[2]Ibid.
[3]Al Imama Badruddin Muhammad bin Abdullah Az Zarkasyi, Alburhan
fi Ulumil Qur’an, (Cairo: Dar At-Turats), h.35
[4]
Ibid.
[5]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media;
2004), h.221
[6]T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang; 1980),
h.167
[8]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media;
2004), h.18
[10]Al Imama Badruddin Muhammad bin Abdullah Az Zarkasyi, Alburhan
fi Ulumil Qur’an, (Cairo: Dar At-Turats), h.45
[11] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang; 1980) h.167-168
[13] Al-Qattan, Manna Khalil, Mbahats Fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa oleh Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Bogor: PT Pustaka Litera
AntarNusa, 1992), h.140
[15]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media;
2004), h.1
[16]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media;
2004), h.2
[17]Burhanuddin abi Hasan Ibrahim bin Umar Al Biqa’i, Nazmu Ad-Daurar
fi Tanaasubil Ayat wa Suwar. (Cairo: Dar. Kitab Al-Islami; 1480 H/1885 M),
h.55
[18]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media;
2004), h.50
[19]Burhanuddin abi Hasan Ibrahim bin Umar Al Biqa’i, Nazmu Ad-Daurar
fi Tanaasubil Ayat wa Suwar. (Cairo: Dar. Kitab Al-Islami; 1480 H/1885 M),
h.195
[20]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media;
2004), h.592
[21] Al-Qattan, Manna Khalil, Mbahats Fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa oleh Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Bogor: PT Pustaka Litera
AntarNusa, 1992)h.142
[22] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media;
2004), h.577
[23] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang; 1980), h.172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar