Daftar Pustaka

Minggu, 27 Februari 2011

HADIS TENTANG PENTINGNYA KEJUJURAN (Syarah dan Kritik Hadis)


HADIS TENTANG PENTINGNYA KEJUJURAN
(Syarah dan Kritik Hadis)
Oleh: Muhammad Rofik Mualimin
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai mazhab sebagai sumber ajaran Islam. Keberadaan hadis menjadi media dalam memperjelas, bahkan merinci ajaran Islam. Hal itu karena hadis menjalankan fungsinya sebagai penjelas bagi Alquran, bahkan dalam hal-hal tertentu, hadis secara mandiri dapat berfungsi sebagai penetap hukum baru yang belum ditetapkan Alquran.[1]
Kedudukan hadis yang secara struktural menempati urutan kedua sesudah Alquran sebagai sumber pokok hukum Islam, menyebabkan hadis yang akan kita pedomani haruslah jelas statusnya. Kehati-hatian akan kualitas kesahihan hadis menjadi hal yang mutlak sebelum kita menjadikannya sebagai sumber dan pedoman, apalagi dimaklumi bahwa dari segi periwayatan, hadis pada umumnya bersifat zhanni al-wurud.[2] Dengan demikian, wajarlah ketika sejarah mencatat bahwa hadis dengan keberadaannya itu, semenjak masa Nabi saw. telah menjadi dan menyita perhatian, khususnya para sahabat dan umumnya bagi kalangan tabi’in dan atba’ al-tabi’in hingga sekarang.
Salah satu bentuk perhatian mereka itu tertuang dalam tindakan-tindakan selektif terhadap penerimaan hadis, dengan cara membuat dan menerapkan kaidah-kaidah kesahihan sanad[3] hadis.
Dalam kaitan dengan pemahaman hadis, syarah hadis memiliki posisi tersendiri, karena dimaklumi bahwa walaupun hadis secara fungsional sebagai penjelas (al-bayan) bagi Alquran, namun tidaklah berarti bahwa hadis Nabi saw. seluruhnya adalah qath’i al-dilalah. Kata atau kalimat yang digunakan dalam matan[4] hadis antara lain ada yang mujmal (global), musykil (sulit), khafi (implisit) dan atau mutasyabih (samar-samar).[5]
Hadis yang akan menjadi objek kajian dalam makalah ini adalah hadis dari al-Bukhari yang terkait dengan pentingnya kejujuran. Pemakalah mencoba mengangkat tema tersebut dengan kegiatan penelitian terhadap sanad dan matan hadis di atas, sehingga terungkap kualitasnya dan selanjutnya terkait dengan dapat tidaknya hadis tersebut menjadi hujjah.

B. Rumusan Masalah
Berdasakan uraian di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas hadis riwayat al-Bukhari?
2. Bagaimana kandungan, syarah atau interpretasi hadis tersebut apabila ditinjau dari berbagai aspek?

II. PEMBAHASAN
A. Kualitas Hadis
Dalam rangka melihat kualitas hadis, pemakalah melakukannya dengan men-takhrij  hadis yang akan dibahas, kemudian dilanjutkan dengan analisis sanad dan matan.
1. Takhrij al-Hadis[6]
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا »[7]
Terjemahnya:
“Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Jarir menceritakan pula kepada kami dari Mansur, dari Abi Wail, dari Abdullah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut. Sebaliknya, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”

Pemakalah menelusuri hadis di atas melalui lafaz yang terdapat dalam matan hadis, yaitu kata الصَّدْقُ, الكَذِبُ, فَجَرَ, طُمَأْنِيْنَةُ, رَيْبَةُ  dengan menggunakan search angine dalam Kutub al-Mutun di CD Rom al-Maktabah al-Syamilah.[8] Hasilnya, pemakalah mendapatkan data sebagai berikut:
a. Sunan[9] Abu Dawud (202-275 H)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ أَخْبَرَنَا الأَعْمَشُ ح وَحَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا وَعَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا »[10]
Terjemahnya:
“Abu Bakar bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Waki’ menceritakan kepada kami, al-A’masy menginformasikan kepada kami, Musaddad mengabarkan kepada kami, Abdullah bin Daud menceritakan kepada kami, al-A’masy menceritakan kepada kami, dari Abu Wail, dari Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Waspadalah kalian terhadap kebohongan! Sungguh, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong serta melakukan tindak kebohongan, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong. Pegang teguh kejujuran! Kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut secara terus menerus.”

b. Sunan al-Tirmizi (209-279 H)
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا »[11]
Terjemahnya:
“Hannad menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami, dari al-A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Pegang teguh kejujuran! Kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut. Waspadalah kalian terhadap kebohongan! Sungguh, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong serta melakukan tindak kebohongan, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى الأَنْصَارِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِى مَرْيَمَ عَنْ أَبِى الْحَوْرَاءِ السَّعْدِىِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ »[12]
Terjemahnya:
“Abu Musa al-Anshari menceritakan kepada kami, Abdullah bin Idris menceritakan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Buraidah bin Abu Maryam, dari Abu al-Haura’ al-Sa’di, ia mengatakan, “Saya pernah bertanya kepada al-Hasan putera Ali bin Abi Thalib, “Apa yang anda jaga dari Rasul?” Al-Hasan menjawab, “Dari beliau, saya menghapal (sebuah hadis), tinggalkan apa yang membuatmu ragu, menuju apa yang tidak meragukanmu (meyakinkanmu). Sungguh, kejujuran itu menenangkan dan sebaliknya kebohongan itu (melahirkan) keraguan.”

c. Al-Muwatta’ Ibnu Malik (w. 179 H/795 M)
حَدَّثَنِي مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَالْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَالْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يُقَالُ صَدَقَ وَبَرَّ وَكَذَبَ وَفَجَرَ[13]
Terjemahnya:
“Malik menceritakan kepadaku dan disampaikan kepadanya bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan, “Pegang teguh kejujuran! Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Waspadalah kalian terhadap kebohongan! Sungguh, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Tahukah engkau bahwa ia (lalu) dijuluki sebagai orang jujur, pelaku kebaikan, pembohong, dan pelaku kesesatan?”

2. Analisis Sanad dan Matan
a. Analisis Sanad
Dalam makalah ini, sanad hadis yang berkaitan dengan kejujuran yang dipilih untuk dikaji dan ditelusuri adalah jalur al-Bukhari melalui Abdullah bin Mas’ud. Adapun susunan periwayat sanad hadis tersebut adalah (1) Abdullah bin Mas’ud (periwayat I dan sanad VI); (2) Abu Wail (periwayat II sanad V); (3) Mansur (periwayat III sanad IV); (4) Jarir (periwayat IV sanad III); (5) Usman bin Abu Syaibah (periwayat V sanad II); dan (6) al-Bukhari (periwayat VI sanad I).
Adapun riwayat hidup singkat para perawi dan penilaian kritikus hadis terhadap mereka sebagai berikut:
1) Al-Bukhari (194 H-256 H)
            Ia adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi al-Bukhari. Lelaki yang dijuluki sebagai Abu Abdullah ini lahir pada bulan Syawal tahun 194 H. Dalam usia yang masih anak-anak, umur 11 tahun, tepatnya pada tahun 205 H, al-Bukhari kecil telah meriwayatkan hadis dan menghapal karya-karya Ibnu al-Mubarak (al-Tashanif).[14]
Al-Bukhari kecil hidup sebagai yatim karena ditinggal mati sang ayah. Bersama sang ibu dan saudara lelakinya, al-Bukhari melakukan petualangan ke berbagai daerah, setelah mendengar berbagai riwayat langsung dari para guru sewilayahnya seperti Muhammad bin Salam al-Masnadi dan Muhammad bin Yusuf al-Baikandi.
            Guru-guru al-Bukhari adalah Usman bin Abi Syaibah, Makki bin Ibrahim, Affan, al-Muqri’, Abu Ashim, al-Anshari, Ubaidillah bin Musa, Abu al-Mughirah, al-Faryabi, dan lain sebagainya.  
            Murid-murid al-Bukhari adalah al-Tirmizi, Muhammad bin Nashr al-Marwazi, Shalih bin Muhammad Jazrah, Mathin, Ibnu Huzaimah, Abu Quraisy Muhammad bin Jumah, Ibnu Shaid, Ibnu Abi Daud, dan lain sebagainya.
            Muhammad bin Humairwiyah mengatakan bahwa saya pernah mendengar al-Bukhari menyatakan, “Saya hapal 100.000 hadis sahih dan 200.000 hadis yang tidak sahih.”
            Ibnu Huzaimah menyatakan, “Tak seorang pun yang melebihi al-Bukhari dalam meriwayatkan hadis.”
            Penulis produktif yang berperawakan sedang dan melahirkan karya monumental al-Shahih ini meninggal dunia pada malam Idul Fitri tahun 256 H, dalam usia 62 tahun. Pada tahun yang sama meninggal pula al-Zubair bin Bakkar, Ali bin Mundzir al-Thariqi, Muhammad bin Abi Abd al-Rahman, Abdullah bin Yazid al-Muqri’, dan Muhammad bin Usman bin Karamah.
2) Abu Syaibah Usman bin Muhammad (w. 239 H)
            Ia adalah Usman bin Muhammad bin Ibrahim bin Usman al-Kufi. Lelaki yang dijuluki sebagai Abu al-Hasan ini merupakan penghapal hadis yang terkenal pada zamannya.  Ia memiliki karya terkait al-Musnad dan tafsir.[15]
            Guru-guru Usman adalah Syarik, Hasyim, Ismail bin Ayyas, Ibnu al-Mubarak, dan lain sebagainya.
            Murid-murid Usman adalah al-Bukhari, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, al-Nasa’i, Abu Ya’la, Ahmad bin al-Hasan al-Sufi, Ja’far al-Faryabi, al-Farabi, dan lain sebagainya.
            Tentang Usman, Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Aku hanya mendapatkan kebaikan darinya.”
            Yahya bin Mu’ayyan menegaskan bahwa Usman adalah siqah.[16]
            Enam bulan sepeninggal Ishaq, Usman menyusul kemudian pada awal tahun 239 H.
3) Jarir bin Abd al-Hamid (110 H-188 H)
            Ia adalah Jarir bin Abd al-Hamid bin Quruth bin Hilal bin Iqyis al-Dhabbi al-Razi. Lelaki yang dijuluki sebagai Abu Abdillah ini lahir di daerah al-Ray pada tahun 110 H. Ia adalah pakar sekaligus penghapal hadis di daerah al-Ray. Ia pernah berpetualang mencari ilmu hingga ke Kufah. Tak lama kemudian, ia pulang ke kampong halaman karena sang ibunda sedang sakit.[17]
            Guru-guru Jarir adalah Manshur bin al-Mu’tamar, Hashin bin Abd al-Rahman, Bayan bin Bisyr, Suhail, al-A’masy, dan lain sebagainya.
            Murid-murid Jarir adalah Usman bin Abi Syaibah, Ali bin al-Madini, Ishaq, Qutaibah, Yusuf bin Musa al-Qattan, Ahmad bin Hanbal, Ali bin Hajar, Muhammad bin Humaid, dan lain sebagainya.
            Al-Razi menilai bahwa Jarir bin Abd al-Hamid siqah. Abu Zar’ah menilainya saduq. Al-Thayalisi memujinya dengan mengatakan, “Aku selalu mencatat periwayatan dari Jarir. Aku belum pernah melihat orang yang kuat periwayatan (hadis) daripada Jarir.”[18]
Jarir meninggal dunia di al-Ray (desa tempat kelahirannya) pada tahun 188 H dalam usia 78.
4) Manshur bin al-Mu’tamar (w. 132 H)
            Nama lengkapnya Manshur bin al-Mu’tamar al-Sulami al-Kufi. Lelaki yang dijuluki sebagai Abu ‘Attab ini termasuk penghapal hadis. Semasa hidupnya Manshur pernah berpuasa selama empatpuluh tahun. Ia senantiasa bersujud dan memohon kepada Tuhannya dalam posisi menangis. Di pagi hari, mata Manshur kelihatan bengkak, bibirnya seperti terkoyak, dan kepalanya acak-acakan bagai berlumuran cat.[19] Indikasi-indikasi itu, menurut pemakalah, menunjukan bahwa Manshur adalah seorang salih yang taat beribadah.
            Guru-guru Manshur adalah Abu Wail, Rib’i bin Harrasy, Ibrahim, Said bin Jabir, Mujahid, al-Sya’bi, Abu Hazim al-Asyja’i, dan lain sebagainya.
            Sedangkan murid-muridnya adalah Jarir bin Abd al-Hamid, Syu’bah, Syaiban, Syuraik, Fudhail bin ‘Iyyad, dan lain sebagainya.  
Ibnu al-Mahdi menyatakan, “Saya belum menemukan seseorang di Kufah yang melebihi daya hapalan Manshur.”
Mujahid, Ibrahim bin Musa, Abu Zar’ah, dan lain sebagainya menilai Manshur sebagai perawi yang asbat (paling teguh pendirian).[20]
Ia meninggal dunia pada tahun 132 H.
5) Abu Wail (w. 82 H)
            Ia adalah Syaqiq bin Salmah al-Asadi al-Kufi. Ia dijuluki sebagai Abu Wail. Lelaki cerdas yang belajar Alquran selama dua bulan ini termasuk ulama sekaligus tokoh masyarakat Kufah.[21]
            Guru Syaqiq adalah Abdullah bin Mas’ud, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, dan lain sebagainya.
            Sedangkan murid-muridnya adalah Manshur bin al-Mu’tamar, al-A’masy, Hashin bin Abd al-Rahman, dan lain sebagainya.
             Mahmud bin Ghailan, sebagaimana yang diceritakan kepada waqi’, ia menilai bahwa Abu Wail adalah siqah. Penilaian tersebut senada dengan penilaian Yahya bin Mu’ayyan terhadap Abu Wail.[22]
Abu Wail meninggal dunia pada tahun 82 H.
6) Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H)
            Ia adalah Abdullah bin Mas’ud bin Hubaib bin Syamkh bin Mahzum bin Shahilah bin Kahil bin al-Haris bin Tamim bin Saad bin Huzail bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudharr al-Hudzali. Sahabat dekat Rasul saw. ini dijuluki sebagai Abu Abd al-Rahman.[23]
            Murid-murid Abdullah bin Mas’ud adalah Abu Wail Syaqiq bin Salmah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Amran bin Hushain, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin al-Zubair, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Abu Said al-Khudri, al-Barra’ bin Azib, Abu Hurairah, Abu Rafi, dan lain sebagainya.
Mayoritas kritikus hadis seperi Thariq bin Syihab, Amr bin Huraits, Abu Tsaur al-Fahmi, dan lain sebagainya menilai bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah sahabat Rasul yang memiliki kedekatan relasi dalam meriwayatkan hadis.[24]
            Ia meninggal dunia sebelum Usman di Medinah pada tahun 32 H.
Dengan memperhatikan nama-nama periwayat di atas, pemakalah dapat menyimpulkan bahwa sanad hadis tersebut adalah sahih, dengan alasan:
a. Sanad hadis di atas mengindikasikan adanya hubungan guru-murid, ini berarti bahwa sanad hadis ini bersambung. Ketersambungan sanad dimaksudkan apabila tiap-tiap periwayat dalam sanad telah menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya secara langsung dari awal hingga akhir sanad.[25]
b. Para perawinya, dengan memperhatikan pendapat para kritikus, adalah siqah. Pemakalah sepakat dengan gagasan Syuhudi Ismail bahwa apabila sanad tersambung dan perawinya siqah, maka sanad itu dengan sendirinya terhindar dari syaz dan illat.[26]
Skema Sanad Hadis


 


عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ
 
          عَنْ




أَبِي وَائِلَ
 
       عَنْ




       عَنْ





جَرِيْرِ
 
           عَنْ




           حَدَّثَنَا





الْبُخَارِيِّ
 
            حَدَّثَنا

 
b. Analisis Matan
Dengan melihat matan hadis dari tiga periwayat di atas, tidak terdapat perbedaan substansial, yang didapatkan hanyalah perbedaan redaksional yang menandakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara makna (riwayah bi al-ma’na). Dari hasil ini pemakalah tidak mendapatkan matan hadis ini mengandung syaz maupun illat, dimana keduanya adalah dua kaidah mayor kriteria sahih tidaknya matan.
Setelah diketahui bahwa hadis tidak ber-syaz dan tidak ber-illat, penilaian selanjutnya adalah mengukur matan hadis dengan Alquran, ilmu pengetahuan, hadis mutawatir dan atau hadis ahad yang lebih kuat. Ada beberapa  pembahasan pokok dalam matan hadis ini, menurut pemakalah, tidak bertentangan bahkan mendukung dan didukung oleh apa yang ada di dalil lain termasuk Alquran. Dengan analisa tersebut, pemakalah berkesimpulan bahwa hadis al-Bukhari tersebut di atas adalah sahih.
B. Syarah Hadis
1. Makna Kata dan Frase
            Melihat sanad hadis di atas ditemukan redaksi حَدّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ (Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami). Usman bin Abi Syaibah adalah saudara kandung Abu Bakar bin Abi Syaibah. Sedangkan nama Jarir dalam sanad hadis di atas adalah Jarir bin Abd al-Hamid. Yang dimaksud Mansur adalah Mansur bin al-Mu’tamar. Selanjutnya Abu Wail adalah Syaqiq bin Salmah.
            Redaksi إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي اِلَى الْبِرِّ memiliki makna bahwa kejujuran mengantarkan kepada semua kebaikan. Kejujuran, dalam hal ini, meliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari kebohongan; kedua, kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga, kejujuran dalam bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat, kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam, kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap).[27]
            Dalam disiplin ilmu nahwu, kata يهدى merupakan fi’il mudlari’ bina naqis yai, yaitu kata kerja yang dilakukan sekarang atau akan datang. Kata turunan (bentuk derivatifnya) adalah kata الهداية yang berarti sarana atau petunjuk praktis yang mengantarkan kepada tujuan. Sedangkan kata البر yang makna asalnya adalah menyebarkan laku kebaikan, namun dalam matan ini memiliki arti perbuatan didasarkan pada keikhlasan dan dilakukan secara kontinu.[28]
            Redaksi وإن الرجل ليصدق memiliki makna seseorang yang jujur lahir batin dan mengulangi kejujuran itu secara terus menerus. Dan redaksi حتى يكون صديقا berarti hingga ucapannya sesuai dengan perilakunya. Kata صديقا merupakan sigat mubalagah yang berarti bahwa kejujuran tersebut dilakukan sesering mungkin.[29]
Kata الفجور berarti keburukan yang merupakan lawan kata البر (kebaikan). Sedangkan redaksi حتى يكتب عند الله كذابا memiliki makna sehingga orang tersebut (yang berbohong) secara terus menerus dijustifikasi sebagai pembohong dan kebohongan itu disebarkan ke seluruh penghuni bumi.[30]
2. Pemahaman Hadis
            Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang jujur bersama Allah swt. dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang jujur, firman Allah:
لِّيَجْزِيَ اللهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ
Terjemahnya:
“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik...”[31]
            Dan jujur adalah konsekuensi terhadap janji seperti firman Allah:
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
Terjemahnya:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah.”[32]
Kejujuran itu sendiri dengan berbagai pengertiannya membutuhkan keikhlasan kepada Allah dan mengamalkan perjanjian yang diletakkan oleh Allah di pundak setiap muslim, firman Allah:
وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا . لِّيَسْئَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ
Terjemahnya:
“Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh,  agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka…”[33]
Jika orang-orang yang jujur ditanya, bagaimana pertanyaan dan hisab bagi orang-orang yang berdusta dan munafik?
            Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Kejujuran, dalam hal ini, meliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari kebohongan; kedua, kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga, kejujuran dalam bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat, kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam, kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap).[34]
            Rasulullah saw. sangat membenci orang mukmin yang dusta. Suatu ketika, dalam sebuah halaqah, para sahabat pernah bertanya:
يَارَسُوْلَ اللهِ, أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ لَهُ:  أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ.
Terjemahnya:
Ya Rasulullah, apakah orang beriman ada yang penakut? Beliau menjawab,”Ya.” Maka ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah orang beriman ada yang bakhil (pelit, kikir).” Beliau menjawab, “Ya.” Ada lagi yang bertanya, “Apakah ada orang beriman yang pendusta?” Beliau menjawab, “Tidak.”
            Lisan perlu dijaga, karena dampak-dampak negatif yang ditimbulkan begitu besar seperti menyakiti orang lain, menyinggung perasaan, pertengkaran, dan bahkan pembunuhan. Karenanya, seseorang harus mampu menjaga dan memelihara lisannya dengan bicara yang baik dan seperlunya saja. Terkait hal ini, Rasulullah saw. mengatakan,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Terjemahnya:
“Cukuplah seseorang dipandang berdusta bahwa ia membicarakan semua yang didengarnya.”
Banyak bicara menjadikan seseorang mudah berdusta seperti menceritakan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Saat ia tidak mendapati bahan pembicaraan, ia dengan mudah mengutip berita orang yang pendusta—dan ia tahu bahwa orang tersebut seorang pendustaq—ia juga termasuk kategori pembohong.
            Setiap akhlak yang baik dapat diusahakan dengan membiasakannya dan menekuninya secara bersungguh-sungguh, serta mengamalkannya, sehingga pelakunya mencapai kedudukan yang tinggi, naik dari tingkatan pertama kepada yang lebih tinggi dengan akhlaknya yang baik. Karena itu, Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا
Terjemahnya:
“Kamu harus selalu jujur, sungguh kejujuran menunjukkan kepada kebaikan. Kebaikan mengantarkan ke surga. Seseorang yang jujur dan senantiasa menjaga kejujuran, hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur.”
Demikian pula, berbagai hal yang dusta akan menjerusmuskan pelakunya ke jalan keburukan dan akhirnya dicap  sebagai pendusta:
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ, وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Terjemahnya:
“Jauhilah kebohongan! Sungguh kebohongan membawa kepada kefasikan, dan kefasikan mengantarkan (pelakunya) ke neraka. Seseorang yang secara terus menerus berbohong dan mencari-cari kebohongan, sehingga ia dicap di sisi Allah sebagai pembohong.”
            Di antara pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian, kuat hati, dan mampu menceritakan berbagai hal yang memberikan ketenangan bagi pendengar. Di antara tanda dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan bertentangan, yang membuat pendengar merasa ragu dan tidak tenang. Karena itu:
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ
Terjemahnya:
“Sungguh jujur itu menentramkan dan dusta melahirkan keraguan.”

            Kejujuran membawa pelakunya bersikap berani, karena ia kokoh tidak lentur, dan karena ia berpegang teguh tidak ragu-ragu. Karena itu disebutkan dalam salah satu definisi jujur adalah berkata benar di tempat yang membinasakan.  Al-Junaidi mengungkapkan, hakekat kejujuran adalah bahwa engkau bisa jujur di tempat yang mengharuskan berbohong.
            Berapa banyak orang yang suka membual menjadi celaka akibat dari omongannya yang hanya bertujuan menarik perhatian orang lain. Ia pintar mengarang cerita hanya membuat orang-orang tertawa. Lalu mereka kembali dengan perasaan senang dan ia kembali dengan dosa berbohong. Ia menjadi binasa, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِاْلحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ, فَيَكْذِب, وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.
Terjemahnya:
“Celaka bagi orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa, lalu ia berbohong, celakalah baginya, celakalah baginya.”
            Sungguh dusta yang paling berat dan paling besar dosanya adalah berbohong kepada Allah dan Rasul, ia menyandarkan kepada agama Allah yang bukan darinya, dan mengaku dalam syariat yang dia tidak mengetahui, membuat nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu karena menghendaki kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang sangat jahat terhadap agama.
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, فَمَنْ كَذبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا  فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Terjemahnya:
“Sungguh berdusta terhadapku bukan seperti berdusta terhadap orang lain, barangsiapa yang berdusta secara sengaja terhadapku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.”
Karena alasan itulah, sebagian sahabat merasa khawatir meriwayatkan hadis Rasulullah terlalu banyak, karena takut terjatuh dalam kesalahan yang tidak disengaja, berarti mereka menyandarkan kepada Rasul yang tidak pernah beliau katakan.
            Firman Allah:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا َيُؤْمِنُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Terjemahnya:
“Sungguh yang mengada-ada dalam kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, mereka itu para pendusta.”[35]         
            Ayat tersebut, menurut pemakalah menunjukkan bahwa pendusta tidak meyakini ayat-ayat Tuhan.
III. PENUTUP
            Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hadis al-Bukhari yang pemakalah bahas adalah sahih dan dapat dijadikan hujjah karena adanya indikasi hubungan guru dan murid yang menandakan ketersambungan sanad, para perawinya siqah sehingga terhindar dari syaz dan illat, dan matan hadis tidak bertentangan dengan Alquran, hadis mutawatir dan ahad yang lebih kuat, serta ilmu pengetahuan.
2. Jujur termasuk akhlak mulia yang hari dimiliki oleh setipa mukmin. Kejujuranmeliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari kebohongan; kedua, kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga, kejujuran dalam bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat, kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam, kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi;  Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Anshari, Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-, Tuhfat al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Volume VI (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1425 H/2004 M)
Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar al-, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Volume X Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.
Hadi, Abu Muhammad Abd al-Hadi bin Abd al-Qadir bin al-, Turuq Takhrij Hadis Rasulillah Mesir: Dar al-Fikr, t.t.
Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis Cet III; Bandung: Angkasa, 1992.
___________, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, Cet. II; Jakarta Bulan Bintang, 1995.
_____________, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Khathib, Muhammad ‘Ajjaj al-, Ushul al-Hadis wa Mushthalahuhu Cet. III; Bairut: Dar al-Fikr, 1975.
Mizzi, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-, Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Volume II Cet. I; Beirut: Muasasah al-Risalah,1992.
Munawwir, A.W., Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap Cet II; Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Qasthalani, Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad al-, Irsyad al-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari, Volume XIII (Cet. I; Beirut, Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M)
Rasikh, Abdul Mannan al-, Mu’jam Istilahat al-Hadis al-Nabawiyah, terj. Asmuni, Kamus Istilah-istilah Hadis Jakarta: Darul Falah, 2006.
Razi, Abu Muhammad Abd al-Rahman bin Abi Hatim bin Muhammad bin Idris bin al-Mundzir al-Taimi al-Khandhali al-, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Volume VI Cet. I ; Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.
Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’asy al-Azadi al-, Sunan Abu Dawud, dalam CD Rom Hadis al-Syarif al-Maktabah al-Syamilah, Kitab al-‘Aqiqah, t.t.
Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu, al-Ta’ri f bi Kutub al-Hadis al-Sittah Cet. I; Kairo: Maktabah al-Ilmi, 1995.
Tirmizi, Abu Isa Muhammad bin Isa al-, Sunan al-Tirmidzi, dalam CD Rom Hadis al-Syarif al-Maktabah al-Syamilah, Kitab al-‘Aqiqah.
Tahhan, Mahmud, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid t.tp.: al-Mathba’ah al-Arabiyyah, 1978.
______________, Taysir Musthalah al-Hadis Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Zahabi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Usman al-, Tazkirat al-Huffaz, volume II Beirut: Dar al-Turas al-Arabi, 1375 H/ 1995 M.



[1] Lihat Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, al-Ta’ri f bi Kutub al-Hadis al-Sittah (Cet. I; Kairo: Maktabah al-Ilmi, 1995) h. 9.
[2] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi;  Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1.
[3] Sanad adalah rangkaian periwayat yang menyampaikan atau menerima hadis dari tabaqah (tingkatan satu) ke tabaqah (tingkatan lain). Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet III; Bandung: Angkasa, 1992), h. 15.
[4] Matan adalah teks hadis, berupa sabda, perilaku, dan keputusan Nabi saw. yang terletak setelah sanad. Ibid., h. 7.
[5] Ibid. Lihat pula Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis wa Mushthalahuhu (Cet. III; Bairut: Dar al-Fikr, 1975) h. 28.
[6] Takhrij al-hadis adalah kegiatan penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab rujukan sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan. Dalam kitab sumber tersebut dikemukakan secara lengkap sanad dan matan hadis. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 43.
Terkait kegiatan takhrij al-hadis, terdapat metodologi yang bervariasi, yakni; (1) berdasarkan lafaz pertama matan hadis; (2) berdasarkan lafaz dalam matan hadis; (3) berdasarkan tema [al-mawdlu’i]; (4) berdasarkan periwayat pertama [al-rawi al-awwal]; dan (5) berdasarkan status hadis. Lihat Abu Muhammad Abd al-Hadi bin Abd al-Qadir bin al-Hadi, Turuq Takhrij Hadis Rasulillah (Mesir: Dar al-Fikr, t.th.), h. 23-26. Lihat pula Mahmud Tahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid (Beirut: al-Matba’ah al-Arabiyyah, 1978), h. 9-10, selanjutnya dibandingkan dengan M. Syuhudi Ismail, Metodologi ………, Op. Cit., h. 46-49, yang menyatakan bahwa takhrij al-hadis terbagi menjadi dua, yakni bi al-alfadz dan bi al-mawdlu’i.
[7] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, dalam CD Rom al-Maktabah al-Syamilah al-Hadis al-Syarif, Volume XX, h. 247, hadis nomor 6094.
[8] CD Rom al-Maktabah al-Syamilah, Kutub al-Mutun.
[9] Kitab Sunan adalah kitab-kitab yang disusun membahas bab-bab tentang fikih. Di dalamnya banyak hadis yang isinya tentang hukum saja. Lihat Abdul Mannan al-Rasikh, Mu’jam Istilahat al-Hadis al-Nabawiyah, terj. Asmuni, Kamus Istilah-istilah Hadis (Jakarta: Darul Falah, 2006), h. 106.
[10] Abu Daud bin Sulaiman bin Asy‘as al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, bab al-Tasydid fi al-Kadzib, dalam CD Rom al-Maktabah al-Syamilah al-Hadis al-Syarif, Volume XIV, h. 324, hadis nomor 4991.
[11] Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, bab Ma Jaa fi al-Shidq wa al-Kadzibi, Volume VII, h. 463, hadis nomor 2099.

[12] Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, bab A’qaluha wa Tawakkul, Volume IX, h. 433, hadis nomor 2708.
[13] Anas bin Malik, al-Muwatta’, bab Ma Jaa fi al-Shidq wa al-Kadzib, Volume V, dalam CD Rom al-Maktabah al-Syamilah Hadis al-Syarif,  h. 1440, hadis nomor 3627.
[14] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Zahabi, selanjutnya disebut al-Zahabi, Tazkirat al-Huffaz, Volume II (Beirut: Dar al-Turas al-Arabi, 1375 H/ 1995 M), h. 555.
[15] Ibid., h. 444.
[16] Abu Muhammad Abd al-Rahman bin Abi Hatim bin Muhammad bin Idris bin al-Mundzir al-Taimi al-Khandhali al-Razi, selanjutnya disebut al-Razi, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Volume VI (Cet. I ; Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), h. 166 nomor 913.
[17] Al-Zahabi, Op. Cit., Volume I, h. 271.
[18] Al-Razi, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Volume IV (Cet. I ; Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), h. 507 nomor 2080. 
[19] Ibid., h. 142.
[20]  Al-Razi, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Volume VIII (Cet. I ; Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), h. 177-178 nomor 778.
[21] Ibid., h. 60.
[22] Al-Razi, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Volume IV (Cet. I ; Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), h. 371.
[23] Ibid., h. 14.
[24] Al-Razi, Volume V, h. 149. 
[25] Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 25.
[26] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah  (Cet. II; Jakarta Bulan Bintang, 1995), h.128-132.
[27] Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad al-Qasthalani,yang selanjutnya disebut al-Qasthalanni,  Irsyad al-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari, Volume XIII (Cet. I; Beirut, Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M), h. 127.
[28] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (773 – 852 H), yang selanjutnya disebut al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Volume X (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h.  508.
[29] Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Anshari, selanjutnya disebut al-Anshari, Tuhfat al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Volume VI (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1425 H/2004 M), h. 95.
[30] Al-Qasthalani, Op. Cit., h. 128.
[31] Lihat Q.S. al-Ahzab [33]: 24.
[32] Lihat Q.S. al-Ahzab [33]: 23.
[33] Lihat Q.S. al-Ahzab [33]: 7-8.
[34] Al-Qasthalani,  Loc. Cit.
[35] Lihat Q.S. al-Nahl [16]:105.