Daftar Pustaka

Kamis, 03 Maret 2011

Ulumul A-Qur'an (Makalah)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
               Ulumul hadits (ilmu hadits) adalah salah satu bidang ilmu yang penting di dalam Islam, yang sangat diperlukan dalam mengenal dan memahami  hadits-hadits Nabi  saw.
      Sunnah atau hadits Nabi merupakan penjelasan dan penafsiran al-Qur`an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa, pribadi Nabi Muhammad saw, merupakan perwujudan dari al-Qur`an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.[1]
               Menyadari keberadaan hadits sebagai sumber otentik ajaran Islam dan keharusan mengikutinya, maka umat Islam sejak zaman sahabat mencurahkan perhatian yang sangat besar dan maksimal terhadap hadits. Mereka meriwayatkan segala yang berkaitan dengan diri Rasulullah saw. Bahkan mereka berusaha membagi waktu untuk kepentingan hidup sehari-hari dan pengabdian yang penuh terhadap ilmu hadits.[2]
               Jejak para sahabat tersebut diikuti oleh tabi’in, tabi’i tabi’in dan ulama generasi berikutnya, bahkan penguasa yang cinta ilmupun tidak ketinggalan untuk memelihara hadits dari kepunahan, yaitu dengan menyuruh ulama di daerah agar memilah hadits dan memisahkannya dari yang bukan hadits. Kegiatan ilmiah ini sebagai cerminan tanggung jawab mereka dalam memelihara sumber ajaran Islam kedua, agar tidak hilang di telan masa.[3] Kegiatan ilmiah tersebut dilakukan secara hati-hati dengan tingkat selektivitas yang tinggi yang berpijak pada kerangka metodelogi penyeleksian hadits dengan memperhatikan unsur-unsur formal yang ada pada sebuah hadits.
               Unsur-unsur formal hadits yang dimaksud adalah pertama , sanad hadits, yaitu rangkaian atau silsilah periwayat hadits, mulai dari sumber pertama sampai kepada periwayat yang paling akhir. Kedua, matan hadits, yaitu berupa sabda atau materi hadits Nabi saw, sedangkan unsur ketiga adalah periwayat itu sendiri.
               Dalam upaya seleksi hadits, para ahli hadits menempuh langkah-langkah sebagai berikut;
1.      Melacak sanad hadits, untuk mengetahui mata rantai periwayat hadits apakah bersambung sanadnya atau terputus yang mengindikasikan terjadinya pemalsuan.
2.      Kritik matan hadits, ini dilakukan para sahabat bila sisi substansi matan hadits bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an.
3.      Kritik perawi, untuk mengetahui perawi yang diterima riwayatnya dan yang ditolak, sehingga dapat dibedakan antara hadits sahih, da’if dan mawdu’.
                 Kerangka metodologi  penyeleksian hadits  yang disodorkan para muhaddisin adalah upaya menjamin validitas atau keabsahan sebuah hadits.[4] Metode kesahihan hadits ini kemudian dikenal dengan istilah ‘usul al-hadits, ‘ulum al-hadits, ma’rifah ‘ulum al-hadits, ‘ilm dirayah al-hadits dan ‘ilm mustalah al-hadits .[5]

B.     Rumusan Masalah
               Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini, adalah ‘ulum al-hadits ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis, aksiologi. Pokok permasalahan di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
  1. Bagaimana pengertian ‘ulum al-hadits  menurut ulama?
  2. Bagaimana klasifikasi cabang-cabang ‘ulum al-hadits  dan sejarah perkembangannya?
  3. Apa manfaat  ‘ulum al-hadits?          
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Ontologis : Pengertian  Ulum al-Hadits  dan Perbedaan   Pandangan  Ulama
               Term ‘ulum al-hadits terdiri dari dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits.Ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm yang secara etimologi berarti idrak yaitu memahami sesuatu yang bersifat umum berdasarkan dalil.
             Adapun al-hadits secara etimologi berarti al-jadid  (baru) dan al-khabar (berita).[6] Sedangkan secara terminology, Nur al-Din ‘Itr mendefinisikannya dengan :
ما أضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقريرأو وصف خلقى أو خلقى أو أضيق الى الصحابى أو التابعى
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa ucapan,perbuatan, ketetapan, atau sifat fisik, akhlak, atau segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.[7]

Berdasarkan uraian tentang ilmu dan hadits di atas, dapat dikemukakan bahwa ‘ulum al-hadits secara etimologi berarti segala pengetahuan yang berpautan dengan hadits.
Menurut para ahli hadits, ‘ulum al-hadits  adalah sebuah istilah yang mereka pergunakan untuk dua hal, yaitu ‘ilm al-hadits riwayah atau ‘ilm riwayat al-hadits dan ‘al-hadits dirayah atau ‘ilm dirayat al -hadits.
             Para ahli hadits mengemukakan pengertian yang beragam tentang ‘ilm al-hadits riwayah dan ‘ilm al-hadits dirayah. Dalam menelaah berbagai pandangan ulama hadits tentang pengertian kedua ilmu hadits di atas, terdapat tiga mazhab, pertama : mazhab ibn al-Akfany dan pengikutnya, kedua : mazhab     Izz al-Din ibn al-Jama’ah dan pengikutnya, dan ketiga : mazhab Tasy Kubriy Zadah dan pengikutnya.[8]
1.      Mazhab pertama mendefinisikan ‘ilm al –hadits riwayah sebagaimana dikemukakan Ibn al-Akfany dalam kitab Irsyad al-Qasid:
علم الحديث الخص بالرواية علم يشتمل على اقوال ا لنبى صلى الله عليه وسلم وافعاله وروايتها وضبطها وتحرير الفاظه
(Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mencakup segala ucapan dan perbuatan Nabi saw, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian  lafal-lafalnya).[9]

   Namun defenisi ini mendapat sanggahan karena tidak menyebut ketetapan dan sifat-sifat nabi saw., juga tidak mengakomodir pendapat yang menyatakan bahwa hadits mencakup segala apa yang dinisbahkan kepada sahabat dan tabi’in.
Sedangkan  ilm al-hadits dirayah menurut Ibn al-Akfaniy :
علم الحديث الخاص بالدراية علم يعرف منه حقيقة الرواية وشروطها وانواعها واحكامها وحال الرواة وشروطهم واصناف المرويات وما يتعلق بها[10]
(Ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syaratnya, klasifikasinya, statusnya, karakternya, dan syarat-syarat para rawi, klasifikasi marwiyat dan segala yang berkaitan dengannya).
   Maksud hakikat riwayat adalah penukilan sunnah dan menyandarkannya kepada sumber aslinya dengan menggunakan lafal-lafal tahammul dan ‘ada’. Syarat-syarat riwayat adalah menerima suatu riwayat melalui salah satu cara tahammul  (penerimaan), seperti  sima, kitabah, ijazah dan lain-lain. Klasifikasi riwayat adalah sanad yang bersambung dan terputus. Status riwayat adalah diterima atau ditolak.
   Keadaan rawi meliputi jarh dan ta’dil serta syarat-syarat tahammul dan ‘ada’. Klasifikasi  marwiyat yaitu kitab-kitab hadits seperti  musnad, sunan, jami’ dan sebagainya. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan riwayat adalah mengetahui istilah-istilah dan periwayatannya.[11]
Dari kedua defenisi di atas dapat dikemukakan bahwa ‘ilm al-hadits riwayah terfokus pada penukilan, sesuai dengan makna riwayat. Sementara ‘ilm al-hadits dirayah difokuskan pada pemahaman kandungan riwayat dan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengannya. Hal ini erat kaitannya dengan makna dirayah itu sendiri.
2.      Mazhab kedua diwakili Tazy Kubriy Zadah mendefinisikan, ‘ilm al-hadits riwayah seperti defenisi  ‘ilm al-hadits dirayah menurut Ibn al-Akfaniy yaitu
علم الحديث رواية هو علم يبحث فيه عن كيفية اتصال الاحاديث بالرسول صلى الله عليه وسلم من حيث احوال رواته ضبطا وعدالة ومن حيث كيفية ااسند اتصالا وانقطاعا وغير  ذ لك من الاحؤال التئ يعر فهانقاد الاحاديث   
(ilmu ‘al-hadits riwayah adalah ilmu yang  membahas bagaimana suatu hadits sampai kepada Nabi saw, ditinjau dari keadaan (karakter) para rawi  dan hal-hal terkait  yang diketahui oleh kritikus hadits).
   Tampak kesamaan defenisi di atas dengan defenisi ‘ilm al hadits dirayah sebelumnya, meski ada perbedaan redaksi antara keduanya. Karena kesamaan inilah maka tak mengherankan jika kitab-kitab ‘ilm al-hadits dirayah versi mazhab pertama, dianggap kitab ‘ilm al-hadits riwayah versi mazhab kedua.
   Adapun ‘ilm al-hadits dirayah menurut mazhab ini terbatas pada pemahaman maksud kandungan hadits. Sehingga ‘ilm al-hadits dirayah adalah :
علم الحديث د راية هو علم يبحث فيه عن ا لمعني المفهو م من الفا ظ الحد يث,وعن ا لمعني المر ا د منها, مبثنيا علي قوا عد اللغة العر بية وضو ا بط ا لشرعية ومط ابقا لاحو ال النبي صلى لله عليه وسلم
(‘Ilm al-hadits dirayah adalah ilmu yang mengkaji tentang makna yang dipahami dari lafal-lafal hadit dan maksud setiap lafal berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ketentuan-ketentuan syariat serta sesuai dengan keadaan Nabi saw)

3.      Mazhab ketiga  diwakili  oleh ‘Izz al-Din ibn al-Jama’ah dan Ibn Hajar al-  Asqalaniy, serta didukung Nur al-din ‘itr dengan mendefenisikan ‘ilm al-hadits riwayah sebagai berikut :
علم يشتمل على اقوال النبي صلى الله عليه وسلم وافعاله وتقريراته وصفاته وكذا مااضيف الى الصحابة والتابعين من اقوالهم وافعالهم وروايتها وضبطها وتحرير الفاظها
(‘ilm al-hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi saw, demikian pula ucapan dan perbuatan yang disandarkan kepada sahabat  dan tabi’in, periwayatannya, pencacatan dan penelitian lafal-lafalnya).[12]

Defenisi  ‘ilm al-hadits dirayah  yang paling tepat menurut Ibn Hajar al  ‘Asqalaniy  dan didukung banyak ahli hadits adalah :
معرفة القواعد المعرفة بحال الراوى والمروى
Ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan rawi (sanad) dan marwi (matan).[13]

Sementara itu Nur al-Din ‘Itr lebih cenderung kepada defenisi ‘Izz al-Din Ibnu al Jama’ah, yaitu:
علم بقوانين يعرف بها احوال السند والمتن                  
        (Ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan)
Yang dimaksud ahwal al-sanad  adalah segala yang berkaitan dengan sanad seperti ittisal (bersambung) inqita (terputus), tadlis (menyembunyikan cacat), rawi tertuduh fasik, dusta, lemah hafalan dan lain-lain. Sedangkan ahwal al-matan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan matan seperti marfu’(disandarkan kepada Nabi), mawkuf  (disandarkan kepada sahabat), maqtu (disandarkan kepada tabi’in), syaz (janggal) dan lain-lain.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, ‘ilm al-hadits dirayah tidak terbatas pada kajian tentang kaidah-kaidah yang berkaitan dengan sanad dan matan, ditinjau dari aspek kualitasnya, diterima atau ditolak. Akan tetapi lebih dari itu, ilmu tersebut juga mencakup pemahaman terhadap makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam hadits, sebagaimana dilakukan mayoritas ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin. Oleh karena itu, sebagian ulama hadits mencela para pencari hadits yang membatasi diri pada hapalan  dan cacatan dalam mengumpulkan riwayat hadits, kemudian melalaikan aspek istinbat hukum dari hadits.[14]
Setelah mencermati perbedaan defenisi para ahli hadits tentang ‘ilm al-hadits riwayah dan ‘ilm al-hadits dirayah, ‘Ali Nayf Biqa’iy menawarkan trilogy ilmu hadits, yaitu : ‘ilm al-hadits riwayah, ‘ilm al-hadits dirayah dan ilmu dirayah al-riwayah. Ia mendefinisikan ‘ilm al-hadits riwayah dan ‘ilm al-hadits dirayah dengan mengadopsi versi mazhab ketiga. Sedangkan `ilm dirayah al-riwayah didefinisikannya dengan :
علم دراية الرواية هي تطبيق القوانين التي يعرف بها احوال السند والمتن على اسانيد الاحاديث ومتونها لمعرفة المقبول والمردود منها وفهم المراد من تلك الاحاديث واستنباط الاحكام الشرعية منه 
Ilmu dirayah al-riwayah adalah menerapkan kaidah-kaidah tentang keadaan sanad dan matan pada sanad-sanad dan matan hadits untuk mengetahui statusnya diterima atau ditolak dan untuk memahami maksud dari hadits tersebut serta mengistimbat  hukum syar`i darinya.[15]

            Jadi, ilmu dirayah al-riwayah merupakan aplikasi kaidah-kaidah/ilmu al-hadits dirayah pada suatu riwayat untuk mengetahui keadaannya dan memahaminya.
            Untuk memperkuat pendapatnya Biqa’iy menyebutkan beberapa kitab yang mewakili masing-masing ilmu di atas, yaitu:
1. Musnad Imam Ahmad dan Mu’jam al-Tabraniy al-Kabir mewakili ‘ilm al-  hadits riwayah, karena isi kedua kitab tersebut didominasi oleh penukilan-penukilan hadits, meskipun dapat pula ditemukan kajian ‘ilm al-hadits dirayah dan ‘ilm dirayah al-riwayah secara sekilas.
2  Muqaddimat Ibn al-Salah fi ‘Ulum al-hadits memuat banyak kaidah-kaidah riwayat dan dirayat hadits yang mendominasi hampir seluruh  isi kitab tersebut.  Adapun riwayat dan dirayat al-riwayah yang ada didalamnya, hanya dicantumkan sebagai contoh bukan fokus kajian.
3.  Kitab yang mewakili ‘ilm dirayat al-riwayat antara lain, Fath al-Bari, Syarah Sahih al-Bukhariy. Dalam kitab ini terdapat kajian tentang sanad, matan dan pemahaman kandungan hadits (fiqh al-hadits).[16]

B.     Aspek Epistemologis (cabang- cabang ulumul hadits dan sejarah perkembangannya)
a.       Cabang-cabang Ulum al-hadits
Cabang-cabang ilmu hadits yang dikaji ulama sangat banyak, bahkan tak terhingga. Menurut al-Hazimy jumlahnya mencapai seratus macam yang masing-masing berdiri sendiri. Ibnu al-Salah menyebutkan sekitar 65 macam, setiap macam berpotensi untuk dikembangkan menjadi banyak cabang yang tak terhingga banyaknya[17].
Betapapun banyaknya cabang  ulumul hadits, para ulama berupaya menampilkan dan menguraikannya seperti tercantum dalam berbagai kitab ulum al-hadits atau ushul al-hadits, antara lain ;
1.      ‘Ilm Rijal al-Hadits
2.      ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil
3.      ‘Ilm Fann al-Mubhamat
4.      ‘Ilm Mukhtalif al-Hadits
5.      ‘Ilm Garib al-Hadits
6.      ‘Ilm ‘Ilal al-Hadits
7.      ‘Ilm al-Nasikh wa al-Mansukh
8.      ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadits
      Di antara sekian banyak literatur ‘ulum al-hadits dapat ditemukan klasifikasi cabang-cabang ‘ulum al-hadits yang lebih sistematis sebagaimana dilakukan Nur al-Din ‘Itr dalam bukunya Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits. Usaha tersebut mendapat apresiasi dari banyak pihak, baik lembaga maupun perorangan, dari kalangan ulama hadits bahkan dari para orientalis di Eropa.
   Seorang ahli hadits Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Syuhbah   memberikan resensi terhadap Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, bahwa pengarang buku tersebut menampilkan klasifikasi  ‘ulum al-hadits dalam format baru dengan telaah ilmiah yang komprehensip, sehingga tampak kesempurnaan dan kedalaman ilmu ini. Berbagai masalah yang berhubungan dengan salah satu unsur hadits disatukan dalam bab tersendiri, misalnya semua masalah yang berkaitan dengan sanad dikumpulkan dan dibahas dalam satu bab. Hal-hal yang berkaitan dengan matan disatukan dan dikaji tersendiri. Demikian pula  segala yang berhubungan dengan sanad dan matan  secara konperhensif digabungkan dalam satu bahasan.[18] Dengan demikian setiap masalah akan ditemukan induk atau pokok bahasannya.
            Klasifikasi cabang-cabang  ‘ulum al-hadits  menurut Nur al-Din ‘Itr:
1.      ‘Ilm Ruwat al-Hadits atau ‘Ilm Rijal al-Hadits.
      Ilmu tentang rawi menjadi teramat penting dalam kaitannya dengan penilaian kualitas hadits, diterima atau ditolak. Karena dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan para rawi yang menerima hadits dari  Nabi saw. Dan keadaan para rawi yang menerima dari sahabat dan seterusnya. Ilmu tentang rawi terbagi menjadi dua cabang ilmu, yaitu :
a.       Ilmu yang membahas keadaan (karakteristik) para rawi. Ilmu ini selanjutnya terurai dalam beberapa bagian, antara lain :
1)      Ilmu tentang sifat-sifat para rawi yang diterima dan ditolak riwayatnya.
Mayoritas ulama hadits sepakat bahwa syarat perawi yang dapat dijadikan hujjah riwayatnya haruslah seorang yang ‘adil dan dabith.[19] Konsekuensinya ketika kedua syarat ini tidak terpenuhi maka rawi tersebut ditolak riwayatnya.



2)      ‘Ilm  al-Jarh wa al-Ta’dil
Ilmu ini membahas tentang jarh (sifat-sifat tercela rawi) dan ta’dil (sifat-sifat terpuji rawi) dengan menggunakan lafal-lafal tertentu.[20]
3)      Ilmu tentang sahabat
b.      Ilmu tentang identitas para  rawi, meliputi :
1)      ‘Ilm Tarikh al-Ruwah, yaitu kajian tentang segala aspek yang berkaitan dengan identitas diri rawi, baik aspek tempat maupun waktu.
2)      ‘Ilm Asma’ al-Ruwah, yaitu kajian yang berupaya menghilangkan kesamaran data diri rawi khususnya yang berkaitan dengan nama rawi, kun-yah, laqab dan nasab.[21]
2.      ’Ilm Riwayat al-Hadits  (ilmu tentang periwayatan hadits). Ilmu ini membahas tentang:
a.       Adab-adab talib al-hadits
b.       Adab-adab Muhaddits
c.        Cara-cara periwayatan hadits (turuq tahammul wa ‘ada).
3.      Ilmu tentang status hadits (maqbul dan mardud)
      Kajian ilmu ini dibagi dua meliputi:
a.       Kajian tentang hadits-hadits maqbul, yaitu :
1)      Hadits  Shahih
2)      Hadits Shahih Li Gayrih
3)      Hadits Hasan
4)      Hadits Hasan Li Gayrih
b.      Kajian tentang hadits mardud yaitu :
1)      Hadits da’if
2)      Hadits  mawdu’
4.      Ilmu hadits yang berkaitan dengan matan, yang meliputi:
a.       Ilmu tentang matan ditinjau dari sumbernya, yaitu hadits qudsy, hadits marfu’, hadits mawquf dan hadits maqtu.
1)      Hadits Qudsiy, yaitu segala yang disandarkan  kepada Nabi saw, kemudian beliau menyandarkan kepada Allah swt.[22]
2)      Hadits Marfu’, yaitu semua yang disandarkan kepada Nabi saw, baik ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir), baik bersambung sanadnya atau terputus.
3)      Hadits mawquf, yaitu  segala yang diriwayatkan atau disandarkan kepada sahabat baik ucapan, perbuatan atau pengakuan, tanpa indikasi penyandaran kepada Nabi saw.
4)      Hadits Maqtu’, yaitu segala yang diriwayatkan atau disandarkan kepada tabi’in baik perkataan, perbuatan atau pengakuan, tanpa indikasi penyandaran kepada Nabi saw., atau kepada sahabat, bersambung sanadnya atau terputus.
b.      Ilmu tentang matan ditinjau dari pemahaman kandungan hadits, meliputi:
1)      Ilmu Garib al-Hadits, yaitu ilmu yang mengkaji tentang lafal-lafal matan hadits yang sulit dipahami karena kesamaran dan tidak popular.[23]
2)      Ilmu Muhkam al-Hadits, yaitu ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang tidak bertentangan dengan dalil lain setelah dilakukan penelitian.[24]
3)      Ilmu Mukhtalif al-Hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang cara  mengkompromikan hadits-hadits yang kontradiksi maknanya, seperti dengan cara mentakhsis yang ‘am atau  mentaqyid yang mutlakq.
4)      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi saw. Menuturkan sabdanya dan kapan beliau menuturkannya.[25]
5)      Ilmu Nasikh wa Mansukh, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits maqbul (sederajat yang kontrdiktif dan tidak dapat dikompromikan antara keduanya tapi dengan menasakh yang terdahulu dengan hadits yang datang kemudian berdasarkan keterangan dari Nabi saw, atau sahabat.
5.      Ilmu Hadfits yang berkaitan dengan sanad, meliputi:
1)      Hadits muttasil, yaitu hadits yang bersambung sanadnya.
2)      Hadits musnad, yaitu hadits marfu’ yang sanadnya muttasil
3)       Hadits Musalsal, yaitu hadits yang sepakat para perawi dalam memakai lafal atau sifat dan cara menyampaikan hadits.
6.      Ilmu tentang sanad yang terputus yaitu:
1)      Hadits Munqati’, yaitu hadits yang gugur seorang atau dua orang tidak berturut-turut dipertengahan sanad.
2)      Hadits Mursal, yaitu hadits yang bersambung sanadnya kepada tabi’iy, lalu tabi’y tersebut tidak menyebut nama sahabat yang menyampaikan hadits kepadanya.
3)      Hadits Mu’allaq, yaitu hadits yang gugur perawinya baik satu, dua bahkan semua pada awal sanad, yaitu guru dari seorang imam hadits.
4)       Hadits Mu’dal, yaitu hadits yang gugur dua orang perawi berturut-turut di pertengahan sanad.[26]
7.      Ilmu terkait sanad dan matan sekaligus:
a.       Ilmu Tafarrud al-Hadits meliputi:
1)      Hadits Garib, yaitu hadits yang diriwayatkan  seorang rawi dari imam (guru) atau dari rawi lain selain imamnya.
2)      Hadits Afrad, yaitu hadits yang menyendiri rawinya dalam periwayatan, hadits fard lebih umum dari hadits garib.
b.      Ilmu Ta’addud al-Ruwah ma’a al-Ittifaq, mencakup :
1)      hadits Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang diyakini mustahil sepakat berdusta dari awal sanad hingga akhir.
2)      Hadits Masyhur, yaitu hadits  yang mempunyai lebih dari dua jalur periwayatan tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.
3)      Hadits Mustafid, yaitu hadits yang mencapai tingkat masyhur dari awal sanad hingga akhir.
4)       Hadits ‘Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
5)      Hadits Tabi’ dan Syahid, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat lain.
c.       Ilmu Ikhtilaf Riwayat al-Hadits, meliputi:
1)      Ziyadat al-Siqat, yaitu seorang rawi  yang ‘adil dan siqah meriwayatkan hadits yang memuat tambahan yang tidak terdapat pada riwayat rawi lain yang meriwayatkannya dari beberapa orang ‘adil.
2)       Hadits Syaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi siqah yang bertentangan dengan riwayat siqah yang lebih banyak.
3)       Hadits Munkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah yang bertentangan dengan riwayat orang siqah.
4)       Hadits Mudtarib, yaitu hadits yang terjadi kontradiksi riwayatnya atau matannya baik dilakukan oleh seorang perawi atau banyak perawi dengan mendahulukan yang kemudian atau sebaliknya, menambah, mengurangi, atau mengganti serta tidak dapat dikuatkan salah satu riwayatnya atau salah satu matann
5)      Hadits Maqlub, yaitu hadits yang terjadi kesalahan perawi dengan mendahulukan yang kemudian atau sebaliknya.
6)       Hadits Musahhaf, yaitu hadits yang telah terjadi perubahan huruf sedangkan bentuk tulisannya masih tetap.
7)       Hadits Mu’allal, yaitu hadits yang terdapat di dalamnya illah (cacat) terselubung yang merusak kesahihan meskipun tampak tanpa cacat.[27]
 
B. Sejarah Perkembangan Ulum al-Hadits
      Pada dasarnya Ulumul Hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits di dalam Islam, terutama setelah rasulullah s.a.w  wafat, ketika umat merasakan  perlunya menghimpun hadits-hadits rasul s.a.w  dikarenakan adanya kekhawatiran hadits-hadits tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencacatan dan periwayatan hadits. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu  dalam  menerima hadits, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
      Dasar dan landasan periwayatan hadits di dalam Islam dijumpai di dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah s.a.w.
      Di dalam surat al-Hujurat ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
       Hai orang-orang yang beriman,jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya)yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.[28]

Disamping itu, rasulullah s.a.w juga mendorong serta menganjurkan para sahabat dan yang lainnya yang mendengar atau menerima hadits-hsdits beliau untuk menyampaikan dan meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di dalam sebuah haditsnya rasul bersabda :
                Semoga Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (Hadis), lantas dia menyampaikannya (hadits tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada orang yang menyampaikan. (HR Al-Tirmidzi).
               Berdasarkan pada ayat  Al Qur’an dan hadits nabi  di atas, maka para sahabat mulai meneliti dan bersikap hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits-hadits nabi s.a.w, terutama apabila mereka meragukan si pembawa atau penyampai riwayat tersebut. Dengan demikian, mulailah lahir pembicaraan mengenai isnad dan nilainya dalam menerima dan menolak suatu riwayat.
               Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, para sahabat mulai meminta keterangan tentang orang-orang yang menyampaikan hadits atau khabar kepada mereka. Mereka menerima atau mengambil hadits dari orang-orang yang tetap berpegang kepada sunnah rasul, dan sebaliknya mereka tidak mengambil hadis dari mereka para ahli bid’ah.
               Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat tersebut diikuti pula oleh para ulama hadits yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya hadits-hadits palsu, yaitu sekitar tahun 41 H., setelah masa khalifah Ali r.a semenjak itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadits dengan memperaktekkan ilmu al-Jarah wa-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah ilmu al-Jarah wa-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.
               Demikianlah kegiatan para ulama hadits di abad pertama Hijriyah yang telah memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits. Bahkan pada akhir  abad  pertama itu telah  terdapat beberapa klasifikasi hadits yaitu hadits marfu’, hadits mawquf, hadits muttashil, dan hadits mursal. Dari macam-macam hadits tersebut, juga telah dibedakan antara hadis maqbul, yang pada masa berikutnya disebut dengan hadis shahih dan hadits hasan, serta hadits mardud, yang kemudian dikenal dengan hadits dhaif dengan berbagai macamnya.
               Pada abad kedua Hijriah, ketika hadits telah dibukukan secara resmi, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadits tersebut menerapkanketentuan-ketentuan ilmu hadits yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka.
               Pada  abad ketiga Hijriah yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan hadits, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah  hadits dibukukan, sehingga pada abad keempat dan kelima Hijriah  mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadits yang bersifat komfrehensif. Dan pada abad-abad berikutnya  bermunculanlah karya-karya  di bidang ilmu hadits ini, yang sampai sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadits, yang diantaranya adalah ‘ulum Al-Hadits’ oleh Abu  ‘Amr Utsman ibn Abd al-Rahman  yang lebih dikenal dengan ibn al-Shalah (643 H).[29]

C. Aspek Aksiologi  (Manfaat  ‘Ulum al-Hadits)
               Hadits merupakan salah satu sumber pokok ajaran Islam. Tanpa Hadits, umat Islam tidak akan mengetahui bagaimana cara melaksanakan perintah yang ada di dalam al-Qur’an. Tentunya hadits yang dimaksud adalah  hadits yang betul-betul terbukti kesahihannya. Namun untuk mengetahui hadits yang sahih tentu tidak mudah. Hal ini  diantaranya disebabkan pengumpulan dan pengkodifikasian hadits dilakukan sekitar satu abad setelah wafatnya rasulullah saw. Oleh karena itu , untuk mengetahui kesahihan suatu hadits perlu dilakukan pengkajian dan penelitian yng mendalam, akurat dan cermat.Kegiatan ilmiah ini harus berpijak pada kerangka metodelogis penyeleksian hadits atau metode kesahihan hadits yang dikenal dengan istilah ulum al-Hadits.
               Ulum al-hadits adalah salah satu ilmu untuk memperkaya khazanah ilmu-imu keislaman, bahkan sangat urgen karena berkaitan langsung dan sangat erat dengan sumber ajaran Islam. Adapun mamfaat ‘ulum al-hadits antara lain ;
1.      Dengan ‘ulum al-hadits dapat diketahui dan dibedakan status atau kualitas suatu hadits yang harus kita terima dan yang harus ditolak atau dengan kata lain kita dapat mengetahui mana hadits yang dipercaya dan diyakini kesahihannya dan mana yang diragukan atau diyakini kelemahannya  (da’if) bahkan kepalsuannya. Tanpa ilmu ini akan terjadi kekacauan dalam memilah antara hadits sahih, da’if dan mawdu’, demikian pula akan sangat sulit membedakan antara ucapan Nabi saw dengan ucapan orang lain selain beliau. Oleh karena itu seorang talib hadits tidak boleh mengabaikan ilmu ini meskipun ia telah banyak menghapal matan-matan hadits. Karena tanpa ‘ulum al-hadits ia tidak dapat mengambil faidah dari hafalannya.[30]
Dengan mengetahui hadits maqbul akan jelas mana hadits yang dapat dijadikan hujjah dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dan landasan mengamalkan hokum-hukum syar’i. Dengan mengetahui hadtis mardud akan jelas pula mana hadits yang tidak pantas diamalkan karena da’if atau mawdu’.Dengan demikian ulum al-hadits telah menjaga keaslian syariat Islam dan menyelamatkan dalil-dalil serta hokum-hukumnya dari kepalsuan. 
2.      Kaidah-kaidah ‘ulum al-Hadits dapat menangkis segala macam serangan khurafat, kebatilan, dan cerita-cerita fiktif isra’iliyyat yang sengaja dihembuskan musuh-musuh Islam dan dialamatkan kepada umat Islam untuk memecah belah serta melemahkan kekuatan umat, sehingga dengan mudah mereka memperdaya dan menggiring umat Islam ke jurang kebinasaan.[31]
BAB III
KESIMPULAN

               Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan , maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut ;
  1. Pengertian ‘ulum al-hadits menurut bahasa adalah segala pengetahuan yang berpautan  dengan hadits.
  2. ‘Ulum al-hadits dalam istilah ulama dipergunakan untuk dua hal yaitu ilmu hadits riwayat dan ilmu hadis dirayah.
  3. Ada tiga mazhab ulama dalam mendefinisikan kedua ilmu tersebut yaitu pertama mazhab ibn al-Akfaniy dan pengikutnya, mazhab Taziy Kubriy Zadah dan, mqazhab ‘Izz al-Din ‘Itr dan pengikutnya.pengikutnya.
  4.  Klasifikasi cabang-cabang ‘ulum al-hadits menurut Nur al –Din ‘Itr antara lain;
    1. Ilmu ruwat al-hadits meliputi ilmu tentang keadaan [karakteristik] para rawi dan ilmu tentang identitas para rawi.
    2. Ilmu riwayat al-hadits , meliputi adab talib hadits, adab muhaddis, cara-cara periwayatan hadits.
    3. Ilmu tentang status  hadits, meliputi hadits maqbul dan mardud.
    4. Ilmu hadits yang berkaitan dengan matan
    5. Ilmu hadits yang berkaitan dengan sanad
    6. Ilmu hadits yang berkaitan dengan sanad dan matan sekaligus  
5.      Dengan‘ulum al-hadits dapat dibedakan antara hadits maqbul dan mardud.     
DAFTAR PUSTAKA

Abadly, Majd al-Din Muhammad Ibn Ya`qub al-Fairuz, al-Qamus al-Muhit.Beirut: Dar al-Fikr, 1999 M /1420 H.
Abdurrahman, M .Pergeseran Pemikiran Hadits. Cet. 1; Jakarta:Paramadina,2000M.
`Abd al-Latif, `Abd al-Mawjud Muhammad. `Ilm Jarh wa al-Ta`dil  diterjemahkan A.Zarkaziy Chumaidy, Ilmu Jarh wa Ta`dil. Cet.1;Jakarta: Gema Media Pusakatama, 2003 M/1423 H.
Al-Khatib, Muhammad `Ajjaj. Usul al-Hadits `Ulumuhu wa Mustalahuhu. Cet.III;Beirut: Dar al-Fikr 1975/1395 H.
Al-Salih, Subhiy.`Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, diterjemahkan Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits.Cet.II;Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995.
Al-Qardawiy ,Yusuf.Kayfa Nata`amal ma`a al-Sunnat al Nabawiyyah.Kairo Bank al-Taqwa, t.th.
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbiy.Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits.Jilid 1.Cet.VII;Jakarta:PT Bulan Bintang,1987 M.
-----------------------Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Cet !V;Semarang PT Pustaka Rizki Putra,1999 M.
Al-Suyutiy, Jalal al-Din Åbd al-Rahman ibn Abi Bakr.Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawiy.Beirut:Dar al-Fikr,1993 M/1414 H .
Biqa`iy, Ali Nayf.Al-Ijtihad fi `Ilm Hadits.Cet. I Beirut:Dar al-Basya`ir al-Islamiyah,1998 M/1419 H.
Darmalaksana, Wahyudin.Hadits di Mata orientalis.Cet.I;Bandung:Benang Merah Press, 2004 M.
Departemen Agama,Al-Qur`an dan Terjemahannya .Jeddah al-Mujamma al-Kharamain, 1985 M.
Ibn al-Salah, Abu `amr Usman ibn al-Rahman al-Syahrazury. Muqaddimat Ibn al-Salah.Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1989M/1409H.
`Itr,Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi `Ulum al-Hadits.Cet,1II;Damaskus:Dar al-Fikr, 1977 M/1418 H.
Yuslem Nawir DR.Ulumul Hadits. Cet I Jakarta PT.  Mutiara Sumber Widya, 2001 M.

                    [1]Yusuf al-Qardawy, Kayfa Nata`amal ma`a al-Sunnah al-Nabawiyah (Kairo: Bank al-Taqwa, t.th.), h.23.
                    [2]Nur al-Din `Itr,  Manhaj al-Naqd fi `Ulum al-Hadits (Cet. III; Damaskus: Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H), h. 24.
                    [3]M. Abdurahman, Pergeseran Pemikiran Hadits (Cet.I; Jakarta: Paramadinah, 2000 M), h.3.
                    [4] Wahyuddin Darmalaksana, Hadits di Mata Orientalis (Cet. I; Bandung: Benang Merah Press, 2004 M), h.6-7.
    [5] M. Abdurrahman, Op. cit., h. 9.
                    [6] Majd al-Din Muhammad Ibn Ya`qub al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-Muhit (Bairut; Dar  al-Fikr, 1999 M/1420 H), h. 153.
[7] Nur al-Din `Itr, Op. cit., h. 30
                    [8] Ali Nayf Biqa`iy, Al-Ijtihad fi `Ilm al-Hadis (Cet. 1;Beirut: Dar al-Basya`ir al Islamiyah, 1998 M/1419 H),h. 36.
                    [9]Jalal al-Din `Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuttiy, selanjutnya disebut al-Suyutiy, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawiy (Beirut: dar al-Fikr, 1993 M /1414 H), h.13. 
                    [10] Ibid., h. 14.
                    [11] Ibid., h. 15
[12] Nur al-Din ‘Itr, Op.cit.,h.31.
                    [13] Al-Suyutiy, Op.cit.,h.14.
                    [14] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mustalahulu (Cet.III; Beirut: Dar al Fikr 1975 M/1395 H), h.9.  
                    [15] Ali Nayf Biqa`iy, Op.cit., h.41
[16] Ibid, h. 42
                [17] Al-Suyutiy, Op.cit., h.24
                    [18]Nur al-Din `Itr, Op.cit.,h.28.
    [19] Abu `Amr `Usman ibn `Abd al-Rahman al-Syahrahzuriy, yang dikenal dengan nama Ibn al- Salah dan selanjutnya disebut demikian, Muqaddimat ibn al-salah (Beirut: Dar al- Kutub al-`Ilmiyah, 1989 M/1409 H), h.49.
                    [20] Abd al-Mawjud Muhammad `Abd al-Latif,  `Ilm al-Jarh wa al-Ta`dil diterjemahkan A. Zarkasiy Chumaidy, `Ilm Jarh wa Ta`dil (Cet.I; Jakarta: Gema Media Pusakatama, 2003 M/1423H), h.19.
                    [21] Nur al-Din `Itr, Op.cit., h.18.
                    [22] Ibid., h.333.
                    [23] Ibn al-Salah, Op.cit., h.137.
    [24] Nur al-Din `Itr, Op.cit., h.341.
                    [25]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, selanjutnya disebut Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, selanjutnya disebut sejarah (Cet. IV; Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 1999 M), h.142.
                    [26] Ash Shiddieqiy, sejarah, h.195-196
                    [27] Ash Shiddieqiy, Sejarah, h.197-199
                    [28] Departemen Agama, Al-Qur`an dan Terjemahannya (Jeddah al-Mujamma al-haramain, 1985), h.846.

                    [29]Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Cet.I, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), h.15-25.
                    [30] Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I (Cet.VII; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987 M),h.24.
                    [31] Nur al-Din, Op.cit., h. 19.