Daftar Pustaka

Minggu, 06 Mei 2012

Tafsir Wa Takwil

Revisi Makalah
UINTAFSIR WA TAKWIL




MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata Kuliah Ulumul Qur’an  
                                                              
                                                               Oleh:
AHMAD NAJIB
NIM: 80100209013


Dosen Pemandu:
Prof. Drs. H. M. Rafi’i Yunus, MA., Ph.D
Dr. H. Baharuddin HS, M.Ag


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2009


BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung ajaran ajaran dan petunjuk bagi umat manusia dan umat Islam pada khususnya  dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama,  kalangan orang awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya  secara global. Sedangkan kalangan cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan makna-makna yang menarik. Oleh karena itu diantara dua kelompok ini akan terdapat  aneka ragam dan tingkatan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umat Islam melalui pengkajian terutama dalam menafsirkan dan mentakwilkannya.
Pada masa Rasulullsh SAW., para sahabat beliau langsung menananyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas/yang belum mereka pahami  terhadap kandungan Al-Qur’an kepada Rasulullah. Maka setelah wafatnya mereka harus melakukan suatu ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan sahabat-sahabat nabi yang lainnya. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran, tidak terkecuali para sahabat nabi yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya. Tidak jarang berbeda pendapat dalam memahami maksud firman-firman Allah SWT. yang mereka dengar atau mereka baca.
B.        Rumusan Masalah
Dari uraian  latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan makalah ini, yaitu ;
1.      Pengertian tafsir dan takwil persamaan dan perbedaannya
2.      Kelahiran dan  perkembangan tafsir
3.      Macam-macam tafsir berdasarkan sumber dan metodenya
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pengertian Tafsir dan Takwil
1.      Pengertian Tafsir
Tafsir, secara bahasa mengikuti wazan taf’il, berasal dari akar kata al-afsar yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang  abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan  daraba-yadribu” dan “nasar-yansuru”.  Dikatakan “fasara –yafsirun” dan yafsuru, fasran” dan fassarahu” artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr  mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.[1]
Al-Jarjuni berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap  (membuka) dan melahirkan.[2]
Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas Dari kandungan makna al-idhah (menjelaskan), al-bayan (menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan), al-izhar (menampakkan) dan al-ibanah (menjelaskan).[3]
Adapun pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda-beda, diantaranya
1.      Menurut Abu Hayyan: Tafsir ialah ilmu yang mebahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an tentang petunjuk-petunjuknya, hokum-hukumnya baik ketika berdiri maupun sendiri maupun ketika  tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[4]
2.       Menurut az-Zarkasyi: Tafsir  adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. , menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[5]
3.      Menurut al-kilabi: Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuannya.[6]
4.      Menurut Ali al-Hasan: Tafsir adalah ilmu yang membahas Al-Qur’an dari aspek penunjukannya pada makud Allah SWT. Berdasarkan kemampuan manusia.[7]
Berdasarkan beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ulama tafsir di atas, maka dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pada dasarnya tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad dalam mengkaji Al-Qur’an untuk menyingkap nilai-nilai yang terdapat didalamnya.
2.      Pengertian Takwil
Takwil  menurut bahasa berasal dari kata “aul”   ( الأول ) yang berarti  kembali. Seorang mufassir  adalah seorang yang mengartikan sebuah  ayat  dalam arti yang lain/arti yang mirip. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa takwil adalah muradif (sinonim) dari kata tafsir.[8]
Menurut Manna Khalil al-Qattan dikatakan : “ آل إليه أولا ومالا   artinya kembali kepadanya . “  أو كلاما تأويلا“ artinya memikirkan, memperkirakan  dan menafsirkannya. Atas dasar ini maka takwil kalam dalam istilah mempunyai dua makna:
Pertama: Takwil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakllimin (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali dan merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud..
Kedua:  Takwil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibnu Jarir at-Tabari dalam tafsirnya dengan kata-kata : Pendapat tentang “takwil” firman Alllah ini .........begini dan begitu dan kata-kata: “ahli takwil” berbeda pendapat tentang ayat ini.” Jadi yang dimaksud kata takwil disini adalah tafsir.[9]
Takwil secara leksikal bermakna memulangkan atau mengembalikan lafaz dari makna lahiriyah (eksoterik) kepada makna yang dimungkinkan dengan syarat makna yang dimungkinkan tersebut selaras dan sejalan dengan al-Qur'an dan Hadis[10].
Dzhabi dalam al-tafsir wa al-Mufassirun menulis bahwa takwil merupakan ambilan dari awal dan bermakna ruju'. Âla asy-Syai, Ya'ulu Awlan wa Maalan; ruju' wa awwala asy-syai: rajja'ahu.[11]
Alusi dalam Ruhul Ma'âni berkata bahwa takwil adalah isyarah qudsi dan makrifat-makrifat ketuhanan dimana para salik berusaha menggali endapan redaksi dan melepaskan dahaga jiwa para arif dari awan-awan ghaib yang menyelimuti.[12]
 Menurut Para ulama mutaqaddimin takwil artinya tafsir. Karena itu bila dikatakan tafsir Al-Qur’an atau takwil Al-Qur’an, maka pengertiannya  sama. Namun sekolompok ulama berpendapat bahwa antara tafsir dan takwil mempunyai perbedaan yang jelas, dan hal ini telah populer dikalangan ulama Mutaakhirin.[13]
Perbedaan-perbedaan antara keduanya  itu menurut sebagian ulama antara lain:
1.      Tafsir berbeda dengan takwil, perbedaannya adalah pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus, pengertian tafsir lebih umum daripada takwil, karena takwil berkenaan dengan ayat-ayat khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabih. Jadi mentakwilakan ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyabih itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap penafsiran ayat tersebut disebut takwil.
2.      Tafsir adalah penjelasan lebih lanjut bagi takwil dan dalam tafsir sejauh terdapat dalil-dalil yang dapat menguatkan penafsiran boleh dinyatakan “demikianlah yang dikehendaki oleh Allah SWT”., sedangkan takwil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan makna yang dimiliki ayat (lafal) dan tidak boleh mengatakan “demikianlah yang dikehendaki oleh Allah SWT.”
3.      Tafsir menerangkan makna lafal  (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan takwil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu) dan berpikir rasional.
4.      Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (bil ibarah), sedangkan takwil adalah dari yang tersirat (bil isyarah).[14]
Dalam “Manahilul Irfan Fi Ulumi Al-Qur’an” dijelaskan antara lain adalah takwil  dalam istilah mufassirin pengertiannya diperselisihkan[15]. Bahkan ada yang berpendapat bahwa takwil itu sinonim dengan tafsir, karena dilihat dari dari segi tujuan keduanya tidak berbeda, yaitu menjelaskan  makna-makna ayat Al-Qur’an[16].

B.     Kelahiran dan Perkembangan Tafsir
  1. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Penafsiran terhadap Al-Qur’an dan penjelasan tentang makna-makna serta ungkapan-ungkapannya telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW. Beliau adalah guru pertama yang mengajarkan Al-Qur’an, menjelaskan maksudnya, dan menguraikan ungkapan-ungkapan yang sulit.[17]
Rasulullah SAW. beserta  para sahabatnya mentradisikan, menguraikan dan menafsirkan Al-Qur’an sesaat setelah turunnya. Tradisi itu berlangsung sampai beliau wafat..[18]
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an pada masa ini perpegang pada :
1.      Al-Qur’anul Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global disuatu tempat dijelaskan secara terperinci ditempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk  mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau menghususkannya.
2.      Hadis Nabi SAW. mengingat belaiulah yang bertugas untuk menjelaskan Al-Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat.
3.      Pemahaman dan Ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah SAW., mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahamainya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek kebalagaan yang ada didalamnya.[19]
Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah para Khlafaurrasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubaiy bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair,  Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin Ash dan Aisyah[20].
 
2.      Tafsir Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dalam lapangan tafsir ,maka sebagaian tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada merekapun terkenal di bidang tafsir. Dalam hal sumber tafsir, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya disamping ijtihad dan pertimbangan nalar sendiri.[21]
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di antaranya:
1.      Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jabr, Said bin Jabir, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Thawus Al-Yamany dan ‘Atha’ bin Abi Rabah.
2.      Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradli.
3.      Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qamah bin Qais, Hasan Al-Basry dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.[22]
Tafsir yang disepakati oleh para tabi’in bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan di antara mereka maka pendapat tersebut tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.[23]     

  1. Tafsir Pada  Masa tabi' tabi'in
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 3 Hijriah atau zaman sesudah zaman Tabi'in. di zaman inilah munculnya para imam-imam mazhab dalam fiqh. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini mulai mencantumkan nama guru tempat mereka mengambil hadits yang sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Penulis tafsir yang terkenal di zaman ini antaranya Al-Waqidi (wafat 207), sesudah itu ibnu Jarir Ath-thabarri (wafat 310 )[24]

4.      Tafsir Pada Masa Abad  4 H.- 12 H.
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 4 Hijriah atau zaman sesudah zaman salaf. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in saja tetapi telah mulai bekerja menyelidiki dan membuat perbandingan penafsiran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, di mana logika dan ilmu filsafat telah dipelajari. Buku tafsir di periode awal seperti nikwal 'uyun oleh Al-mawardi, bahrul ulum oleh samrqandi, tafsir al-bughawi dan lain-lain. Pada zaman ini banyak sekali melahirkan buku tafsir dengan berbagai gaya penafsiran seperti gaya sastra bahasa, gaya kisah-kisah, gaya filsafat, gaya teologi, gaya penafsiran ilmiah, gaya fiqih atau hukum, gaya tasawuf dan lain-lain.[25]

5.      Tafsir Pada Zaman Modern (abad 12 H. – 14H.)
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini sastra budaya kemasyarakatan yang mencakup berbagai hal kemasyarakatan seperti unsur kesehatan dan kejiwaan. Kebanyakan tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Di antara tokoh di zaman ini Syaikh Muhammad 'Abduh, Abu A'la Al-Maududi, Sayid Qutb dan lain-lain.[26]

C.     Macam-macam Tafsir berdasarkan Sumbernya
Pembagian Tafsir dalam hal ini terbagi kepada :
1.      Tafsir bil Matsur yang lazim juga disebut dengan bi –riwayah dan an-naql ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan  maksud dari firman Allah SWT., yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Qur’an menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat.[27]
2.      Tafsir bil Ra’yu  atau dirayah sebagaimana didefinisikan oleh Adz-Dzahabi    ialah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti Asbabun nuzul dan nasikh mansukh.[28]
3.      Tafsir Isyari ialah penafsiran Al-Qur’an yang berlainan menurut Zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah SWT., yaitu orang-orang yang berkepribadian yang luhur dan telah terlatih jiwanya, dan mereka yang diberi sinar oleh Allah SWT. sehinga dapat menjangkau rahasia-rahasia Al-Qur’an, pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham Ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat Al-Qur’an.[29]

D.    Macam-macam Tafsir berdasarkan Metodenya
Di dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para ulama Tafsir menempuh berbagai metode yaitu:
1.      Metode Tahlili
Metode Tahlili adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya , mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat) dengan bantuan Asbabun Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW., sahabat  dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat.
2.      Metode Ijmali
Metode Ijmali adalah menafsirkan Al-Qur’an secara global, dengan metode ini mufassir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat sehingga  mudah dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan sekedarnya sampai kepada orang yang berpengetahuan luas.

3.      Metode Muqaran
Metode Muqaran adalah  menjelaskan ayat-ayat Al-qur’an dengan merujuk kepada penejelasan-penjelasan mufassir. Langkah-langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah :
a.       Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qu’ran
b.      Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik dari kalangan salaf atau kalangan khalaf , baik tafsirnya bercorak bil matsur atau bil ra’yi , atau membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing
c.       Menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi –secara subyektif- oleh mazhab tertentu; Siapa  diantara mereka yang penafsirannya diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya dan lain sebagainya.


4.      Metode Maudhu’i
Metode Maudhu’i ialah metode penafsiran berdasarkan pada pada tema-tama tertentu. Prosedur metode ini adalah sebagai berikut:
a.       Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
b.      Menghimpun ayat yan berkaitan dengan maslah tersebut
c.       Menyusun runtutan ayat sesuai dengan mana turunnya,disertai pengetahuan  tentang Asbabun nuzul.
d.      Memahami korelasi ayat-ayat dalam suratnya masing-masing
e.       Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
f.       Melengkapi pembahasan dengan hadis –hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
g.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara ayat yang umum dan yang khusus, mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam suatu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.[30]
Dalam rangka menafsrikan ayat-ayat Al-Qur’an secara prinsip diperlukan Ilmu Tafsir. Ilmu yang dimaksud itu, secara prinsip pula menerangkan tentang Nusul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, Asbabun nuzulnya, tertib Makiyyah dan Madaniyahnya, muhkam mutasyabihahnya, naskh dan mansukhnya, dan lain sebagainya.[31]
Sesugguhnya manusia (Mufassir) bebas melakukan penafsiran. Namun dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam, menyentuh dan menyeluruh ditemukan banyak syarat. Secara umum oleh Muhammad Quraish Shihab disebutkan:
1.      Pengetahuan bahasa Arab dalam berbagai bidang
2.      Pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarah turunnya, hadis-hadis nabi dan ushul fiqih
3.      Pengetahuan tentang  prinsip-prinsip pokok keagamaan
4.      Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.[32]
Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Qur’an.[33]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uriaan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, penulis menyimpulkan :
1.      Tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad dalam mengkaji Al-Qur’an untuk menyingkap nilai-nilai yang terdapat didalamnya. Sedangkan Takwil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakllimin (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali dan merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud. Dan dalam hal ini ada ulama yang membedakan  adapula yang menyamakan arti tafsir dan takwil .
2.      Kelahiran dan Perkembangan Tafsir dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Dan Sahabat, kemudian  pada masa tabi’in sampai kepada zaman modern dan masing –masing mempunyai metode dan corak yang berbeda.
3.      Tafsir  jika dilihat berdasarkan sumbernya maka akan terbagi menjadi tiga yaitu : Tafsir bil Matsur, Tafsir Bil Ra’yi dan Tafsir Isyari . Sedangkan Tafsir jika dilihat berdasarkan metodenya akan terbagi menjadi empat metode yaitu:  Metode Tahlili, Metode  Ijmali, Metode muqaran dan Metode Maudhu’i.   



DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Abu. Ulumul Quran Sebuah Pengantar. Cet.II;tt:Sinar Grafika Offset, 2005
Anwar, Rosihan . Ilmu Tafsir , ,Cet.III;Bandung:Pustaka Setia, 2005
http://abatihawa.blogspot.com/2008/07/oleh-teungku-junaidi-ibrahim.htmlal-Hasan, Ali . al-Manar,  Cet. I; Beirut: Darul al-Fikr al-Arabi, 1998
Al-Jarjuni, At-Ta’rifat, Athpthaba’ah wa an-Nasyr wa At-Tauzi, Jeddah, tt.,
Husain Dzhabi, Muh. al-Tafsir wa al-Mufassirun, jil. 1,
Nawawi, Rifat Syauqi dan Muhammad Ali Hasan. Pengantar Ilmu Tafsir  Jakarta: Bulan Bintang , 1998
Ash-Shabuni,  Muhammad Ali. At-tibyaan fii Uluumil Qur’an., terj. Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an Cet.I; Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999
Ash-Shiddiqi, M. Hasbi .Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang , 1990
 Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu  dalam Kehidupan Masyarakat , Bandung : Mizan , 1993
Syarif Jurjani, Sayid al-Ta'rifat
Thabathaba’i,  Muhammad Husain.  Al-Qur’an fi Al-Islam.,terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an ,  edisi Two in one Cet.I;Bandung: Mizan , 2009 

al-Qattan, Manna Khalil  Mabahis fi ulumil Qur’an., terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Al-AQur’an . Cet.III ;Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1996


[1] MannaKhalil al-Qattan, Mabahis fi ulumil Qur’an., terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Al-AQur’an (Cet.III ;Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1996), h.455
[2]Al-Jarjuni, At-Ta’rifat, Athpthaba’ah wa an-Nasyr wa At-Tauzi, Jeddah, tt., h. 63 dikutip dalam Rosihan Anwar , Ilmu Tahsir, (Cet.III;Bandung:Pustaka Setia, 2005), h. 141
[3] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir , , (Cet.III;Bandung:Pustaka Setia, 2005), h. 141

[4] Manna Khalil al-Qattan, op.cit.,h. 456.

[5]Ibid .
[6]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an., dikutip dalam Rosihan Anwar, Ilmu Tahsir, (Cet.III;Bandung:Pustaka Setia, 2005), h. 141.
[7]Ali al-Hasan, al-Manar,  (Cet. I; Beirut: Darul al-Fikr al-Arabi1998), h. 11.
[8] Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan fii Uluumil Qur’an., terj. Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an (Cet.I; Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), h. 245
[9] MannaKhalil al-Qattan, Mabahis fi ulumil Qur’an.,op.cit. h. 457-458.
[10] Sayid Syarif Jurjani, al-Ta'rifat, hal. 43
[11] Muh. Husain Dzhabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jil. 1, hal. 3
[12] Lory Pierre, Les Commentoires Du Coran, terjemahan Persia, Ta'wilat al-Qur'an az Didgah-e Abdurrazaq Kasyani, tr. Zainab Pudine Aqai, hal 65.  

[13]Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan fii Uluumil Qur’an., op.cit ., h. 246
[14]M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang , 1990), h. 185. 
[15] Rif’at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir  (Jakarta: Bulan Bintang , 1998), h. 139; dikutip dalam Abu  Anwar, Ulumul Qu’ran Sebuah Pengantar  (Cet. II; tt.:Sinar Grafika Offset, 2005), h. 99.
[16] Abu Anwar, Ulumul Quran Sebuah Pengantar. (Cet.II;tt:Sinar Grafika Offset, 2005), h. 100
[17]Muhammad Husain Thabathaba’I, Al-Qur’an fi Al-Islam.,terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an ,  edisi Two in one(Cet.I;Bandung: Mizan , 2009), h. 103. 
[18]Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, op. cit.,h. 165
[19] MannaKhalil al-Qattan, Mabahis fi ulumil Qur’an.,op.cit. h. 469-472.
[20] Ibid.
[21] Ibid., h. 473
[23] Ibid.
[25]Ibid.
[27]Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan fii Uluumil Qur’an., op.cit., h. 248
[28] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, op. cit.,h. 151
[29]Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan fii Uluumil Qur’an., op.cit., h. 284. 
[30]Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, op. cit.,h. 159-161

[31] Abu Anwar, Ulumul Quran Sebuah Pengantar. ,op.cit, h. 101
[32] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu  dalam Kehidupan Masyarakat , (Bandung : Mizan , 1993), .h. 77.
[33]Ibid.