Daftar Pustaka

Sabtu, 09 Juli 2011

Metode Tafsir/Manhaj al-Mufassir Ibnu Jarir Dalam Kitab Jami' al-Bayan Fi Tafsir al-Qur'an


Manhaj Al-Mufassir
Ibnu Jarir al-Tabariy Dalam Kitab
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
Makalah
Makalah Telah dipresentasekana  pada Mata Kuliah Manhaj  al-Mufassirin
Semester III Konsentrasi Pendidikan Qur’an Hadis  
Oleh:
Muhammad Basri Gahu
Nim. 80100209075

Dosen Pemandu:
Dr. H. Mustamin Arsyad, MA.
Dr. H. Baharuddin HS., M.Ag



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2011

I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang  terakhir dan merupakan sumber utama ajaran Islam yang  berisi tuntunan dan petunjuk hidup secara menyeluruh mencakup seluruh aspek hidup manusia demi untuk mencapai tujuan hidup di dunia dan di akhirat.[1] Al-Qur’an diturunkan tidak dalam suatu ruang dan waktu yang  hampa nilai melainkan di dalam masyarakat yang  sarat dengan berbagai budaya dan religius[2]. Bahkan kondisi Arab ketika itu telah mengalami puncak kesusastraan yang  tinggi pada bidang bahasa.
Kondisi demikian, menjadikan Al-Qur’an unik dan istimewa, sehingga ia tampil beda dengan karya-karya lain, ia menamakan dirinya dengan berbagai nama diantaranya; al-Kitâb,[3] Hudan, [4] al-Furqân,[5] al-Rahmân, [6] Tibyân, [7] dan lain-lain serta mempunyai banyak keistimewaan.[8] Oleh karena itu, suatu kewajiban bagi umat Islam untuk yakin bahwa Al-Qur’an selalu aktual dan tetap aktual dan tidak akan ternodai oleh sejarah. Apalagi hilang dalam pentas sejarah peradaban dunia dan ia akan tetap menjadi kajian dalam berbagai dimensi disiplin ilmu.
Dalam rangka mewujudkan eksistensi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, baik yang  berhubungan dengan penuturnya sendiri, maupun dengan manusia dan alam. Seringkali menyajikan masalah dengan rinci dan detail. Pembicaraan Al-Qur’an pada umumnya bersifat global, parsial bahkan seringkali menampilkan suatu masalah dengan prinsip-prinsip pokok saja.[9] Demikian pula Al-Qur’an dalam mengangkat suatu wacana, tidak tersusun secara sistematis seperti yang  dikenal dalam buku-buku ilmu pengetahuan karangan manusia.[10]
Pada masa Rasulullah saw. para sahabat menanyakan lansung tentang isi dan kandungan Al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau tidak jelas artinya kepada beliau, akan tetapi setelah Rasulullah saw.wafat, diantara mereka terpaksa melakukan ijtihad, Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut. Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasulullah saw., penafsiran sahabat, dan penafsiran tabi’in inilah yang dinamai Tafsir bi al-Ma’sur .[11]
Salah satu Tafsir bi al-ma’sur  adalah Jami’ al Bayan fi Tafsir al- Qur’an yang lebih popular dengan nama Tafsir al-Tabariy, karya Muhammad Ibnu Jarir al-Tabariy. Tafsir al-Tabariy merupakan tafsir yang paling populer, menempati kedudukan yang tinggi di kalangan kitab-kitab tafsir yang lain, sehingga Abu Hamid al-Asfahani berkata bahwa andaikata ada orang yang pergi ke negeri Cina untuk mendapatkan Tafsir al-Tabariy, niscaya ia tidak merasa lelah dan berat. Sebagian orang-orang Eropa mengatakan sesungguhnya dengan adanya Tafsir al-Tabariy, tidak diperlukan lagi kitab tafsir yang ditulis sesudahnya.[12]
Begitu mengangumkannya Tafsir al-Tabariy sehingga membuat para pencari ilmu merasa penasaran. Hal inilah yang membuat penulis termotivasi untuk melacak lebih jauh tentang Tafsir al-Tabariy ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka akan dirumuskan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana biografi al-Tabariy?
  2. Bagaimana manhaj kitab  Jami’ al Bayan fi Tafsir al- Qur’an karya  al-Tabariy ? 
II
PEMBAHASAN
A.    Biografi al-Tabariy
1. Masa Kelahiran
Ragam informasi dari berbagai sumber tertulis ditemukan tentang al-Tabariy.  Nama lengkapnya adalah Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath Thabari. Sesuai dengan namanya, dapat diketahui bahwa beliau dilahirkan di Tabariystan,  wilayah pegunungan di Persia ( sekarang termasuk wilayah Iran) yang tepatnya terletak di sebelah selatan laut Kaspia[13]. Ada juga yang mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Yazid ibn Kasir ibn Galib. Ia dilahirkan di kota Amul, ibukota Tabariystan Iran pada tahun 224 H. (839 M), dan meninggal 310 H.[14]
             Dedikasinya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan sudah terlihat semenjak ia masih kanak-kanak. Salah satu prestasinya adalah ia telah menghafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja sesuatu hal yang sangat fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun dan Ibnu Sina sekitar 10 tahun[15]. Al-Tabariy hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Kondisi sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadiannya dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu semenjak kecil.
            Al-Tabariy melanglang buana  mencari ilmu, silih berganti guru yang didatanginya, begitupun kota yang dikunjunginya dalam rangka menuntut ilmu. Setelah puas di Persia, ia berkunjung ke Irak dan ketika dalam perjalanan menuju bagdad ia mendengar wafatnya Imam ibn Hambal (w. 863)  lalu ia berguru ke Basrah dengan Ibnu al-A’la al-Hamzaniy, Hannad Ibn al-Sayriy dan Ismail ibn Musa dan dalam bidang fiqh khususnya mazhab Syafi’I ia berguru pada al-Hasan ibn Muhammad al-Za’faraniy[16]. Dari Irak ia menuju ke Mesir, dalam perjalanan kesana ia singgah di Beirut untuk memperdalam ilmu qira’at, kepada al-Abbas ibn al-Walid al-Bairuniy, di Mesir ia bertemu dengan sejarawan kenamaan yakni Ibnu Ishaq dan atas jasanyalah al-Tabariy mampu menyusun karya sejarahnya yang terbesar yaitu Kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk [17].
Di Mesir, ia juga mempelajari mazhab Maliki disamping ia menekuni mazhab Syafi’I yang ia pelajari  dari murid langsung imam Syafi’I yaitu al-Rabi Jiziy. Selama ia di Mesir semua ilmuan dating menemuinya sambil mengujinya sehingga ia semakin terkenal. Dari Mesir ia kembali ke negeri asalnya Tabariystan, tapi rupanya Allah berkehendak lain yakni pada tahun 310 H (923 M) dengan usia 85 tahun ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Bagdad[18]
Al-Tabariy begitu arif dan bijaksana, beliau tidak memandang rendah orang lain meskipun Allah swt, memberikan kelebihan dan kemampuan yang tidak lazim dimiliki oleh orang kebanyakan. Dengan ilmunya yang tinggi, semakin mendekatkannya kepada sang yang maha Kuasa, dan semakin bijaksana menyikapi persoalan-persoalan duniawi.

2. Karya-Karya al-Tabariy
Al-Tabariy adalah salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan ke-Islaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan dan apresiasi baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas melalui dua buah karyanya Tarikhul Umam wal Muluk tentang sejarah dan Jami’ al Bayan fi Tafsir al- Qur’an tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk diantara sekian banyak rujukan ilmiah penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufassir yang menaruh perhatian terhadap Tafsir bi al-ma’sur,[19]disamping karya-karya lainnya yang berhasil ia tulis. Secara tepat belum ditemukan data mengenai jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasikan yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya al-Tabariy meliputi banyak bidang keilmuan diantaranya; Bidang Hukum, Tafsir, Hadis, Teologi, Etika Religius dan Sejarah.[20]
B. Manhaj Kitab Tafsir Jami’ al Bayan fi Tafsir al- Qur’an
1.  Identifikasi Kitab       
Kitab ini bernama Jami’ al Bayan fi Tafsir al- Qur’an yang dikarang oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid al-Tabariy. Kitab yang dijadikan rujukan oleh penulis adalah yang diterbitkan oleh Bar al-Kutub al-Ilmiyyah 1992 M/1412 H. Sampulnya berwarna hitam dan jumlah kitab seluruhnya adalah yang terdiri dari 12 jilid.
            Untuk lebih jelasnya pembahasan pada setiap jilid kitab tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
  1. Jilid I terdiri dari 638 halaman yang berisi tafsir surah al-Fatihah sampai surah al-Baqarah ayat 141.
  2. Jilid II terdiri dari 655 halaman yang berisi tafsir surah al-Baqarah ayat 142-252.
  3. Jilid III terdiri dari 679 halaman yang berisi tafsir surah al-Baqarah ayat 253 sampai surah al-Nisa ayat 23.
  4. Jilid IV terdiri dari 671 halaman yang berisi tafsir surah al-Nisa ayat 24 sanpai surah al-Maidah ayat 81.
  5. Jilid V terdiri dari 559 halaman yang berisi tafsir surah al-maidah ayat 82 sampai surah al-A’raf ayat 87.
  6. Jilid VI terdiri dari 640 halaman yang berisi tafsir surah al-A’raf ayat 88 sampai surah Hud ayat 5.
  7. Jilid VII terdiri dari 685 halaman yang berisi tafsie surah Hud ayat 6 sampai surah al-Nahl ayat 128.
  8. Jilid VIII terdiri dari 496 halaman yang berisi tafsir surah al-Isra ayat 1 sampai surah Thaha ayat 135.
  9. Jilid IX terdiri dari 552 halaman yang berisi tafsir surah al-Anbiya ayat 1 sampai surah al-Naml ayat 55.
  10. Jilid X terdiri dari 654 halaman yang berisi tafsir surah al-Naml ayat 56 sampai surah al-Zumar ayat 29.
  11. Jilid XI terdiri dari 720 halaman yang berisi tafsir surah al-Zumar ayat 30 sampai surah al-Hadid ayat 29.
  12. Jilid XII terdiri dari 782 halaman yang berisi tafsir surah al-Mujadalah ayat 1 sampai surah al-Nas ayat 6.
Kitab tafsir al-Tabariy adalah kitab tafsir tertua yang sampai kepada kita secara lengkap. Sementara kitab-kitab tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya, tidak ada  yang tersebar dan sampai di kalangan masyarakat kecuali sedikit sekali. Itupun hanya terselip di celah-celah kitab al-Tabariy tersebut.[21]
 Tafsir al-Tabariy disusun ketika al-Tabariy  berumur 60 tahun, dan Dar al Ma’arif di Mesir telah menerbitkan dan mempublikasikan kitab tersebut yang ditangani secara baik.
2. Metodologi Tafsir al-Tabariy
Kajian Al-Qur’an kian memperkaya khasanah peradaban Islam dari masa ke masa, produk kajian tersebut cukup beragam sesuai dengan potensi pengetahuan dan spesialisasi para penafsirnya, demikian juga dengan Ibnu Jarir al-Tabariy yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tentunya ikut mewarnai corak dalam menetapkan makna dan kandungan Al-Qur’an.
Ibnu Jarir al-Tabariy dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’ tabi’in, karena lewat karya yang monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, mampu memberikan inspirasi baru bagi penafsir sesudahnya[22]. Tafsir al-Tabariy dijadikan referensi utama oleh para penafsir sesudahnya, karena keluasan dan kedalaman pembahasan penafsirannya.
Adapun langkah-langkah Ibnu Jarir al-Tabariy dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a.    Bersandar pada Penafsiran bi al-Ma’sur
Penafsiran bi al-Matsur adalah salah satu model tafsir yang paling utama dan tertinggi kedudukannya bila dibandingkan dengan model tafsir yang lain, karena dengan menafsirkan Al-Qur’an menggunakan kalam Allah sendiri, perkataan Rasulullah saw., dan periayatan para sahabat. Allah lebih mengetahui akan maksud dan ucapan-Nya, perkataan Rasulullah adlah penjelasnya dan para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an[23]
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam hal ini, memulai menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan mencari tafsiran suatu ayat dari ayat Al-Qur’an yang lain, karena ia yakin bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah satu mata rantai yang tak bisa dipisahkan, seperti ketika beliau menafsirkan kata الظلم  pada surat al-An’am ayat 82 dengan kata الشرك yang ternyata tafsiran tersebut diambil dari surat Lukman ayat 13.
Ibnu Jarir al-Tabariy juga banyak menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis, ia sangat teliti dalam mengemukakan jalan-jalan periwayatan sampai kepada pemabawa berita pertama (al-rawi A’la) . Penafsirannya selalu diperkuat dengan riwayat-riwayat dan jika pada penafsiran  itu terdapat dua pendapat atau lebih maka ia memaparkan semuanya, ia tidak semata-mata menyebutkan riwayat saja tetapi kadang dijelaskan secara rinci dan pada gilirannya mentarjih riwayat-riwayat tersebut[24]. Al-Tabariy tidak begitu saja menafsirkan Al-Qur’an tetapi di dasari berbagai macam pengembaraan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga wajar saja jika hasil pikirannya dijadikan referensi oleh para penafsir sesudahnya.
b. Menjauhi penafsiran  dengan logika semata
            Ibnu Jarir al-Tabariy sangat mengecam orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan logika semata, bahkan ia membuat pembahsan khusus pada muqaddimah kitab tafsirnya tentang larangan menafsirkan Al-Qur’an dengan logika  semata serta  dipaparkannya beberapa landasan dalil yang memiliki nada yang sama diantaranya bahwa “barang siapa yang mengatakan sesuatu dalam Al-Qur’an berdasarkan logikanya semata maka bersiaplah untuk mengambil tempat dalam neraka”[25].
Dasar inilah yang dipegangi Ibnu Jarir al-Tabariy sehingga ketika dia menafsirkan ayat menurut alam pikirannya maka diungkap pula riwayat-riwayat untuk mendukung pendapatnya[26]. Betapa terjaganya pemikiran Ibnu Jarir al-Tabariy sehingga mencari data pendukung untuk lebih menguatkan apa yang menjadi pendapatnya.
c. Menuntaskan perdebatan dibidang fiqh
Ibnu Jarir al-Tabariy menguasai berbagai disiplin ilmu teramsuk didalamnya fiqh, maka tidak diherankan jika dalam menafsirkan ayat-ayat hukum beliau selalu mengungkap pendapat ulama yang punya keterkaitan dengan masaalah yang dimaksud, lalu mengemukakan pendapatnya.
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam menyelesaikan persoalan fiqh, maka beliau menjelaskan semua pendapat ulama tentang hal itu, kemudian dikemukakan pendapatnya mengenai masalah tersebut. Seperti ketika ia menafsirkan QS. al-Nahl (16):8:
Ÿ@øsƒø:$#ur tA$tóÎ7ø9$#ur uŽÏJysø9$#ur $ydqç6Ÿ2÷ŽtIÏ9 ZpuZƒÎur 4 ß,è=øƒsur $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? [27]
Ibnu Jarir al-Tabariy ketika menafsirkan maksud ayat di atas, beliau terlebih dahulu menyebutkan pendapat semua ulama tentang hukum makan kuda, kemudian mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan kepada pengharaman.
d. Memaparkan ragam qira’at dalam mengungkap makna ayat
Ibnu Jarir al-Tabariy menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah qira’at dan memaparkan berbagai macam qira’at dan menghubungkannya masing-masing qira’at tersebut dengan makna yang berbeda kemudian menjelaskan mana qiraat yang paling kuat.
Terkadang ia menolak suatu qira’at jika tidak disandarkan kepada tokoh-tokoh atau ulama-ulama qira’at sebagai qira’at yang bisa dijadikan argumentasi, Seperti dalam mengomentari firman Allah Qs. al-Anbiya (21):81:
ولسليمان الريح عاصفة......           
diterangkan oleh al-Tabariy bahwa pada umumnya para ahli qiraat membaca الريح dalam ayat tersebut dengan anggapan bahwa kata tersebut adalah مفعول به dari kata kerja سخرنا pada ayat sebelumnya yakni QS. al-Anbiya (21): 79:
.....وسخرنا مع داود......
Sedangkan menurut Imam Abdul Rahman al-A’raj, dibaca الريح karena dianggapnya sebagai مبتدء . Kemudian al-Tabariy berkata: “Adapun bacaan yang tidak dibenarkan adalah selain dari yang dua macam itu, karena selain keduanya tidaklah dianut oleh para ahli qira’at  dan tidak mereka sepakati.
e. Memperhatikan aspek linguistik
Ibnu Jarir al-Tabariy selalu memperhatikan perbendaharaan kosa kata dalam dalam memberikan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an seperti ketika menafsirkan kata al-buruj (البروج) pada ayat pertama surah al-buruj :
(   ÏÏlrçŽã9ø9$#N#sŒ Æä!$uK¡¡9$#ur(      .
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam hal ini memaparkan beberapa makna dari kata al-buruj yaitu sesuatu yang nampak, kata ini sering digunakan dalam arti bangunan besar atau istana yang tinggi karena kebesaran dan ketinggiannya menjadikan ia tampak, benteng juga dinamakan al-buruj  karena ia biasanay merupakan bangunan pertama yang Nampak sebelum memasuki kota. Apapun makna menurutnya, yang jelas ayat ini bermaksud menggambarkan sesuatu yang agung[28].
Setelah memaparkan beberapa makna dari al-buruj barulah beliau menyimpulkan bahwa kata al-buruj adalah bentuk jamak dari al-burj, yang berarti gugusan bintang yakni letak bintang yang tampak di langit dalam bentuk yang beragam[29].
f. Metode Penyajian dan Penulisan
Metode penyajian yang digunakan al-Tabariy dalam kitab tafsirnya adalah dengan memilah-milah beberapa ayat Al-Qur’an. Misalnya dalam satu surah, ayatnya dibagi menjadi beberapa bagian, kemudian dalam satu ayat dipenggal menjadi beberapa kata, dan setelah itu barulah beliau memberikan pembahasan secara rinci dengan memberikan penjabaran kosa kata, aspek gramatikal, aspek Qira’ah, menyebutkan Asbab al-Nuzul, menyebutkan berbagai pendapat ulama dan mentarjih pendapat tersebut.
Metode penulisan yang digunakan al-Tabariy adalah metode tahlili, di mana beliau menafsirkan ayat Al-Qur’an secara keseluruhan berdasarkan susunan mushaf, ia menjelaskan ayat demi ayat, dengan menjelaskan makna mufradat-nya serta beberapa kandungan lainnya.
Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks Al-Qur’an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat. 
3.        Pandangan Ulama terhadap Tafsir al-Tabariy
Ibnu Jarir al-Tabariy dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan keislaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik disetiap masa dan generasi. Ia mendapat popularitas luas melalui dua buah karyanya yang monumental yakni kitab Tarikh dan Tafsirnya, kedua buku tersebut telah menjadi rujukan utama hingga saat ini.
Pada mulanya tafsir ini pernah hilang, namun kemudiaan Allah menakdirkannya muncul kembali ketika didapatkan satu naksah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang Amir Hail yang telah mengundurkan diri yakni Amir Hamud ibn Abdur Rasyid, tidak lama kemudian kitab tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai ke tangan kita  serta menjadi ensiklopedi yang kaya tentang tafsir al-Ma’sur[30].
Inspirasi munculnya kitab tafsir al-Tabriy seperti telah disebutkan oleh para sejarawan bahwa Ibnu Jarir ketika masih kecil telah berniat dan selama tiga tahun ia selalu beristikharah dan meminta pertolongan kepada Alla swt., sebelum memulai pekerjaan yang mulia ini[31].
Ibnu Jarir al-Tabariy menghabiskan waktu empat puluh tahun  untuk mengajar dan menulis. Sedikitnya ia menulis empat puluh halaman setiap hari. Diriwayatkan bahwa al-Tabariy pernah berkata kepada kawan-kawannya: “Apakah kalian mau menulis tafsir Al-Qur’an? “Mereka balik bertanya: “Berapa banyak?” Dia menjawab: ‘tiga puluh ribu lembar.” Mereka berkata: “Pekerjaan itu akan menghabiskan umur, sebelum pekerjaannya selesai.” Kemudian al-Tabariy menguranginya menjadi tiga ribu lembar saja (sepersepuluhnya). Lalu al-Tabariy berkata lagi kepada mereka: “Apakah kalian mau menulis sejarah dunia dari Adam hingga masa kita sekarang ini?” Mereka menjawab: “Berapa banyak?” al-Tabariy menyebutkan angka yang sama dengan angka tafsir, lalu mereka menjawabnya dengan jawaban yang sama. Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya kita milik Allah (inna lillah), telah mati keinginan manusia.” Lalu al-Tabariy menguranginya sebagaimana yang dilakukannya dalam tafsir.[32]
Tafsir al-Tabariy merupakan sebuah kitab tafsir yang bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh setiap orang terutama yang bergelut dibidang tafsir bi al-Ma’sur. Imam al-Suyuti berkata bahwa kitab tafsir al-Tabariy adalah tafsir yang paling mulia dan terbesar, kitab ini mengemukakan pendapat-pendapat para ulama dan menyatakan salh satu pendapatnya yang paling rajah, kitab ini juga mengemukakan I’rab dan istimbat ayat, karena itulah melebihi kitab tafsir karya para pendahulunya[33].
Abu Hamid al-isfirayaini juga menyatakan pengakuannya terhadap tafsir al-Tabariy dan berkata ; seandainya ada orang yang musafir ke Cina dan menemukan kitab tafsir al-Tabariy maka itu bukanlah sesuatu yang aneh. Imam al-Qurtubiy turut mengakui tafsir al-Tabariy dan menyatakan ; tidak pernah dilihat kitab tafsir sebesar karangan Ibnu Jarir al-Tabariy dan tidak ada yang lebih bermamfaat dari kitab ini[34].
Beberapa persaksian ulama terhadap Ibnu Jarir dan tafsirnya adalah merupakan suatu kemuliaan dan penghormatan yang besar bagi ulama dan mufassir ini. Betapa tidak, beliau juga adalah merupakan rujukan utama dalam berbagai ilmu pengetahuan di samping tafsir, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
Muhammad Rasyid Rida’ sebagai salah satu tokoh pembaharu, turut mengakui kehebatan Ibnu Jarir sebagai seorang yang ahli dibidang tafsir bi al-ma’sur terutama dalam penyertaan sanad pada setiap hadis-hadis yang dikemukakannya, namun Rasyid Ridha juga memberikan kritikan terhadap penafsiran al-Tabariy yang tidak sejalan dengan pemikirannya, seperti ketika menafsirkan Q.s. Ali Imran : 40. Ibnu Jarir dalam menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa setan setelah membuat Nabi Zakariya a.s ragu terhadap panggilan malaikat sehingga Nabi Zakariyah a.s. bermohon kepada Allah untuk diberi tanda kebenaran[35].
Rasyid Rida Menanggapi riwayat yang dikemukakan oleh al-Tabariy, dengan mengatakan bahwa anggapan ragu pada Nabi Zakariyah a.s sehingga tidak dapat membedakan antara wahyu dan panggilan malaikat dengan panggilan setan adalah suatu kebodohan besar, betapapun lemah dan buruknya seorang mukmin tidaka akan menulis lolucon yang tidak bisa diterima oleh akal dan tidak pula terdapat dalam Al-Qur’an sesuatu yang mengisyaratkan kebenarannya[36].
Sebaik-baiknya karya manusia tak akan mampu menandingi ciptaan Allah swt. yang begitu sempurna. Ibarat pepatah “ tak ada gading yang tak retak” sebaik apapun kitab al-Tabariy pastia ada kelemahnnya. Terlepas dari kritikan ulama , tafsir al-Tabariy juga memiliki  beberapa keistimewaan terutama tafsir ini telah mampu memberikan inspirasi baru bagi para mufassir sesudahnya, memberikan aroma dan corak baru dalam dunia penafsiran, eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas dikalangan masyarakat. Di sisi lain tafsir ini juga sangat kental dengan riwayat-riwayat  sebagi sumber penafsiran ma’sur  yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat dan tabi’in  melalui riwayat yang mereka riwayatkan.

III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nama lengkap   al-Tabariy  adalah Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath Thabari. Sesuai dengan namanya, dapat diketahui bahwa beliau dilahirkan di Tabariystan,  wilayah pegunungan di Persia ( sekarang termasuk wilayah Iran) yang tepatnya terletak di sebelah selatan laut Kaspia.  Ia dilahirkan di kota Amul, ibukota Tabariystan Iran pada tahun 224 H. (839 M), dan meninggal 310 H. Tafsir al-Tabariy ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid al-Tabariy. Beliau dikenal sebagai tokoh penting dalam jajaran penafsir Al-Qur’an. Lewat karya besarnya yakni kitab tafsir Jami’ al Bayan Fi Tafsir al- Qur’an yang menjadi rujukan para ulama tafsir kontenporer.
2.      Manhaj  tafsir al-Tabariy adalah sebagai berikut:
1.      Menempuh jalan tafsir dan atau takwil
2.      Melakukan penafsiran ayat dengan ayat
3.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
4.      Bersandar pada analisis bahasa
5.      Memperhatikan aspek I’rab
6.      Memaparkan ragam qiraat dalam mengungkap makna ayat
7.      Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.
B.     Imlikasi Penelitian
Demikianlah  makalah ini, dimohon kritikan dan masukan atas segala ketidak sempurnaan isi maupun teknis. Semoga ini dapat bermamfaat khususnya pada diri penulis dan juga para pencari ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Husayn Ahmad. Al-Mi’ah al-Azham fi Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh Bahruddin Fannani dengan judul Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Cet.III; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.

al-Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir wal Mufassirun, juz I  Cet.V; kairo: Maktabah Wahbah, 1995.

Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an, Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Cet. I; Bandung: Pustaka, 1987.

al-Qattan, Manna Khalil. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet.V; Bogor: Litera AntarNusa, 2000.

Razi, Muhammad. 50 Ilmuwan Muslim Populer. cet. I ; Jakarta: Qultum Media, 2005
al-Rumy, Fadh ibn Abd al-Rahman, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan Amrul Hasan Ulum al-Qur’an Studi Kompleksitas al-Qur’an,  Cet. I ; Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996

Salim, Abd. Muin. “Metodologi Tafsir: Sebuah Rekonstruksi Epistemologis, Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu,”Makalah, Orasi Pengukuhan Buru Besar tanggal 28 April 1999 Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1999.

Shihab, M. Quraish. membumikan al-Qur’an. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994.

al-Syirbasyi, Ahmad. Qishshat al-Tafsir, diterjemahkan oleh Zufran Rahman dengan judul Studi tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim.Cet.I; Jakarta: Kalam Mulia, 1999.

al-Tabariy, Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an Juz I, V,VII,VIII. Bayrut: Dar al-Fikr, 1988.

--------------------. Tarikhul Umam wal Muluk  Juz I Bayrut: Dar al-Fikr, 1987.

Yusuf,Muhammad, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an Karya Ibnu Jarir al-Tabariy Telaah Terhadap Metode dan Karakteristik Penafsiran. Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 4, No.1, Juli 2003




[1] Menurut al-Zarkaniy, ada tiga tujuan utama diturunkanya Al-Qur’an, yaitu; petunjuk bagi manusi, pendukung kebenaran atas Nabi Muhammad dan agar makhluk beribadah kepada Allah dan senantiasa membacanya. Lihat Muhammad Abd. Adzîm al-Zarkaniy, Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulum al-Qur’ân, juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 124
[2] Qurish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1998), h. 1
[3] QS. Al-Baqarah (2) : 2
[4] QS. Al-Baqarah (2) : 97
[5] QS. Al-Baqarah (2) : 185
[6] QS. Al-A’râf (7) : 52
[7] QS. Al- Nahl (70) : 89
[8] Diantara keistiewaan Al-Qur’an adalah mempunyai daya pesona dan daya pikat yang  membuat manusia terpukau dengan makna yang  terpancar dari sudut-sudut kesucian Al-Qur’an, sehingga menjelma menjadi mu’jizat atas kerasulan Muhammad Saw.
[9] Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 8
[10]Rasyid Ridha, Al-Wahyu al- Muhammady (al-Maktab al-Islami, t. th.), h. 142
[11] Ibid., h. 71.
[12] Ahmad al-Syirbasyi, Qishshat al-Tafsir, diterjemahkan oleh Zufran Rahman dengan judul Studi tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim (Cet.I; Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 99.
[13] Muhammad Razi. 50 Ilmuwan Muslim Populer. (cet. I ; Jakarta: Qultum Media, 2005). h. 109.
[14]Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, juz I  (Cet.V; kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h. 215.
[15] Muhammad Razi. Loc. cit.
[16] Lihat Ahmad  Muhammad al-Hufiy, al-Tabariy (Cairo: al-Ahram al-Tijariyyah, 1390 H / 1970 M), h.11.
[17] Ibid.
[18] Ibid., h.134
[19] Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Cet.V; Bogor: litera AntarNusa, 2000), h. 502.
[20] Lihat Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabariy, Tarikhul Umam wal Muluk  Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1987), h. 15-16.
[21] Manna al-Qattan, op.cit.
[22] Lihat, Muhammad Yusuf, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an Karya Ibnu Jarir al-Tabariy Telaah Terhadap Metode dan Karakteristik Penafsiran (Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 4, No.1, Juli 2003),h.2.
[23] Fadh ibn Abd al-Rahman al-Rumy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan Amrul Hasan Ulum al-Qur’an Studi Kompleksitas al-Qur’an ( Cet. I ; Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), h.199
[24] Ibid., h.203
[25] Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabariy, Jami’ al-Bayan fi  Tafsir  al-Qur’an, Juz I, (. Bayrut: Dar al-Fikr, 1988), h. 58.
[26] Ibid., 89
[27] Ibid. jilid VII h. 562-564.
[28] Lihat, ibid. jilid IX h. 54.
[29] Ibid. jilid XII h. 518.
[30] Manna al-Qattan, op.cit. h.353.
[31]Mani’ abdd Halim Mahmud, op.cit., h.70
[32] Husayn Ahmad Amin, Al-Mi’ah al-Azham fi Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh Bahruddin Fannani dengan judul Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (Cet.III; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), h. 116.
[33] Mani’ abdd Halim Mahmud, op.cit., h.76
[34]Lihat, ibid.

[35] Al-Tabariy, Tafsir al-Tabariy, jilid III, loc.cit.
[36]Mani’ abdd Halim Mahmud, op.cit., h.87.